Sabtu, 15 Januari 2022

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri

DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

Duka  cita  di zaman now.....
Karangan Bunga Tidak Menambah Apa-apa.....
Ada seseorang yg kami kenal..., sebagai seorang yang  diberikan kedudukan yang  tinggi di dunia ini di hadapan manusia. Beberapa waktu yg lalu,  beliau rahimahullah  wafat. Maa syaa Allah, selang  satu jam, tersiar berita  duka, semua masyarakat bergerak. Tamu berdatangan ke rumah megahnya, tidak  sampai 3 jam, jalan raya di sekitar rumah duka,  penuh dengan karangan  bunga yang tersurat dari banyak orang besar di negeri ini. Jalanan ditutup untuk  umum, dijaga polisi militer, Patroli pengawal  disiapkan,  panitia  pengurusan jenazah didatangkan khusus. Keluarga tidak mau  pengurusan oleh jamaah  masjid .. tak masalah. Hingga selesailah jenazah dikafani, dan  siap dishalatkan.  

Di luar rumah, orang  ratusan berjejalan,  hadir, maka diputuskan  jenazah dishalatkan di masjid, segera kami  siapkan. Masjid siap, jenazah sudah di hadapan imam,  tetapi yang berbaris di belakang imam baru 6 orang! Subhanallah, kami susul para pelayat  di luar masjid, 
"pak, bu,  ayo ambil wudhu !  Shalat jenazah akan dimulai !   Ayo pak !", kami menyeru,
Namun tamu2 elite dan sosialita ini berujar di luar dugaan "ini susah buka sepatunya, dek !" atau  "kami doakan saja dek,  dari sini " timpal ibu yg  lain sambil bercermin ke kaca mobil.
  
Subhanallah, kami seru  tetangga2 kampung kami yang sama2 hadir menyaksikan prosesi  megah ini,  "pak, bu, ayo cepet wudhu!  Ayo ** pak, diminta  keikhlasannya !!" 
Bapak ibu tetangga kami  ini hanya menggeleng,  sambil tersenyum,  "nggak dek, malu banyak  orang besar !  

Kami terhenyak menyerah. Akhirnya kami kembali ke dalam masjid, yang saat itu terhimpun sekitar 11 orang yang kemudian kami bagi menjadi 3 shaf. Jenazah pun dishalatkan. Semoga Allah mengampuni almarhum, menyayangi beliau dan memasukkan beliau ke dalam syurgaNYA yang penuh kenikmatan. Ibrah bagi yg hidup ..

Berkawanlah dengan mereka yang pada waktunya, ikhlas menshalatkan jenazah kita, bahkan walaupun  harus menempuh jarak. Mereka yang ikhlas mau mendoakan ampunan Allah bagi kita ketika jasad ini sudah kaku. Berdekatanlah dengan mereka yang benar2 menyayangi kita dunia akhirat. Karena karangan bunga tidak menambah apa2. Takziah dan ikut mensholatkan jenasah  serta mendoakan itulah yg paling utama, Carilah teman yang taat dunia akhirat supaya kelak kita tidak hanya menerima kiriman karangan bunga saja.

COPAS
Terima kasih, siapapun yang menulis, ini bagus untuk saling mengingatkan.🙏

Kamis, 09 September 2021

FIELD TRIP REPORT - PT IMIP, MOROWALI, SULAWESI TENGAH.

Saya mendapat kiriman tulisan yang sangat menarik gara kita bisa berpikir positif dan tidak tergiring oleh framing yang dilakukan karena kepentingan suatu golongan/kelompok atas nama apapun juga. Silakan dibaca 


FIELD TRIP REPORT–PT. IMIP, MOROWALI, SULAWESI TENGAH.

Buntoro Sutanto

 

Tulisan berikut laporan pandangan mata langsung dari seorang kawan di perusahaan RRC yang beroperasi di Sulawesi.

 

Dear teman2, terkait masalah Cina, saya punya pengalaman menarik ketika diberi kesempatan ke Morowali, atas kebaikan komandan KBL, untuk melihat salah satu perusahaan pertambangan nikel di sana, yang sudah memiliki smelter. Jadi nikel di ekspor bukan dalam bentuk bijih nikel, melainkan dalam bentuk lembaran-lembaran nikel. Kebetulan pemiliknya adalah orang Cina. 

 

Saya ingin berbagi kekaguman dan keheranan melihat susana di sana. Terasa seperti sedang berada di luar negeri. Baik dalam cara hidup dan bekerja. Paling tidak saya teringat ketika tinggal di daerah Caltex, tempat orang tua saya bekerja.

 

Saya tidak memihak dan tidak ada urusan dukung mendukung terkait dengan banyaknya tenaga asing yang masuk akhir akhir ini dan jadi pembicaraan hangat ditengah merebaknya wabah Covid–19. Tapi ingin berbagi dari sudut pandang yang berbeda, seperti di bawah ini, sehingga kita tidak perlu bertanya-tanya lagi. Atau bahkan membuat konklusi sendiri yang kadang jauh dari kenyataan.

 

1.  
Kawasan industri dibangun selayaknya kawasan industri moderen yang baik dan benar.

Mensyaratkan adanya living space, public health, food service, dan government authority

 


A.   
Dengan adanya Living Space  (tempat tinggal) yang dekat dengan pabrik, maka karyawan tidak memerlukan kendaraan untuk berangkat kerja. Biaya kredit kendaraan dan bbm menjadi NOL. Mereka tidak perlu stress memikirkan kredit bulanan motor dan biaya lainnya. Tempat tinggal mereka sekelas apartemen atau rumah susun menengah atas, dengan sewa yang relatif murah (500 ribuan per bulan)

 

Bayangkan di lokasi lain, karyawan hanya menyewa rumah sederhana di sekitar pabrik. Bahkan tidak jarang jauh dari pabrik. Kelelahan menuju pabrik saja sudah membuat mereka stress.

 

Living Space ini dikelola oleh perusahaan khusus. Memastikan pembayaran tepat waktu dan kebersihan terjaga. Sepelemparan batu dari sana terdapat lapangan futsal, badminton, dan volly. Dibuka hanya pada jam tertentu dan saat libur. Oh ya, per enam bulan mereka dapat pembagian sepatu dan seragam khusus.

 

B.  Dengan adanya Public Health, karyawan tidak memerlukan lagi antri berjam–jam di rumah sakit jika ada gangguan kesehatan. Jika tidak ada, bisa dibayangkan hanya untuk memastikan flu biasa atau sakit yang lainnya, di pabrik lain karyawan perlu izin sehari. Di sana karena ada sekitar 10 klinik dengan sekitar 15 dokter dan ratusan perawat, maka dalam setengah jam mereka sudah bisa diperiksa. Apakah perlu izin istirahat atau tetap bekerja. Obat–obatan disediakan gratis. Karyawan bisa berhemat waktu dan uang. 

 

C.   Dengan adanya Food Service, kita tidak akan melihat ribuan karyawan keluar pabrik dan makan di pinggir jalan. Warung kumuh sebagaimana halnya dengan pabrik di tempat lain (Jakarta dan Bekasi, misalnya) Kesehatan mereka menjadi  taruhannya. Tapi di sini,  makan mereka diantar ke tempat istirahat dan mereka bisa makan dengan tenang kemudian sholat. Kebersihan makanan sudah sangat tentu terjaga. Tanpa perlu ke luar area pabrik.

