Senin, 29 Mei 2006

Mengapa wanita saling menyakiti?

Hari minggu ini, ada acara keluarga. Ibu mertua, ulang tahun yang ke 84 tahun. Seperti biasa, anak menantu dan cucu-cucunya berkumpul, membaca doa diakhiri dengan makan siang bersama, sambil ngobrol. Kalau tidak begitu, anggota keluarga besar tidak akan pernah berkumpul lengkap. Semua larut dalam kesibukan masing-masing atau sok sibuk.

Aku datang agak telat, karena salah satu teman kantor, menikah di Puri Caping Gunung – salah satu restoran di TMII. Jadi setelah mengantar makanan dan suami, yang tentu lebih memilih berkumpul dengan kakak adiknya, dibandingkan dengan mengantar istrinya ke pesta pernikahan, ditemani gadis kecilku, aku pergi dulu menghadiri acara pernikahan tersebut. Usai pesta pernikahan, aku kembali ke cipinang, bergabung dengan yang lain.

Topik obrolan kali ini, selain tentang gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, tentu saja tak terlewatkan tentang kasus keluarga Bambang Trihatmodjo, anak ke 3 Suharto. Apalagi beberapa kakak iparku memang mengenal mereka sejak jaman mereka masih kecil dan latihan pramuka bersama di kawasan Menteng.

 Aku teringat pada temanku. Sedang apa dia sekarang, dan bagaimana perkembangan hubungan dengan suaminya. Dalam percakapan terakhir per telpon, 6 bulan yang lalu, dia mengatakan bahwa mereka sudah mencapai kesepakatan di hadapan orangtua dari kedua belah pihak. Temanku masih ingin mempertahankan keutuhan rumah tangganya dan bersedia menerima WIL suaminya sebagai istri kedua.

Namun sayangnya, niat baik itu tidak diterima oleh suami yang sedang keblinger. Hubungan suami istri itu memang sudah semakin jauh. Sang suami sudah tidak lagi pulang ke rumah mereka karena sudah membentuk rumah tangga baru, walau belum menikah secara resmi. Ajaran agama sudah ditinggalkan. Hidup sudah bergelimpangan dengan kemewahan duniawi. Dugem dan minuman keras sudah menjadi bagian keseharian pasangan baru itu. Itu saja yang kudengar. Karena itu, kepada istri kakak iparku, yang tinggal di komplek perumahan yang sama, tadi kutanyakan kabar Ine.

 “Sudah masuk sidang di pengadilan agama. Hubungan mereka sudah tidak bisa diperbaiki, karena WIL tidak mau dimadu dan meminta suami Ine untuk menceraikan istrinya”.

Mungkin lebih baik begitu …. Kalau cinta sudah tidak ada di hati, untuk apa lagi mempertahankan hipokrisi di dalam rumah.

Jatuh cinta memang suatu yang aneh. Lelaki memang mahluk yang selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Berpetualang termasuk juga berpetualang dalam kehidupan cinta kasih, mungkin menjadi bagian dari tantangan hidup dan stimulan yang membuat lelaki tetap bergairah. Itu kata orang. Namun, mengapa banyak perempuan yang larut dalam jebakan petualangan cinta lelaki beristri?

Mereka bahkan seperti terlena akan bujuk rayu sehingga rela melakukan apa saja, bahkan hingga ke jenjang pernikahan resmi maupun tidak. Bukankah hal itu sangat menyakitkan bagi para perempuan lainnya (istri si lelaki dan keluarganya). Tidak pernahkah para perempuan itu berpikir, bahwa suatu saat … si lelaki akan memulai kembali petualangannya untuk mendapatkan yang ke tiga, ke empat dan seterusnya?

Apakah hanya persaingan antar perempuan atau ada motif lainnya? Salah satunya, katakanlah sebagai cara mewujudkan angan-angan untuk memiliki kemapanan status ( sebagai istri dan dalam hal financial) secara instant karena konon lelaki yang “bermain mata dan berpetualang” umumnya mereka yang sudah mapan … fisik, materi dan kejiwaan sehingga mereka sangat mampu memukau dan memanipulir perasaan perempuan.

