Selasa, 26 Juli 2005

KITA dan BIAYA KESEHATAN

Ibu saya baru keluar dari rumah sakit setelah dirawat selama + 8 hari. Sakitnya, juga nggak begitu jelas. Semua adik saya, yang pergi bersamanya, bilang, itu semua karena terlalu lelah dan praktis tidak makan selama + 5 hari menunaikan ibadah umroh. Memang ibu saya mempunyai penyakit diabetes dan darah tinggi, apalagi umurnya sudah sekitar 70 tahunan. Jadi, begitu menginjakkan kaki ke tanah air, beliau hanya mampir 2 jam di rumah untuk kemudian di bawa ke rumah sakit swasta di bilangan selatan Jakarta.

Masuk ke rumah sakit di antar adik perempuan terkecil dan suaminya, dokter menduga bahwa beliau terkena serangan jantung dengan komplikasi gula darah naik dan tekanan darah tinggi, sehingga akan segera dimasukkan ke ICCU. Untung sebelumnya, dia menelpon kakaknya, dokter, di Bandung yang juga berangkat umroh bersama untuk meminta opini. Tentu, dugaan penyakit jantung itu ditolaknya, dan minta hanya dirawat di ruang biasa. Bahwa ibu menderita DM dan hypertensi, semua juga sudah mahfum.

Maka jadilah beliau di rawat di ruang VIP. Nggak tahu berapa tarifnya semalam. Mungkin karena beliau mempunyai asuransi kesehatan (yang diperoleh sebagai istri pensiunan bank), jadi dengan ”sombong”nya minta di rawat diruang VIP. Malam itu saya tidak sempat menjenguk, karena kebetulan pulang kantor agak larut, sehingga lelah sekali. Baru keesokan harinya selama 2 hari berturut-turut saya menjenguk. Hari kerja sudah dipastikan tidak akan sempat menjenguknya. Selama beliau di rawat, saya selalu menanyakan kepada adik lelaki yang setiap hari menemani ibu, apa yang sebenarnya terjadi. Tidak ada penyakit yang ditemukan kecuali ”kelelahan yang luar biasa apalagi ditambah tidak makan” selama 5 hari itu yang membuatnya sakit dan lemah. Jadi beliau diinfus saja dan ditambah obat-obatan dan diperkirakan dalam waktu 2 – 3 hari saja sudah dapat kembali ke rumah.

Tunggu punya tunggu, ternyata ibu tidak juga kembali dari rumah sakit. Maka hari ke 6 saya minta ijin pulang lebih cepat agar bisa menjenguk ke rumah sakit. Ibu kelihatan lebih segar, tetapi saat saya tanyakan kapan bisa keluar? Adik lelaki hanya memberitahukan bahwa  kadar Na di dalam darah, rendah, sehingga masih memerlukan perawatan lebih lanjut. Saya betul-betul mangkel mendengar jawaban tersebut. Jujur saja, saya sama sekali tidak percaya lagi dengan ketulusan dokter di Indonesia, terutama yang berdomisili di kota besar, dalam merawat orang sakit. Di mata saya, sebagian dari mereka adalah ”binatang ekonomi” yang menjadi agen pemasaran obat tidak langsung dari pabrik obat. Menurut saya, bila persoalannya hanya menaikkan kadar Na dalam darah saja, mengapa tidak dijinkan pulang saja seraya diberikan petunjuk ”diet” saja.

Malamnya, saya menelpon adik ke Bandung untuk bicara pada ibu saya dan meminta beliau pulang. Bahkan adik saya berencana membawa ibu ke Bandung agar bisa mengawasi langsung kondisinya. Ini sungguh bukan karena ”biaya” yang harus ditanggung. Toh ibu memiliki asuransi, tetapi lebih kepada ”ketidakpercayaan” saya pada perawatan di rumah sakit. Akhirnya ibu keluar juga dari rumah sakit, dan biaya pengobatan (kamar rawat, infus + obat-obatan dan visit dokter) selama 8 hari itu berjumlah hampir sebelas juta. Bayangkan ... lebih dari satu juta rupiah per hari. Bagaimana bila yang sakit itu adalah orang tidak mampu dan pasti tidak memiliki asuransi kesehatan???

Tidak itu saja ... keluar dari rumah sakit, tidak kurang dari 11 jenis obat yang dibekali untuk dikonsumsi beliau. Apa dikiranya perut manusia itu gudang penyimpan obat, dimana kita bisa menjejali segala macam obat?? Bukankah obat itu sebetulnya ”racun” dengan segala macam ”side effect”??

Saya jadi teringat pengalaman buruk berhubungan dengan dokter THT di sebuah RS terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Kala itu, saya sudah seminggu menderita batuk. Seperti biasa, akibat tidak percaya pada dokter, saya hanya meminum obat tradisional saja, jeruk nipis+kecap ditambah dengan pijat+urut. Biasanya penyembuhan tradisional seperti ini cukup manjur. Tidak ada satu butir obatpun yang mampir ke dalam tubuh saya. Sayangnya, kiat jitu tersebut, kali ini tidak berhasil. Saat di kantor, tiba-tiba telinga saya berdenging dan terasa tersengat seperti, kalau ada dua kabel listrik yang korslet. Rasa sakitnya pun tidak tertahan dan dalam waktu hanya 15 menit, terasa keluar cairan dari telinga dari semula bening hingga kemudian agak memerah. Tidak tahan dengan kondisi ini, saya meminta bantuan supir kantor untuk mengantar ke RS yang hanya berjarak 200 meter dari kantor untuk berkonsultasi ke spesialis THT.

