Senin, 29 Januari 2007

Berbagi Malam

Malam ini, seperti malam Jum’at lainnya saat tidak ada halangan atau acara, kami ”pisah ranjang” sementara. Saya tidur sendiri atau mengajak anak tidur di kamar kami mengisi bagian tempat tidur yang kosong. Sementara suami mengungsi ke rumah ibunya, menginap disana dan langsung berangkat ke kantor keesokan harinyanya, seusai menemani ibunya sarapan pagi.


Hal ini sudah berlangsung sekitar 4 tahun, yaitu sejak ibunya yang saat ini sudah berusia 85 tahun terkena stroke dan dirawat di RSCM. Jadi sejak itu, seluruh anak lelakinya yang berjumlah 6 orang bersepakat untuk secara bergantian menginap di rumah ibu mereka. Agar bila terjadi sesuatu di malam hari, ada lelaki yang ”bergerak” mengurusi berbagai hal yang diperlukan. Maklum saja, ibu mertua saya sekarang tinggal di rumah hanya dengan perawat  yang menemaninya selama 24 jam. Siang hari ada Nelly untuk membantu membereskan pekerjaan rumah. Sebetulnya ada Bayu cucunya yang ikut tinggal dengannya. Tapi ... mana ada anak muda yang betah di rumah menemani nenek-nenek pikun. Jadi seusai kuliah, yang entar sampai jam berapa itu, dia umumnya baru akan tiba di rumah menjelang tengah malam atau rata-rata sekitar jam 22.00..


Entah sampai kapan jadwal menginap itu akan berlangsung dan masih dipatuhi mereka karena ternyata, tidak selamanya berjalan dengan lancar. Lama kelamaan, beberapa dari istri-istri mereka mengeluh akan ”kewajiban” berbagi malam dengan ibu mertua. Maklumlah, jaman sekarang jamannya ”kemandirian keluarga inti”. Anak-anak yang sudah menikah, terutama yang hidup di kota besar, membentuk keluarga inti yang solid. Keluarga yang betul-betul melepaskan diri dari ”pengaruh” keluarga besarnya. Begitu pula adanya dengan kehidupan kami pada lima belas tahun pertama perkawinan.


Seiring dengan berjalannya waktu, ada perubahan persepsi dalam melihat hubungan antara anak dan orangtua yang semakin lanjut usia. Suami saya, terutama, melihat bahwa menemani dan merawat orangtua saat mereka sudah tua dan pikun, ibarat mendapat kesempatan dari Allah SWT untuk meraih ”pahala surga”. Akankah kita kita raih dan dan genggam kesempatan itu atau kita tampik begitu saja. Itu sebabnya suami akan marah sekali kalau kami secara tidak sengaja ”salah ngomong” dan dianggap meledek rutinitasnya tidur di rumah ibunya.


”Nggak usah ngeledek!!! Bayangkan kalau kamu tua nanti dan anakmu sama sekali tidak mau merawat atau bahkan untuk sekedar menengok ibunya”, sahutnya ketus menanggapi ”kesalahan omong” itu. Padahal ledekan itu hanya karena keisengan kami saja. Bukan disebabkan karena kami (anak dan istrinya) berkeberatan.


Tapi... mungkin ada benarnya juga apa yang dikatakannya itu. Saya selalu meyakini bahwa orangtua adalah cermin bagi anak-anaknya dan apa yang dilakukan orangtua akan menjadi contoh bagi anak-anaknya. Bahkan perhatian dan kasih sayang serta kedekatan hubungan antara orangtua dengan anak akan berbalas dengan hal yang sama saat kita tua nanti. Artinya, bila saat anak-anak masih kecil lebih banyak diasuh dan diurus oleh pengasuhnya, maka kelak saat kita tua nanti maka si anak akan lebih suka menempatkan orangtuanya ke rumah jompo dibandingkan dengan mengurus orangtuanya di rumah dengan alasan yang sebetulnya sangat logis. Supaya para manula memiliki kegiatan bersama di lingkungan yang terjamin. Padahal .. tidak semua orangtua suka berada di panti jompo. Mereka tentu akan lebih suka berada di tengah keluarga bersama anak dan cucu-cucunya serta tinggal di lingkungan yang familiar. Kita mungkin akan berdalih macam-macam untuk menghindari ”kewajiban” mengurus atau tinggal dengan orangtua di kala mereka tua. Yang paling umum adalah dalih ”kemandirian” keluarga dan menghindari konfllik antara menantu-mertua. Memang inipun bukan hal yang mudah untuk dijalani.


Ketika usia sudah mencapai ½ abad, saya seringkali tepekur, bagaimana kelak kami akan menghabiskan masa tua. Akankah kami menghabiskan masa tua di tengah anak – menantu dan cucu-cucu? Ataukah harus menghabiskan waktu dalam kesendirian. Bisa jadi kemungkinan kedua yang akan terjadi. Anak lelaki dan menantu saya sudah memastikan tidak bermaksud tinggal di Indonesia. Tapi, banyak rahasia hidup yang berada di dalam genggaman Allah SWT. Siapa tahu saat kami tua nanti, si anak hilang itu akan kembali tinggal di Indonesia bersama anak – istrinya. Untuk sementara, yah... jalani saja hidup ini sebagaimana adanya.


Lebak bulus, 25 Januari 2007 jam 23.45[1]

[1] 22.45 adalah jam kelahiran anak pertama kami..

Bersyukur nggak jadi ke Jogja?!

“Ma …., jangan pergi ke Jogja ya…!”, begitu pinta gadis kecil saya saat kami mengantarnya ke sekolah.

”Kenapa...? Kan sudah bilang sama bu Mei, selama mama dan bapak pergi, kamu berangkat sekolah dijemput sama bang Dharma atau bang Munir. Kan cuma tiga hari. Nanti hari Senin sudah diantar mama dan bapak lagi”, jawab saya
”Aku sebetulnya lebih suka diantar sama mama dan bapak daripada sama bang Dharma atau bang Munir”.
”Ya sudah, banyak doa aja......... doa’in supaya mama nggak jadi ke Jogja”, menenangkannya.
Itulah cuplikan pembicaraan kami pada hari Kamis pagi.
***
Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor, kami mengantar gadis kecil kami ke sekolah di bilangan Karang Tengah Jakarta Selatan. Pulangnya, dia diantar dengan kendaraan dari sekolah.

Akhir bulan ini, suami saya harus ke Ciloto, ada raker jurusan. Sementara saya, pada waktu yang sama diminta untuk ikut training mengenai perminyakan selama 4 hari di Jogja. Itu sebabnya, minggu lalu secara hati-hati kami sudah meminta pengertiannya untuk bersedia berangkat sekolah dengan mobil jemputan dari sekolah.  

Dulu, saat masih seumurnya, saya dan adik-adik sering ditinggal orangtua keluar kota untuk beberapa hari hingga 1 minggu. Sebelum berangkat, ibu saya akan mengeluarkan bajunya dan meminta saya untuk dijadikan alas kepala saat  2 orang adik terkecil tidur.

”Supaya nggak nyariin ibunya saat malam”, begitu kata ibu saya.
Tapi, jaman itu, orangtua rata-rata memiliki banyak anak. Orangtua saya memiliki 6 orang anak yang umurnya masing-masing hanya berbeda 1½ tahun saja dan mertua saya memiliki 11 orang anak dengan perbedaan umur yang sama. Jadi kalaupun orangtua tidak ada, suasana di rumah bisa dipastikan selalu riuh rendah. Apalagi akan selalu ada anggota keluarga lain (salah satu adik orangtua kami atau sepupu) yang dengan senang hati menemani kami di rumah.

Jaman sekarang, setiap orangtua hanya memiliki maksimal 3 anak saja dan jarang ada anggota keluarga yang bersedia menemani anak-anak. Mungkin ada pengasuh, tapi kedua anak saya tidak pernah ditangani pengasuh. Itu sebabnya, dia tidak pernah merasa nyaman bila orangtuanya tidak berada di rumah.

