Senin, 26 Februari 2007

Pemalsuan semakin membabi-buta

Setiap akhir minggu, saya memiliki sedikit waktu untuk menonton acara televisi sore hari yang biasanya agak hingar bingar dengan infotainment. Walaupun berbau gosip yang mengobok-obok wilayah pribadi, bolehlah acara ini dimasukkan ke dalam kategori “berita”. Tapi bukan acara infotainment  yang menarik perhatian saya dari acara Trans-tv sore, tetapi acara REPORTASE SORE yang berdurasi selama 30 menit. Produser Trans-tv cukup jeli untuk menyajikan acara yang isinya cukup berani, tetapi sangat berguna bagi masyarakat.


Pemalsuan merek terkenal di Indonesia bukanlah hal yang aneh. Dari mulai DVD – CD (baik yang berlabel compact disk maupun celana dalam) hingga barang bermerek yang biasa dikonsumsi kaum berada. Bagi penduduk Jakarta, tidak perlu jauh-jauh ke Glodok. Pergilah ke berbagai pertokoan, maka dengan sangat mudah akan dijumpai DVD-CD bajakan yang dijual bebas dengan harga sekitar 15% - 20% dari harga DVD asli. Atau, bila suatu saat berwisata ke Jawa Timur, mampirlah Tanggulangin di Sidoarjo (semoga tidak tenggelam oleh lumpur Lapindo Brantas). Tempat berbagai tas bermerek dipalsukan dan dijual dengan harga yang sangat murah. Begitu juga dengan industri pakaian jadi a la home made yang bertebaran di sentra-sentra industri kecil, tak segan-segan memalsukan merek-merek terkenal sehingga golongan masyarakat berpenghasilan sederhana turut pula “mencicipi rasa” menggunakan pakaian bermerek.


Kini pemalsuan tidak lagi melulu pada barang-barang sekunder, tetapi sudah memasuki wilayah makanan. Suatu hari, saya melihat reportase pemalsuan ikan kakap merah. Tengoklah, bagaimana para reporter berhasil mengungkap penipuan yang dilakukan para pedagang ikan kakap merah; yaitu melumuri ikan kakap hitam dengan pewarna merah (dari pewarna tekstil?!) agar dapat dijual lebih mahal.  Di lain waktu diungkap juga adanya pemalsuan air minum kemasan baik berupa teh manis, maupun yang berwarna semacam coca-cola, fanta dan lain-lain. Kesemuanya dalam kemasan asli sehingga orang awam sulit membedakannya.


\Pemalsuan beras kedaluwarsa ex Bulog yang kemudian di”putih”kan dengan mengalirkan cairan pemutih dan kemudian menjemurnya kembali hingga kering dan dikemas sebagai beras “putih”. Bahkan telur ayam kampungpun dipalsukan dengan melumuri telur ayam negeri dengan suatu cairan yang mampu memudarkan warna telur ayam negeri yang kemerahan menjadi keputihan seperti telur ayam kampung. Menggelikan juga, yang satu ini…. Biasanya, kita memalsukan yang “kampung” agar terlihat berkelas  dan berlabel “negeri”, ini malah yang “berkelas dan negeri” dipalsukan agar menjadi “kampung”….


Pada pemalsuan pakaian, tas dan lain-lain yang tidak dikonsumsi masyarakat, hanya produsen aslinya yang dirugikan. Bayangkan bagaimana kerugian yang juga diderita oleh konsumen yang memakan ikan kakap merah palsu serta beras berpemutih yang dibaluri pewarna kimiawi non makanan maupun minuman kemasan yang jauh dari sayrat-syarat kesehatan. Bukankah kesemuanya, bila dikonsumsi secara tidak sadar dalam jangka waktu panjang akan mencetuskan penyakit kanker.


Penipuan ini tidak lagi hanya menyentuh masyarakat golongan berpenghasilan rendah. Akhir minggu kemarin, Repotase Sore meliput berita mengenai pemalsuan jam tangan bermerek yang bukan saja dijual murah di toko-toko sembarangan. Toko yang sudah pasti bisa “dicurigai” tidak mungkin menjual jam tangan bermerek apalagi dengan harga murah, kecuali bila barang tersebut palsu. Tetapi… jam tangan bermerek palsu itupun dijual di pertokoan mewah. Bayangkan, seorang Inul Daratista yang konon mengaku sebagai kolektor jam bermerek dan mahal pernah tertipu, membeli jam bermerek yang palsu berharga puluhan juta rupiah.