Biasanya, selesai periksa dokter, sebelum membeli obat, saya selalu menelpon adik untuk menanyakan obat-obat yang harus dibeli (second opinion). Tapi karena saya merasa sangat kesakitan, kali itu saya langsung membeli obat di apotik RS tanpa tanya-tanya pada adik saya itu. Pokoknya hari itu saya menghabiskan uang hampir 500 ribu untuk dokter dan 3 jenis obat yang harus dimakan selama 5 hari. Yang paling menyakitkan, saya ambruk pada hari ketiga setelah makan obat. Telinga saya memang agak berkurang sakitnya, tetapi badan saya lemas tidak berdaya dan keluar keringat dingin. Rupanya obat yang diberikan dokter terlalu keras dan cenderung mubazir. Adik saya mengistilahkannya dengan ”membunuh nyamuk dengan bom nuklir”. Berlebihan, mahal dan tidak bermanfaat.

Pengalaman buruk berhadapan dengan dokter juga dialami oleh seorang teman. Bapaknya selama + 2 tahun didiagnosa kena ”kanker prostat” dan tidak bisa dilakukan tindakan apapun (karena usianya sudah di atas 70 tahun) sehingga hanya bisa diberikan obat penahan rasa sakit dan ”sekantong” vitamin yang harus dikonsumsi. Selama itulah teman saya ber”belanja” obat sebesar 30 juta per bulan. Beruntung bapaknya itu tuan tanah  yang memiliki kebun cengkeh sehingga mampu membiayai ”belanja obat”nya tersebut. Tahun lalu, si bapak yang sudah ”hampir koma” itu dibawa ke Jakarta dan dioperasi. Ternyata apa yang selama ini diduga kanker prostat itu hanya berupa pengapuran dan setelah diambil tindakan operasi, beliau sehat dan bugar kembali hingga sekarang.

Belum lepas dari masalah itu, suaminya, tahun lalu kena stroke dan berlanjut pada timbulnya gejala parkinson. Dari bulan September hingga saat ini, setiap bulan dia harus membelanjakan uangnya untuk membeli obat sebesar 20 juta per bulan, diluar biaya rumah sakit. Beruntung suaminya memiliki asuransi dan penggantian pengobatan yang cukup memadai sehingga tidak perlu jatuh bangkrut karenanya. Adik saya yang lain setiap tahun harus mengeluarkan biaya sekitar 200 juta per tahun untuk 4 kali perawatan rumah sakit dengan rata-rata lama perawatan sekitar 10 hari.. Sampai saat ini, apa penyakitnyapun tak pernah terdeteksi. Sayangnya, saya tidak bisa mempengaruhi dia dan suaminya untuk mencari second opinion baik di RS/dokter lain atau RS di Malaysia yang konon, relatif cukup murah.

Kemarin, saat ibu saya keluar dari RS, adik dan keluarganya dari Bandung datang ke rumah, sekalian berencana membawa ibu ke Bandung. Memang ternyata ibu saya mengalami gangguan tidur. Tapi saya menduga, itu mungkin side effect dari 11 jenis obat yang harus dikonsumsinya pasca perawatan rumah sakit. Mana ada manusia mampu menelan obat yang tidak jelas indikasinya sebanyak itu? Bukankah itu mubazir dan hanya akan terjadi reaksi kimiawi di dalam tubuh yang akan membuat dampak kepada daya tahan tubuh?

Panjang lebar saya ngomel dan berkomentar tentang ”praktek kotor” para dokter sebagai agen pemasaran pabrik obat di hadapan adik yang juga dokter spesialis itu. Saya juga menceritakan bahwa ada dokter umum wanita tua yang sederhana yang sering saya kunjungi saat anak sakit. Ke tempatnya, kita hanya dikenai bayaran maksimal 50 ribu berikut obat. Bahkan tidak jarang bu dokter ini memberikan resep-resep tradisional sebagai tambahan pengobatan modern (obat kimiawi).  Tidak banyak dokter yang sederhana dan sangat manusiawi seperti ini. Kebanyakan dokter, mungkin menganggap pasien seperti ”sumber dana” yang perlu dikuras habis-habisan terutama bila dilihatnya pasien tersebut datang dari kalangan berada. Dengan latar belakang seperti itu, pantas saja, tidak banyak dokter yang suka meladeni pasien yang kritis dan mau tahu banyak tentang penyakit dan cara pengobatannya. Selain menghabiskan waktu praktek, mungkin mereka takut ketahuan ”kartu” nya.  Mereka lebih suka pada pasien yang ”pasrah bongkokan” pada ucapan dokter.

Ada pula dokter anak yang berpraktek hingga dini hari, melayani ratusan pasien setiap hari di ruang prakteknya. Bagaimana dokter dengan tingkat kelelahan semacam itu mampu mendiagnosa penyakit dengan benar dan teliti? Paling-paling dia akan mem ”bom” penyakit sederhana dengan antibiotik super keras agar terlihat manjur. Dan... anehnya orangtua senang, pula dan berpromosi kepada rekannya bahwa dokter A bertangan dingin dan obat-obatan yang diberikan sangat ”manjur”. Si orangtua mungkin tidak sadar bahwa anaknya sudah menerima ”racun” yang tidak perlu untuk mulai ditimbun dalam badannya. Saya teringat, saat tinggal di Stains, dokter yang saya kunjungi selalu memberi penjelasan yang gamblang mengenai penyakit dan jenis obat yang diberikan. Seringkali, dia memberikan tips & trick untuk merawat anak/bayi sakit agar si anak tidak menjadi ”gudang” timbunan obat-obatan kimiawi. Dokter di Stains tidak pernah memberikan vitamin apapun untuk bayi kecuali tips & tricks menyajikan makanan sehat dan segar bagi seluruh keluarga.

