Senin, 28 Januari 2008

Suharto dan Mama Lauren

Inna lillahi wa inna ilayhi rojiun .....
Minggu, 27 Januari 2008 bangsa Indonesia melepas kepergian orang yang kata mama Lauren, cenayang yang kondang dengan ketepatan ramalannya, dicintai banyak orang dan sekaligus dibenci banyak orang.

Dua minggu yang lalu, entah hari sabtu atau minggu 12 atau 13 Januari, saat sedang menjahit .... ini pekerjaan yang kadang saya lakukan mengisi week end. Biasanya ditemani dengan televisi, biar rame dan sesekali melihatnya kalau ada berita yang menarik/ Nah saat itu saya mendengar berita ... rasanya dalam suatu infotaintment; wawancara dengan beberapa cenayang/paranormal mengenai sakitnya pak Harto antara lain yang saya ingat dengan Aryo Pinuntun (?!) dan Mama Lauren.

Mama Lauren saat itu berkata, kira-kira begini.... (yang saya ingat) : saya bermimpi. pak Harto datang dan minta tolong untuk memberitahu anak-anaknya bahwa yang mereka lihat sebetulnya bukan pak Harto. Tolong lepaskan saya.... jangan dipegang erat-erat... saya sudah lelah..."
Mama Lauren kemudian menambahkan.... agar keluarga pak Harto pasrah dan mengikhlaskan kepergian pak Harto karena dia "melihat" belum ada keikhlasakn dari pihak keluarga.

Satu minggu kemudian juga dalam kondisi yang sama... week end dan sedang menjahit, saya terpaksa menghentikan sejenak kegiatan itu dan menyimak wawancara dengan mama Lauren. Saat itu, kalau nggak salah - maklum ... saya baru menyimak saat terdengar pertanyaan tentang pak Harto, beliau memakai baju berwarna pink duduk di bawah tenda sedang menerima tamu-tamu yang datang mengucapkan selamat ulang tahun. Mama Lauren mengatakan bahwa : Dalam beberapa hari ini, bangsa Indonesia akan kehilangan orang besar, mantan penguasa yang dibenci banyak orang sekaligus dicintai banyak orang..... Mari kita doakan pak Harto....(??!!!).

Saya cukup terperangah mendengar ramalan yang cukup tegas itu. Umur manusia ditangan Allah SWT, tidak ada satu manusiapun yang bisa menentukan sebagaimana tidak ada satu manusiapun yang bisa menghindarinya. Tetapi saya juga ingat bahwa beliau mengatakan bahwa ramalannya banyak dibuat berdasarkan penglihatan mata batinnya (claire-voyance) dan kebanyakan tepat. Sejak itu saya selalu menyimak berita mengenai pak Harto dan pers release dari Tim Dokter Kepresidenan - TDK.

Saat TDK menyatakan bahwa kondisi pak Harto mulai menuju ke arah perbaikan, ventilator sudah mulai dikurangi penggunaannya (disapih – istilah yang digunakan TDK), pak Harto sudah mulai diberikan makanan cair/minuman sedikit demi sedikit secara langsung, ada keraguan atas ramalan mama Lauren. Tetapi ... untuk alasan tertentu, sekaligus meyakini bahwa ”perbaikan” kondisi pak Harto akan selalu fluktuatif. Membaik .... untuk kemudian memburuk secara tiba-tiba dan akan berulang-ulang. Entah untuk berapa lama, selama alat-alat seperti ventilator yang kerja sebenarnya adalah memaksa jaringan sel-sel tubuh pak Harto bergerak melawan kodrat yang ditentukan Allah SWT. 

Dan saya membayangkan bahwa kerja alat-alat itu pasti sangat menyakitkan bagi tubuh rentanya. Sayangnya beliau sudah tidak mampu lagi untuk menyuarakan kondisi organ tubuhnya yang sudah rapuh. Saya memang bukan dokter, tetapi common sense saja, kala organ tubuh yang sudah ”lumpuh” dipaksakan bergerak, maka kesakitanlah yang dirasa. Semakin keras ventilator menyesapkan udara ke pembuluh alveoli di paru-paru, mungkin yang terjadi adalah pecahnya sel-sel tubuh yang menimbulkan perdarahan.

Dan itulah yang terjadi .... Allah SWT akhirnya berkenan mengakhiri penderitaan pak Harto. Semoga Allah SWT berkenan mengampuni dosa-dosanya baik sebagai manusia biasa maupun dosa sebagai pemimpin bangsa Indonesia, sebagai pengemban amanah rakyat.

Selasa, 22 Januari 2008

Pejuang yang sebenarnya

Seorang ibu menulis surat :
suatu hari, saya mendengar suara isak tangis dari kamar anak saya. anak lelaki yang sangat sukar diatur dan pecandu narkoba. diam-diam saya mengintip isi kamarnya. di atas tempat tidur tergeletak sebuah buku. sejak hari itu, perubahan besar terjadi.... dia berusaha keras menghentikan kecanduannya akan narkoba dan mulai kembali ke bangku kuliah. buku itu.... Laskar Pelangi telah mengubah jalan hidup anak saya.
Itulah prolog pada salah satu episode acara Kick Andy di Metro Tv. 