 

Mereka butuh sekitar 1000 ekor ayam dalam satu hari. 400 kg telur.  Ratusan kilo sayur dan buah. 1,2 ton beras yang dimasak hanya sekitar 45 menit dengan peralatan yang super modern. Beras masuk ke dalam mesin.  Dicuci dan dimasak langsung. 45 menit kemudian, cling.... jadi nasi. Puluhan orang kemudian memasukkan nasi tersebut ke dalam kotak khusus tempat makan. Dilengkapi kemudian dengan sayur, buah dan kerupuk. Siap antar ke tempat masing–masing divisi, melalui troli–troli khusus.

 

Oh ya, sekali menggoreng kerupuk 400 kg untuk satu hari. Maklum orang kita suka makan dengan kerupuk. Kuali penggorengnya sebesar kuali orang betawi memasak dodol. Chef nya beberapa dari hotel terkenal di Jakarta. 

 

Cold storage nya mampu menampung bahan makan untuk seminggu lebih. Tidak terbayangkan saat kondisi pandemi Covid–19 ini. Bagaimana mereka memenuhi bahan makanan ini (?). Atau saat lebaran dan tahun baru dimana semua harga melonjak. Padahal karyawan harus tetap makan. 

 

Government authority saya lihat ini belum berjalan baik. Khususnya pemda setempat.  Nanti lain waktu saya ceritakan. Bagaimana tabiat orang kita "mencuri dalam kesempatan"

 

Keempat syarat itulah yang dibutuhkan dalam suatu kawasan industri modern. Kawasan industri lainnya di Indonesia jarang ada yang menerapkan demikian. Jadi jangan heran investor memilih negara lain dibandingkan dengan Indonesia. Itu sebabnya Presiden Jokowi heran tahun lalu. Mengapa sedikit sekali investor yang memindahkan perusahaan mereka ke Indonesia. Seharusnya masalah living space di atas bagian dari kebijakan pemerintah. Paling tidak dalam hal menyiapkan lahannya.

 

Di Indonesian Morowali Industrial Park ( IMIP) mereka membuatnya sendiri. Ini agaknya harus menjadi catatan khusus pemerintah jika ke depan hendak mendirikan industrial park. Ke empat syarat di atas menjadi mutlak.

 

2.    Dengan kondisi pelayanan seperti di atas, ternyata masih banyak karyawannya yang tidak betah. Khususnya yang berasal dari Indonesia. 

 

Mengapa bisa terjadi demikian?

Barangkali cerita dibawah ini bisa menjelaskannya.

 

3.    Ketika sampai di lobby penginapan. Saya terkagum-kagum. Semua ruangan sangat simpel. Gedung hotel sekelas bintang lima tersebut sengaja didisain tidak rumit. Namun tetap menarik. Sepertinya mereka memikirkan dalam hal memudahkan perawatan. 

 

Meja resepsionis clear dari barang–barang yang tidak perlu. Semacam pernak pernik hiasan dan ukiran. Hanya ada bel kecil dan ballpoint serta kertas. Model kursi dan sofa nya juga tidak rumit atau penuh ukiran. Tentu sangat memudahkan untuk dibersihkan pula. Demikian juga dengan struktur bangunannya. Semuanya memudahkan untuk dibersihkan. Tapi tetap memenuhi estetika sebuah hotel berbintang secara arsitektural. Tidak ada ukiran dan lukisan mewah. Tapi tetap menarik. Petugas resepsionisnya hanya satu orang. Lobby yang lapang dan lega serta langit-langitnya yang tinggi membuat sirkulasi udara menjadi bebas. Tidak ada patung mewah dan lukisan mahal terlihat. 

 

Memasuki restoran ketika sarapan semua tampak sederhana dan lengang. Menunya pagi itu ada ala western, chinese, dan Indonesia. Saya heran, kok lengang dan tidak ada yang sarapan? Ketika saya tanya mengapa sepi. Dijawab oleh petugas restoran, bahwa semua sudah sarapan dan berangkat kerja. Ok

 

Siangnya ketika saya datang sekitar jam satuan untuk makan juga begitu. Restoran  itu juga terlihat sepi. Jawabannya sama. Semua sudah makan dan berangkat kerja. 

 

Esok paginya saya sengaja datang lebih awal. Jam setengah tujuh. Baru terlihat para ekspatriat makan. Semua tertib. Tidak ada yang ngobrol sambil makan. Selesai mengambil sarapan, makan. Selesai makan langsung ke luar restoran. Sementara saya selesai sarapan ngobrol–ngobrol dulu dengan rekan satu team. Ngalor ngidul sebelum berangkat survey. Giliran mereka yang heran melihat saya demikian.

 

Oh ya, di tiap meja restoran hotel sekelas bintang lima itu tidak ada pernak pernik hiasan semacam bunga cantik kecil dalam vas unik. Begitu efisiennya mereka dalam hidup. Buat apa lukisan mahal, patung berkelas, bunga hidup dan vas cantik? Bukankah semua itu pemborosan? Lalu, mengapa saya bisa mengatakan hotel itu sekelas bintang lima? Memasuki kamar hotel dan melihat fasilitas di dalamnya baru terasa.

 

Sorenya saya ke living space. Semua terlihat rapi. Ada kantor pengelola di sebelah kanan lobby dan kantin/mini market di sebelah kirinya. Semua yang masuk melepaskan alas kaki. Itu sebab lantainya licin dan mengkilap. Jauh dari kesan hunian buruh pabrik.

 

Kemudian dijelaskan oleh pengelola mengenai aturan tinggal di sana. Antara lain yang jualan kue dari penduduk setempat tidak boleh masuk ke areal tempat tinggal. Hanya boleh di luar pagar. Begitu juga dengan laundry. Tempat olah raga hanya dibuka pada sore hari dan di waktu libur. Di luar itu tidak boleh. 

 

Melihat "mini marketnya" saya jadi ingat KPK dengan program nya kantin jujur. Silahkan ambil barang. Catat dibuku yang sudah disediakan. Kemudian masukan uang pada kotak di sebelahnya sesuai jumlah harga yang kita beli. Aturan lainnya,  dilarang juga bergerombol dan ngobrol di luar apartemen. Ada ruangan yang disediakan. Serba tertib dan penuh aturan.

 

Pantesan suatu sore ketika saya menuruni hotel menuju kolam renang dan pantai tidak ada satupun yang berenang dan main di pantai. Baik pagi maupun sore hari. Jangan–jangan peraturan yang berlaku di apartemen ini juga berlaku buat direksi. Saya yang tadinya mau berenang di hari biasa jadi mengurungkan niat.

 

Dugaan saya benar. Ketika saya tanya kepada petugas yang berkeliling, mengapa sepi dan tidak ada yang berenang. Kan bukan hari libur pak, jawabnya. Demikian juga di pinggir pantai. Tidak ada satupun yang terlihat.