 Di lain pihak, para perempuan yang disakiti hatinya, juga memperlihatkan reaksi yang agak sulit diterka maknanya. Mengapa mereka mati-matian mempertahankan keutuhan rumah tangga yang jelas-jelas sudah tersusupi aroma perselingkuhan. Apakah itu karena rasa cinta yang terlalu besar kepada suami, rasa kasihan kepada anak-anaknya yang mungkin akan tersia-siakan, atau  tanda ketidakmampuan perempuan untuk hidup mandiri dan keengganan kehilangan “kemapanan” baik dalam status sebagai istri maupun kemapanan finansial? Walaupun untuk itu, sebetulnya harga diri perempuan sudah tercabik-cabik.

Padahal, dari banyak perempuan yang teraniaya perasaannya, banyak pula yang tergolong ” mandiri” dalam arti kata memiliki pekerjaan yang layak sehingga mapan secara financial Entahlah … setiap orang memiliki hak untuk memilih, apapun yang melatarbelakangi keputusannya. Mungkin perlu dipikirkan, bagaimana cara agar anak perempuan kita mampu berkata “TIDAK” kepada para lelaki petualang. Terutama kepada lelaki beristri yang mencoba "mendekati".

Bukankah petualangan lelaki (yang secara langsung menyakiti hati perempuan/istrinya) merupakan salah satu bentuk non fisik dari KDRT?
Mengapa perempuan tidak memanfaatkan secara maksimal keberadaan Undang-undang tentang KDRT untuk kepentingan dirinya dari tindak kesewenang-wenangan suami?
Mengapa perempuan masih lebih suka terbuai dalam kemapanan status (sebagai istri), kemapanan keuangan dengan berbagai dalih, walaupun untuk itu perempuan lalu membiarkan KDRT terjadi di dalam rumahnya sendiri.

Kalau begitu, bagaimana mungkin para perempuan itu mampu mendidik anak-anak gadis mereka untuk “mandiri dalam segala hal” bila para ibu lebih suka menjadi “sub-ordinate“ para suami sambil membiarkan KDRT terjadi dan tidak mampu menjadi “dirinya” sendiri? Perkawinan merupakan komitmen dari dua belah pihak. Bila salah satu pihak melanggar komitmen dan setelah “diperingatkan” berulang kali namun sama sekali tidak terlihat perbaikan dan bahkan terlihat keengganan untuk kembali kepada komitmen lama atau memperbaiki/merevisi komitmen agar sesuai dengan waktu dan perkembangan kehidupan pasangan suami istri.

Masih adakah gunanya suatu pernikahan dipertahankan untuk kemudian “melahirkan” pasangan suami istri yang hipokrit? Ini baru satu bentuk “saling menyakiti” antar perempuan.. Bentuk lainnya adalah hubungan antara mertua perempuan dan menantu perempuan yang seringkali saling “cakar mencakar” untuk memperebutkan perhatian seorang lelaki. Anak lelaki dari perempuan yang satu sekaligus suami perempuan yang lain.

Waduh …. Ini juga sama rumitnya … saling bersaing apalagi kalau mereka masih hidup satu atap di perumahan Mertua Indah. Atau persaingan antara anak perempuan dengan ibunya dalam merebut perhatian bapak/suami. Duh…. Rumit euy…!!! Kumaha atuh??? Kenapa nggak saling memahami dan menghormati hak-hak satu sama lain ya….Biar aman, damai dan tenteram …. Lebak bulus, minggu 28 mei 06 – reedit senin 29 mei 2006 jam 20.25

Selasa, 16 Mei 2006

Lasagna Bolognaise


Description:
I found this recipe on internet, and it has been tested. My families and colleagues like it. so, don't hesitate to try

Ingredients:
For Pasta ;
400 grams flour
4 eggs
a pinch of salt

For the Lasagna :
1 portion of fresh lasagna (see the recipe above)
1 ½ cup freshly grated parmesan cheese
Bolognaise sauce
Bechamel sauce

For the Bolognaise sauce :
2 tablespoon butter
6 sheet smoke beef - diced
250 grams chicken’s filet, diced
½ cup chopped onion
½ cup finely chopped carrots
½ cup finely chopped celery
100 grams thinly sliced mushrooms
3 cloves garlic, minced
Pinch of dried cloves
3 tablespoon tomato pasta
4 cups chicken stock
1 ½ teaspoon salts
½ teaspoon black pepper
1 teaspoons sugar
¼ teaspoons nutmeg
½ cup heavy cream
1 cup dry white wine (or 1 cup stock in addition)

