Kamis, 10 Juli 2008

Nggak naik kelas? Pindah aja...!!!!

Usai mengambil raport akhir tahun anakku, sambil mengantar anak ke rumah (karena saya harus segera kembali ke kantor), anakku cerita; temannya Hilda akan pindah sekolah sehingga murid di kelasnya hanya tinggal 14 orang saja.

"Kenapa pindah? Tanggung banget... sudah kelas 6, sebentar lagi ujian akhir."
"Nggak tau, deh, kata Filza, dia nggak naik kelas. Jadi orangtuanya minta ke sekolah supaya Hilda tetap naik kelas, dengan kesepakatan dia harus pindah sekolah.”
“Memang seberapa begonia sih temanmu itu, sampe nggak naik kelas?”
“Aduh ma… ribet sih…. Dia tu suka cari perhatian …. Waktu kami ujian semester, dia nggak masuk, jadi nggak ikut ujian. Terus waktu ada jadwal ujian ulangan, dia juga nggak ikut. Nah, gimana mau naik kelas? Ulangan harian, dia juga sering nggak ngerjain soal….”
“Mungkin dia sakit beneran….”
“Ih … nggak lagi. Bu Anggi kan buka tempat les piano dekat rumah Hilda. Nah bu Anggi pernah ketemu Hilda lagi main. Padahal itu lagi jadwal ujian yang dia nggak masuk-masuk itu lho…!”

Aku terhenyak mendengar cerita itu. Pasti ada yang nggak beres, entah sekolah dan guru-gurunya yang nggak beres, atau malah ada problem di keluarganya sehingga si anak menjadi korban. Apalagi, ada statement anakku yang menyatakan bahwa temanku itu suka mencari perhatian dari orang lain.
*****

Pindah sekolah karena tidak naik kelas menjadi budaya pendidikan di Indonesia. Entah sejak kapan, siapa pencetus gagasan tersebut dan siapa memulainya tetapi sekarang hal itu menjadi solusi bagi anak-anak yang tinggal kelas untuk menutupi “aib”nya. Padahal, bukankah kegagalan (tidak naik kelas atau tidak lulus) merupakan suatu hal yang biasa dan bagian dari pengalaman hidup. Apa guna kita membohongi diri … pura-pura pintar dan naik kelas, tapi pindah sekolah? Dunia pendidikan begitu banyak berubah …. Kita sudah kehilangan roh pendidikan.

Dulu, saat masuk kelas 7 (kelas 1 SMP) di SMPN1 Karawang, di kelas saya, kelas 1A ada 3 orang anak yang tinggal kelas. Ketiganya lelaki. Satu orang, aduh…. Minta ampun bandelnya, tapi dua lainnya baik-baik saja. Kalau dibilang mereka bodoh, rasanya nggaklah. Mungkin mereka nakal, sehingga kurang memperhatikan pelajaran, sebab saat mengulang, mereka termasuk dalam golongan rata-rata.

Saat saya masuk kelas 1 SMAK Xaverius di Jambi, juga ada yang mengulang. Temanku itu namanya Jafri …. Minta ampun juga bandelnya,. Senang mengganggu orang, dan aku termasuk salah satu orang yang suka diganggunya (saat masih di kelas 3 SMPK XAverius jambi). Tapi setelah sekelas di SMA dan bergaul, ternyata kami menjadi teman karib yang sering meluangkan waktu akhir pekan bersama, jalan-jalan ke Kenali Asam.

Begitu juga saat akhirnya aku pindak ke Jakarta dan masuk ke SMAK Fons Vitae 1 di jalan Matraman Raya 129 – Jakarta Timur… (Gile, masih inget juga alamatnya). Di sekolah khusus perempuan ini (saat itu, sekarang sudah gabung lelaki dan perempuan), ada 2 orang siswa yang harus mengulang karena tidak lulus ujian.

Memang, itu cerita kuno, yang terjadi lebih dari 30 tahun yang lalu namun berlangsung selama 6 tahun. Saat itu, siswa tidak naik kelas atau tidak lulus, merupakan hal yang biasa terjadi dan tidak menjadi sebuah pemandangan yang aneh bila dalam suatu kelas ada murid mengulang. Salah satu adikkupun ada yang pernah mengulang kelas. Tidak ada upaya atau intervensi orangtua yang “memaksa” anaknya harus naik kelas walaupun dengan konsekuensi pindah sekolah.

Memang, jaman sudah berubah. Tidak naik kelas, tidak lulus sepertinya menjadi aib besar yang harus ditutupi. Siswa menjadi beringas dan “menyerang” guru atau sekolah kalau tidak naik kelas. Mereka lupa bahwa ulangan dan ujian hanya sebuah alat untuk mengukur kemampuan kita menyerap pelajaran sekolah. Naik kelas hanya sebuah petanda bahwa siswa dianggap “mampu” melewati batas minimal. Siswa lupa, bahwa ulangan, ujian dan sekolah hanya salah satu kegiatan selama manusia hidup. Masih ada banyak kegiatan yang sebetulnya akan banyak mempengaruhi “keberhasilan” anak didik mengarungi hidup saat dewasa nanti. Bukan tidak mungkin kegagalan sekolah (tidak naik kelas dan tidak lulus) menjadi suatu pengalaman bagi manusia bagaimana “mengelola” emosi saat mengalami kegagalan untuk kemudian bangkit kembali.

Tapi, seperti biasa, bicara lebih mudah daripada melakukannya. Tetapi bukankah kita sebagai orangtua “wajib” ingat bahwa sekolah hanya salah satu wahana bagi anak-anak kita untuk belajar dan mendapatkan pengalaman sebagai bekal hidup. Dan pengalaman itu tidak harus pengalaman yang manis, tetapi juga pengalaman pahit. Bukankan hidup juga tidak selamanya manis???



4 komentar:

  1. Kalo baca koran tadi tentang keluarg ayang menemukan biometric, rasanya sekolah tidak jadi wajib lagi, selama orang tua mampu mendidik dan mengajarkan anak-anak mereka.

    BalasHapus
  2. Berani mengikuti mereka?
    Kalo nggak salah, keluarga H Agus Salim juga melakukan hal yang sama. dan kamu kan bagian dari keluarga besar H Agus Salim.

    BalasHapus
  3. Berani mengikuti mereka?
    Kalo nggak salah, keluarga H Agus Salim juga melakukan hal yang sama. dan kamu kan bagian dari keluarga besar H Agus Salim.

    BalasHapus
  4. Berani mengikuti mereka?
    Kalo nggak salah, keluarga H Agus Salim juga melakukan hal yang sama. dan kamu kan bagian dari keluarga besar H Agus Salim.

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...