 

Sorenya ketika hendak kembali ke Jakarta via Kendari, saya berkesempatan naik pesawat Cessna barengan dengan beberapa direksi.  Menuju ke private bandara (mereka memiliki lapangan udara sendiri) saya melewati beberapa bangunan pabrik. Dari luar terlihat sepi. Saya membayangkan yang bekerja di dalam tentu sangat sibuk sekali. 

 

Hampir 40 ribu tenaga kerja dalam tiga shift (35 ribu orang Indonesia, 5000 ekspatriat Cina). Karena menggunakan teknologi tinggi (konon pertambangan nikel yang diolah langsung menjadi lembaran lembaran nikel itu menggunakan teknologi modern dan canggih), maka semua harus disiplin.  Jika tidak tentu hasil akhir yang akan jadi taruhan. Dan disiplin itu harus dimulai dari kehidupan sehari–hari. Mulai dari cara hidup di living space. Memanfaatkan public health dengan benar. Dan tentunya makan tertib dengan menu yang sudah disediakan. Termasuk mengikuti jadwal olah raga yang sudah ditetapkan. 

 

Sore yang cerah itu pesawat Cessna berpenumpang 10 orang itu terbang dengan tenang. Setenang laut biru teluk Morowali di bawahnya. Mengantarkan rombongan ke Bandara di Kendari. Kembali ke Jakarta dengan pesawat berikutnya. 

 

Semoga anak-anak muda dari sekitar Sulawesi dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia yang bekerja di sana dapat beradaptasi dengan model kerja dan kehidupan di pabrik canggih tersebut, sembari menyerap ilmunya. Kuncinya hanya satu: DISIPLIN.

 

Konon kabarnya sebentar lagi akan berdiri pula pabrik battery yang bahan utamanya nikel. Tentu membutuhkan pekerja yang banyak dan harus memiliki kedispilinan yang tinggi pula, karena dari teknologi yang hanya menghasilkan bijih nikel, tentu berbeda dengan teknologi yang menghasilan nikel dalam bentuk lembaran. Apalagi kalau sudah berubah menjadi battery. Tentu lebih tinggi lagi teknologi dan kedisiplinan yang diperlukan.

Sabtu, 28 Agustus 2021

Kebijakan Publik Yang Membingungkan

Pada hari Senin 23 Agustus 2021 yang lalu, pemerintah mengumumkan perpanjangan PPKM dimana beberapa wilayah, kota/kabupaten dan provinsi mengalami perubahan perubahan status, yaitu penurunan dari level 4 ke level 3. Dengan status tersebut maka kegiatan ekonomi mulai sedikit diberi kelonggaran, misalnya saja mall sudah boleh dibuka. Restoran sudah bisa menerima tamu untuk makan di tempat walau dengan kapasitas tempat duduk terbatas. Kantor juga sudah mulai bisa beroperasi, kalau tidak salah 25% kapasitas. kesemuanya tentu saja tetap dengan pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat. 

Khusus untuk DKI Jakarta, tempat saya tinggal dan beraktivitas, penurunan level ini bisa disyukuri, namun juga "agak menyebalkan". Disyukuri, tentu saja karena dengan demikian, aktivitas ekonomi bisa mulai bergeliat. Resto cepat saji sudah mulai dikunjungi orang untuk makan di tempat. Rasa syukur tersebut bukan karena gembira, sang pemodal/pemilik gerai yang rata-rata dari golongan ekonomi atas, tidak merugi berkepanjangan. Saya yakin walau kondisi keuangan mereka sedikit terganggu, namun tidak akan menurunkan kualitas hidup mereka. Rasa syukur lebih kepada nasib para pekerja lapangan, kasir, petugas kebersihan, petugas dapur, bahwa mereka sudah bisa bekerja lagi dan diharapkan secara perlahan, bisa menerima penghasilan sebagaimana semula, yaitu sebelum pandemi covid-19.

Penurunan level PPKM menjadi menyebalkan karena perjalanan pergi dan pulang kantor secara mendadak menjadi macet kembali. Selama ini, hampir satu tahun perjalanan dari rumah ke kantor menjadi lebih cepat. Jauh lebih cepat. Bila sebelum pandemi saya harus menyediakan waktu antara 45 - 60 menit untuk menempuh jarak sekitar 19km. Itupun sudah mengambil jalan bebas hambatan. Selama pandemi, jarak dan rute yang sama saya tempuh antara 25 - 35 menit saja dan yang paling signifikan adalah penurunan penggunaan bensin, yang semula berkisar antara 12,9 km/liter maka selama pandemi secara perlahan efisiensi meningkat dan hari ini kumulatif penggunaan bbm tercatat 14,2km/liter.

Bicara tentang kemacetan, setelah PPKM di DKI Jakarta turun ke level 3, dan aktivitas ekonomi mulai bergeliat, maka kemacetan sudah terlihat dan terasa kembali. Keluar dari exit toll gate, saya menempuh waktu 25 menit hanya untuk menempuh jarak sekitar 3km saja. Menyebalkan betul.

Puncak rasa sebal itu adalah apa yang terjadi pada hari ini. Saya nmemang sudah mendengar bahwa PPKM level 3 akan disertai dengan pemberlakuan kebijakan ganjil-genap, namun tidak memperhatikan secara detail kebijakan ganjil - genap versi ppkm level 3. Saya berpikir dan tentu begitu juga kebanyakan masyarakat, bahwa ganjil genap berlaku seperti biasa, yaitu pada hari kerja Senin sampai Jum'at pada jam 06.00-10.00 pagi hari dan jam 16.00-20.00 di sore hari. Hari Sabtu dan Minggu bebas ganjil genap.

Sabtu 28 Agustus 2021 jam 13.00, anak saya harus mengikuti test pada salah satu gedung yang berlokasi di kawasan Rasuna Said. Kami menyediakan waktu 2 jam perjalanan dengan harapan agar si anak bisa tiba 1 jam sebelum test dimulai. Agar dia sempat beristirahat dan menenangkan diri dulu sebelum memasuki ruang test. 

Usai mampir membeli makan siang (take out) di KFC, kami dihadang oleh polisi sehingga tidak bisa turun ke underpass jalan Tendean untuk menuju kawasan Rasuna Said dan diarahkan ke kawasan Santa-Kebayoran Baru. Agak bingung, karena hari Sabtu biasanya ganjil-genap tidak berlaku. Kalaupun berlaku, maka saat itu sudah lewat waktu jam berlakunya. Stress dimulai karena jalan menuju kawasan Santa macet luar biasa.  Hitung-menghitung kemungkinan rute yang harus ditempuh, kami akhirnya nekat dan melakukan u-turn dengan harapan di persimpangan Gatot Subroto, kami bisa lolos. Namun ternyata, ada polisi yang menjaga lokasi tersebut, dan meminta kami untuk memutar arah kendaraan. Kembali pulang? Yang betul saja ... Kami keluar rumah karena ada keperluan. Bukan untuk jalan-jalan. Akhirnya kami, kami nekat menerobos jalan dan berhasil lolos masuk kawasan Rasuna Said.