Upaya para reporter dan cameraman merekam reportase tersebut dan entah bagaimana mereka “membujuk” para narasumber untuk membagi cerita yang kesemuanya berisi PENIPUAN terhadap konsumen, patut dipuji. Inilah kerja keras yang patut diacungi jempol.


Anehnya, dengan reportase yang “terang-benderang”, walaupun pada kenyataannya sang pelaku dikamuflase, tidak sekalipun terdengar upaya aparat penegak hukum membekuk para pelaku. Kalau saja aparat mau, mereka toh bisa meminta data dari pihak Trans TV. Atau apakah aparat kesulitan mengakses para pelaku karena pihak Trans-TV menerapkan azas perlindungan terhadap narasumber. Lebih buruk lagi bila keengganan aparat mengungkapkan dan membekuk para pelaku karena ada “kerjasama” antara para pelaku dengan aparat.


Menyedihkan sekali … Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam…. Negara yang mayoritas penduduknya menganut agama yang secara tegas dan jelas melarang adanya bentuk penipuan saat berniaga/berdagang. Ternyata para pelaku perniagaan banyak yang melakukan penipuan. Adakan mereka lupa akan ajaran agamanya… Ataukah, keinginan memperkaya diri dan menumpuk harta membuat mereka lupa diri…? Wallahu alam.

Selasa, 20 Februari 2007

Yang konyol dari seorang suami

Hidup bersama seorang lelaki selama bertahun-tahun dan sudah melebihi dari setengah umur kita, tidak akan terbayangkan. Apalagi buat yang belum mengalaminya. Itu sebabnya, kalau ada teman-teman yang menikah… saya selalu meledek mereka …. “Selamat Datang ke dalam JEBAKAN KONTRAK SEUMUR HIDUP”. Setiap pasangan berharap agar pernikahannya berlangsung satu kali saja, lalu hidup berumah tangga hingga maut datang memisahkan. Tidak ada seorangpun yang berharap pernikahannya berakhir dengan perceraian. Apalagi bila didahului dengan pertengkaran. Nah untuk menjalani kehidupan berumah tangga yang aman tenteram, bukanlah hal yang mudah. Apalagi untuk jangka waktu yang sangat panjang. Pasti banyak suka dan dukanya. Banyak pengalaman yang lucu sekaligus menyebalkan.

Lihat deh gambar di sebelah ini…. Itu gambar suami saya lagi minum Mixed Juice; apel + Mangga. Perhatikan cara minumnya! Straw nya nggak masuk dari tutup gelas Styrofoam, tapi masuk langsung ke badan gelas. Ngeselin dan malu-maluin deh……!!! Apalagi ini terjadi di ruang public alias tempat umum. Tepatnya di food court Senayan City, kira-kira dua bulan yang lalu.

Ceritanya, di suatu malam minggu, kami ingin menghabiskan waktu. Biasanya, ke toko buku Gramedia atau Gunung Agung di Pondok Indah Mall. Tapi, pergi ke PIM di malam minggu itu bencana besar deh …. Jalannya macet dan parkirnya padat. Jadi  kami memutuskan untuk pergi ke Senayan City …., untuk pertama kali. Maklum saja, agak jauh dari rumah. Karena jadwal makan malam kami di rumah dilakukan tepat sesudah shalat maghrib, maka saat tiba di Senayan City, perut sudah sangat kenyang. Tak sanggup dipadati lagi oleh makanan. Tapi… rasanya nggak enak juga kalo nongkrong di mall, gak pake minum. Jadi kami beli juice aja, masing-masing di gelas Styrofoam yang ukurannya aduhai besarnya…. Padahal juice-nya sudah pesan ukuran regular.   

Sambil jalan cari tempat duduk, entah apa yang ada di kepala suami, dia “maksa” nusuk2 gelas. Mungkin dia pikir ada gumpalan es yang keras di dalam gelas. Padahal udah dibilang bahwa isinya cuma icy-juice, eh tetap aja nggak percaya sampai akhirnya styrofoamnya bolong n bocor…. Akibatnya, dia terpaksa minum dari lubang yang ada di badan gelas. Tapi, si dia cuek aja .... untung food courtnya agak sepi. Jadi tak ada orang di sekeliling meja kami. Duh…. Lelaki kalo dibilangin suka ngotot aja sih bawaannya.

