Kamis, 23 Agustus 2007

“Escort Boy”, Penunjang keberhasilan?

Hari ini, Sabtu 18 Agustus 2007, majelis rumpi dibuka kembali. Mestinya classe conversation dimulai Sabtu tanggal 11. tapi karena hari sabtu pada minggu yang lalu tanggal merah, maka kelas rumpi baru dimulai hari ini.

Esti … (entah siapa dia), guru yang harusnya mengajar, tanpa alasan yang jelas, ternyata juga tidak hadir. Dia diganti oleh Esther yang konon kabarnya bekerja di Ambassade de FranceJakarta. Esther pernah masuk kelas kami saat kelas masih dipegang Hapsari. Orangnya rame, jadi cocok untuk ngajar di classe conversation. Hari Sabtu ini, Esther masuk dengan setumpuk artikel untuk bahan obrolan kami.

Salah satu artikel yang menjadi pembuka obrolan adalah copy dari majalah Femme Actuelle terbitan tahun 2000 judulnya “Elles ont loue un homme de compagnie pour un soir.[1]. Isi artikel tersebut tentang kecenderungan perempuan pelaku bisnis di Perancis menyewa lelaki (escort) untuk menemaninya dalam menghadiri pertemuan bisnis yang diselenggarakan pada malam hari dan biasanya berupa makan malam. Alasan mereka menyewa seorang escort boy, bermacam-macam, Ada yang dikarenakan sang suami sedang berada di luar kota sehingga tidak dapat mendampingi istrinya. Atau karena si suami dianggap “kurang gaul dan kurang intelek” sehingga dikhawatirkan malah “merusak” suasana atau bisa juga karena hubungan pasangan suami istri tersebut memang sedang bermasalah. Dalam kondisi seperti ini, tentu tidak mungkin mengharap suami mau mendampingi istri bertemu dengan para kolega bisnisnya.

Dari beberapa kesaksian dalam artikel tersebut, semuanya mengakui bahwa keberadaan escort boy telah melancarkan perundingan yang dilakukan. Agak mengherankan, bahwa deal yang dilakukan oleh perempuan pebisnis di Perancis harus melibatkan lelaki. Entah apakah lelaki itu berstatus suami dari perempuan pelaku bisnis atau hanya sekedar escort.

Escort sebetulnya bukan profesi baru. Awalnya, escort adalah profesi yang dijalani oleh perempuan yaitu sebagai pendamping pelaku bisnis (lelaki) dalam berbagai pertemuan dan perundingan. Mereka umumnya perempuan-perempuan yang dianggap sangat mengenal “tata karma” dalam melayani lelaki terutama dalam menghidupkan suasana pertemuan dengan obrolan-obrolan yang “berbobot”. Pendek kata, mereka adalah perempuan yang “paripurna” dalam melayani kebutuhan lelaki. Geisha di Jepang merupakan salah satu contoh profesi “escort”.

Tahun 1970an, di Hong Kong, jasa escort sudah diiklankan secara terbuka baik di koran maupun dalam yellow pages. Namun di Indonesia, bahkan hingga saat ini escort tidak pernah terlihat mengiklankan diri. Namun orang-orang tertentu yang bertugas mencari escort pasti sangat paham apa, bagaimana dan dimana mencarinya..tidak mengherankan bila kemudian, karena sifat pekerjaannya tersebut, maka “lady escort” memang sangat dekat dengan prostitusi kelas tinggi. 

Entah kapan lelaki mulai tertarik untuk menekuni profesi sebagai escort boy. Mungkin sejak banyak perempuan mulai memimpin perusahaan sehingga mereka mau tidak mau harus melakukan serangkaian pertemuan-pertemuan dan perundingan-perundingan “tingkat tinggi” terutama yang dilaksanakan pada malam hari.