For the Bechamel
4 ½ cups milk
6 tablespoons butter
6 tablespoons flour
¼ tablespoons white pepper
¼ teaspoons nutmeg



Directions:
Make Pasta
1. Make mound with flour on your work surface and scoop out well in the middle
2. Pour eggs into the hole, add salt and work the eggs and the flour together till you have a smooth dough. Adding just a drop of water if necessary and no more.
3. Knead the dough for ten or fifteen minutes until it’s smooth, firm and quite elastic. Don’t skimp on the kneading or the dough will tear while you’re rolling it out.
4. separate the dough into four pieces. Flour your work surface and start to roll out the dough, rolling from the middle, flipping it occasionally and flouring it as necessary to keep it from sticking.
5. keep on flipping and rolling till you have a sheet that almost transparent as thin as a dime or thinner.
6. Cook the pasta in salted and oiled boiling water. Since its fresh, it will cook in 3 or 5 minutes.

Make the Bolognaise Sauce
1. In large pot, heat butter over medium heat
2. Add chicken, smoke beef and sauté, stirring constantly until light brown.
3. Add onion, carrots, celery and mushrooms and cook until soft.
4. Add garlic, cloves and nutmeg to the pan.
5. Add tomato paste and cook for an additional 2 minutes
6. Then add the stock and simmer over medium heat until sauce is thickened and flavorful
7. Season the sauce with salt, pepper and sugar to taste
8. Stir in the cream and set aside until ready to assemble lasagna.

Make the Bechamel.
1. In saucepan, melt the butter over low heat and stir the flour, stirring constantly until smooth about 2 minutes.
2. Slowly whisk the milk into the flour, stirring vigorously to blend together. Set over high heat and quickly bring to a boil for 1 minutes stirring.
3. Allow to cook another 5 minutes or until floury taste is gone. Remove from the heat and add salt, nutmeg and pepper to taste.

Build the Lasagna Bolognaise.
1. Preheat the oven to 160 degree C
2. Butter a large rectangular baking dish, then spoon some meat sauce onto bottom of the dish
3. cover with one sheet of pasta
4. Top the lasagna with a layer of meat sauce (making certain that pasta is completely covered), a layer of béchamel sauce, the a light dusting of parmesan cheese.
5. Repeat layering lasagna, sauce and cheese in the manner until all have been used. Ending with a topping of béchamel sauce and cheese.
6. Bake the lasagna covered with aluminum foil for 45 minutes and then unwrap and return to the oven for 15 minutes to reach a golden brown
7. Allow to sit 10 minutes to firm before serving.

Senin, 08 Mei 2006

Pendidikan dan masa depan anak-anak kita.


Pada setiap bulan April, anak-anak di kelas terakhir, dari mulai tingkat sekolah dasar hingga di tingkat sekolah menengah sedang disibukkan dengan try out dan ujian-ujian masuk sekolah tingkat selanjutnya termasuk untuk masuk ke universitas. Bukan saja anak-anak yang sibuk, para orangtuapun cukup disibukkan dengan ritual menjelang akhir tahun ajaran, yaitu membantu anak-anaknya agar mendapat nilai yang baik dengan cara mengawasi jam belajar, mengajari anak-anak, dan bahkan ada yang sampai berpuasa dan shalat tahajud, memohon kepada Allah SWT agar anak-anaknya mendapatkan nilai yang memuaskan atau diterima di sekolah yang dituju.

Berbeda dengan dekade sebelumnya dimana ujian saringan masuk ke sekolah lanjutan/universitas dilaksanakan setelah anak-anak selesai ujian akhir, maka sejak beberapa tahun yang lalu, sejak awal tahun kalender, sekolah dan universitas mulai jorjoran memasang iklan pengumuman penerimaan/pelaksanaan ujian dalam rangka seleksi penerimaan murid dan mahasiswa baru pada triwulan kedua. Seleksi calon murid/mahasiswa telah dilaksanakan jauh hari sebelum ujian akhir berlangsung.

Anak-anak sendiri, tidak kalah stressnya dalam menghadapi evaluasi hasil belajar. Berbagai pelajaran tambahan dalam bentuk les, seperti les matematika atau bahasa Inggris sudah rutin menghiasi hari-harinya. Tidak itu saja, demi sebuah ambisi orangtua yang berbungkus “menyalurkan bakat anak” atau “mempersiapkan diri dalam era global”, sejak kecil anak-anak sudah pula disibukkan dengan kegiatan-kegiatan tari (umumnya balet atau tari bali), les musik, les melukis bahkan sampai dengan les-les kepribadian.