Jumat, 09 Februari 2007

Maskot pemberi kesempatan untuk meraih pahala.


Sosok bungkuknya tertatih-tatih saat berjalan di pagi hari. Bukan saja dikarenakan beratnya beban yang disandang. Yaitu beban berat dari sekitar 10 lembar keset anyaman perca kain. Tetapi usianya memang terlihat sudah tidak muda lagi walaupun sukar untuk menerka usia sebenarnya. Kesulitan dan penderitaan dalam mempertahankan hidup di tengah keganasan ibukota, bisa membuat orang terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Tetapi, melihat postur tubuhnya yang sudah membungkuk, bisa diduga bahwa usianya sudah lebih dari 60 tahun. Entah seberapa tinggi badannya saat muda dulu. Yang pasti, kini tingginya tidak lebih dari batas pinggang saya..... Tidak lebih dari satu meter saja.

Kakek tua itu, entah siapa namanya, bisa ditemui pada pagi hari sekitar jam 07.00 – 08.00. Dia biasa berjalan menyusuri sepanjang jalan lebak bulus I, jalan H. Nasihin, jalan lebak bulus 2 atau jalan lebak bulus 4. Di bagian salah satu dari ke empat jalan itulah kami biasa berpapasan dengannya saat mengantar anak sekolah. Kalau tidak salah dia tinggal di kawasan Cilandak Barat. Begitu jawabnya saat kami menanyakan tempat tinggalnya. Cukup jauh perjalanan dan ruang edarnya saat menjajakan dagangan. Sayangnya kami selalu luput dan merasa tergesa-gesa untuk sekedar menanyakan secara detil, lokasi tempat tinggalnya itu.

Sudah beberapa bulan ini kami tidak melihatnya lagi. Entah apakah dia sehat atau dalam keadaan sakit. Badannya yang ringkih itu, tentu akan dengan mudah terserang penyakit. Atau kemungkinan yang terjelek, dia sudah dipanggil Yang Maha Kuasa?. Ah ...... Semoga dia masih sehat dan absennya menjajakan keset hanya dikarenakan hujan lebat yang akhir-akhir ini melanda Jakarta. Ingin sekali kami membantu meringankan bebannya. Apa saja yang mampu kami lakukan untuk itu,

Ternyata mewujudkan keinginan tersebut tidaklah mudah. Kesempatan bertemu dengannya bagaikan menunggu undian keberuntungan yang entah kapan bisa mendatangi kami. Sangat sukar diduga. Pada kenyataannya, seringkali kami berpapasan dengannya saat sedang tergesa-gesa mengantar anak yang kesiangan bangun. Dalam kepadatan jalan, kami merasa sukar berhenti untuk sekedar menyapanya. Atau mungkin, ada rasa enggan, yang malu untuk kami akui, untuk sekedar menyapa orang kecil. 

Di lain waktu, pertemuan itu terjadi saat kami sedang dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk menghentikan kendaraan. Bahkan yang paling sial adalah saat kami sama sekali tidak membawa dompet dan sementara di kotak penyimpan koin/uang di mobilpun tidak tersisa sedikit uang yang bisa diberikan padanya. Jadi hilanglah kesempatan meraih pahala.....

Di lain kesempatan, saat kami berniat untuk memberikan dan sudah menyiapkan segala sesuatu untuknya, maka dia lenyap bagai di telan bumi. Tidak terlihat sosok bungkuknya yang tertatih-tatih dengan beban keset perca kain. Dan itu berlangsung hingga berhari-hari dan bahkan berminggu-minggu. Seperti saat ini....

Itu sebabnya, ketika bersiap mengantar anak berangkat ke sekolah, saya dan suami saling mengingatkan untuk membawa dompet sambil bergurau .... ”Ayo..... siap-siap untuk menggapai pahala...”
Lebak bulus 6 februari 2007 jam 22.30


Selasa, 06 Februari 2007

Keikhlasan hati orang kecil

Hari Senin pagi 5 Februari 2007, perjalanan dari Lebak Bulus ke kawasan Blok M relatif lebih lancar daripada biasanya. Mungkin karena sebagian orang masih mendapat kesulitan untuk keluar rumah menuju kantor, akibat banjir besar yang melanda Jakarta sejak hari Kamis yang lalu.