Mendengar ocehan saya yang pedas, adik saya hanya tersenyum saja tanpa komentar .... mungkin dalam hati membenarkan dugaan saya itu. Bagaimana tidak.... kala para dokter mengadakan seminar/kongres, maka para dokter (beserta keluarga – anak dan istri) mendapatkan fasilitas yang luar biasa dari para sponsor (pabrik obat). Bahkan tidak jarang, usai kongres masih dilanjutkan dengan wisata ke berbagai daerah. Ipar saya (dokter juga) malah membawa serta adik-adiknya, karena selama kongres dia mendapat 3 kamar (full board) dari 3 pabrik obat yang berlainan. Bukan main... pasti biaya untuk dokter itu, nantinya dibebankan sebagai biaya promosi yang pada akhirnya akan ditambahkan pada harga jual obat.

Untuk meredam ocehan yang membuat telinganya panas, akhirnya dia buka mulut juga. Detailman pabrik obat yang sering kita temui di ruang tunggu dokter memang seringkali memberi iming-iming kepada dokter termasuk adik saya. Menurut pengakuannya, memang begitulah cara kerja para detailman. Memberi iming-iming pada dokter agar memakai produk yang dijajakan termasuk di dalamnya menambah-nambah vitamin ”sehat” bagi pasien. Tetapi, memang tidak semua dokter tergiur oleh iming-iming. Masih banyak dokter idealis yang memiliki hati nurani. Para detailman, memang akhirnya tidak lagi mengunjungi kamar praktek setelah dengan tegas dokter menolak ajakan ”kerjasama”. Adik saya dengan gamblang bicara bahwa ... dia tidak perlu diajak kerjasama dengan iming-iming uang rutin yang nilainya hanya 500 ribu atau satu juta rupiah perbulan sebagai hasil komisi penjualan obat, karena dia sudah merasa cukup dengan penghasilan murni dari pasien. Obat dari pabrik apapun, bila dibutuhkan dan kualitas maupun penggunaannya tepat, akan diberikan kepada pasien walaupun tidak ada iming-iming dan dia (adik) tidak akan menambah-nambah vitamin yang tidak perlu bagi pasien. Yang perlu dibantu adalah pasien (dengan cara mendapatkan obat yang murah), bukan dokter yang sudah mendapatkan uang dari jasa yang diberikannya. Saya percaya adik saya, masih punya nurani yang bersih.

Jawaban adik secara tidak langsung membenarkan dugaan saya, ada praktek pemberian komisi yang luar biasa besar dari pabrik obat kepada dokter. Itu yang menyebabkan keluar dari praktek dokter, kita (pasien) seringkali dibekali dengan sederet resep yang menghasilkan sekantung besar obat-obatan yang belum tentu diperlukan dan dengan harga yang luar biasa mahalnya. Itu juga yang menyebabkan mengapa program obat generik yang terjangkau rakyat tidak bergaung karena dokter lebih suka memberikan resep obat-obatan paten yang harganya luar biasa mahal. 

Walaupun demikian, saya percaya, masih banyak dokter yang memiliki hati nurani yang bersih, terutama yang berada di pelosok dan pedalaman. Dan saya selalu berharap semoga semakin banyak dokter-dokter yang sadar dan kembali pada kemuliaan profesinya. Amin.

Hang tuah- kebayoran baru jakarta selatan
25 juli 2005

Rabu, 20 Juli 2005

MENYIAPKAN PERNIKAHAN ANAK

Bulan Juli dan Agustus ini, rupanya, bagi sebagian besar orang Indonesia, dianggap sebagai bulan baik untuk melaksanakan pernikahan. Jadi saya mulai kebanjiran undangan pernikahan, baik dari teman-teman maupun keluarga.

Berbeda dengan saat saya dulu menikah, saat ini undangan pernikahan terbuat dari berbagai ragam bahan, warna dan bentuk. Dari yang sangat sederhana hingga yang super mewah. Dari yang hanya terdiri dari karton conqueror berwarna sampai dengan undangan yang dimasukkan ke dalam box mewah lengkap dengan bunga, pita dan photo pengantin. Bahkan bos saya di kantor pernah menerima undangan berbentuk pigura photo yang sangat cantik dan eksklusif, yang saya taksir harganya tidak kurang dari Rp.75.000,- per buah. Begitulah, di kantor, kami seringkali berebut undangan yang cantik-cantik itu untuk dimodifikasikan menjadi hiasan meja/dinding atau bingkai photo.

Itu belum tempat pesta, makanan dan dekorasi termasuk pelaminan. Jujur saja ... kadang-kadang, kala menerima undangan, kami sering memprediksi .. bahwa kalau gedung resepsinya di Wisma A atau di hotel A, sudah dipastikan bahwa makanannya mewah dan enak. Melimpah dan mengundang selera. Kalau di gedung atau hotel C maka, jangan berharap akan makan enak ... Hehe... kok milih-milih undangan sih?? ini niatnya mau memberi doa restu atau makan-makan ?? Untungnya, sudah beberapa tahun ini, kami menganut food combining sehingga tidak terlalu kemaruk dengan makanan mewah dan enak yang tersaji. Suami saya saja yang selalu lupa diri bila melihat nasi goreng. Berbekal pengetahuan tentang korelasi antara gedung dengan kualitas makanan, saya sering memberi peringatan pada suami, bahwa nasi goreng di gedung/hotel kelas A sangat enak dan layak disantap, sedangkan di gedung/hotel kelas C tidak bisa diandalkan. Namun fanatisme terhadap nasi goreng membuatnya sering mengabaikan ”peringatan dini” saya. Belakangan baru dia sadar dan nggrundel ... bahwa nasi gorengnya tidak enak.. walaupun habis juga satu piring.