Memang agak berbeda dengan anak lelaki saya. Dulu, walaupun saat bayi hingga umur 1½ tahun saya asuh sendiri, namun saat kembali ke Indonesia, saya tinggal bersama orangtua (sebelum pindah ke rumah sendiri) selama 5 tahun. Selama waktu itu, ada ”banyak tangan” yang ikut mengasuhnya, yaitu adik-adik saya yang semuanya belum menikah. Semua memanjakannya. Jadi dia dengan sangat nyaman berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain dan bergaul ditengah lingkungan orang dewasa. Bahkan setiap akhir minggu, dia meninggalkan kami orangtuanya untuk pergi berlibur ke Bandung dengan kakek/nenek dan oom/tantenya. Maklumlah... cucu pertama di keluarga.

Sedangkan anak kedua lahir sebagai cucu ke 9 dari 12 orang cucu ibu saya. Sejak kecil dia tidak mengenal pengasuhan orang lain selain ibunya. Apalagi selama 13 bulan dia ikut kekantor dan baru ditinggal di rumah saat sudah berumur 15 bulan. Itupun, saat pulang kantor, dia sepenuhnya saya urus sendiri. Itu sebanya dia tidak merasa nyaman bersama ”orang asing”    
***

Jum’at pagi, Yana menelpon saya;
”Mbak ... kata bu Ana, trainingnya akan dibikin ”in house”  dan ”taylor made” aja. Jadi bisa lebih banyak orang yang ikut, materinya juga kita pilih sesuai dengan kebutuhan saja dan ibu-ibu itu nggak perlu meninggalkan kantor terlalu lama”
”Oh ... bagus deh .... dan saya nggak perlu membuat anak saya bersedih ditinggal ibunya”
***

Tadi pagi, saat mengantarnya sekolah, saya turun dari mobil untuk menemui ibu Mei, membatalkan permintaan jemputan.
”Tumben, kok mama ikut turun?”
”Mau ngomong ke ibu Mei”
”Ada apa?”
”Ah... mau tau aja...”
”Ih mama, pake rahasia lagi....”
”Mau bilang ... mama nggak jadi ke Jogja!, Jadi nggak perlu jemputan lagi”
”Bener ma....? Asyikkkkk... aku nggak perlu dijemput bang Dharma!!!”

lebak bulus 26 Januari 2007 jam 22.25

Kamis, 25 Januari 2007

Pendidikan Anak

Mereka yang pernah ikut leadership training, mungkin pernah diajak simulasi bahwa kata-kata yang kita bisikan kepada seseorang disebelah kita dan kemudian ditransfer kepada orang lain secara berantai dan dalam hitungan menit saat tiba pada orang ke lima (misalnya); akan berubah susunan katanya. Masih mending kalau kesemuanya tidak merubah arti dan makna dari kalimat yang ingin disampaikan. Bayangkan kalau terjadi penyimpangan arti.

Begitu juga tatkala kita membaca sebuah buku dan mendiskusikan isi buku tersebut beramai-ramai, maka atas satu judul buku  dengan isi yang sama akan muncul beragam tanggapan sesuai dengan interpretasi dan sudut pandang masing-masing orang. Dan begitu pula kala kita ingin megupas suatu masalah dan mengutip kalimat atau bagian dari ucapan narasumber sebagai salah satu referensi dari tulisan kita, maka kita akan mengutip hanya sebagian kecil dari isi buku/ucapan narasumber yang bisa “memberikan tekanan/dukungan” atas bahasan yang kita kemukakan. Itu sebabnya, dalam menafsirkan sesuatu, kita dianjurkan juga untuk meneliti “asal-usul atau sebab-sebab” dari timbulnya suatu tulisan dan atau pernyataan sang narasumber

Beberapa waktu yang lalu, tulisan saya berjudul “Ruang Kosong dalam Kehidupan”,  mendapat tanggapan yang cukup menarik dari seorang bapak muda. Saya sebut muda, bila dibandingkan dengan usia saya. Menarik, karena tanggapan itu membuktikan kepada kita semua akan beberapa hal, antara lain betapa pentingnya “mengetahui” latar belakang sebuah tulisan apalagi bila tulisan itu dibuat berdasarkan “fakta”. Kemudian bahwa dalam membaca sebuah karya tulis, setiap memiliki sudut pandang yang berbeda.

Yang beruntung, saya lagi… hahaha, karena berdasarkan tanggapan itu, saya memiliki ide lagi untuk menuliskan sesuatu.  Jadi …. Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Nah tulisan baru itu, selengkapnya begini :
***

Terima kasih atas tanggapan anda[1] atas tulisan saya “Ruang Kosong dalam Kehidupan”[2] di suatu milis alumni. Tulisan anda sangat menarik perhatian saya untuk menanggapi secara personal. Apa yang anda katakan membuat ingatan saya kembali menerawangi masa sekitar 15 tahun yang lalu. Masa ketika anak lelaki saya seusia anak anda saat ini. Namun tanggapan ini saya kirim via japri dengan beberapa tembusan kepada teman-teman yang memiliki anak seusia SD. Saya tidak ingin berpolemik tentang pendidikan anak di milis terbuka. Saya bukan pendidik dan apa yang saya tuliskan hanyalah petikan dari pengalaman pribadi/teman ditambah dengan pengamatan lingkungan saja. Memang petikan cerita yang ditulis tidak akan menggambarkan secara penuh hubungan anak – ibu atau istri – suami, tetapi merupakan episode pendukung dari inti tulisan yang dimaksud. Saya juga tidak ingin kerepotan menjawab bila ada yang mengulas dari sudut akademis. Tapi saya tidak berkeberatan untuk berdikusi dan berbagi pengalaman dengan siapapun.

Pertama-tama, dengan tulus hati, saya ucapkan selamat …. bahwa sampai saat ini anda sudah berhasil mendidik 2 (dua) orang anak yang masih bersekolah di SD, titipan Allah SWT menjadi anak yang baik, pandai, mandiri dan tidak putus berkomunikasi dengan orangtua walaupun hanya melalui telpon dan sms. Juga karena anda dan istripun merasa tidak putus berkomunikasi dengan anak, terutama saat berada di luar rumah. Semoga semuanya berjalan lancar.

Ada baiknya saya bercerita juga mengenai latar belakang tulisan “Ruang Kosong Kehidupan” tersebut. 2 anak saya, lelaki dan perempuan. Keduanya masing-masing tumbuh sebagai “anak tunggal” karena mereka berselisih 15 tahun. Anak lelaki, alhamdulillah, selesai kuliah Matematika di QUT, 2 tahun lalu. Itupun setelah dia “membelot” dari jurusan Electro yang telah diikutinya selama 2½ tahun. Sekarang dia sudah menikah dan tinggal di Cairn. Sementara anak perempuan masih duduk di bangku kelas 4 SD. Tinggal di Jakarta dengan bapak/ibunya yang keduanya sudah berusia lebih dari ½ abad.

Mengurus anak kedua saat ini, walaupun sudah memiliki pengalaman sebelumnya ternyata tidak juga membuat saya merasa nyaman. Selalu saja ada perasaan berdosa, manakala melihat wajah tak berdosa itu sedang tidur. Betapa saya, ibunya, tidak memiliki waktu yang cukup bagi anak-anak. Padahal, saya tidak pernah mempunyai pengasuh khusus bagi kedua anaksaya, saat mereka masih bayi dan balita. Bahkan, mulai bekerja kembali setelah melahirkan, saya diijinkan untuk membawa bayi ke kantor. Maka saat itu, anak perempuan saya menjadi karyawan termuda …  dan itu berjalan selama 13 bulan.

Anak lelaki, saat kecil bersekolah di SDN Jakarta Pusat. Sekolah Dasar Negeri yang kualitasnya tidak perlu diragukan. Dia sangat aktif. Sejak duduk di kelas 1 sampai tamat, semua kegiatan ekstra kurukulum diikutinya. Mulai dari mengaji, pramuka sampai dengan marching band. Dia juga pandai … piala juara kelas tak pernah luput diraihnya. Sangat mandiri … pulang sekolah, tanpa komando selalu membuat PR. Orangtua, saat pulang kantor tidak perlu lagi menyuruh atau memeriksa lagi. Yakin bahwa PR akan selalu dikerjakan dengan benar.