Betapa lelahnya menjadi anak-anak yang hidup di bawah tekanan “mempersiapkan diri memasuki era global”. Apalagi, hidup di kota besar yang padat, membuat perjalanan dari rumah ke sekolah lalu ke tempat les menjadi sangat panjang, lama dan menjemukan. Tidak jarang ditemukan, seorang anak harus bangun pada jam 04.30 untuk shalat, mandi dan segera berangkat ke sekolah. Sarapan di mobil, di tengah antrian mobil dalam kemacetan. Usai sekolah langsung berangkat ke tempat les dan baru kembali sampai rumah sesudah hari menjelang malam, atau sekitar jam 18.00 atau 19.00. Lelah lahir dan batin. Manalagi waktu yang tersisa untuk belajar, apalagi untuk bersenang-senang.

Ini adalah potret kehidupan seorang anak dari kelas menengah dan kelas atas di Indonesia terutama yang hidup di Jakarta. Namun kelelahan dan kejemuan bukan hanya milik mereka. Hampir semua anak-anak yang hidup di kota besar, mengalami hal yang sama. Bangun pagi, sarapan seadanya kalau sempat. Anak-anak lainnya masih harus mengejar kendaraan umum yang terkadang enggan mengangkut mereka, berpeluh sambil menghirup udara kotor bertimbal, yang katanya bisa menurunkan kecerdasan. Bahkan tidak jarang terlihat anak-anak usia sekolah masih berkeliaran, menjajakan koran atau bahkan menjajakan suara dalam lagu yang kadang tak jelas benar apa maknanya, di jalanan hingga larut malam untuk mengetuk belas kasih pengendara mobil. Entah orang tua mana yang tega membiarkan mereka kehilangan masa kanak-kanak yang ceria. Kemiskinan, mungkin telah membuat mereka tidak berdaya.

Begitu beratnya kehidupan yang harus dijalani anak-anak, hingga mereka sama sekali tidak lagi sempat mengikuti naluri alamiahnya, yaitu bermain, mengeksplorasi keingintahuannya dalam kegiatan yang sesuai dengan usianya. Yang paling parah, kegiatan mencari uang, cepat atau lambat, berdampak pada pemahaman mereka tentang uang dan pendidikan. Menyimak dua sisi yang jauh berbeda ini, terbersit pertanyaan, untuk apa sebenarnya semua “kehebohan” ini?

Ambisi orang tua.
Pendidikan dan masa depan anak-anak tidak pernah lepas dari perhatian para orang tua. Siapapun mereka dan dari kalangan apapun mereka. Orang tua akan selalu berharap bahwa anak-anak mereka, suatu waktu kelak, akan mencapai “kesuksesan” sebagaimana yang telah mereka raih. Bahkan di kalangan miskin, harapan ini semakin bertambah dengan keinginan agar anak-anak itu tidak lagi mengalami kepahitan hidup orang tuanya dan kalau mungkin menjadi “alat” dari orang tuanya untuk keluar dari jaring kemiskinan. Demi sebuah masa depan yang kita semua tidak tahu, maka seorang anak “dipaksa” sejak dini untuk mulai dibentuk sesuai dengan “imaginasi dan ambisi” orang tua akan masa depan yang nantinya akan dihadapi oleh anak.

Masa depan yang bagaimana yang akan dihadapi oleh si anak di masa yang akan datang?
Dalam pemikiran yang sangat sederhana, masa depan yang dihadapi oleh seorang anak adalah; dia harus bisa melepaskan diri dari ketergantungannya kepada orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk di antaranya adalah kebutuhan sandang pangan dan papan. Bahkan kemudian, sesuai dengan kodrat yang ditetapkan dalam penciptaan manusia, maka si anak akan menikah dan beranak pinak, mengulangi siklus kehidupan manusia. Jadi, seluruh perjalanan hidup sejak kecil, bertumbuh menjadi kanak-kanak, remaja lalu beranjak dewasa lengkap dengan segala kegiatan fisik, maupun rohani, apakah itu bentuknya olah pikiran, yaitu bersekolah atau sekedar olah otot membantu orang tua bekerja di kebun/hutan, kesemuanya merupakan suatu latihan dan proses yang harus dijalani anak manusia untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut.