Masih tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi, tiba di rumah, saya browsing tentang kebijakan ganjil-genap pada masa PPKM level 3. Hasilnya..... bagi saya agak mengejutkan dan sangat tidak masuk akal dasar pertimbangan pengambilan keputusan tersebut. Ternyata... kebijakan ganjil-genap selama masa PPKM level 3 yaitu mulai tanggal 16-30 Agustus 2021 dimulai jam 06.00-20.00 berlaku untuk kawasan MH Thamrin-Sudirman-Rasuna Said.

Ke 3 jalan tersebut dikenal sebagai jalan dimana kegiatan ekonomi Jakarta berlangsung, tempat  berbagai gedung perkantoran dan gedung komersial lainnya baik perkantoran pemerintahan, swasta, hotel dan mall berada. Walau kapasitas kegiatan dibatasi hingga 25% saja, namun tentu jumlah orang yang harus berkantor tetap tinggi. Membatasi penggunaan kendaraan pribadi dengan pemberlakuan ganjil-genap total sepanjang hari, berarti memaksa orang yang harus masuk kantor, menggunakan kendaraan umum, sementara tidak semua kendaraan umum melewati kawasan elite perkantoran tersebut. 

Pejabat, boss perusahaan atau golongan menengah ke atas yang memiliki 2 atau lebih kendaraan di rumah, tentu pembatasan itu tidak terlalu merepotkan. Tinggal ganti mobil saja. Tapi .... bagaimana untuk orang yang hanya memiliki satu kendaraan (mobil atau motor) dan berkantor di lokasi elite tersebut? 

Sungguh ... saya sangat tidak mengerti dasar pengambilan keputusan pemberlakuan kebijakan tersebut. Terasa sangat kontradiktif ... Saat pembatasan kegiatan ekonomi mulai dilonggarkan ..., ternyata mobilitas justru dibatasi. Padahal kapasitas dan kualitas transportasi umum masih sangat jauh dari memadai.... Apalagi kebijakan tersebut juga diberlakukan pada akhir minggu. Betul-betul kebijakan yang membingungkan.



Jumat, 13 Agustus 2021

*Surat Cinta untuk Mas Nadiem Makarim*

Apa kabar, Mas? 
Semoga bersama keluarga, dan keluarga besar Kemendikbud Ristek, senantiasa sehat wal afiat dan terus dikaruniai kekuatan dalam menjalankan tugas sehari-hari. Tentu penuh dinamika, menjalankan ‘kapal besar’ Kemendikbud Ristek dalam terpaan gelombang pandemi covid-19 saat ini. Namun saya yakin, Mas Nadiem akan bisa melaluinya dengan baik.

Mas Nadiem yang terhormat, 
program Anda yang bernama 10 episode Merdeka Belajar adalah program yang brilian. Bukan basa-basi: komprehensif, dan fundamental. Terkait dengan itu, Mas Nadiem dan tim pasti sudah mempertimbangkan faktor keberagaman lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar jauh antara Sabang dan Merauke, yang menjadi sasarannya. Namun, tampaknya hal ini masih perlu dipastikan. Kesannya, program ini baru bisa menjangkau satuan pendidikan, organisasi, kampus, guru, kepala sekolah dan pemangku kepentingan lain yang kebetulan sudah memiliki kesiapan infrastruktur, Apalagi sebagian besar programnya masih akan dilakukan secara daring.
Mas Nadiem, 
tak perlu saya tegaskan bahwa dalam situasi pandemi saat ini, kita bersama memiliki kekhawatiran akan ancaman _learning loss_ , terutama untuk anak-anak kita di wilayah akar rumput, pedesaan, daerah 3T, anak-anak dari keluarga kurang mampu, maupun anak-anak di perkotaan yang bersekolah di satuan pendidikan yang tidak memiliki sumber dana dan sumber daya mencukupi—yang sesungguhnya merupakan sasaran terbesar program pendidikan di negeri kita.
Saya yakin, Mas Nadiem sudah memiliki terobosan untuk mengatasi _learning loss_ ini melalui beragam program yang sudah dijalankan. Mulai dari menyiapkan kebijakan yang terkoordinasi antar kementerian dan pemda, penyiapan kurikulum dalam kondisi khusus, penerbitan modul literasi dan numerasi, beragam panduan yang mendukung BDR (Belajar dari Rumah)/PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh), dukungan paket data untuk peserta didik (yang belakangan tampaknya mulai seret), beragam kegiatan webinar pengembangan kapasitas Guru, bahan-bahan BDR dari TVRI (atau TV Edukasi), penyiapan _platform_ Rumah Belajar, kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri, program untuk sekolah di wilayah 3T, program Kampus Mengajar dan kegiatan berbagi praktik-praktik baik melalui portal yang disediakan oleh Kemendikbuk Ristek, dan sebagainya. Tapi, ada kekhawatiran, beragam program ini lebih bersifat ad-hoc yang belum bisa dipastikan efektivitasnya. Gaungnya— sebatas yang saya ketahui—tidak sekuat program Merdeka Belajar. Padahal menurut hemat saya, penguatan BDR/PJJ untuk mengantispasi _learning loss_ inilah yang paling mendesak dan tidak bisa ditawar. 

Ya, negara harus benar-benar hadir untuk mengawal masalah raksasa yang ada di depan mata kita ini. Saya membayangkan, Mas Nadiem sowan ke Pak Jokowi dan mohon kepada beliau untuk menjadikan penanganan _learning loss_ ini sebagai program strategis, yang barangkali harus ditangani oleh sebuah Satgas Nasional khusus. 

Saya juga membayangkan, akan sangat membantu jika Mas Nadiem, seperti Pak Doni Munardo sebelum ini, lebih sering tampil di depan publik untuk memaparkan program-program konkret Kemendikbud Ristek terkait pandemi sambil membangkitkan optimisme di kalangan masyarakat.

Mas Nadiem, 
secara khusus saya ingin menitipkan juga soal besar keberlangsungan PAUD. Saat ini, di masa pandemi, banyak PAUD yang kesulitan mendapatkan murid karena orang tua merasa tidak cukup mendesak untuk memasukkan putra-putrinya ke PAUD karena menganggap belajar _online_ tidak banyak bermanfaat. Apalagi kalau harus keluar uang untuk bayar SPP, dan sebagainya. Ini berpotensi memperburuk _learning loss_ , apalagi ini menyangkut pendidikan anak di usia emas. Dan yang paling berbahaya adalah jika keengganan mengirim anak belajar di PAUD ini terjadi di kalangan masyarakat tidak mampu. Konsekuensinya bisa besar. Karena justru anak-anak inilah yang lebih butuh stumus-stimulus untuk perkembangan di masa-masa usia emasnya. 

Saya membayangkan, Mas Nadiem menggagas program nasional ‘Kembali ke PAUD’ dengan melibatkan Bunda-bunda PAUD pada berbagai tingkatan. Hal lain, penting juga keberpihakan kita kepada putra-putri yang memiliki kebutuhan khusus yang juga terdampak luar biasa. Mereka terpukul dua kali, Mas: memiliki kebutuhan khusus yang, dalam situasi normal saja tak cukup terpenuhi akibat keterbatasan sarana pendidikan _special needs_ dan mahalnya biaya, lalu terperangkap dalam masa pandemi yang menjadikan segalanya lebih terkendala lagi. 