Selain itu, sejak kelas 3 SD, kami sudah memberinya uang saku mingguan dan secara berangsur, saat kelas 5 uang saku sudah diberikan bulanan, yang diaturnya sendiri untuk kebutuhan transport dan makan siang sepulang sekolah, menjelang dia mengambil bus pulang kerumah. Perjalanan pulang ke rumah dilakukan dengan kendaraan umum. Menempuh rute perjalanan sekolahnya–Sarinah dengan Bajaj, untuk mengambil bus jurusan Bekasi; lalu angkot untuk kemudian berhenti di depan perumahan Kemang Pratama di Bekasi. Biasanya dia akan tiba di rumah antara jam 14.30 – 15.00 setiap hari. Pulang ke Bekasi naik bus dilakukannya sejak dia duduk di kwartal terakhir kelas 4.

Prestasi sekolah lainnya …? Guru dan teman-temannya menjuluki “Record’s Breaker”. Dia mengukir berbagai prestasi yang sebelumnya tidak berhasil ditembus oleh pendahulunya. Saat tamat SDN, dia berhasil mempersembahkan dan mengukir prestasi terbaik yang mampu diraih sekolah tersebut hingga tahun 1984, yaitu Juara Lomba Matematika DKI, dari mulai tingkat kecamatan Menteng – Wilayah Jakarta Pusat – DKI Jakarta) dan Juara Harapan I Lomba Matematika Tingkat Nasional. Pada tahun yang sama, menjadi Pelajar Teladan tingkat SD – DKI Jakarta dan memperoleh NEM tertinggi di Wilayah Kecamatan Menteng - Jakarta Pusat dan tentu saja di sekolahnya.

Ada yang salah dari kami orangtuanya? Rasanya tidak …. Kami, orangtua yang keduanya bekerja, merasa “sangat berhasil” mendidik anak dalam keterbatasan waktu yang ada dan orang di luar, yang tahu, tidak bisa menyangkalnya. Hasilnya jelas sekali …. Prestasi sekolah dan perilakunya yang santun, mudah diatur dan sangat mengerti atas segala keterbatasan orangtuanya. Komunikasi berjalan dengan baik, diskusi  bisa dilakukan di meja makan pada malam hari atau saat berjalan kaki di komplek perumahan, menjelang tidur. Saat itu, jalur Jakarta – Bekasi belum macet, sehingga setiap malam, kami masih sempat berjalan-jalan mengitari kompleks sambil ngobrol dan bercanda. Bahkan, kalau sedang berjalan di toko dan dia meminta sesuatu, lalu saya bilang …”cium dulu dong…!”, tanpa ragu dia akan mencium pipi saya, kiri dan kanan. Banyak orangtua temannya yang bertanya bagaimana kami melakukannya. Kami tak mampu menjawab. Kami memang tidak tahu mengapa dan bagaimana. Kami tidak banyak berteori. Hanya menjalankan hidup seperti air yang mengalir. Kalaupun hasilnya dianggap baik, itu semata anugerah Allah SWT yang patut disyukuri.

Teman kantor saya ArSa, mengikuti semua proses itu. Kami sering bertukar pikiran dalam banyak hal walaupun saat itu dia belum menikah. Dia juga anak tunggal, masa SDnya dilalui di sekolah yang sama  dengan prestasi  sekolah yang sangat baik. ArSa seringkali mengingatkan saya bahwa mengacu pada pengalamannya semasa remaja, anak-anak terutama anak tunggal sangat membutuhkan orangtua. Kehadiran orangtua yang bukan hanya dalam bentuk suara di telpon atau segala macam teori mengenai kualitas hubungan orangtua – anak dalam kaftan dengan pendidikan/perkembangan kejiwaan.

”Itu omong kosong”, begitu ArSa berkata.

”Teori itu dilakukan oleh orang tua dan dari kacamata orangtua. Bukan dari kacamata si anak. Gue ngerasaain semuanya dan karenanya gue pengen sharing sama kamu. Gue ngeliat ada banyak persamaan antara gue dengan anakmu!”, sambungnya dengan penuh simpati.

ArSa yang lulusan Planologi ITB itu lalu menceritakan perkembangan hubungannya dengan orangtua terutama ibu, fase demi fase sejak dari SD dan puncaknya saat dia berdebat dengan orangtuanya, meminta ibunya berhenti bekerja. Reaksi saya .... persis seperti reaksi anda ketika membaca tulisan saya. Tidak kurang dan tidak lebih. Dan ArSa tidak segan mengingatkan ...:

”Mbak ... anakmu masih duduk di bangku SD, perjalanan masih jauh. Jangan lupa itu dan jangan takabur. Masih ada masa-masa rawan yaitu masa remaja dimana anak akan mengalami goncangan dan pengaruh lingkungan luar yang sangat besar. Di masa itulah saya mulai memprotes ”kekosongan” yang saya alami!”, begitu katanya.

”Kita lihat saja nanti...., setiap anak punya karakter masing-masing dan mereka akan bereaksi sesuai dengan karakternya. Dan kamu sih ... memang dasarnya aja egois dan megalomane”, begitu tanggapan saya sambil bercanda, ingat bahwa lulusan ITB seringkali dikatakan sebagai Megalomane.

Begitulah, tahun demi tahun berlalu dan semua fase yang diceritakan ArSa terjadi walau dalam bentuk yang berbeda tetapi masih dalam koridor yang sama. Apakah saya menyesal ...? Sepenuhnya tentu saja tidak!!! Itu merupakan pengalaman hidup yang harus saya lalui. Pembelajaran hidup sebagai orangtua agar saya selalu berintrospeksi dalam mengelola hubungan dengan anak. Apalagi lahir anak ke dua, saat si sulung duduk di bangku SMP kelas 3.

Sementara itu saat duduk di bangku SMP dan SMA di Rawamangun, prestasi anakpun masih tetap baik, aktif dan mandiri. Tidak pernah luput dari peringkat terbaik di kelasnya. Saat naik ke kelas 3 SMP, dia terjaring untuk masuk ke kelasnya para juara dan di SMA terpilih masuk program akselerasi. Kegiatan olahraga, terutama sepakbola tetap diikuti bahkan hingga suatu kali dia harus dioperasi karena tulang hidungnya patah. Satu hal yang saya kagumi darinya, kegemarannya menonton film asing dan dipengaruh oleh musik yang selalu terpasang di mobil (Beatles, Chicago, Phill Collins dll) mengantarnya menjadi fasih berbahasa Inggris tanpa mengikuti kursus sekalipun. Bahkan sekolahnyapun sempat mengutusnya menjadi peserta debat bahasa Inggris yang diselenggarakan di UI, walaupun tidak mendapat gelar juara.
***

Semalam (Sabtu malam, 20 Januari 2007), secara tidak sengaja saya mengikuti acara talkshow di O’Channel dengan pembicara Putrie Soehendro. Sayang saya terlambat mengikuti acara tersebut, tapi selintas saya menangkap bahwa Putrie Suhendro berprofesi sebagai pendongeng (mungkin dia berlatar pendidikan psikologi). Perempuan muda yang sudah menikah namun belum memiliki anak walau sudah menikah bertahun-tahun. Ada ucapannya yang saya “amien-i”;

“Seorang anak, membutuhkan orang tua (terutama ibu), bukan hanya dalam bentuk suara yang terekam dalam kaset untuk diperdengarkan manakala si ortu absen. Tetapi mereka membutuhkan kehadiran, aura, aroma, sentuhan, ekspresi dan kesemuanya akan membaur menjadi suatu interaksi interpersonal yang akan menjadi nutrisi kalbu mereka. Maka, jangan bicara tentang kualitas, bila kita tidak bisa memenuhi kebutuhan akan nutrisi kalbu tersebut Istilah Nutrisi Kalbu ini sangat dalam maknanya dan ini sangat mempengaruhi kehidupan seorang anak dalam meniti kehidupannya kelak saat dia dewasa. Jangan abaikan ini”

Kenapa saya menekankan ucapan tersebut? Orangtua, seringkali mengabaikan fakta bahwa kehadiran dan sentuhan adalah faktor penting dalam komunikasi. Saya ingat sekali, saat anak lelaki saya masih di SD, setiap hari Sabtu, saya selalu berusaha menjemputnya pulang sekolah. Ada binar kebahagiaan yang sukar saya lupakan hingga sekarang. Begitu juga dengan anak perempuan saya yang berumur hampir 9 tahun itu.