Jumlah undangan yang terlalu banyak juga seringkali menjengkelkan tamu. Saya paling tidak suka menghadiri undangan yang jumlah tamunya melebihi kapasitas gedung, membuat tamu tidak nyaman bergerak. Kalau sudah begini, setelah mengisi buku tamu, dan melihat antrian masih sangat panjang baik menuju pelaminan maupun di tempat makan, maka sudah dapat dipastikan kami akan balik pulang dan mencari restoran terdekat untuk mengisi perut. Kok mengundang orang untuk disiksa antri berjam-jam? Ya antri memberikan salam dan doa restu lalu antri untuk ambil makanan. Duh... yang butuh doa restu itu siapa ya...??? Tamu atau yang mengundang? Terbalik-balik logikanya. Lagi pula, sudah dipastikan yang diundang adalah orang-orang yang mampu membeli makanan sekelas yang dihidangkan di pesta itu. Kok ya tega-teganya disuruh antri pembagian makanan. Kaya jaman resesi aja.... Padahal, katanya, kita diundang dan pengundang sangat mengaharapkan kedatangan tamu untuk memberikan doa restu .... Artinyanya yang diundang itu harus dihormati karena ”diharapkan” kehadirannya. Tapi ketika datang kok ya disiksa untuk ngantri.....????

Belum lagi soal hari/waktu resepsi. Jakarta yang macet dan sibuk ini membuat kita harus mempersiapkan diri dengan baik untuk datang ke undangan. Mempersiapkan waktu yang cermat agar tidak terkena macet. Saya dapat dipastikan tidak akan pernah datang bila resepsi diadakan pada hari kerja . Tidak perduli yang mengundang itu keluarga apalagi hanya teman. Cukup kirim sms saja, memberitahukan ketidakhadiran dan doa restu bagi mempelai. Kemacetan yang luar biasa di Jakarta untuk menuju tempat resepsi membuat saya sudah patah arang. Jauh-jauh hari sudah ada komitmen dengan suami bahwa undangan yang akan dihadiri bersama, hanyalah undangan pada hari Sabtu atau Minggu, sehingga tidak merepotkan baik saya maupun suami. Bila suami merasa perlu hadir pada undangan di hari kerja, saya persilakan untuk hadir sendiri. Dia sudah tahu untuk tidak mengharapkan kehadiran saya bersama, pada undangan di hari kerja. Dan toh akhirnya, seringkali dia tidak hadir juga setelah melihat kenyataan bahwa hadir pada undangan di hari kerja sangat melelahkan dan menjemukan.

Dengan kondisi seperti ini, sebetulnya apa yang harus dipersiapkan, ketika kita akan mengadakan pesta pernikahan anak? Jujur saja ... saya tidak tahu. Semua tergantung pada persepsi si calon mempelai dalam menghadapi momen ”terpenting” dalam hidup mereka. Itupun juga masih diembeli-embeli dengan persepsi dan kepentingan, termasuk gengsi orangtua ke dua calon mempelai.

Sewaktu masih kuliah, saya tidak pernah membayangkan akan menikah. Terpengaruh oleh kisah ”cengeng” dalam majalah, saya berpikir, untuk apa menikah bila perempuan  hanya menjadi pelengkap penderita dalam kehidupan berumah tangga. Dan toh akhirnya saya menikah dalam usia yang relatif muda dan belum selesai kuliah lagi. Maka terpaksa saya merevisi angan-angan tersebut. Bayangan saya adalah menikah dalam suasana yang sederhana saja. Hanya akan mengadakan ijab-kabul serta walimah sederhana langsung setelah ijab kabul yang hanya dihadiri keluarga terdekat dan teman dekat dari mempelai. Itupun tidak tercapai .... dengan berbagai dalih, orang tua ”memaksa” untuk membuat pesta, mengundang relasi. Alasannya terdengar klasik ... takut disangka anaknya sudah hamil sebelum menikah. Duh gemes banget dengar alasannya. Tapi apa boleh buat, daripada bertengkar dengan orang tua.

Akhirnya setelah berdebat panjang lebar, kebetulan orangtua saya tidak ”fanatik” terhadap tradisi, upacara pernikahan berlangsung secara simple. Tidak ada acara siraman – seserahan – midodareni – malam bainai (ibu saya orang Minang). Bahkan setelah akad nikah, tidak ada upacara ini itu, injak telur – kacar-kucur (suami berasal dari Jawa) dan lain sebagainya yang dianggap sebagai simbolisasi dari kehidupan rumah tangga. Termasuk upacara yang biasa dilakukan orang saat menjelang resepsi. Mana saya peduli ....???, Bagi saya, kehidupan rumah tangga tidak terkait dengan lengkap atau tidaknya tradisi itu dijalankan. Kehidupan rumah tangga lebih terkait pada bagaimana komitmen pasutri dalam menjalankan bahtera rumah tangganya. Cukup itu, dan sama sekali bukan tergantung pada simbol-simbol yang menghabiskan waktu dan biaya.

Yang tidak dapat saya tentang adalah penyelenggaraan resepsi, yang tergolong relatif mewah untuk waktu itu.  Sungguh mati, saya benci sekali menjalani acara itu. Bagi saya... kok menyebalkan sekali jadi pengantin. Didandani dengan riasan medok seperti wayang orang. Dijadikan pajangan di tengah gedung pertemuan, lalu ditonton dan mesti cengar-cengir kepada orang yang menyalami (yang tidak semuanya kita kenal). Duh .... betul-betul menyebalkan sekaligus melelahkan. Demi gengsi orang tua ...... Padahal, kalau saja uang yang dihabiskan untuk pesta itu diberikan kepada kami, pasti bisa digunakan untuk membeli sebuah rumah mungil yang memadai bagi pengantin baru.