Mohon juga, bergandeng tangan dengan Mas Menteri Agama untuk mendiskusikan cara mengatasi permasalahan madrasah. Mayoritas madrasah, yang umumnya lembaga swasta dengan sumber daya terbatas, ini memerlukan dukungan Mas Menteri berdua untuk mengatasi keterbatasan dan kesulitan yang mereka derita. Apalagi sekolah-sekolah ini menampung bagian besar anak-anak dari kalangan kurang mampu, yang banyak di antaranya berada di pedesaan.

Akhirnya, di penghujung surat ini, izinkan saya menyampaikan beberapa harapan:
  • Lebih banyak turun gununglah, Mas.* Ya, kehadiran Mas Nadiem secara lebih sering di sebanyak mungkin ruang publik dan akar rumput - ke daerah, sekolah-sekolah, dan berbagai lembaga yang relevan di berbagai wilayah negeri kita - tentu dengan protokol kesehatan yang ketat - sangat diperlukan untuk menangkap aspirasi akar rumput secara lebih lemgkap, komprehensif, dan akurat. Langkah ini sekaligus bermanfaat untuk menenun jaringan dan menjalin sinergi dengan sebanyak mungkin warga dan kelompok masyarakat negeri ini. 
  • *Sowanlah, Mas.* Sempatkanlah sowan-sowan ke NU, Muhamadiyah, MUI, PGI, WGI, PHDI, Permabudhi, Matakin, NGO-NGO dan CSO-CSO yang bergerak di bidang pendidikan lainnya. Sebanyak-banyaknya. Saya cukup sering mendengar (mudah-mudahan ini tidak benar), bahwa organisasi-organisasi dan kelompok-kelompok masyarakat, yang selama ini memiliki peran strategis ini, merasa kurang digandeng untuk urun rembug dan berpartisipasi dalam membangun sistem pendidikan kita.
  • *Menyempurnakan gaya manajemen Kemendikbud* . Lebih 40 tahun rasanya, saya mengelola perusahaan yang saya dirikan dan miliki (Btw, saya juga lulusan Harvard, lho, Mas 😊)Seperti, Mas, saya memiliki tim konsultan/tim ahli yang saya pilih dari orang-orang terbaik yang bisa saya dapatkan. Selain itu, saya juga sangat percaya dengan kemampuan tim konsultan dan juga outsourcee serta mitra. Namun, Mas Nadiem tentu juga tahu, cara ini tak sepenuhnya cukup jika diterapkan pada ranah kebijakan publik. Selain raksasanya ukuran "pasar" dan wilayah serta keragaman luar biasa di dalamnya yang semuanya harus digarap, ada juga masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Belum lagi tantangan kompleksitas budaya dan kerumitan politik. Hemat saya, perlu kiranya memperkuat tim yang ada dengan melibatkan sebanyak mungkin keterwakilan pemangku kepentingan dan keragaman tersebut. Meski gaya manajemen perusahaan tentu tetap diperlukan, tidak mungkin rasanya kebijakan pendidikan nasional dari sebuah bangsa - yang sedang berkembang, dengan ribuan pulau, dan lebih dari 260 juta penduduk dan ciri-ciri sedemikian - dikawal oleh sekelompok kecil ahli dan tim konsultan saja. Seberapa pun hebatnya mereka. Saya kira Mas Nadiem perlu mengintegrasikan juga ke dalamnya para ahli dan pihak-pihak yang betul-betul memahami dan berpengalaman menjadi pelaku pemberdayaan pendidikan di akar rumput: di pedesaan dan di wilayah 3T. Sehingga, bukan saja apapun kebijakan yang akan diambil dapat sesuai dan menjawab kebutuhan seluruh lapisan dan beragam kelompok masyarakat. Yang tak kalah penting, bahkan amat sangat penting, seluruh lapisan itu akan memiliki _sense of belonging_ yang kuat terhadap program-program Kemendikbud Ristek yang akan amat menentukan keberhasilannya.
Demikian Mas Nadiem, mohon maaf sekiranya ada ungkapan atau kalimat yang kurang berkenan. Surat ini sesungguhnya adalah wujud cinta saya kepada negeri ini dan seluruh warganya, juga harapan kepada cerahnya masa depan pendidikan Indonesia.
Tertanda,
Haidar Bagir*
*) Haidar Bagir sudah puluhan tahun berkecimpung di bidang pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi dengan mengembangkan 20-an sekolah di seluruh Indonesia, baik sekolah-sekolah di perkotaan maupun di pedesaan. Haidar Bagir juga adalah penulis lebih dari 20-an buku, antara lain _Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia, Meluruskan Kembali Falsafah Pendidikan Kita.

Sabtu, 17 Juli 2021

Masih tentang COVID19

Hari-hari terakhir ini, masyarakat dibuat menjadi sangat tidak nyaman. Berita melonjaknya jumlah orang yang terpapar Covid19 melonjak tajam. Walau sudah diprediksi, akan terjadi lonjakan setelah Idul Fitri di bulan Mei yang lalu, tetap saja kondisi ini membuat semua orang terperangah, saling menyalahkan dan bahkan ada juga yang memanfaatkannya untuk mendeskreditkan pemerintah dan satgas Covid19. Alih² membantu pemerintah dalam menanggulangi berbagai masalah dalam negeri terkait dengan pandemi covid19, demi kesatuan bangsa dan negara, mereka malah memanfaatkan demi memuaskan nafsu keserakahan dan ambisi kekuasaan. 

Oposisi, para pemuka agama (oknum MUI-pendakwah-DKM), melalui posting provokatif di berbagai media sosial. Begitu juga dengan sebagian pengusaha dan sebagian ASN yang memanfaatkan pandemi demi keuntungan pribadi/kelompok/golongan. Semua karena keserakahan akan harta dan tahta.