Biasanya, saya berangkat dari rumah ke kantor melalui jalan Tebah, di belakang Pasar Mayestik lalu masuk ke jl Bumi dan Jalan Kerinci lalu keluar di Jalan Pakubuwono VI. Namun pagi ini, saya sengaja melintasi jalan Pati Unus untuk berbelok ke arah Jl. Paukubuwono VI karena ingin membeli pisang terlebih dahulu.


Di depan rumah makan Warung Daun ada penjaja pisang barangan. Di situlah saya biasa membeli pisang setiap minggu. Perempuan penjajanya sudah tahu bahwa saya akan membeli 3 sisir pisang. Satu sisir matang dan 2 sisir lainnya mengkal atau terkadang masih kehijauan. begitu juga rencananya pagi ini. Saat saya menghentikan mobil, dengan sigap dia memilih-milih pisang dan menyodorkannya kepada saya. Saya mengeluarkan uang selembar 50 ribu. Itulah lembaran yang ada di dalam dompet di samping beberapa lebar ribuan di dalam kotak uang untuk pembayar ongkos parker, yang tak cukup untuk membayar 3 sisir pisang. Agak ragu perempuan itu menatap saya ;


“Ibu … apa bisa diberikan uang pas saja?” tanyanya.
Saya melihat isi dompet dan tas... ternyata sama sekali tidak ada. Maklum awal bulan begini, isi dompet sedang sekarat. Kosong setelah digunakan kewajiban rutin, dari belanja bulanan, membayar gaji pembantu sampai dengan uang sekolah anak.
”Aduh maaf ... nggak ada uang pas...!”
”Saya tukar di warung dulu ya bu...” pintanya, meminta kesediaan saya menunggu. Saya melirik di sekitar jalan raya tersebut. Tidak ada warung sama sekali. Tentu saya harus menunggunya agak lama, sampai dia kembali dengan uang tukarannya. Dan saya merasa enggan menunggunya. Apalagi jalan Pakubuwono VI di pagi hari cukup ramai.
”Kalau nggak ada kembalinya, saya ambil dua sisir saja ya ... saya punya uang kecil untuk itu...”, usul saya menutupi keengganan menunggunya mencari tukaran uang. Cepat saya hitung uang receh di mobil yang terdiri dari uang kertas dan koin. Semuanya berjumlah enam belas ribu. Masih kurang dua ribu.
”Nah... lihat deh, uang saya nggak cukup. Saya ambil dua sisir saja ya...”
”Jangan bu .... , ambil saja semuanya. Ibu kan besok lewat lagi, jadi besok saja bayar kekurangannya!” begitu katanya, seraya mengembalikan lembar uang 50 ribu kepada saya.


”Aduh ... saya belum tentu lewat sini lagi lho besok. Jadi biar saya ambil 2 sisir saja. Saya bisa mampir kapan-kapan kesini.”
”Nggak apa-apa bu ... kapan ibu lewat saja, bayarnya......”, sahutnya.
Saya mengambil lembaran uang tersebut dan segera berlalu darinya. Di belakang sudah banyak mobil menunggu.


Tiba di kantor, sambil menunggu komputer menyala baru saya sadari, betapa lugu dan naifnya penjaja pisang itu. Dia rela mengambil resiko ”kehilangan” keuntungan sebesar dua ribu rupiah. Bayangkan seandainya saya tidak lagi lewat tempatnya berjualan. Dua ribu memang kecil nilainya dibandingkan dengan pengembalian uang sebesar 32 ribu yang harus diberikannya kepada saya. Tetapi saya yakin, uang dua ribu itu begitu besar artinya bagi seorang penjaja pisang di pinggir jalan. Toh dia rela dan ikhlas ”kehilangan” sementara uang tersebut dan begitu mempercayai saya, perempuan yang kebetulan secara rutin membeli dagangannya. Sementara saya, tidak ikhlas menunggunya menukarkan uang atau bersikap seperti yang dilakukannya Apalah susahnya mengatakan ....