Apakah anda menonton acara Kick Andy di Metro TV yang dibawakan oleh si kribo Andy F Noya?  Kalau ya …. Mungkin, seperti saya, anda sempat kaget kalau pada hari Jum’at  18 Januari 2008 malam dan Sabtu 19 Januari 2008 sore, Metrotv menayang ulang episode Laskar Pelangi yang menampilkan pengarangnya, yaitu Andrea Hirata. Ini merupakan tayangan ulang ke dua kali setelah yang pertama kali pada tanggal 4 dan 7 Oktpber 2007 yang lalu.

3 kali saya menonton episode Laskar Pelangi ini, yaitu 4 Oktober 2007 serta tayangan bulan Januari 2008 tersebut. Tiga kali pula saya tidak mampu menghalau airmata merebak, terutama saat Andrea tak mampu menyampaikan kesan untuk gurunya, yang menurut Andy F Noya tidak dapat hadir ke studio. Terbayang isi buku Laskar Pelangi dengan episode-episode pendek yang menceritakan karakter para anggotanya melalui berbagai peristiwa yang terjadi selama kurun waktu 9 tahun serta perangai dari teman-teman sekolahnya. Kesemuanya mengandung hikmah kehidupan yang teramat dalam.

Sebut saja tentang Lintang. Si super jenius yang menjadi ”musuh bebuyutan” Ikal alias Andrea Hirata ini, harus menempuh 80 km pergi pulang setiap hari dengan hanya mengendarai sepeda butut dan itu terus dilakukannya walaupun harus menempuh hujan badai dan bahkan suatu hari, ia dihadang dan hampir diterkam buaya. Anak nelayan pesisir itu melakukannya dengan senang hati. Tak seharipun dia bolos sekolah. Padahal, usai sekolah, dia masih harus bekerja membantu bapaknya, si cemara angin, yang memiliki tanggungan 14 nyawa di rumahnya. Atau Trapani yang sangat bergantung pada ibunya.

Selama ini kita selalu melihat hidup dari sudut pandang strata sosial dimana kita berada. Keberadaan kaum marginal selalu dipandang sebagai ”ancaman” yang mengusik kenyamanan hidup kita, tanpa mau melihat bahwa sebagian dari mereka masih memiliki keinginan untuk maju, untuk mengubah nasibnya kelak.

Atau, mungkin peri kehidupan kaum marginal di pelosok daerah memang berbeda dengan kaum marginal urban. Nilai-nilai spiritual dan budi pekerti luhur yang secara tradisional dianut oleh masyarakat Indonesia seperti sifat gotong royong dan saling membantu masih sangat lekat dalam kehidupan mereka. Sementara kehidupan kaum marginal perkotaan telah tercemar oleh gaya hidup materialitis dan hedonistis sehingga perilakunyapun berubah menjadi premanisme yang keras. Tetapi betapapun adanya perbedaan tersebut, kaum marginal memang menjadi golongan yang selalu luput dari perhatian pemerintah.

Dalam buku Laskar Pelangi kita diajak untuk melihat kehidupan anak manusia dari sudut pandang kaum marginal. Namun sudut pandang itu tidak mengiba-iba meminta belas kasihan kita. Dia justru mengobarkan semangat mengobarkan harapan walaupun tidak semua semangat dan harapan tersebut terpenuhi.

Laskar Pelangi, buku pertama dari tertralogi Laskar Pelangi – Sang Pemimpi – Edensor, ketiganya sudah terbit dan terakhir Maryamah Karpov yang baru akan terbit, memang fenomenal dalam belantara perbukuan Indonesia khususnya untuk segelintir karya yang bisa dimasukkan ke dalam golongan elite bernama karya sastra.

Konon, buku ini tidak direncanakan untuk diterbitkan. Hanya sekedar untuk memenuhi janji yang sempat terucap kala Andrea (Ikal, nama panggilannya dalam Laskar Pelangi) masih dibimbing oleh ibu Mus (Muslimah Hapsari). Apalagi Andrea mendengar kabar bahwa ibu Mus sedang sakit. Maka ditulislah memoire yang mengambil judul Laskar Pelangi. Julukan bagi 10 orang murid terakhir dari perguruan Muhamadiyah Belitong.

Buku itu seperti sebuah sandiwara kehidupan riel yang dituliskan kembali oleh Andrea Hirata berdasarkan scenario yang digariskan oleh Sang Pencipta dengan pemain kepala sekolah, guru kelas serta 10 murid terakhir Perguruan Muhammadiyah. Karenanya banyak hikmah dan pelajaran hidup yang patut dijadikan bahan renungan.