Yang membuat covid19 jadi sangat mengerikan adalah karena massivenya pemberitaan di seluruh media, baik media sosial, cetak maupun tv ditambah lagi dengan raungan sirine yang tidak kenal waktu.
Virus sars-cov2 memang jenis virus varian baru yang secara massive menyebar ke seluruh dunia. Belum diketahui dengan pasti sumbernya dan bagaimana cara mengatasinya termasuk juga di negara² maju. Vaksin juga mungkin dibuat dengan metode try & error karena kebutuhan yang mendesak untuk membangkitkan imunitas masyarakat. Effektifkah....? Bisa ya, bisa juga tidak... Namanya juga usaha. Tapi, satu hal yang pasti .... Covid19 telah memberikan keuntungan yang sangat besar bagi industri farmasi dan turunannya. Lihat saja betapa tempat² test covid19 tumbuh seperti jamur. Obat²an dan vitamin yang dipercaya bisa menambah vitalitas dan imunitas laris manis dan menjadi rebutan sehingga langka di pasaran. Kalaupun ada, harga jualnya menjadi luar biasa mahalnya. Dalam kondisi panic buying seperti ini, masih ada manusia tanpa hati nurani yang menimbun untuk menjualnya kembali dengan harga mahal.
Mungkin kehebohan serangan covid19 sama hebohnya dengan saat pertama virus flu melanda dunia dulu. Bedanya, dulu belum ada tv/internet/medsos sehingga berita kehebohan akan muncuknya virus tersebut terlokalisir. Tidak membuat heboh seluruh dunia. Sekarang semua orang dengan cepat meerima hiruk pikuk berita tentang covid19. Banyak juga yang tiba² menjadi keminter menganalisa, mengkritik tanpa jalan keluar, ditambah lagi dengan hoax, provokasi dll. Padahal mungkin % kematian penderita flu dulu dan kematian akibat covid19 saat ini, juga relatif sama.
Saya pernah baca suatu artikel, bahwa pada umumnya virus tidak àda obatnya. Tidak juga dengan antibiotik. Namun manakala kita terpapar virus, kita akan bisa sembuh manakala memiliki imunitas tinggi. Sama seperti flu, mungkin serangan covid19 bisa diatasi dengan istirahat yang baik, konsumsi vitamin dan makanan sehat. Hanya komorbid saja yang perlu ber hati² karena kondisi kesehatan yg menurun karena covid19. Jangan stress, karena stress bisa mengacaukan keseimbangan hormon. Nah ketidak-seimbangan hormonal akibat stress ini bisa menyebabkan kondisi tubuh dan imunitas menurun. Bisa memicu dan memacu penyakit yang ada di tubuhnya bereaksi negatif.
Sayangnya... justru stress ini yang banyak mempengaruhi penderita covid19, karena gempuran berita buruk yg tidak habis²nya disertai raungan sirine ambulans yang tidak kenal waktu. Raungan sirine ambulans tanpa henti siang malam di masa pandemi ini menambah kesan dan suasana seram serta mengerikan. Membuat kita bertambah stress karenanya. Jadi sangat bisa dimengerti kalau ada ambulans yang dihadang warga yang sebal dan stress.

Apakah suara sirine bisa digantikan dengan lampu strobo saja dan supirnya diberi pengertian untuk membunyikan sirine sesekali saja, untuk minta jalan saat kondisi macet atau laju kendaraannya terhalang. Tidak perlu membunyikan sirine sepanjang perjalanan. Kita memang wajib waspada dan menjaga diri dari serangan covid19, tapi jangan paranoid agar tidak stress. Tetap taati protokol kesehatan semaksimal mungkin.

Rabu, 03 Maret 2021

SELALU ADA CELAH KELENGAHAN


Selasa 9 Februari 2021, anak saya kebetulan bisa tiba di rumah sebelum jam shalat Ishaa, sehingga kami memutuskan untuk makan malam lebih dulu, sambil menunggu adzan.

Suami hanya masuk kantor 3 hari dalam seminggu, yaitu Senin, Rabu dan Jum'at. Hari lainnya dia bekerja dari rumah, apakah itu mengajar, konsultasi tugas atau kadang webinar. Sementara saya dan anak masuk setiap hari walau dengan jam kantor yang sedikit berkurang.... Cuma berkurang selama 1 jam tepatnya. 

Sore itu, saya melihat suatu yang tidak biasa. Suami saya melapisi mulut/hidungnya dengan tissue. Saya tahu... itu berarti dia menghirup minyak kayu putih untuk membantu pernafasannya. Saat itu, saya tidak ingin bertanya lebih banyak. Tak elok kalau harus berdebat di meja makan. Kami makan malam seperti biasa, sambil ngobrol.

Rabu 10 Februari 2021, jam 07.00 seperti biasa, anak saya berangkat ke kantor diantar supir. Biasanya setelah supir kembali ke rumah, si bapak akan berangkat ke kantornya. Sekitar jam 09.00. Namun pagi itu, alih-alih sarapan pagi, dia malah tidur di sofa, tanpa bisa diajak komunikasi sama sekali. Saya akhirnya sarapan sendiri dan bersiap berangkat ke kantor. Sebelum berangkat, saya ingatkan kembali untuk sarapan, namun dia malah menyampaikan akan tinggal di rumah saja, alias tidak masuk kantor. 

Sejujurnya, sejak pandemi covid19 merebak, setiap ada perubahan kondisi tubuh sesedikit apapun juga, saya selalu sudah secara otomatis mencurigai adanya virus covid19 mampir. Saya memang tidak mau terlalu paranoid sehingga tidak berani keluar rumah. Tidak ....., setiap malam minggu, saya masih mengajak anak dan suami untuk makan malam di luar rumah. Biasanya ke PIM atau Gandaria City. Tentu dengan tetap waspada .... memakai masker, memilih resto yang relatif ketat dengan standar prokes dan memilih tempat makan yang lebih terbuka. Maka .... kondisi suami yang "layu" seperti itu, mau tidak mau menerbitkan sedikit rasa curiga.

Tiba di kantor, ternyata ada sedikit kehebohan. Salah satu staff keuangan yang bermaksud berlibur (long week end - imlek) mengunjungi suaminya yang tinggal di Jogja, diketahui positif covid19 saat memeriksakan diri sebagai syarat pembelian tiket perjalanan. Akhirnya ... hari itu, HRD memutuskan untuk melakukan swab-antigen dan swab pcr untuk supir yang berinteraksi intens dengan staff tersebut. Dari semua yang mendapat giliran hari itu, diketahui ada 1 satpam positif, sementara lainnya negatif, termasuk saya. Alhamdulillah ... lega rasanya.

Sambil bekerja, saya mencoba melakukan komunikasi telpon maupun melalui whatsapp dengan suami, tanpa hasil. Dari ART, diketahui bahwa suami sama sekali tidak bergeming dari sofa. Bahkan makan malampun dilakukan dengan susah payah.

Kamis 11 Februari 2021, setelah mengantar anak ke kantornya, saya memutuskan untuk memaksa suami melakukan swab antigen di RS dekat rumah. Ke kantor, saya sampaikan hal tsb. Bila keadaannya baik-baik saja, maka usai mendapat hasil antigen, saya akan masuk kantor.

Usai mengantar suami melakukan swab-antigen, saya mempersiapkan diri untuk zoom meeting. Sepertinya, saya tidak mungkin lagi berangkat ke kantor. Sudah terlalu siang. Sekitar jam 11.00, saya menanyakan apakah suami mampu mengambil hasil antigennya sendiri. Dia yang merasa kondisi tubuhnya sudah lebih baik dari hari sebelumnya, menyanggupinya untuk pergi mengambil hasilnya...

Pada saat yang sama, anak saya menanyakan hasil antigen bapaknya. Ketatnya aturan prokes di kantornya, menyebabkan dia dan beberapa rekan kerja yang intens bersamanya untuk melakukan wfh, sampai hasil swab si bapak diketahui dengan pasti.

Di tengah zoom meeting, suami yang baru kembali dari RS mengambil hasil antigennya dengan tenang bilang..."hasil antigennya positif"

Kaget dan jujurnya, agak shock, saya tidak bisa lagi mengikuti zoom meeting dengan penuh konsentrasi. Melalui jalur pribadi, saya minta bantuan salah satu rekan untuk mendaftarkan Swab-pcr drive thru yang berada di kawasan perkantoran jalan MH Thamrin. Kami berangkat setelah makan siang. 