Sejak saat itu, saya selalu berandai-andai,  bila suatu saat menikahkan anak, maka saya tidak akan membuat pesta. Cukup akad nikah dan walimah di antara keluarga dan teman dekat. Tidak lebih dari 100 orang, menurut perhitungan saya. Tidak jarang perandaian itu memicu ”pertengkaran kecil” dengan suami. Alasannya karena ”calon besan” belum tentu sama persepsinya dengan kami dan kami harus mau menyesuaikan diri. Sementara saya selalu ngotot dengan ”model ideal tata cara pernikahan” saya itu. Dan..... di luar dugaan.... anak saya menikah hanya dihadiri oleh 7 orang saja ... penghulu, saksi dan kami sekeluarga. Bahkan keluarga anak gadispun (non muslim) tak hadir karena anak saya menikah di mesjid. Sedihkah  perasaan saya pada saat itu? Rasanya, tidak. Jauh dari perasaan sedih. Saya hanya merasa lega bahwa anak saya sudah menikah. Pernikahan anak saya adalah wujud dari bentuk pernikahan yang saya inginkan dulu. ....  Singkat dan memenuhi syariat. Entah kalau perasaan anak saya saat itu. Saya tidak bertanya lebih jauh.
***

Minggu lalu, sebagian dari keluarga besar suami saya berkumpul. Kebetulan, salah seorang ipar saya berulang tahun, jadi kami semua berkumpul sekaligus membicarakan rencana acara pernikahan anak lelaki si tuan rumah. Calon menantu ipar saya itu blasteran Minangkabau (dari ibu) dengan Jawa (dari bapak).

Tadinya, saya berpikir jaman sudah banyak berubah, jadi, saya berasumsi, bahwa dalam mempersiapkan pernikahan, kita hanya akan mengambil yang esensial saja dari pernikahan itu. Kita tidak lagi terkungkung dengan segala adat istiadat dan simbolisasi upacara pernikahan ruwet. Apalagi bila ditambah dengan konsekuensi biaya yang akan melambung tinggi.

Ternyata, dugaan saya keliru sama sekali. Rupanya, semakin tinggi status sosial masyarakat, maka kecenderungan untuk mengadopsi segala pernak-pernik dan tata cara adat/tradisi dalam penyelenggaraan pernikahan yang ruwet, semakin mengental. Semakin tinggi status sosial, maka semakin ruwet pula adat istiadat yang digunakan dan itu berdampak semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Dan itulah (mungkin) yang diinginkan, karena semakin ”menonjolkan gengsi dan status sosial keluarga”.

Maka, dalam rencana acara pernikahan keponakan suami, segala tata cara pernikahan yang diatur oleh keluarga perempuan, secara adat/tradisi baik dari garis bapak (Jawa) dan ibu (Minang) semuanya ingin dimasukkan. Sementara upacara pernikahan di keluarga pengantin lelaki, dimulai dengan ritual pengajian (yang ini bolehlah diadopsi .... dengan makna berdoa kepada Allah SWT) pada hari sebelum pernikahan, lalu siraman. Setelah siraman, keluarga pengantin lelaki akan berkunjung ke rumah keluarga perempuan untuk mengikuti acara midodareni (Jawa) dan sekaligus malam bainai (Minang) yang diperkirakan berlangsung dari jam 19.00 s/d 22.00. Lalu, keesokan harinya, tepat jam 09.00 pagi akan diadakan acara akad nikah dilanjutkan resepsi pada sore harinya yang dimulai jam 19.00 di suatu gedung pertemuan.

Yang menjadi titik perhatian saya yang pertama adalah acara midodareni dan resepsi yang keduanya berlangsung pada jam 19.00, dua hari berturut-turut. Lokasi rumah pengantin perempuan berada hampir di ujung selatan kota Jakarta dan mempelai lelaki di bilangan Jakarta Timur. Jadi untuk mencapainya memerlukan waktu minimal + 1 jam. Belum terhitung macet yang biasa terjadi di hampir seluruh ruas jalan di Jakarta pada malam minggu. Ini berarti, paling lambat, pada jam 18.00 rombongan calon pengantin lelaki sudah harus berangkat dari rumah menuju kediaman calon pengantin perempuan. Lalu, bagaimana menunaikan shalat maghrib. Haruskah ditunda (jama’)? Usulan mengundurkan waktu dimulainya acara midodareni/malam bainai, untuk memberi kesempatan menunaikan shalat maghrib hanya dijawab ” pengunduran waktu ini berarti acara midodareni/malam bainai akan berlangsung hingga larut malam. Sementara keesokan harinya, akad nikah akan berlangsung tepat jam 09.00. Tentu melelahkan bagi ke dua belah pihak. Terserah akan memilih yang mana. Tetap jam 19.00 dan selesai jam 22.00 atau mundur dengan konsekuensi mundur pula waktu selesainya

Duh ... sedih mendengar jawaban seperti itu. Apakah demikian pentingnya acara adat midodareni/malam bainai itu sehingga waktu shalat maghrib pun harus dikorbankan? Bila demikian, mengapa tidak memotong acara adat (yang menurut saya tidak berguna – hanya buang-buang waktu dan uang saja) tersebut untuk memberikan kesempatan shalat maghrib dan istirahat yang cukup bagi keluarga ke dua belah pihak?

Belum urusan acara midodareni/malam bainai itu selesai, muncul lagi ”aturan baru” bahwa menjelang acara resepsi, keesokan harinya, seluruh keluarga kedua belah pihak diharapkan kumpul dan selesai berhias pada jam 17.00. Sesi photo keluarga akan dimulai sebelum acara resepsi, yaitu setelah mempelai dan keluarga selesai berhias. Jadi seluruhnya masih segar  dan cantik untuk berphoto. Lalu, untuk keluarga yang lain,... jam berapa kami harus mandi, para perempuan berdandan, kemudian berangkat ke gedung? Bagaimana dengan shalat ashar dan shalat maghrib kami?