Suatu kali, saat sedang jenuh dengan suasana kantor, saya pulang lebih awal dan menelpon ke sekolahnya, bahwa hari itu saya akan menjemput anak, sehingga dia tidak perlu ikut mobil sekolah. Saat saya tiba di sekolah ... dia sudah menunggu di halaman sekolah, segera berlari kencang dengan raut muka yang sangat bahagia. Sambil berjalan pulang, di mobil dia bercerita tentang segala pengalamannya di sekolah dengan intonasi yang sangat berbeda dengan intonasi suara saat saya menelpon ke rumah dari kantor pada jam di pulang sekolah. Kejadian ini membuat saya berjanji dalam hati akan berusaha meluangkan waktu minimal 1x dalam sebulan, menjemputnya ke sekolah.
***

Hari ini, minggu 21 Januari 2007, harian Republika memuat berbagai artikel mengenai hubungan anak-anak dengan orangtuanya. Salah satu artikel yang saya baca adalah ”Tak Cukup lewat SMS dan Telpon”. Inti artikel tersebut adalah bahwa komunikasi orangtua yang bekerja dengan anak harus disertai dengan kualitas perhatian yang penuh, yang antara lain bisa dipenuhi dengan cara; tatkala anak bertemu dengan orangtua dan mengajaknya bercakap-cakap, maka orangtua harus menjawabnya dengan perhatian penuh. Tidak boleh dilakukan sambil melakukan pekerjaan yang lain walaupun itu dalam bentuk membaca koran. Pengiriman SMS dan Telpon bukan cara untuk menggantikan kehadiran ibu, tetapi malah akan menjadi boomerang karena alih-alih merasa diperhatikan, anak malah merasa dituntut, merasa ada polisi yang mengawasi.

Kecenderungan orangtua membawa pengasuh saat berjalan-jalan/berekreasi dengan anak ke Mall atau kemanapun, harus dihentikan. Orangtua harus melayani anaknya, menyuapi anak-anaknya yang belum mampu makan sendiri. Hal itulah yang mampu membangun kualitas interaksi orantua – anak. Bila anak-anak masih dilayani pengasuh saat orangtua ada di sampingnya/rumah, maka kita patut bertanya ... Kualitas hubungan orangtua-anak macam apa yang hendak kita bangun?

Perjalanan mendidik anak masih panjang. Kalau usia anak-anak kita masih berada di kisaran 10 tahun (masih siswa SD), masih ada jenjang SMP dan SMA, masa remaja yang sering dikatakan para ahli sebagai masa rawan pendidikan anak, karena di masa ini, anak-anak mulai menunjukkan eksistensinya dalam berbagai bentuk.

Konon, anak yang dididik secara mandiri, kritis dan demokratis akan menjadi anak yang pemberontak di sekolah dan kritis terhadap apa-apa yang dirasanya tidak sesuai dengan etika yang dianut dan yang diterima, sebagai hasil didikan orangtua.

Saya sudah melalui masa ini, yaitu masa merawat dan mendidik anak lelaki hingga melepaskannya menikah di negara orang dua tahun yang lalu, di usianya yang masih muda 22 tahun, walaupun tidak selamanya berjalan mulus. Masih ada anak gadis kecil berumur hampir 9 tahun yang masih memerlukan perhatian. Tentu saja, pengalaman mendampingi anak lelaki tersebut, menjadi referensi dalam mendidik anak kedua. Namun saya sadar betul, bahwa setiap anak terlahir unik. Ada perbedaan karakter ... perbedaan waktu yang juga mengubah nilai dan norma kehidupan. Apalagi, jenis kelamin ke dua anak tersebut, berbeda. Tentu pendekatan dalam mendidikpun akan berbeda.

Saya tidak ingin gegabah dan merasa telah sangat berpengalaman dalam mendidik anak. Tetapi, saya tahu bahwa saya akan mendapat pengalaman yang berbeda dalam setiap episode kehidupan anak yang sangat unik dan itu tak akan habis-habisnya untuk diceritakan.

Semoga para orang tua senantiasa ingat, bahwa anak adalah titipan Allah SWT. Sebagai titipan, kita wajib memelihara dengan baik agar saat pemiliknya nanti menuntut kita mempertanggungjawabkan ”Masa Pemeliharaan” yang diberikanNya kepada kita, maka kita, orangtuanya, Insya Allah mampu mempertanggungjawabkan bahwa ”sang Titipan” sudah dipelihara sesuai SOP – Standard Operating Procedure yang dikehendakiNya, yaitu Al Qur’an (bagi umat Islam) dan teladan yang diajarkan Rasulullah SAW.
Lebak bulus, 21 Januari jam 09.25


[1] xxxxx xxxxxx <xxxxxx@yahoo.com> wrote:
Sebetulnya 'ruang kosong' itu muncul karena 'lack of communications & connections'. Makanya dalam rumah tangga 'communication' itu penting. It doesnt require 2 people to look at each other all the time but They have to LOOK AT THE SAME DIRECTION! & 'connection' means emotions contact / feeling.

Terus terang aja, keluarga kami, saya & istri saya bekerja, tetapi selalu ada waktu untuk mengantar (saya)/menjemput (istri saya) mereka selepas sekolah. Kalau saya lagi dinas, saya pastikan anak2 saya baik2 & tidak terlambat bangun untuk ke sekolah. In the conversation on the phone, there is always emotional connection which I can feel or they can feel it. Its not about expressing 'how much you love them?'... but by understanding the tone, we know & they know that we look after & care !!!

Karena itulah, meski mereka baru 9th & 11 th, mereka mandiri, know what they do & they want and tell everything frankly to us about whats going on!

contohnya:
Saya surprised juga, ketika anak saya yang pertama (11th) suatu hari cerita kalau dia sudah dapat pre-pubertas. 
Saya tanya, emang tanda2-nya apa? Dengan lancar dia bercerita & menyimpulkan kalau dia sudah dapat masa pre-pubertas. Dan cerita kalau dia dapat pengarahan itu dari guru kelasnya serta bahan2 referensi lainnya yang dia temui internet (kids forum)!!!

so ... its depend on how you drive it ! kids feeling lonely, getting lost or being ignored?... something wrong & you have to fix it!

Wassalam,
-AS E87-

Senin, 22 Januari 2007

Perubahan perbedaan usia dalam pernikahan.

Minggu 14 januari 07 yang lalu, kami sekeluarga pergi ke Cianjur. Ada staff kantor yang menikah di kampung halamannya, kampung Cijaring – kecamatan Cibeber Cianjur. Sebetulnya, dari kantor sudah disediakan big-bird, kapasitas 44 kursi. Tapi karena anak-anak kantor merencanakan berangkat jam 06.00 pagi dengan niat menghadiri akad nikah yang akan diselenggarakan tepat jam 09.00, maka saya membatalkan ikut bus.  Maklum sajalah … setiap hari minggu, otak dan otot sudah diset untuk istirahat. Jadi lepas shalat subuh, selimut ditarik lagi untuk menutupi badan. Apalagi, upacara rutin di pagi hari, biasanya cukup heboh. Baca koran sambil makan buah ditambah kopi/teh…., lalu membersihkan residu makan malam dari tubuh, masih sambil membaca koran, baru mandi. Kesemuanya tak bisa dilakukan sambil dikejar-kejar waktu. Mesti santai, badan dan pikiran. Kalau tidak, bisa-bisa, ritme biologis hari yang terkait menjadi berantakan dan kacau. Untuk kembali kepada ritme biologis yang normal, membutuhkan waktu berhari-hari. Ini pasti sangat melelahkan dan menyebalkan.