”Ambil saja dulu uang itu. Besok saya lewat lagi dan kembalikan saja uang saya, besok”
Ternyata saya sama sekali  tidak memiliki keikhlasan dan kepercayaan kepadanya seperti apa yang diperlihatkannya kepada saya. Malu rasanya menyadari hal itu. Padahal dulu, sebelum pindah ke Lebak Bulus, saya selalu mempercayai penjaja sayur yang biasa datang ke rumah atau pembantu rumah. Setiap hari, saya selalu meletakkan uang di kotak yang tersimpan di atas lemari es, untuk belanja sehari-hari, yaitu sayuran dan bumbu dapur serta ongkos transport Muslimin ke sekolah. Tanpa sekalipun meminta rincian pengeluaran. Saya mempercayai mereka sepenuhnya. Kalau pembantu mengadu bahwa Muslimin mengambil uang lebih dari jatahnya, saya dengan enteng berkata :


”Biar saja... uang itu tidak akan membuat Muslimin menjadi kaya raya mendadak atau saya menjadi jatuh miskin. Yang pasti, orang yang mengambilnya tidak akan mendapat berkah Allah SWT”


Sekarang, saat tinggal di Lebak Bulus, saya menitipkan uang belanja sayuran kepada ibu saya. Entah bagaimana beliau mengurusnya. Saya tidak lagi menaruh uang di atas kulkas untuk belanja. Mungkinkah karena hal kecil itu saya menjadi kehilangan sensitifitas untuk mempercayai orang kecil? Astaghfirullah ... betapa picik dan sombongnya saya.... Ampun Tuhan..... Sungguh saya menyesal hari ini... saya sudah terjerat pada fenomena low trust society .... tidak memberikan kepercayaan kepada lingkungan sekitar. Selalu memandang curiga kepada orang lain.


Besok saya harus lewat dan membayar kekurangan uang itu. Dua ribu yang relatif tidak bernilai buat saya, tapi betul-betul sudah membuat martabat saya ”terjerembab” ke dasar jurang... Sungguh saya malu... selama ini saya selalu berpegang teguh untuk selalu menjaga martabat diri. Selalu berusaha untuk tidak berlaku dzalim atau mencurangi orang lain. Ternyata apa yang saya lakukan masih sebatas artificial yang dengan sangat mudah dipatahkan oleh perempuan sederhana itu....


Kalaupun esok[1] saya ikhlas memberikan uang lebih besar daripada uang yang harus saya kembalikan, tetapi saya merasa yakin bahwa keikhlasan itu tidak lagi bernilai dimata Allah SWT. Saya sudah kehilangan momentum yang baik untuk meraih ”nilai positif” di mata Allah SWT. Pada hari ini, saya sudah menampik kesempatan untuk meraih pahala dan berkah Allah. Sungguh, kesempatan itu selalu datang dalam bentuk dan pada waktu yang sama sekali tak terduga.


Ampuni saya ya Allah.... Jadikan hal tersebut yang pertama dan terakhir. Sungguh, berikan saya kesempatan untuk selalu menjadi golongan orang-orang yang senantiasa rendah hati dan ikhlas serta dijauhkan dari kesombongan. Amien....!


Lebak bulus 5 februari 2007 jam 22.30  

[1] Hari ini, selasa, saya lewat Jl Pakubuwono dan berniat melunasi hutang saya. Seperti yang saya takuti sejak semalam, perempuan penjaja pisang itu tak terlihat. Dia tidak menggelar dagangannya. Duh … Itulah akibat dari “menampik kesempatan yang diberikan oleh Allah SWT untuk memperoleh pahala dan berkah.

Jumat, 02 Februari 2007

Baked potatoes with brocoly and cheese


Description:
Resep ini mudah dibuat dan sangat disukai disukai anak-anak. Bila suka, bisa ditambahkan dengan smoke beef yang diiris batang korek api.

Ingredients:
3 buah kentang mentega yang besar
250 ml susu segar
¼ sendok teh merica
¼ sendok teh pala
½ sendok teh origano, bila suka
50 gr keju parmesan parut
1 buah maggi block rasa ayam/sapi
2 sendok makan mentega/margarin
garam secukupnya
1 sendok makan tepung maizena, larutkan dalam 3 sendok makan air
150 gram brokoli potong kuntumnya dan iris tipis batang mudanya.