Saya betul-betul bingung dibuatnya. Ingin sekali saya berbaik sangka saja, bahwa yang mengatur acara tersebut adalah non muslim yang tidak mengerti bahwa di antara waktu-waktu tersebut ada waktu shalat ”WAJIB” ... panggilan Allah SWT yang tidak bisa diabaikan bagi mereka yang mengaku  bahwa ”shalatku ... hidupku ... dan matiku ... hanyalah bagi Allah SWT semata....” Namun, nyatanya kedua belah pihak keluarga adalah keluarga muslim. Minimal yang saya ketahui, kedua ipar saya selalu shalat wajib lima waktu. Dan toh .... pada persiapan pernikahan tersebut, mereka luruh dan tunduk pada aturan manusia ... sudah diatur bahwa sesi berphoto ria adalah sebelum resepsi berlangsung, walau dengan resiko kehilangan waktu shalat. Betul, Islam memberikan kemudahan dengan adanya aturan jama’. Tapi apakah men-jama’ shalat bisa dibenarkan untuk alasan seperti ini? Wallahu ’alam.

Di luar dari pengaturan waktu tersebut, kecenderungan orang untuk bermewah-mewah dalam penyelenggaraan pesta pernikahan sungguh membuat hati bertambah sedih. Seorang teman wanita yang sedang mempersiapkan pernikahannya bercerita bahwa satu buah kebaya panjang brokat dengan sulaman mote untuk acara pernikahan harus dibayar dengan harga 8 juta rupiah. Konon harga ini 50% lebih murah dari harga resminya, karena sang teman langsung berhubungan dengan penjahit seorang designer terkenal di Indonesia.

Ipar saya yang lain, seorang florist  yang mengkhususkan diri pada pesta pernikahan, bercerita bahwa tarif untuk menghias (dengan  bunga) untuk suatu acara pernikahan minimal 25 juta untuk campuran bunga lokal plus sedikit bunga impor. Belum lagi biaya perias pengantin yang konon juga seharga di atas sepuluh juta, seragam panitia dan keluarga, biaya pelaminan, dokumentasi dan lain-lain. Sementara biaya makananpun paling tidak harus membayar minimal 35 ribu/per orang (ini menu paling sederhana), belum termasuk makanan yang tersaji di gubuk-gubuk yang tarifnya antara 10 ribu sampai dengan 35 ribu per porsi. Belum lagi bila resepsi diselenggarakan di hotel berbintang. Minimal 85 ribu per pax plus pajak dan service 21%. Ini tentunya juga, belum termasuk makanan tambahan yang ditata dalam gubuk. Jadi tidak heran bila biaya penyelenggaraan pesta pernikahan termurah (sederhana) yang pernah saya hadiri bernilai 200 juta (angka ini saya dapat dari keluarga mempelai perempuan) untuk undangan sebanyak 500 lembar.

Salah satu kenalan, secara bisik-bisik mengungkapkan angka di atas 1,5 miliar untuk suatu pesta di sebuah hotel berbintang 5 di Jakarta. Bayangkan ... dapat disimpulkan; harga sebuah pesta pernikahan kelas menengah di Jakarta dimulai dari 200 juta rupiah hingga di atas satu milyar.... .

Bayangkan bila uang sebesar itu dibelikan sebuah rumah untuk pengantin baru ... pasti jadilah sebuah rumah yang cukup indah di sebuah kawasan perumahan di Jakarta. Kalau saja uang tersebut dipinjamkan kepada pengusaha kecil untuk bantuan modal, minimal ada 40 pengusaha yang memperoleh pinjaman senilai 5 juta rupiah. Seandainya uang tersebut digunakan untuk memberi makan kaum dhuafa, pasti ada minimal 20.000 boks nasi seharga 10 ribu per boks yang dapat dinikmati mereka. Kalau saja.....

Sayangnya, kita lebih suka bermegah-megah, menonjolkan keakuan di tengah kemelaratan sesama .... Kita lebih suka memberi makan orang berpunya yang sudah kelebihan kalori di tubuhnya, yang juga mampu membayar makanan sejenis di restoran mewah, untuk datang ke pesta yang kita buat dibandingkan dengan memberi makanan yang lezat bagi kaum dhuafa satu kali saja dalam hidup mereka.

Kita juga lebih suka membuang-buang uang untuk membayar bunga hias dan pernak-perniknya yang hanya digunakan satu malam saja, dibandingkan dengan membina dan menolong pengusaha kecil dan lemah dengan jumlah uang yang sama.

Kita lebih suka membuat undangan yang indah dan mewah, memberikan seragam lengkap bagi para among tamu demi menaikkan gengsi keluarga ketimbang menyisihkan dana tersebut untuk anak tetangga yang nyaris bunuh diri karena tidak sanggup membayar uang sekolah...

Dan ... ah begitu banyak perandaian yang muncul di benak saya, sampai saya tersadar, saat suami saya mengingatkan...” jangan berburuk sangka.... mungkin ibadah, zakat dan sedekah mereka sudah lebih besar dari apa yang mereka buang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan anak-anak mereka. Jadi biarkanlah mereka memenangkan egonya sekali saja dalam sepanjang umur hidup mereka ”..........

Cukupkah alasan itu ..... entahlah...! Sejuta protes dan ketidakpuasan masih menjejali kepala saya dan mungkin harus saya telan sendiri. (eh ada untungnya... nih, jadi tulisan yang bisa dibaca oleh semua orang...)

Jakarta, 20 juli 2005
Hangtuah – jakarta selatan.

Jumat, 08 Juli 2005

Menikah dengan orang Tunisia? Siapa takut...?

Avec grand remerciement pour Isna

Gerbang pernikahan di jaman sekarang kelihatannya semakin sukar dimasuki. Di kota-kota besar, usia penikahan baik lelaki maupun perempuan, cenderung makin meninggi Umumnya dikisaran usia 30 tahun. Entah apa yang jadi penyebabnya. Apakah karena perempuan sekarang banyak yang bersekolah tinggi, lalu menunda penikahan agar kuliah bisa selesai dulu. Dan karena pada umumnya usia perempuan lebih muda dari pasangannya otomatis usia lelaki saat memasuki pernikahan juga semakin tinggi.