Andreas Harefa, salah seorang pelopor gerakan manusia pembelajar, dalam salah satu buku karangan, menyatakan bahwa pendidikan, seyogyanya harus mampu menjadikan masyarakat menjadi mandiri namun tidak menjauhkannya dari alam dan lingkungan dimana dia berada.

Kalau tujuan akhirnya adalah kemandirian baik secara fisik, emosional maupun keuangan, apalagi dengan prasyarat “tidak menjauhkan dari alam dan lingkungan dimana dia berada”, maka ada banyak cara untuk menuju kesana dan sekolah hanya merupakan salah satu cara saja. Dan sekolah yang terbaik adalah sekolah yang mengakar kepada kebutuhan dan alam dimana peserta didik itu berada.

Dengan logika yang sederhana itu pula,  dan dalam kasus yang sangat ekstrim, kita kemudian dapat mempertanyakan, apakah sekolah bagi anak-anak suku anak dalam di Jambi atau anak-anak suku Dani di lembah Baliem, harus memiliki kurikulum yang sama dengan anak-anak di pulau Jawa? Tidak perlu terlalu jauh membandingkan dengan kebutuhan anak sekolah di pulau Jawa. Apakah sekolah yang dibutuhkan mereka sama dengan kebutuhan anak-anak sekolah di salah satu kota kabupaten di Sulawesi. Apakah mereka juga harus mengikuti kurikulum standar dari Diknas serta mengikuti ujian nasional? Apakah memang mereka membutuhkan hitungan-hitungan rumit a la anak-anak sekolah di kota-kota besar, sementara kebutuhan riel yang mereka hadapi adalah cara bertahan hidup di tengah hutan. Mereka membutuhkan keterampilan mengolah alam bukan hitung-hitungan matematika yang rumit. Pendapat ini mungkin dianggap sebagai “pelanggaran terhadap hak asasi manusia”. Menghambat kemajuan putera daerah.

Tetapi marilah kita berpikir secara rasional dan realistis. Berdasarkan penelitian, hanya ada 15% manusia yang bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang sarjana ke atas terutama ditinjau dari sisi kemampuan akademik. 85% lainnya adalah manusia yang memang hanya mampu menempuh pendidikan menengah dan rendah, baik karena kemampuan akademis maupun finansial. Bagi anak-anak seperti ini, maka yang diperlukan adalah eksplorasi kemampuan ”non akademis”, berupa pengajaran praktis – keterampilan yang langsung dapat dimanfaatkan sebagai bekal menata kehidupan di masa depan. Sekaligus juga untuk mengeksplorasi ”bakat-bakat terpendam” mereka.  Bagi anak-anak seperti ini, sekolah umum cenderung membelenggu dan mematikan kreatifitas manusia.

Konon pula, keberhasilan Jepang dan Jerman untuk bangkit dari kehancuran total setelah perang dunia ke dua disebabkan karena pemerintah kedua negara tersebut menaruh prioritas pembangunan pendidikan jenjang menengah terutama pada pendidikan kejuruan. Bukan kepada pendidikan tinggi dengan gelar-gelar yang mentereng. Konsentrasi pembangunan tenaga menengah pada gilirannya, mampu meningkatkan jumlah tenaga terlatih kelas menengah yang kemudian menopang kebangkitan industri di kedua negara tersebut.

Sayangnya, paradigma pendidikan Indonesia cenderung ”menghamba” kepada gelar akademis. Bukan kepada proses dan kompetensi. Setiap orang dicekoki oleh paradigma bahwa menjadi sarjana adalah jaminan masa depan yang lebih cerah. Hal ini dilakukan tanpa melihat kondisi geografis, demografi, sosial, budaya serta distribusi ekonomi Indonesia yang kurang merata. Tidak heran bila akhirnya, semua orang berebut dan berlomba-lomba masuk universitas agar kelak menjadi sarjana. Kualitas lulusan SMApun semakin menurun, karena kualitas sekolah ditentukan oleh seberapa banyak lulusannya yang diterima di universitas terkemuka Indonesia, bukan oleh proses belajar-mengajar. Sebagian besar sekolah lebih bangga dengan status kelulusan 100% dibandingkan dengan kualitas lulusan. Tidak heran, saat para lulusan SMA tidak mampu melalui ujian saringan masuk Universitas berkualitas, maka universitas ”cap dua kendi” (ini istilah yang selalu digunakan Budi Tampubolon, untuk menekankan sesuatu yang buruk kualitasnya) pun dimasuki. Akhirnya, gelar sarjana tidak lagi mencerminkan kompetensi para penyandangnya.