Directions:
1. kentang ditusuk-tusuk lalu rebus dengan air yang sudah dibubuhi garam. Rebus hingga lunak dan hancurkan – kasar. Letakkan di atas pyrex yang sudah diolesi mentega
2. panaskan 1 sendok makan mentega, masukkan susu, lalu tambahkan bumbu-bumbu (merica, pala, oregano, gula dan maggi blok). Bila kurang terasa, tambahkan garam secukupnya
3. masukkan juga parmesan parut dan tunggu mendidih masukkan larutan maizena dan aduk agar tak menggumpal. Lalu matikan api.
4. sementara itu, rebus air ditambah sedikit garam. Bila telah mendidih, masukkan brocoli dan matikan api. Tutup panci agar brocoli matang lalu tiriskan.
5. susun brocoli di atas kentang lalu siram dengan saus keju.
6. panggang dalam oven selama 20 menit. Hidangkan panas.

Banjir dan keberuntungan saya....?

Duh ... kok sepertinya saya bersenang hati di tengah musibah yang diderita oleh banyak penduduk Jabodetabek ya....? Maap deh... bukan maunya seneng-seneng kok. Sebetulnya, tapi pagi saya juga sudah stress banget. Sejak semalam, hujan mengguyur Jakarta. Deras lagi .... Ruang keluarga yang atapnya tambahan, seperti biasa sudah bocor di sana-sini. Maklum saja... ruang yang tadinya berupa patio itu ditutup seadanya, pakai fiberglass. Jadi pasti sudah retak dimakan sinar matahari.

Pagi tadi, di luar dugaan anak gadis saya bangun saat bedug subuh. Jadi kami bisa berangkat lebih pagi ke sekolahnya. Tapi ... hujan tidak kunjung berhenti. Orangtua bilang hujan yang turun malam Jum'at biasanya akan berlangsung sepanjang hari dan akan berlangsung hingga berganti hari lagi.

Saat saya memanaskan mesin mobil, tiba-tiba dia masuk ke mobil lengkap dengan perangkat "perang"nya. Entah kenapa, saya yang masih pakai sandal langsung masuk mobil ... yakin bahwa seluruh perangkat perang saya juga sudah masuk mobil. Apalagi ... bau kayumanis bercampur pisang barangan dari Banana Caramel Cakes pesanan teman-teman yang akan berangkat siang ini ke Surabaya sudah mengharumi ruang mobil. Jadi otak saya langsung memerintahkan untuk segera berangkat. Hari ini, usai mengantar ke sekolah, saya berencana langsung ke kantor karena ada dokumen yang harus di fax sebelum berangkat ke Kedoya untuk rapat jam 10.00.

Di tengah kemacetan, karena genangan air di depan perumahan Bona Indah, baru teringat bahwa tas kantor saya, masih tertinggal di kursi ruang keluarga. Alamak ..... Panik, mangkel .... gak tahu mesti ngomel sama siapa. Lha, salah sendiri kok!!! Terbayang macetnya kalau harus pulang nanti, mengambil tas dan  baru berangkat ke kantor. Apalagi kali kecil di Jalan Lebak Bulus I yang pernah menelan korban 2 orang ibu hanyut beberapa tahun yang lalu itu, nyaris meluap. Halaman apartemen yang berdampingan dengan kali itu sudah terendam air. Bahkan, saya menduga perumahan Panorma Lebak Bulus juga kemasukan air, karena di sepanjang jalan lebak bulus 2, banyak terparkir mobil. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Duh.... mau sampai jam berapa di kantor? Kemarin, saat saya berangkat langsung ke kantor, dari Jl. Karang Tengah - Lebak Bulus ke Kantor di kawasan Mayestik, saya harus menempuh waktu 75 menit. Jadi kalau Jakarta banjir dan karenanya menjadi macet, entah jam berapa saya baru akan tiba di kantor. Nasi sudah menjadi bubur dan saya harus pulang dulu mengambil tas kantor.

Yup.... tas sudah masuk mobil, jam menunjukkan waktu 07.10 ... saya mulai menyusuri jalan lebak bulus, lalu ke jl RS Fatmawati. Tiba di persimpangan ringroad, saya mengambil arah kanan, melewati Citos dan masuk Jl. Antasari.

Saat hujan, jl RS Fatmawati menuju Panglima Polim sebaiknya dihindari. Selain macet seperti biasa, sepanjang jalan itu juga penuh genangan dan sangat riskan untuk dilewati sedan. Saya menyetir mobil sambil berdoa.... semoga jalannya lancar.... lancar.... dan benar-benar lancar...... Menjelang Mayestik, masuk sms mengabarkan bahwa rapat jam 10.00 ditunda karena Kedoya banjir. Entah bagian mana yang banjir. Apa kawasan menuju MetroTV juga banjir...? Sudahlah.... nikmati saja keadaan. 