Dengan pernikahan Rusma di Cianjur, maka jomblo di kantor tinggal satu saja, Patricia si bungsu. Bungsu karena dia memang baru bekerja selama 6 bulan saja. Tetapi juga bila dilihat dari umurnya. Iphet, begitu panggilan sehari-harinya gadis Batak bermarga Tambunan, seusia dengan anak sulung saya.

Sebelumnya, ada Rina yang kemudian pindah ke Malang. Ternyata udara Malang yang sejuk membuatnya menemukan pelabuhan hati. Syukurlah … dia juga akan menikah pada tanggal 3 Februari yang akan datang, lagi-lagi di kampung halamannya, Surabaya, di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun.

Ada yang menarik dari kedua pernikahan ini. Keduanya …. adalah wanita yang berjodoh dengan lelaki yang berusia lebih muda. Salahkah…? Nggak juga …. Namanya jodoh! Rasul saja, ketika menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, usianya lebih muda 15 tahun lebih muda. Di keluarga suami saya, beberapa ipar saya memiliki istri yang usianya lebih tua. Dari yang hanya berbeda beberapa bulan saja hingga 2 tahun. Tidak lebih.
***

Pernikahan pada beberapa dekade yang lalu biasanya dilakukan antara lelaki yang usianya lebih tua dari istrinya. Jarang yang usia istrinya lebih tua. Yang menghebohkan mungkin kala Suzanna, artis senior yang seringkali berperan dalam film mistik menikahi Cliff Sangra yang usianya sebaya dengan Kiki anak perempuannya, usai bermain dalam film Sangkuriang. Orang bilang, pernikahan mereka dikarenakan “ketulah” dengan peran masing-masing dalam film tersebut. Kemudian pernikahan Onky Alexander dengan Paula Ayustina Saroinsong dengan perbedaan umur sekitar 10 tahun.

Tahun 2000 an ini, terlihat ada kecenderungan peningkatan jumlah pasangan yang usia perempuannya lebih tinggi dari usia lelaki. Atau kalaupun menikah dengan lelaki yang berusia lebih tua, namun perbedaan usianya sangat ekstrim, di atas 10 tahun. Bahkan ada beberapa perempuan yang bersedia menikah dengan lelaki yang usianya hampir seusia bapaknya. Di kantor saya, dari 10 orang perempuan yang sudah menikah, ternyata 4 orang menikah dengan lelaki yang usianya lebih muda antara 4 – 5 tahun.

Bagaimana kondisi riel di masyarakat. Di abad ke 21 ini, ada kecenderungan bahwa perempuan sekarang lebih dominan dan agresif dalam hubungan antar jenis. Ini terjadi tidak saja di kalangan orang dewasa saja, tetapi juga di kalangan remaja. Sayang, angket/survey mengenai perubahan perilaku masyarakat, tidak umum dilakukan di Indonesia. Ini berbeda dengan negara maju. Padahal hasil survey yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat serta kecenderungan perubahannya sangat penting dan berguna sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah agar strategi dan kebijakan yang dijalankan menjadi lebih terarah.
***

Orang bilang, pernikahan yang ideal itu, dilakukan antara pasangan yang usia suami lebih tua 4 – 6 tahun daripada usia isteri. Ini berkaitan dengan kondisi fisik dan biologis pasangan tersebut kelak, yaitu yang berkaitan dengan hubungan biologis saat istri memasuki masa menopause. Saat memasuki menopause, perempuan mengalami banyak perubahan fisik dan psikis yang dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami isteri. Sementara, pada lelaki perubahan fisik dan kemampuan biologisnya relatif tidak mengalami perubahan apapun, kecuali bila dia menderita Diabetes Mellitus. Itu sebabnya, dalam perkawinan dianjurkan agar usia lelaki lebih tua dari perempuan. Tetapi perbedaannya pasangan suami – isteri sebaiknya tidak seperti usia Koes Hendratmo dengan Aprilia ... Itu pernikahan keblinger antara bapak dengan anak. Eh, tapi saya ingat, ada sepupu saya yang menikah dengan lelaki asal Amerika. Dan usianya hanya berbeda sekitar 3 tahun dari usia bapaknya.

Konon kelahiran, pernikahan (jodoh) dan kematian itu adalah rahasia Allah SWT.  Termasuk keserasian biologis dari pasangan suami istri yang memiliki perbedaan usia yang ekstrim terutama bila usia istri lebih tua dari usia suami. Jadi ... itu adalah salah satu rahasia alam yang diaturNya. Wallahu’ alam

Lebak bulus, kamis 18 january 2007 at 22.30 and reedited on Sunday evening 21 january – 22.55.

Rabu, 17 Januari 2007

Ruang kosong dalam kehidupan

Ada ruang kosong kehidupan yang hanya bisa diisi oleh perempuan melalui naluri keibuannya. Ruang kosong itu adalah sebagian dari kebutuhan anak-anak dan atau pasangan atau partner hidup kita. Itu yang sering dilupakan perempuan dan para ibu muda, terutama mereka yang masih sibuk mengejar karier.


Memang tidak mudah untuk menangkap signal kebutuhan dasar anak-anak akan perhatian orangtuanya terutama dari ibu. Kita seringkali mendengar banyak wanita karier berkata bahwa dalam mendidik anak dan memberi perhatian, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas. Pada kenyataannya, yang dinamakan kualitas menurut versi orangtua, lebih banyak bersifat materialistis. Misalnya saja, jalan-jalan ke Mall, untuk makan bersama atau sekedar membeli buku. Itupun, dilakukan dengan melibatkan para pengasuh anak agak orangtua terbebaskan dari kerepotan mengurus anak selama acara bersama tersebut. Jadi, dalam mengisi kualitas pertemuanpun, anak lebih banyak ditangani oleh para pengasuhnya, sementara orangtua asyik ngobrol. Hanya sesekali saja diluangkannya waktu menyapa anak. Benarkah hanya itu yang dibutuhkan anak? Bisakah “kualitas” pertemuan diterjemahkan dari sudut pandang si anak?
***


“Ma, … aku tadi jatuh di kamar mandi. Tanganku bengkak dan sakit”, begitu kata seorang gadis kecil, saat menelpon ibunya yang sedang dalam perjalanan pulang sehabis bekerja sepanjang hari.
“Tuh, kan .... pasti main air lagi”. Teringat kebiasaan si gadis yang sangat suka bermain air di kamar mandi. Bayangkan saja, 100 ml isi shampoo habis digunakan dalam waktu satu minggu saja. Begitu juga dengan shower gel. Entah bagaimana cara dia menggunakan sabun dan shampoo, yang pasti begitu dia keluar dari kamar mandi, maka harum shampoo atau sabun akan langsung menyerang penciuman kita.


”Bapak sudah pulang?”
”Sudah ..., lagi baca koran”
”Sudah bilang sama bapak...?”
”Sudah .....”


Tiba  di rumah, seusai shalat maghrib dan makan malam, gadis kecil mendekat, memperlihatkan jari telunjuk kirinya yang bengkak dan membiru. Si ibu melihat ke arah suami yang juga ikut memperhatikan jari tangan yang bengkak itu.


”Jam berapa jatuhnya dan bagaimana?”
”Tadi siang ... kira-kira jam dua. Nggak tahu gimana jatuhnya, lupa....”
”Kok nggak bilang dari tadi? Kan bisa langsung pergi ke haji Naim[1], minta tolong oom atau mami[2]


Baik anak maupun suami, diam tak berkomentar. Dalam raut wajah gadis kecil, terbayang jelas ”ketakutan”. Takut karena membayangkan rasa sakit saat dipijat. Sementara itu, sukar untuk menterjemahkan diamnya si bapak. Entah apa yang dipikirkan saat itu..... Menyesali keterlambatan si ibu pulang dari kantor? Entahlah....