Ternyata, selesai kuliahpun mereka tidak langsung menikah. Mencari pekerjaan dulu.... terbenam dalam sibuk.. Lalu setelah itu mulai sedikit realistis. Mulai menimbang-nimbang ... mesti punya rumah dulu ... punya mobil dulu... punya tabungan dulu .. punya asuransi jiwa dulu... Kalau materi belum siap, kasihan anak-anaknya. Sekolah sekarang mahal . Setelah semua tersedia ... lho..lho... Mental belum siap nih ... Tertunda lagi ... Terus begitu, tidak habis-habisnya.

Di sisi lain, perempuan sekarang juga sangat mandiri. Pekerjaan membuat mereka merasa mampu menghidupi dirinya. Tidak perlu tergantung pada orang lain. Dengan begitu persepsi perempuan terhadap nilai pernikahanpun berubah. Harus egaliter dalam hak dan kewajiban!
-----------

Teman les bahasa Perancis saya, datang dari berbagai golongan. Sebagian adalah perempuan matang, bahkan ada nenek berusia 65 tahun yang menurut saya sangat ”smart” dan ”open minded”. Pengetahuannya sangat luas terutama yang menyangkut budaya. Salah satu yang termasuk paling rajin les, perempuan muda usia 34an. Dia bisa digambarkan sebagai profil wanita karier masa kini. Smart, open minded, sangat extrovert, easy going dan gemar bertualang. Pendapat dan gaya hidupnya, terutama yang berkaitan dengan hubungan lawan jenis, sering bikin telinga ibu-ibu, terutama ”the housewife’s gang” merah padam. Bisa dimengerti, mereka yang tidak bekerja, mungkin tidak tahu bagaimana hutan belantara pergaulan para professional muda yang penuh gelora.

Baru-baru ini, dia yang selalu rajin hadir di kelas, menghilang dari ccf selama dua minggu. Tanpa kabar berita, sms yang dikirimpun tak sampai. Nah dua minggu yang lalu dia masuk, dan dengan wajah berseri-seri menceritakan petualangannya ”mencari cinta” ke negeri orang. Betul-betul ke negeri orang . Naik pesawat dari Jakarta – Singapore – Bangkok – Istambul dan lalu berlabuh di ujung utara benua Afrika, di salah satu negeri ”Maghreb”, Tunisia. Cerita perburuannya seru ... seram ... menegangkan ... dan sekaligus mengharukan. Minimal buat saya. Tapi, sayang bersifat sangat pribadi. Jadi, bukan itu yang ingin saya ceritakan.

Lelaki yang ditemuinya itu atau sebutlah calon suaminya, berusia sekitar 50 tahun, bekerja di sebuah kementrian Tunisia. Jadi jelas asal usul dan pekerjaannya. Itu yang penting. Bagaimana bisa bertemu? Ini pergaulan global a la cyber net ... Jadi, ini salah satu keuntungan kita ber internet ria. Chatting telah membuka ruang pergaulan dan memungkinkan pertemuan dua orang yang berada di belahan dunia yang tak terjangkau mata.

Setelah berkenalan selama 4 tahun, si gadis nekat berangkat ke Tunisia ... tanpa tujuan yang jelas. Kalau cocok ayo menikah, kalau tidak.. masih banyak lelaki di seluruh penjuru dunia. Maklum ... kemandirian a la wanita karier Indonesia, kadang membuat mereka merasa kurang cocok dengan lelaki Indonesia, terutama yang masih berpikiran ”tradisionial”

Dia duda bercerai yang memiliki 3 orang anak. Itu biasa ... di Indonesia banyak lelaki menceraikan istrinya. Lalu cari istri lagi.... dan itu juga biasa. Bahkan yang masih punya istripun kadang masih suka jelalatan, goda sana- goda sini. Apa anehnya? Apalagi Tunisia kan negara Islam, yang memperbolehkan suami beristri 4.

Tapi, ternyata Tunisia itu negara Islam yang unik. Negara itu, konon merasa lebih ”modern” dari kebanyakan negara Islam di utara jazirah Afrika. Jadi dalam pergaulan diplomatik internasional, Tunisia tidak mau dekat-dekat dengan Aljazair, Sudan, Maroko atau bahkan Mesir. Tunisia lebih merasa sepaham dengan Turki yang sekuler dan setengah Eropa itu. Lebih modern ... Mungkin begitu pikir para politisi negara itu.

Masyarakat Tunisia hidup dalam kontradiksi. Di satu sisi, peraturan dan undang-undang yang berlaku sangat maju. Sangat melindungi kepentingan warga negaranya. Tidak kalah dengan negara barat Apalagi penerapannya pun dengan sanksi – dan hukuman yang jelas. Tidak main-main. Tetapi di lain pihak, kultur Arab tradisional masih kuat melekat di dalam kehidupan masyarakatnya. Kehidupan yang sangat patrilinial. Dari kacamata para feminis, Tunisia adalah negara yang masih didominasi oleh lelaki. Perempuan tugasnya di rumah, mengurus suami dan anak-anak. Perempuan Tunisia yang bekerja masih sangat jarang. Dan seperti di negara Arab lainnya, sepulang kantor, suami akan mampir ke supermarket, belanja kebutuhan rumah tangga. Istri tinggal memasak di rumah.

Jangan harap kita pasangan non muhrim berani bergandengan tangan di muka umum. Jangan berani berpakaian tidak sopan ... Harus pakaian tertutup! Kalaupun tidak berhijab ... pakailah pakaian yang sopan, sedikitnya jangan mengumbar kemolekan tubuh. Itu tabu. Urusan kemesraan dan kemolekan tubuh jangan diperlihatkan di muka umum. Dalam hal ini, Jakarta jauh lebih maju. Tetapi..., di pantai turistik Tunisia, perempuan berbikini dengan aman bergentayangan. Ini pantai bung ... masa berpakaian lengkap? Bahkan, aborsipun dapat dilakukan siapapun, di banyak rumah sakit, dengan syarat bahwa usia kandungan belum melebihi 3 bulan.