Bahkan yang lebih menyedihkan, penghambaan kepada gelar ini merambat kepada golongan menengah dan para birokrat terhadap jenjang pendidikan lebih tinggi lagi, yaitu terhadap gelar magister (S2), doktor (S3) dan professor. Semua orang, sekarang berebut untuk menyandang gelar profesi sebagai guru besar.

Konon, di negara maju seperti Perancis, banyak anak muda yang tidak memiliki ijasah bacalaureat (berhasil lulus dari sekolah setara SMA) yang menjadi ”tiket” masuk universitas/grande ecole. Toh lulusan sekolah mereka, pada jenjang manapun juga memiliki keterampilan yang memadai untuk bekerja. Walaupun dengan persyaratan ketat ”kompetensi”, seperti misalnya; bekerja sebagai tukang potong dagingpun wajib memiliki sertifikat yang menandai pengetahuannya tentang tubuh binatang dan bagaimana menghasilkan potongan-potongan daging yang baik dan benar dari setiap bagian tubuh binatang tersebut.

Masalahnya, perbedaan tingkat sosial di Indonesia terlalu besar dan berbagai kebijakan yang dibuat terlalu berorientasi pada kebutuhan golongan menengah ke atas yang memang sudah memerlukan pendidikan dengan wawasan global. Sementara itu, seperti sering dikatakan, 80% penduduk Indonesia hidup di pedesaan dan bahkan hingga di pelosok gunung/pedalaman hutan perawan dan pesisir pantai yang jauh dari jangkauan modernisasi yang melanda kota besar. Pendidikan kepada mereka tentu harus disesuaikan dengan kebutuhan riel lingkungan hidup mereka yang dekat dengan alam. Yaitu kebutuhan pendidikan yang berbasis kompetensi untuk memanfaatkan alam sehingga mereka mampu menggunakan sumber daya alam sekelilingnya untuk kemudian meningkatkan taraf hidupnya. Ini mungkin lebih realistis daripada mendapat pendidikan akademis yang terasa absurd bagi rakyat kebanyakan.

Betapa besarnya kerugian bangsa ini bila para pengambil kebijakan tidak dapat menangkap esensi pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia yang memang beragam tingkat sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Kebutuhan akan pendidikan yang mampu membuat anak-anak Indonesia mandiri dan responsif terhadap lingkungan dimana mereka besar dan tinggal. Pendidikan yang mampu menahan mereka untuk tetap tinggal di kota tempat mereka lahir dan dibesarkan, mengembangkan potensi daerahnya masing-masing dibandingkan dengan keinginan berbondong-bondong melakukan urbanisasi ke kota besar. Pendidikan yang mampu membuat seluruh anak Indonesia merasa sama tinggi sama derajat dimanapun mereka berada dan apapun profesinya.

Bila ini bisa diterapkan, tentu bangsa ini tidak akan mengalami kerugian akibat ketidak seimbangan antara biaya dan waktu yang terbuang dengan hasil pendidikan yang diperoleh peserta didik. Sampai kapan ini akan berlangsung?

Diselesaikan di lebak bulus – jakarta selatan, 5 mei 2006  


Rabu, 03 Mei 2006

Back to Campus? Why not..??


Minggu lalu, saya dapat email lagi dari Tiu, teman kuliah seangkatan, di arsitektur dulu. Untuk yang kedua kali, dia meminta saya untuk jadi Reviewer tugas mahasiswa dalam mata kuliah Real Estate, khususnya untuk study kelayakan proyek. Bidang ini memang pekerjaan saya selama lebih dari 15 tahun.