Saya masuk ke area parkir kantor tepat pada jam 07.45. Hanya 35 menit saja. Padahal biasanya tidak kurang dari 60 menit. Alhamdulillah....... Kantor masih sepi saat saya tiba ... Baru ada pak Utjen dan Aip membereskan kantor. Ina dan Evi yang biasanya sudah hadir, entah dimana mereka berada saat ini. 

"Ina belum masuk Tanah Kusir, mbak... Cipulir banjir, jadi mesti muter-muter nggak keruan.... Si Wina aja udah pasti bolos sekolah nih...", begitu katanya saat saya telpon. Yah.... nasib deh, kalo udah terjebak banjir.

Saya hanya bisa istigfar .... menyadari kesalahan saya atas buruk sangka tadi pagi. Seandainya saya tidak pulang mengambil tas dan berangkat langsung ke kantor dari sekolah anak saya, menempuh jalur Pondok Indah dan Radio Dalam, mungkin saya akan terjebak kemacetan juga.

Jadi... tidak ada salahnya mengambil hikmah dari segala musibah. Selalu kejutan dibalik segala musibah karena Allah SWT Maha Mengetahui akan kebutuhan kita. Jadi, kita memang wajib mensyukuri saja nikmat yang diberikanNYa, baik itu berupa musibah apalagi kalau berupa keberuntungan 

Kamis, 01 Februari 2007

Buahnya mannnaaa....???

Suami saya pagi-pagi sudah komplain... maksudnya "ngadu", sejak hari rabu siang, saat makan siang sampai tadi pagi, dia nggak makan buah sama sekali. MAklum saja, dia tidak ada di rumah, tapi sedang ikut raker di Ciloto sampai hari Jum'at. Padahal kalo di rumah, buah-buahan dalam bentuk juice atau buah potong, pasti jadi makanan pembuka - apetizer, sebelum makan nasi dan lauk pauk.

Ini gara-gara teorynya food combining yang menyatakan bahwa buah-buahan itu akan habis dicernakan dalam waktu 15 menit setelah melewati tenggorokan. Sedangkan karbohidrat (nasi, kentang dll) dalam waktu 2 jam dan protein hewani dalam waktu 3-4 jam. Jadi kalau kita makan buah-buahan sebagai penutup, maka, dia harus menunggu giliran 3-4 jam dulu, baru mendapat giliran masuk lambung untuk dicernakan. Akibatnya ... buah-buahan yang sudah dikunyah dan bercampur enzym air liur akan membusuk sebelum mencapai lambung sehingga lama-kelamaan, tubuh kita akan teracuni dan timbul banyak masalah kesehatan. Itu teory yang di anut oleh food combining.

Mungkin ada benarnya juga. Sejak mengikuti cara makan a la food combining, urusan "ke belakang" menjadi lancar dan mulus. Padahal saya dulu termasuk penderita konstipasi dan suami penderita ambeien. Effek positif lainnya, berat badan relatif terkontrol, nggak gampang pusing dan merasa lebih sehat. Cuma repotnya, kalau sedang keluar kota dan ada perubahan pola dan menu makan, maka semuanya jadi kacau balau. Ya seperti suami saya itu .... mengeluh karena ritme bilogisnya berubah total dan dia merasa sangat tidak nyaman.

Buah-buahan terlebih bila dikonsumsi 15 - 30 menit sebelum makan "berat" memang dipandang aneh oleh orang kebanyakan. Saya ingat, malam minggu lalu, saat menghadiri resepsi pernikahan, seorang kawan lama terheran-heran saat saya menyantap buah-buahan ...

"Lho ... kamu sudah selesai makan ya? Kok cepat sih ... udah makan buah ....? Memang datang jam berapa?", begitu katanya.. Saya hanya tertawa mendengarnya..

"Saya biasa makan buah dulu, supaya kenyang dan makan malamnya cukup dalam porsi yang kecil saja...". Ini jawaban logis yang masih bisa diterima orang banyak. Kalau ngomongin food combining di tengah pesta, bisa dipelototin....hehehe ... lagi enak-enak mencicipi makanan kok dikuliahi .....

yang mau ngintip apa itu food combining, silakan kunjungi web site nya http://www.foodcombiningways.com Siapa tahu cocok..

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...