Kembali dari melakukan Swab-pcr, saya minta suami untuk menghubungi kantornya agar bisa mendapatkan akses isolasi mandiri di kampus. Saya memintanya isolasi di luar rumah agar kondisi kesehatannya bisa terpantau dengan baik apalagi saya yakin tempat isolasinya pasti terkoneksi dengan RSUI. Isolasi di luar rumah saya pikir juga menjadi jalan keluar yang lebih baik, karena kalau isolasi dilakukan di rumah, saya pesimistis bisa dilakukan dengan baik terutama untuk pelayanan makan/minum dan hal-hal pribadi lainnya.

Jumat 12 Februari 2020, siang hasil pcr keluar dan suami terkonfirmasi positif covid19. Anak saya langsung diwajibkan untuk melakukan swab-pcr pada hari sabtu. Semua temannya tidak boleh masuk sampai hasil pcrnya terbit. Saya juga akhirnya minta bantuan untuk didaftarkan pcr pada hari sabtu itu juga, supaya waktu pengambilan sample saya dan anak, sama.

Jumat sore, suami saya antar ke wisma Makara UI untuk melakukan isolasi mandiri. Saya juga menyampaikan berita ini ke beberapa orang di kantor yang saya anggap perlu tahu mengenai hal ini. Bigboss yang mendengar berita tersebut langsung mengusulkan agar, apabila hasil pcr anak saya negatif, dia diisolasikan saja di hotel milik kantor di kawasan Kelapa Gading. Alhamdulillah ... mungkin itu memang jalan keluar yang terbaik, agar dia tidak terkontaminasi.

Sabtu 13 Februari 2021 siang, usai melakukan pcr di di Cilandak-KKO dan kawasan MH Thamrin, saya masih sempat mengantarkan berbagai pesanan perlengkapan yang diperlukan suami selama masa isolasi dan beraktivitas seperti biasa. Malam minggu itu, saya dan anak juga masih jalan berdua, cari tempat makan sambil ngobrol daripada hanya bengong di rumah.

Minggu 14 Februari 2021 siang .... hasil pcr saya terbit dan ...... POSITIF terpapar covid19 dengan CT-ORF 32,74 dan CT-N tidak terdeteksi. Apapun dan berapapun angka CT yang tertulis, hasilnya tetap sama ... saya terpapar covid19. Darimana .......? Tentu sucpect yang terdekat adalah tertular dari suami .... Mau darimana lagi....? Sedih dan shock .....? Sudah pasti .... apalagi pekerjaan kantor yang saya tangani sedang masuk dalam tahap penyelesaian yang sangat kritis. Melepaskan dan meminta rekan-rekan lainnya melanjutkan pekerjaan tersebut, terasa seperti berkhianat. Terasa betul seperti saya sudah melakukan perbuatan yang sangat tidak bertanggung-jawab.

Senin 15 Februari 2021 siang, hasil pcr anak saya terbit dan dia dinyatakan negatif. Seperti yang dianjurkan oleh bigboss, hari itu juga saya minta si anak segera berkemas dan berangkat ke kawasan Kelapa Gading. Entah bagaimana kebijakan kantornya atas kondisi seperti itu. Apakah dia akan masuk kantor dari Kelapa Gading atau melakukan WFH - work from hotel, biarlah itu menjadi urusannya.

Di lingkungan rumah, saya langsung melaporkan kondisi saya dan suami yang terpapar covid19 kepada ketua RT yang segera meneruskannya kepada satgas covid19. Wilayah rumah saya memang baru sekitar 1 atau 2 minggu dinyatakan bebas dari kategori zona merah. ART dan anaknya kemudian dijadwalkan untuk melakukan swab-pcr di puskesmas pada hari senin 15 Februari 2021. Keesokan hari, Petugas satgas covid19 di wilayah kecamatan Jagakarsa lalu mendatangi rumah kami, meminta saya mengisi dan melengkapi dokumen2, mulai dari ktp, kk, hasil swab, kartu bpjs/askes, pernyataan isolasi mandiri dan lain-lain. Setelah mengirimkan obat2an generik standard puskesmas, setiap 3 hari mereka mengirim pesan melalui whatsapp menanyakan perkembangan kesehatan saya.

Apa yang saya rasakan selama positif covid19? Jauh dari bayangan dan bacaan-bacaan mengenai ciri-ciri penderita covid19, suhu tubuh saya sama sekali tidak mengalami kenaikan. Masih berkisar antara 35,6C sd paling tinggi 36,7C. Daya penciuman masih normal, sama sekali tidak ada perubahan. Kalaupun ada terasa perubahan, ...... itu lebih kepada kondisi badan dan stamina tubuh. Terasa sangat lemas, tenggorokan berdahak setelah sebelumnya terasa agak panas. Panas tenggorokan ini biasanya akan segera hilang kalau saya minum air rebusan sereh yang dicampur jeruk nipis dan madu. Kepala juga terasa agak sakit, tidak bisa berkonsentrasi untuk membaca sesuatu dalam waktu yang cukup lama, atau lebih dari 10 menit.

Minggu 21 Februari 2021, masa isolasi suami selesai dan si anakpun sepertinya sudah tidak betah berlama-lama di hotel. Akhirnya .... minggu sore itu, kami berkumpul kembali di rumah dengan kesepakatan, tetap wajib menghindari kontak lebih dekat dari 1,50 meter. Makan harus dilakukan secara bergiliran, Anak duluan, lalu suami dan terakhir baru saya yang makan.

Hari Selasa 23 Februari 2021, saya meminta bantuan lagi ke kantor untuk didaftarkan swab-pcr, untuk memperoleh kepastian kondisi kesehatan kami. Kali ini HRD di kantor mendaftarkan layanan swab-pcr ke rumah dan alhamdulillah .... hasil pemeriksaan kami berdua NEGATIF. Namun demikian, tidak berarti kondisi ini bisa disambut dengan euforia. Kami masih tidur di kamar yang terpisah, walaupun makan sudah mulai bisa dilakukan bersama dengan sesedikit mungkin berbicara selama berada di meja makan.

Recovery ternyata juga menjadi sangat individual. Bila suami bisa recover dengan relatif lebih cepat, namun saya masih merasakan kepayahan. Kaki saya, mulai dari telapak kaki hingga separo tulang kering, masih saja selalu terasa dingin seperti ditusuk-tusuk. Dahak masih belum hilang danbegitu juga rasa lemas di tubuh .....

Apapun yang terjadi dan akan terjadi, alhamdulillah kami sudah melewati periode terberat menghadapi covid19. Konon .... kondisi fisik penyintas covid19 tidak akan bisa kembali sama seperti sebelumnya. Akan halnya vaksin .... apakah kami akan melakukannya? Inshaa Allah .... namun entah kapan, karena kami masih harus mencari informasi lebih banyak bagaimana prosedur vaksinasi bagi penyintas covid19.

Satu hal yang harus diperhatikan adalah Tetap waspada, jangan lengah ... karena kita tidak pernah tahu kapan celah kelengahan itu datang.