Kembali ke kampus dan berbagi pengetahuan dengan mahasiswa, rasanya sangat menyenangkan. Teringat masa 20 tahun yang lalu saat membimbing mahasiswa jurusan Interior Trisakti melaksanakan kerja praktek di kantor  saya yang pertama. Melibatkan mereka menyiapkan dokumen tender yang mencakup design, anggaran biaya, time schedule serta membimbing penyusunan laporan kerja praktek. Yang sangat mengharukan adalah saat mereka berkunjung lagi ke kantor dan mengucapkan terima kasih. Nilai kerja praktek mereka mendapat nilai A. Dan itu yang pertama kali terjadi di jurusan tersebut, karena apa yang tersaji dalam laporan tentang pengalaman selama kerja praktek serta dokumen pelengkapnya memang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan jurusan. Ada rasa haru, karena pengalaman yang mereka dapatkan selama kerja praktek itu bisa menjadi referensi kerja praktek bagi generasi selanjutnya.

Saya beruntung, bisa meluangkan waktu, keluar dari kantor sepanjang pagi tanpa ada keberatan dari pemilik perusahaan. Toh hanya 1x per semester .. Jadi, tidak mengganggu jadwal kerja. Apakah ini jalan bagi saya untuk beralih profesi ...? Entahlah ... masih jauh dari bayangan.

Kelihatannya, dunia kampus memang menyenangkan ... terlihat santai, egaliter dan lebih fleksibel dalam mengatur waktu. Yang lainnya .... ?? Namanya bekerja, pasti akan selalu ada intrik, pengelompokan minat dan persaingan ... 

Repotnya ..., masa iya sih bapak-ibu dan anak, semuanya jadi guru/dosen? Sepertinya ... sempit sekali dunia kerja/profesi yang bisa dimasuki? Cukup suami dan anak sajalah yang masuk ke dunia pendidikan.....

Selasa, 02 Mei 2006

Confession of an Economic Hit Man


Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Reference
Author:John Perkins
Editorial Reviews

Amazon.com
John Perkins started and stopped writing Confessions of an Economic Hit Man four times over 20 years. He says he was threatened and bribed in an effort to kill the project, but after 9/11 he finally decided to go through with this expose of his former professional life. Perkins, a former chief economist at Boston strategic-consulting firm Chas. T. Main, says he was an "economic hit man" for 10 years, helping U.S. intelligence agencies and multinationals cajole and blackmail foreign leaders into serving U.S. foreign policy and awarding lucrative contracts to American business. "Economic hit men (EHMs) are highly paid professionals who cheat countries around the globe out of trillions of dollars," Perkins writes. Confessions of an Economic Hit Man is an extraordinary and gripping tale of intrigue and dark machinations. Think John Le Carré, except it's a true story.
Perkins writes that his economic projections cooked the books Enron-style to convince foreign governments to accept billions of dollars of loans from the World Bank and other institutions to build dams, airports, electric grids, and other infrastructure he knew they couldn't afford. The loans were given on condition that construction and engineering contracts went to U.S. companies. Often, the money would simply be transferred from one bank account in Washington, D.C., to another one in New York or San Francisco. The deals were smoothed over with bribes for foreign officials, but it was the taxpayers in the foreign countries who had to pay back the loans. When their governments couldn't do so, as was often the case, the U.S. or its henchmen at the World Bank or International Monetary Fund would step in and essentially place the country in trusteeship, dictating everything from its spending budget to security agreements and even its United Nations votes. It was, Perkins writes, a clever way for the U.S. to expand its "empire" at the expense of Third World citizens. While at times he seems a little overly focused on conspiracies, perhaps that's not surprising considering the life he's led. --Alex Roslin

From Publishers Weekly
Perkins spent the 1970s working as an economic planner for an international consulting firm, a job that took him to exotic locales like Indonesia and Panama, helping wealthy corporations exploit developing nations as, he claims, a not entirely unwitting front for the National Security Agency. He says he was trained early in his career by a glamorous older woman as one of many "economic hit men" advancing the cause of corporate hegemony. He also says he has wanted to tell his story for the last two decades, but his shadowy masters have either bought him off or threatened him until now. The story as presented is implausible to say the least, offering so few details that Perkins often seems paranoid, and the simplistic political analysis doesn’t enhance his credibility. Despite the claim that his work left him wracked with guilt, the artless prose is emotionally flat and generally comes across as a personal crisis of conscience blown up to monstrous proportions, casting Perkins as a victim not only of his own neuroses over class and money but of dark forces beyond his control. His claim to have assisted the House of Saud in strengthening its ties to American power brokers may be timely enough to attract some attention, but the yarn he spins is ultimately unconvincing, except perhaps to conspiracy buffs.
Copyright © Reed Business Information, a division of Reed Elsevier Inc. All rights reserved.


BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...