Usai menelpon adik yang biasa berhubungan dengan ibu haji, si ibu menyiapkan teh manis hangat, untuk minum si gadis saat jeda di antara pijatan, maka pada jam 21.30 keluarga tersebut berangkat ke bilangan dapur susu – Lebak Bulus. Usai dipijat/urut malam itu, si gadis terpaksa diijinkan ”mengisi” pojok tempat tidur orangtuanya. Katakanlah itu sebagai kompensasi kesediaannya merasakan sakit saat dipijat tadi. Ditambah kemanjaan anak gadis yang masih berumur 8½ tahun itu dan rasa khawatir ibunya. kalau-kalau demam menyerangnya sesudah pijatan yang menyakitkan itu.
***


”Ma .... minta data passportnya ya, sekalian juga datanya bokap” message itu masuk di yahoo messenger, Jum’at siang itu.
”Kapan perlunya? Aku nggak ingat detilnya. Week end ini, aku bikin foto passportnya deh. Senin kukirim ya. Jadi, liat aja datanya disitu”.
”Kalo perforation number dan registration number itu apaan sih?”,
”Maksudnya apa sih?”
”Itu pertanyaan dari formulir isian perpanjangan passport”
”Coba lihat di pinggiran passport ... ada lubang-lubang kecil yang berisi huruf dan angka biasanya sama dengan nomor passport. Pasti itu yang dimaksud. Kalau Registration number, mungkin bisa dilihat di halaman terakhir passport. Ada data pemilik di situ, termasuk nomor file. Nah nomor file itu, mungkin yang dimaksud sebagai registration number”.
”Oke deh....”


Duh .... anak ini, udah gede, soal kecil begitu aja ditanyain ke ibunya. Dia ini betul-betul duplikat bapaknya. Kalau ada masalah, nggak perduli besar atau kecil, istrinya (perempuan) juga yang harus menyelesaikan masalah. Mereka (lelaki) cuma mau tahu beresnya saja.
***
Ini kejadian sekitar 5 tahun yang lalu, saat anak lelaki masih kuliah di Jakarta dan sesekali ke kampus UI Depok untuk praktikum.


”Aku sudah selesai ngajar nih ... tolong dong cari anakmu untuk jemput saya di jurusan dan langsung pulang”, begitu pesan suami melalui telpon. Kalau sudah begini, nggak ada kompromi. Si ibu mesti mencari anaknya yang entah ada di belahan kampus mana. Padahal kedua lelaki itu, masing-masing memiliki telpon genggam. Jadi mereka sebetulnya bisa langsung berkomunikasi. Tetapi kenyataannya komunikasi untuk urusan cari-mencari dan menetapkan posisi kedua orang itu di areal kampus UI Depok yang konon katanya seluas 300ha itu masih membutuhkan ”mediator”. Jadilah si ibu sibuk telpon dari yang tua, lalu disambung ke yang muda sampai akhirnya konfirmasi didapat dari keduanya, bahwa mereka sudah bertemu dan sudah dalam perjalanan pulang ke rumah. Kondisi yang agak mengganggu waktu dan konsentrasi kerja ini bukan satu dua kali terjadi. Sudah jadi rutinitas setiap kali mereka saling mencari.


Tidak itu saja, si suamipun terkadang menelpon istrinya, manakala dia mencari dompet, telpon atau stnk mobil yang ”ketlisut” entah dimana. Padahal, sungguh mati ... kesemuanya adalah barang-barang pribadi dan harusnya sudah menjadi SOP (standard operating procedure) pribadi yang diterapkan setiap hari saat akan meninggalkan rumah.
***
Kesemuanya itu adalah sekelumit cerita yang menggambarkan hubungan/kedekatan / keterikatan antara anak (perempuan maupun lelaki) dengan ibunya dan hubungan / kedekatan /keterikatan antara suami dan istri. Dari kedua bentuk hubungan itu, terlihat kecenderungan bahwa perempuan/istri/ibu menjadi figur sentral.


Saya teringat pada obrolan dengan anak lelaki saya sekitar 10 tahun yang lalu, saat dia masih duduk di bangku SMP. Pertanyaan dilontarkan itu, sebetulnya dipicu oleh keingintahuan sekaligus membuktikan perkataan ArSa[3] bahwa lelaki, seberapapun usianya, sangat mengharapkan ibunya (perempuan) berada di rumah saat dia pulang dari manapun. Itu yang menyebabkan ArSa, saat masih duduk dibangku SMP meminta ibunya berhenti bekerja dan hanya menjadi ibu rumahtangga saja. Dia juga tidak mengijinkan ibunya aktif di Dharma Wanita di instasi tempat bapaknya ArSa bekerja sebagai pejabat tinggi negara). Padahal, saat itu, Suharto sedang dalam masa jayanya dan Ibu Tien ”mengharuskan istri akti di Dharma Wanita.


Pertanyaannya begini;
”Kalau  bisa memilih ...kamu lebih suka punya ibu yang bekerja atau ibu yang ada di rumah saat kamu pulang sekolah?”
”Ibu yang ada di rumah!” jawabnya cepat, tanpa pikir panjang.
”Lho ... kok gitu? Kenapa? Kan enak dan bangga punya ibu yang bekerja. Apalagi bisa membelikan ini-itu buat anaknya”
”Iya juga sih .... tapi, kan lebih enak kalo pulang sekolah ada ibu yang nyambut di rumah...”


Nah lho....!!!! Kalau begitu yang ada di pikiran anak lelaki (dan pasti juga di pikiran anak perempuan), mungkinkah begitu juga yang ada di pikiran para suami?. Perempuan, apakah statusnya ibu atau istri, ternyata memiliki fungsi yang sangat sentral. Menjadi pusat roda kegiatan rumah tangga.  Adakah para perempuan (ibu) menyadarinya sehingga mau mengerti bahwa kebutuhan anak bukan hanya sekedar pemenuhan materialistis, tetapi juga pemenuhan rohani berupa ”kehadiran” fisik, sentuhan/affeksi dan perhatian yang penuh tanpa mediator (pengasuh).


Mungkin ada banyak perempuan yang sadar akan hal ini, tetapi ego dan keinginan untuk ”exist”, aktualisasi diri, secara perlahan mengikis kesadaran itu. Atau minimal, membuat perempuan (ibu) serasa berada selalu di persimpangan jalan dalam menata kehidupannya. Menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita bekerja. Memilih keduanya agar berjalan seiring, seringkali memicu masalah. Apalagi bila karier (lebih tepat penghasilan) yang diperolehnya, menyumbangkan kontribusi yang cukup besar dalam kehidupan dan kemapanan rumahtangganya.

Bila anak dengan sangat terpaksa menerima kondisi bahwa ibunya bekerja dan hanya memiliki waktu yang sempit untuknya, maka lain halnya dengan suami. Defisit perhatian, sentuhan dan afeksi, seringkali dicarinya di luar rumah dan seringkali mengakibatkan perselingkuhan. Padahal, kalau saja suami (lelaki) mau mengerti dan menyadari,  istripun (perempuan) juga membutuhkan perhatian, sentuhan dan afeksi. Lebih jauh dari itu, perempuan, sesuai dengan kodratnya, butuh perlindungan dan pengayoman dari suami. Kelihatannya, membangun komunikasi, menterjemahkan kebutuhan ”partner” (suami-istri atau orangtua-anak) dari sudut pandang mereka untuk menumbuhkan rasa saling mengerti, saling percaya, dan bukan menterjemahkan keinginan ”partner” sesuai interpretasi kita, bukanlah hal yang mudah.  Dan kita seringkali terjebak oleh segala theory  yang diperoleh dari bahan bacaan sehingga seolah-olah sudah mengerti kebutuhan partner kita, padahal sesungguhnya kita hanya mengerti kebutuhan pribadi saja.


Duh berat juga ya... Tenyata menuliskannya, juga membuat saya harus mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang sudah saya lakukan buat keluarga, terutama buat anak. Karena keharmonisan hubungan pasangan suami istri dan hubungan antara orangtua dengan anak, akan menjadi cermin bagi anak-anak saat mereka kelak meniti rumah tangga..

Lebak bulus 16 Januari 2007 jam 23.20

[1] Haji Naim, di Cilandak terkenal sebagai “dukun pijat” aliran Cimande.  
[2] Anak-anak memanggil neneknya dengan sebutan mami.
[3] ArSa, adalah singkatan nama teman lama saya, dia anak tunggal dan lulusan Planologi ITB.