Namun demikian, alasan penggunaan jasa escort yang dilakukan lelaki dan perempuan memiliki perbedaan yang sangat besar. Kaum lelaki hampir dipastikan memerlukan jasa lady escort dalam setiap “pertemuan” bisnis yang dianggap penting dan menguras pikiran dengan harapan agar sang “lady escort” dengan segala kepiawaiannya dapat menghidupkan suasana yang tegang, mencairkan kebuntuan perundingan, memuluskan dan bahkan mempengaruhi para pengambil keputusan agar berpihak pada kepentingan pihak yang menyewanya dengan cara yang tidak pernah bisa kita bayangkan.

Sementara itu, perempuan membutuhkan escort boy disebabkan oleh pandangan dan kelaziman bahwa perempuan tidak pantas berada di luar rumah pada malam hari walaupun hal itu dilakukan murni untuk suatu pertemuan bisnis. Seperti dikatakan dalam artikel yang dibahas tersebut, yaitu “Venir non accompagnee a un diner d’affairs serait mal percu: une femme seule, c’est suspect, cela fait opportuniste, dragueuse, prêt a tout faire pour decrocher un contrat… elle n’est pas prise au serieux. On la regarde de travers[2]

Alasan ini terasa sangat melecehkan kemampuan perempuan dalam bekerja dan sangat mengherankan bila di negara maju seperti Perancis sekalipun, pandangan masyarakat bisnis terhadap perempuan masih sangat konservatif. Entah apa latar belakang dari pandangan tersebut. Bisa jadi karena “label” yang melekat pada masa lalu. Perempuan adalah “bunga” kehidupan lelaki. Bukan sebagai subyek tetapi lebih dipandang sebagai obyek.

Mereka yang berprofesi sebagai escort, bertugas sebagai “penyemarak” pesta. Bisa dikonotasikan sebagai perempuan penghibur, Obyek kesenangan lelaki dan persepsi tersebut masih tetap kuat terekam dalam lingkungan bisnis yang notabene “dikuasai” para lelaki. Padahal, waktu berjalan terus dan begitu banyak perubahan yang terjadi di dunia bisnis dan kemampuan perempuan dalam mengelola perusahaan/bisnis tidak perlu diragukan lagi. Tidak ada perbedaan kemampuan antara perempuan dan lelaki dalam menyelesaikan pekerjaan.

Atau mungkinkah bahwa masih kuatnya persepsi “perempuan harus didampingi lelaki” dalam melakukan bisnis, merupakan bukti ketidaksiapan lelaki menerima kekalahan dari mahluk bernama perempuan. Bahwa perempuan memiliki kemampuan ganda, yaitu sebagai pelaku bisnis sekaligus penyemarak suasana. Bahwa sebetulnya, untuk memenangkan suatu “business deal”, perempuan tidak memerlukan escort boy yang berfungsi untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Hal yang tidak dimiliki lelaki karena lelaki, sekali lagi ....karena lelaki, sepanjang jaman selalu membutuhkan lady escort dalam hampir setiap business deal.

Entahlah!!! Apakah hal ini menguntungkan atau malah melecehkan perempuan?

Lebak bulus 18 Agustus 2007 jam 22.25



[1] Mereka menyewa lelaki pendamping untuk suatu pertemuan (malam hari)
[2] (Perempuan yang) Hadir tanpa pendamping dalam acara makan malam bisnis, dianggap kurang layak. Perempuan sendiri, dicurigai, dianggap opportunist, penggoda, siap melakukan apapun untuk memperoleh kontrak. Dia tidak dianggap serius dan disepelekan.

3 komentar:

  1. bisa both ways kali gag siy tante Lina? tergantung point of viewnyah
    TFS yhaaa

    BalasHapus
  2. Gak tahu tuh. Saya cuma sebel aja. Ternyata lelaki Eropa masih menempatkan perempuan sebagai sub ordinate nya

    BalasHapus
  3. batasannya sampai mana ya? apakah boy/lady escort juga membantu memberikan pandangan dari segi resiko dan keuntungan bisnis? atau cuma penyemarak pesta aja?

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...