Sabtu, 10 Oktober 2020

KENAPA OMNIBUS LAW HARUS SEKARANG?

Hari ini, saya mendapat kiriman tulisan yang menurut saya sangat menarik untuk disimak. Dengan sedikit editing, saya post tulisan ini. Tidak perlu memaksakan diri untuk mengamini isi tulisan tersebut, namun bacalah agar pikiran kita bisa lebih terbuka....... 

Untuk penulisnya yang tidak saya ketahui siapa, mohon maaf bila namamu tidak dicantumkan.

---
Sebenarnya ya gak sekarang banget, udah dibahas sejak awal tahun. Ributnya aja sekarang.
Nah, ini tulisan saya buat ngejawab emak-emak yang pada tanya “kenapa sih harus bikin begituan di masa pandemi ini? Gak bisa ditunda apa?”

Di awal tahun pernah dengar gak kalau Amerika ribut sama China dan Perusahaan-perusahaan Amerika pada hengkang dari China dan nyari lahan usaha baru? Dan salah satu calon lokasinya adalah Indonesia! Masih inget kan? 

Ini salah satu linknya, cuma pake English ya ibu-ibu, tar kalau pakai media lokal dibilangnya hoaks? https://www.cekindo.com/blog/trade-war-us-china-moving-factories-indonesia

Nah, tidak hanya Indonesia yang mau menangkap peluang ini, Malaysia, Thailand dan bahkan Vietnam yang komunis sudah siap baik lahan, regulasi dan tenaga kerja untuk mengundang investasi tersebut. Filipina juga sudah siap dengan Omnibus Law namun sayang Presidennya berseberangan dengan Donald Trump. Jadi pasti peluangnya sangat kecil.

Lalu, pertanyaannya lagi, kenapa sih kita harus butuh banget ya perusahaan asing itu invest ke Negara kita? Emang kita gak bisa mengelola kekayaan kita sendiri? Nah ini menarik! Ibu-ibu, memang Negara kita ini kaya, namun kekayaannya bukan Riil, melainkan kekayaan potensi. Apa maksudnya?

Negara kita itu kaya Sumber Daya Manusia dan kaya Bahan Baku. Namun, antara SDM dan Bahan Baku ini tidak ada artinya jika tidak dijembatani dengan Modal dan Teknologi. Itu tuh belakang rumah anda ada batu bara, anaknya sampean seratus orang. Trus mau ngapain? Dipandangi aja sambil bilang “wahhh kita kaya ya..” Batu Bara itu gak bakalan jadi uang untuk memenuhi kebutuhan 100 anak anda jika tidak dikelola dan dipasarkan. 

Nah, soal modal! Negara ini tidak punya modal mandiri. Pilihannya dua yaitu hutang atau investasi dari luar. Mau berharap modal dari investasi lokal? Sampai lebaran kuda juga gak bakalan datang itu Modal! Sudah datengin Keluarga Saudi pakai pesta pora, juga gak ada juntrungnya mau investasi di Indonesia. Even ini negara mayoritas seagama sama mereka. Ternyata faktor kesamaan agama gagal menjadi potensi investasi. 

Pakai investasi dengan China juga anda teriakin Cukong! Heboh demo berjilid-jilid! Nah kalau Utang lagi nanti sampean teriaki? Utang dari zaman Pak Harto aja belum dibayar-bayar kok hutang lagi? Nah gak mungkin kan?

Pilihan berikutnya adalah investasi! Yang setali tiga uang, anda akan mendatangkan teknologi canggih dari negara maju ke negara kita ini. Jadi bentuknya bukan kita minta uangnya, tapi suruh perusahaannya pindah kesini sekalian. Setali tiga uang teknologinya juga akan pindah ke negeri ini. Tuh anak anda yang 100 tadi yang dulunya cuma bisa cungkil-cungkil batubara akan sekalian belajar mesin dan komputer dari perusahaan tersebut.

Begini runutannya. Jika anda tidak punya modal dan teknologi, anda cuma bisa nyuruh 100 anak anda itu menggali batu bara belakang rumah, lalu dijual murah karena bentuknya adalah mentah. Anda jual 1000, ditambah biaya kirim, pajak, cukai, belum lagi makelar dan lain-lain akhirnya Perusahaan di luar negeri itu bayar 10.000, padahal yang anda terima sebagai pemilik bahan baku cuma 1000, 9000 nya kemana? 

Nah kenapa nggak sampean suruh perusahaannya aja pindah sini? Anda jual 9000 pun perusahaan itu mau beli kan? Daripada bayar 10.000? Nah dijual dalam bentuk mentah pun nilainya naik. Apalagi kalau anda bikin perjanjian investasi sama Perusahaan itu.

“Wes gini Donal Trump! Aku kan punya batubara dan 100 anak, kamu pindahin aja perusahaanmu kesini, jadiin 100 anakku jadi pegawaimu, aku jual batu baraku ke kamu 5000 aja deh, tapi hasilnya kita jual sama-sama keluar negeri. Keuntungan penjualan aku 30 persen kamu 70 persen gapapa. Aku punya lahan kamu sewa murah deh. Deal?”

Apa untungnya buat anda?
  1. Anak anda kerja dan dapat gaji bukan dari anda
  2. Batubara mentah anda jadi seharga 5000
  3. Anda dapat uang sewa lahan
  4. Anda dapat keuntungan 30% tiap penjualan
Ngerti ibu-ibu?

Nah Donald Trump nya protes, “saranmu bagus, tapi regulasi di negaramu itu sulit, UU nya macem-macem dan saling tabrakan. Aku pernah mau bangun pabrik di sini 1000 tahun gak jadi-jadi karena ijin nya rumit! Ini Thailand udah siap regulasi dan tenaga, aku tak bikin pabrik disana aja, di kamu aku beli bahan baku aja”

Nah inilah masalahnya kenapa investor gak mau masuk ke negara kita. Makanya Negara merancang Omnibus Law yang isinya adalah semua UU terkait investasi itu dijadikan dalam satu UU yang terintegrasi.

Kenapa harus sekarang? Lha ini peluang besar ibu-ibu, kalau nggak ditangkap sekarang ya perusahaan-perusahaan itu lari ke Thailand dan Vietnam. Malaysia aja sudah ancang-ancang Upah Minimumnya diturunkan untuk menarik Investor masuk ke negaranya.

Kenapa harus pas pandemi gini? Lha mau kapan? Memang ada yang bisa mastiin pandemi ini berakhir kapan? Bagi Negara ya memang buah simalakama, peluang ini harus ditangkap cepat! Apalagi after penanganan pandemi ini apa iya perusahaan-perusahaan yang sudah ada di Indonesia masih kuat beroperasi? Lha kalau gulung tikar? Makin banyak pengangguran dan hasil dari pengangguran itu apa? Kejahatan orang lapar!
Negara kita ini bisa colaps ibu-ibu!

Nah gimana? Sudah paham gak kenapa Omnibus Law ini harus disahkan sekarang banget?
Kalau belum paham itu tanya baik-baik ya, bukannya demo marah-marah bakar toko!

Oke ibu-ibu? Sekian dan terimakasih!

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...