Selasa, 16 Januari 2007

Jakarta – Bandung via tol, nggak nyaman lagi.

Hari Jum’at 5 januari yang lalu, kami ke Bandung untuk mengantar keponakan. Rencana semula, sekalian berlibur dan melihat museum geologi. Tapi suami punya acara sendiri hari minggu pagi, ujian Sinar Putih di komplek Departemen Keuangan, maka hari sabtu siang kami sudah harus kembali ke Jakarta supaya masih ada waktu istirahat pada malam minggu.


Usai makan malam, istirahat sebentar dan mandi, tepat jam 20.00 ksmi meninggalkan rumah di kawasan lebak bulus, tujuan pertama ke Pizza hut Fatmawati untuk mengambil pesanan pizza, bekal anak-anak di mobi; kalau-ka;au kelaparan. Lalu mengisi bensin dulu dan langsung menuju Bandung via tol. Perkiraan perjalanan maksimum 3 jam sampai ke perumahan Gading Regency di bilangan Jl. Sukarno Hatta.


Bayangan beratnya perjalanan keluar dari Jakarta menuju Bandung sudah terlihat sejak melintasi perempatan RS Fatmawati–TB Simatupang, saat menuju Pizza Hut. Jalan masih tersendat-sendat, begitu juga di sepanjang jalan Antasari–Wijaya–Tendean hingga jl Gatot Subroto menuju Pancoran. Niat masuk jalan Tol di Kuningan terpaksa dibatalkan karena jalan tolpun sama tersendatnya dengan jalan arteri. Walhasil, kami baru masuk jalan tol di Cawang/Halim Perdanakusuma pada jam 21.30. Kemacetan belum juga berakhir. Jalan tol yang seharusnya bebas hambatan ternyata sarat dengan hambatan yang disebabkan oleh proyek pelebaran jalan, scrapping dan overlaying.


Memasuki ruas cikampek–purwakarta–padalarang, laju kendaraan terpaksa dikurangi karena kualitas jalannya sangat buruk dan betul-betul tidak layak bagi jalan bebas hambatan (autoroute). Bergelombang, banyak terdapat tambalan dan tidak memiliki penerangan jalan yang memadai. Rasanya, memacu kendaraan lebih dari 80 km/jam, kalau tidak berhati-hati, bisa mengundang bahaya. Begitulah, akhirnya kami baru bisa memasuki komplek perumahan Gading Regency tepat jam 23.30. jadi kalau dihitung sejak keluar rumah, perjalanan Jakarta – Bandung memakan waktu 3,5 jam atau 1 jam 45 menit sejak masuk tol di Halim Perdanakusuma – hingga keluar di gerbang Buah Batu untuk menempuh jarak + 140 km. Pas dengan petunjuk kecepatan kendaraan, yaitu 80 km/jam.


Pulang hari Bandung, Sabtu siang tepat jam 13.30 dengan harapan bisa tiba di rumah dalam waktu 2–2,5 jam. Jalur Padalarang–Cikampek tetap buruk kualitasnya, bergelombang dan penuh tambalan. Harapan untuk tiba di rumah pada jam 16 sore, pupus juga. Memasuki ruas Cikampek–Jakarta,  kendaraan mulai tersendat lagi tanpa diketahui sebab-sebabnya, atau lebih tepatnya tanpa pemberitahuan. Karena ternyata hambatan itu disebabkan karena ada pekerjaan scrap–overlay di tengan jalur, sehingga kendaraan hanya bisa menggunakan 1 jalur kanan dan jalur bahu jalan di sebelah kiri. Kualitas ruas Cikampek–Jakarta dan sebaliknya memang parah. Lapisan hotmix aspalt terkelupas disana-sini dan bisa menyobek ban yang berjalan dengan kecepatan tinggi. Itu sebabnya di jalur ini, banyak terjadi kecelakaan maut akibat ban pecah.


Jalan bebas hambatan yang dilalui kendaraan dengan kecepatan tinggi memiliki standar kenyamanan dan keamanan yang tinggi yang berlaku sacara internasional. Sayangnya, demi menghemat biaya atau berbangga diri telah menyelesaikan jalan bebas hambatan dengan waktu yang singkat, maka standard keamanan dan kenyaman tersebut diabaikan. Kita tentu tidak lupa, bahwa beberapa bulan setelah diresmikan, jalan tol Cipularang ini sempat amblas.


Begitulah, perjalanan Jakarta – Bandung pp via jalan tol, sekarang tidak lagi nyaman. Satu-satunya perbaikan yang terlihat adalah kemunculan rest area di ruas Jakarta – Cikampek pp yang terlihat ”agak berkelas” dengan fasilitas restauran/cafe seperti Kentucky, Holland Bakery, Starbucks cafe di samping rumah makan lokal, yaitu jaringan Rumah Makan Padang Sederhana.

Semoga, perbaikan-perbaikan itu juga bisa diteruskan di jalur Cipularang agar jalur tol Jakarta – Bandung menjadi lebih nyaman sesuai standard keamanan dan kenyamanan yang berlaku.

Rabu, 03 Januari 2007

Pendidikan para Pendidik

Bosen ngomongin poligami ya?! Bayangkan ... hampir satu bulan, yang diomongin poligami terus. Di kantor, di jalan, di tempat kursus, koran, majalah, tabloid, berita di tv, talkshow, infotainment apalagi. Pro dan kontra, nggak ada yang mau kalah. Masing-masing dengan argumentasinya. Apapun dalihnya ... sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mendidik anak-anak, laki-laki ataupun perempuan, agar mereka kelak memperoleh persepsi yang benar atas ajaran agamanya. Nah yang berkaitan dengan pendidikan ini, saya punya sedikit cerita...; begini nih....


Sabtu awal Desember yang lalu, Budi nggak masuk untuk ngajar bahasa perancis. Katanya ada tugas keluar negeri … Jadi Mr. NY yang nggantiin dia. (sayang Budi nggak pernah bawa oleh-oleh buat murid-muridnya yang ditinggal pergi hehehe.... Mungkin lelaki biasa begitu ya? Nggak care dengan sekitarnya..., kecuali sama perempuan cantik).


Dulu kelas saya pernah diajar Mr. NY ini, selama satu semester. Duh ... bosen banget deh ... kelasnya nggak ”hidup”, jadi terasa membosankan. Makanya, waktu saya melihat NY duduk di meja depan, sempat terpikir untuk masuk dan bergabung ke kelas yang satunya lagi ... kelasnya Elisabeth. Tapi ... otak saya yang sebelah lagi, yang masih ”bersih” melarang saya untuk melakukan kekonyolan itu dan mengingatkan.. kok jahat banget ya, gue. Kan kita nggak boleh berpikiran buruk terhadap orang lain. Nggak ada salahnya untuk masuk kelas seperti biasanya. Siapa tahu ada hal baru ... Nah berbekal dengan pikiran bersih, saya akhirnya masuk kelas seperti biasa.


Topik yang diangkatnya pagi itu, tentang sistem pendidikan di Perancis, yang konon disesuaikan dengan sistem pendidikan yang berlaku umum di negara-negara Union Europeene, yaitu LMD alias license (3 tahun) – Master (2 tahun) – Doctor (3 tahun). Topik ini cukup menarik. Maklum saja, ada banyak ibu-ibu dalam kelas yang anaknya sudah atau sedang sekolah di SMA. Tentu, mereka tertarik dengan sistem pendidikan di Perancis. Siapa tahu ada rejeki yang cukup dan anaknya ingin sekolah di negaranya Jacques Chirac. Jadi sudah ada bekal pengetahuan tentang sistem pendidikan di negara tersebut.


Mr. NY menerangkan bahwa di negara-negara maju, terutama di Perancis, sekolah/universitas yang menghasilkan guru (semacam IKIP – jaman dulu) termasuk sekolah-sekolah yang ”high quality” sehingga mahasiswa yang kuliah disitupun termasuk top ranking. Hasilnya bisa dipastikan; guru-guru sekolah di Perancis termasuk orang-orang berkualitas. Terlebih lagi, tentu, bila dibandingkan dengan di Indonesia.