Bagaimana pemerintah mengatur kehidupan rakyatnya, terutama yang berkaitan dengan perlindungan kepada anak-anak dan wanita. Ini menjadi perhatian saya. Bukan karena sok feminis. Tapi, hanya ingin mengetahui bagaimana pemerintah sekuler dari sebuah negara Arab yang sudah pasti mayoritas penduduknya beragama Islam, menterjemahkan hak-hak anak dan perempuan ke dalam UU dan sekaligus aplikasinya. Saya hanya ingin mengutip cerita kawan saya itu terutama dalam kasus yang berkenaan dengan ”perceraian dan konsekuensinya. Yang berkaitan dengan perlindungan anak dan mantan istri”

Kita mulai dari ; Bagaimana gaya remaja Tunisia berpacaran? Remaja Tunisia dilarang pacaran! Jangan main-main, kalau naksir anak orang... nah, datang langsung kerumah orang tuanya. Ajak orang tua kita untuk bilang kalau anak kita naksir anaknya. Lalu orang tua akan membuat pesta, mengundang kenalan dan tetangga. Setelah itu siap-siap memasuki gerbang pernikahan. Apa persiapannya ?

Yang terpenting adalah rumah dengan segenap isinya Ini indispensable, ”wajib bin kudu”. Jangan berharap menikah kalau yang satu itu belum terpenuhi. Kalau masih ada uang berlebih, tambahkan mobil.. lalu perhiasan, emas berlian, gak boleh imitasi ... lalu .... deposito... hehe.. pokoknya lengkap!!! Jangan dikurangi ... kalau tidak, jangan harap bisa menikah cepat-cepat. Nah persiapan ini memakan waktu bertahun-tahun. Jadi perempuan maharnya ”mahal”. Bubar dan membatalkan rencana pernikahan ...? No way.... belum pernah terjadi. Mungkin seluruh kaum kerabat bisa malu besar. Masyarakat Tunisia menjaga betul hal ini!

Setelah menikah? Perempuan duduk manis di rumah. Memang begitulah tradisi Arab. Perempuan bagai hidup disangkar emas. Alasannya; karena perempuan sangat dimuliakan. Lelaki yang bertanggung jawab harus memenuhi seluruh kebutuhan hidup keluarganya. Jadi sebetulnya enak lho, jadi perempuan! Tapi sayangnya, ada sedikit kontradiksi ... di dalam rumah, lelaki, termasuk anak lelaki, menjadi raja. Jangan makan sebelum mereka selesai makan dan kenyang. Sediakan cepat seluruh kebutuhan mereka. Jangan sampai mereka marah karena perempuan tak sigap melayani. Lelaki Tunisia juga sangat senang menghabiskan sore hari, berkumpul di kafe-kafe yang bertebaran di segala penjuru kota. Mereka mengobrol sambil minum kopi dan merokok dengan pipa khas arab. Namun jangan harap dapat menemukan wanita di kafe. Ini hal yang tabu dan akan jadi pemandangan aneh jika seorang wanita masuk dan duduk untuk minum kopi di tempat seperti itu. kecuali memang di daerah turis dimana banyak terdapat kafe yang memang diperuntukkan untuk wanita dan keluarga. Kehidupan seperti ini, bagi perempuan yang berpendidikan tinggi, yang sudah ”teracuni oleh pemikiran Barat” akan menjemukan dan membuat mereka berontak dan bisa berbuntut pada perceraian.

Perceraian memang bukan hal yang dilarang dalam Islam, walaupun tidak dianjurkan. Perempuan Tunisia tidak akan pernah takut bercerai. Bisa jadi, justru lelaki yang takut untuk menceraikan istrinya. Perceraian bisa membuat lelaki Tunisia bangkut. Betul-betul bangkrut. Rumah dan seluruh kekayaan beralih tangan kepada mantan istri, karena itu bagian dari mahar yang sudah diserahkan kepada istri saat menikah. Yang tersisa, hanya gaji yang dimiliki. Itupun sudah dipotong-potong oleh berbagai kewajiban menyantuni anak serta mantan istri.

Kewajiban menyantuni anak dan mantan istri wajib hukumnya. Anak-anak harus disantuni, dicukupkan kewajibannya sampai mereka selesai kuliah. Mantan istri wajib, dinafkahi sampai dia menemukan jodohnya kembali. Kalaupun mantan istri menikah, jangan harap bisa lepas tangan terhadap kewajiban menafkahi anak. Yang terlepas kewajibannya adalah menafkahi mantan. Anak, nasabnya kepada bapak. Jadi jangan coba-coba ingkar janji. Tetap melekat sampai mereka selesai kuliah.

Bagaimana bila lelaki ingin menikah kembali? ... Tidak ada kendala. Boleh... tapi selama mantan istri belum menikah kembali, maka kewajiban terhadap mantan belum pupus. Hanya sedikit berkurang, karena berarti ada dua perempuan yang disantuni suami. Apakah cukup di atas kertas begitu? Tidak ...!!! Pemerintah Tunisia sudah melengkapi dengan berbagai aturan dan sanksi. Secara periodik, aparat akan datang dan mengecek bukti transfer kewajiban lelaki kepada mantan istri dan anak-anaknya. Jangan pernah berani ingkar!! Bukti-bukti harus lengkap dan jelas Kurang 1 kali kirim? Penjara ganjarannya!!!!

Peraturan ini jelas melindungi kepentingan anak-anak dan perempuan. Jadi... siapa takut menikah dengan lelaki Tunisia ....?????

Salam
Lebak bulus 15 juni 2005




BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...