Sejak dulu, yang namanya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan – IKIP[1] bukan menjadi pilihan utama dari para lulusan SMA. Sedikit sekali mahasiswa IKIP yang dengan sadar diri mendaftarkan ke IKIP dengan niat tulus ingin menjadi guru. Hal ini mungkin masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kata lain ... Mr NY mengakui bahwa sebagian mahasiswa IKIP[2] (beliau pengajar di tempat itu) adalah mahasiswa dengan kualitas nomor 2, yaitu sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus dalam saringan ujian masuk lima universitas à UI – ITB – UGM – Airlangga – IPB. Bahkan juga universitas lapis ke dua di pulau Jawa seperti Brawijaya dan Pajajaran atau bisa jadi lebih buruk dari itu; mahasiswa yang terdaftar di IKIP belum tentu sejak awal berniat menjadi guru. Daripada tidak menjadi mahasiswa, apalagi mahasiswa universitas negeri, masuk IKIP masih lebih baik. Tak ada rotan, akarpun jadi.


”Ini menjawab sebagian pertanyaan, mengapa kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia menjadi sangat amburadul. Bagaimana mungkin kita mendapatkan kualitas murid yang baik bila murid-murid tersebut diajar oleh sebagian besar lulusan dari universitas yang mahasiswanya merupakan mahasiswa kelas dua, sisa-sisa dari Universitas umum”


”Pemerintah, mungkin harus mengevaluasi lagi kebijakannya mengenai pendidikan anak-anak. Kalau memang pendidikan dasar/menengah dianggap penting, maka kualitas instansi pendidikan untuk para pendidik harusnya merupakan pendidikan yang mampu menjaring orang-orang dengan kualitas prima. Orang-orang yang memang sejak awal berniat menjadi guru. Lalu, kenapa IKIP harus diganti menjadi UNJ, instistusi pendidikan tinggi umum. Akibatnya, tidak ada lagi institusi yang mengkhususkan diri sebagai tempat pendidikan bagi para pendidik. Padahal bukankah pendidikan untuk para pendidik tidak bisa disamakan dengan pendidikan universitas umum? Atau mungkin pemerintah tidak mengganggap pendidikan anak-anak kita, suatu hal yang maha penting bagi bangsa ini?


”Konon perubahan itu disebabkan karena adanya protes dari mahasiswa dan lulusan IKIP yang merasa dianaktirikan. Pada setiap lowongan kerja di berbagai instansi selalu dicantumkan persyaratan lulusan dari universitas. Jarang ada lowongan yang mau menerima lulusan IKIP. Padahal .. banyak lulusan IKIP yang berharap bekerja misalnya di DEPLU, mais croyez moi, quoi que ce soi ... pendidikan di UNJ masih tetap pendidkan untuk para pendidik. Tidak ada yang berubah”


”Kalau memang isinya/kurikulumnya tidak berubah, kenapa ”packaging”nya diganti? Itu kan sama saja dengan mengaburkan sesuatu ... bahasa terangnya menipu masyarakat. Mestinya ... alumni IKIP itu, ya menjadi pendidik.... Bukan jadi diplomat atau pegawai di departemen lainnya”


”Idealnya begitu ... tapi pada kenyataannya, tidak semua mahasiswa IKIP ingin menjadi guru. Alasannya sederhana sekali ... profesi guru sangat tidak bergengsi, apalagi, guru sekolah negeri. Tugasnya yang berat, mendidik anak, tidak diimabngi dengan ”gengsi dan imbalan” yang memadai untuk hidup dengan layak”.


”Kalau begitu, kenapa harus mengubah nama? Demi gengsi semata? IKIP adalah institusi pendidikan untuk para pendidik bukan untuk para diplomat atau berbagai jabatan mentereng lainnya. Mahasiswa yang masuk ke IKIP harus tahu bahwa profesinya kelak adalah guru, bukan yang lainnya. Kalau masalahnya berkaitan dengan gengsi atau penghasilan, maka bukan institusinya yang diganti menjadi universitas umum, tetapi gengsi dari profesi sebagai guru itu yang harus ditingkatkan agar orang mau secara sukarela menjadi guru sebagaimana profesi lainnya yang dikejar dan dipilih masyarakat.”.


”Tidak semudah itu ...”
”Memang tidak mudah ... tapi tidak ada suatu hal hal tidak mungkin kalau ada kemauan untuk melakukannya. Sebut saja ... apa yang menjadikan profesi guru tidak menarik? Karena gaji dan fasilitasnya tidak memadai? Kenapa tidak ditingkatkan  gajinya, fasilitasnya dan lain sebagainya. Kalau pemerintah mampu memberikan gaji yang relatif tinggi bagi pns yang bekerja di departemen keuangan (direktorat jenderal  Pajak, Bea dan Cukai dll), tentu hal yang sama juga bisa dilakukan untuk pns di departemen lainnya khususnya untuk guru. Kan anggaran bidang pendidikan sudah disetujui secara bertahap menjadi 20%. Jadi secara teoritis, kalau pemerintah mau dan tahu betapa pentingnya pendidikan anak-anak, maka semuanya bisa dilakukan secara bertahap. Malu deh sama Malaysia! Tahun 60 – 70 an, guru dan dosen dari Indonesia diundang mengajar di sana. Mahasiswa dari Malaysia banyak yang belajar ke Indonesia. Sekarang keadaan terbalik 1800, kita yang belajar ke Malaysia .


”Semoga semakin banyak orang yang berpikir seperti itu.... Pendidikan di Indonesia memang masih terus-terusan mencari bentuk, sampai akhirnya semakin terpuruk dan tidak jelas arah tujuannya”


Obrolan itu terputus begitu saja, tidak ada kesimpulan ... Ini kelas ”Conversation”  bahasa Perancis, Pesertanya tentu tidak diharuskan untuk berdebat mengenai sistem pendidikan di Indonesia, tetapi diharapkan untuk berbicara dalam bahasa Perancis sekaligus memberikan opini. Kalau mau......


Tapi, sungguh deh, sejak lama, saya merasa prihatin dengan masalah ini. Kira-kira 15 tahun yang lalu, saya punya teman kantor yang istrinya lulusan IKIP – Pendidikan Teknik Sipil. Alih-alih menjadi guru di sekolah kejuruan (STM), dia malah bekerja di kantor konsultan struktur. Alasannya tentu saja mudah diduga .... gaji yang kecil dan menjadi guru tidak memberikan prospek masa depan yang cerah.


Sedih ya......Memang, nggak semua mahasiswa IKIP mempunyai motivasi seperti itu. Saya percaya masih banyak mahasiswa IKIP, terutama untuk IKIP yang di daerah (terutama dari Jogya) yang betul-betul memiliki niat tulus menjadi guru. Seperti hampir seluruh guru SMA saya dulu di Xaverius Jambi. Mereka, sebagian besar lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, adalah guru-guru yang sederhana dan penuh dedikasi. Mungkin mahasiswa IKIP yang materialistis adalah mereka yang kuliah di IKIP Jakarta/UNJ. Maklumlah.... penduduk metropolitan ini memang sangat materialistis.


Semoga pemerintah mau mengerti masalah ini agar gengsi dan penghasilan dari orang-orang yang berprofesi sebagai GURU bisa setara dengan profesi-profesi lainnya. Sehingga profesi ini menjadi pilihan sepenuh hati dari anak-anak pintar Indonesia yang sama gengsinya dengan pilihan menjadi sarjana teknik atau kedokteran atau fakultas lainnya.


Reedit on saturday, 16th december 2006, at 05.45 pm

[1] IKIP sekarang sudah berganti menjadi Universitas Negeri sehingga IKIP Jakarta menjadi UNJ – Universitas Negeri Jakarta, IKIP Bandung menjadi UPI – Universitas Pendidikan Indonesia dll.
[2] Di dalam tulisan ini, saya tetap menulis istilah IKIP untuk membedakan antara universitas pendidikan (ex IKIP) dengan universitas umum.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...