Hidup ini hendaknya dijalankan untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk mengambil sebanyak-banyaknya. Ucapan pembuka dari KA Harfan M Noor, sang kepala sekolah menjadi adalah pelajaran budi pekerti yang luhur yang akan selalu menjadi pegangan hidup anak-anak Laskar Pelangi.

Sebagai orang yang pernah hidup diberbagai kota kecil baik di pulau Jawa maupun Sumatera pada awal pemerintahan Suharto, saya juga akrab dengan kehidupan keras masyarakat kecil. Teman sebangku saya, di SDN Bhineka II Karawang, anak supir di BRI tinggal di gubuk berlantaikan tanah berdesakan dengan 4 keluarga lainnya. Mungkin mirip dengan kondisi rumahnya Lintang. Dia harus melepas keinginannya untuk tetap bersekolah demi meringankan beban orangtuanya. Menikah di usia 12 tahun setelah sempat mengecap bangku SMP selama 3 bulan saja. Kala teman-temannya asyik berolahraga, berlarian atau menyimak pelajaran di kelas, dia sudah harus mengurus bayi yang dilahirkannya satu tahun kemudian.

Andrea memang beruntung atau Allah SWT memang telah menggariskan hidupnya seperti ini, agar dia mewartakan perjuangan anak-anak kaum marginal nun jauh di pelosok desa untuk meraih asa. Mereka bisa jadi anak-anak kuli angkut di tengah kemewahan koloni kecil bernama komplek perumahan perusahan multinasional yang menjarah kekayaan alam Indonesia. Atau bisa jadi anak-anak jermal di tengah perairan laut Cina Selatan.
*****

Beberapa waktu yang lalu, sempat terbetik kabar bahwa Laskar Pelangi akan dituangkan dalam versi film layar lebar. Semoga hasilnya sebaik apa yang tertulis dalam bukunya. Pasti sangat tidak mudah menuangkan isi buku yang indah ini ke dalam layar lebar. Para pemain filmnyapun belum tentu mampu menghayati dan mengadopsi karakter sesungguhnya dari para pelaku memoire itu. Pemain film yang terpilih tentu berasal dari kalangan “the haves” yang sama sekali tidak mengerti kehidupan nyata kaum marginal.

Berbagai buku “best seller” menjadi gagal total saat diadaptasikan ke dalam layar lebar. Sebut saja buku The Da Vinci Code atau Perfume yang saat diadaptasikan ke dalam layar lebar menjadi kehilangan gregetnya. Mungkin, hal ini juga disebabkan karena saat membaca, emosi dan imajinasi pembaca turut bermain dan mempengaruhinya.

Tapi, siapa tahu, ditengah keterpurukan di segala bidang, Indonesia mampu menghasilkan karya film sekelas The Sound of Music. Karena Laskar Pelangi memang sangat menarik.

Andrea Hirata memang sudah membuktikan dirinya sebagai “orang hebat”. Anak kuli yang mampu mengubah nasibnya melalui pendidikan. Bukan sekedar menjadi sarjana dari universitas ”ecek-ecek”, tetapi dari Universitas penyandang nama negara, Universitas Indonesia, yang pasti ditempuhnya dengan susah payah. Bahkan ia mampu memperoleh beasiswa untuk menikmati pendidikan jenjang S2 di Sorbone – Paris IV dan salah satu Universitas di Inggris.

Andrea seakan membalikkan paradigma bahwa keberhasilan anak tergantung dari sekolah yang dimasukinya dengan kurikulum internasional. Inilah yang menyebabkan orangtua selalu berlomba-lomba menyekolahkan anak ke sekolah favorit. Andrea adalah produk dari SD – SMP bobrok nun di pelosok salah satu pulau yang gemerlap, namun masih menyisakan pendar-pendar feodalisme dan kolonialisme yang kejam. Selama 9 tahun dia dan teman-temannya hanya dididik oleh seorang ”mahaguru” lulusan Sekolah Kepandaian Putri – SKP, sekolah setara SMP, yang mengajar seluruh mata pelajaran di kelasnya.

Andrea adalah satu dari sedikit anak Indonesia yang betul-betul mampu menjungkilbalikkan berbagai teori dan paradigma pendidikan. Mungkin masih banyak Andrea-Andrea lain di pelosok negeri ini. Kepada merekalah kita seharusnya memberikan perhatian yang lebih, Mereka adalah pejuang yang sesungguhnya. Pejuang yang ingin melepaskan diri dari rasa iba kaum berpunya (negara donor?!) yang berjuang tanpa pamrih demi harga diri. Persis seperti petuah sang kepala sekolah : Hidup ini hendaknya dijalankan untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk mengambil sebanyak-banyaknya. 

Mereka dan kaum marginal di pelosok dan pedalaman Indonesia, bisa jadi merupakan pejuang tangguh yang mampu membawa negara ini keluar dari keterpurukan.

lebak bulus 21 januari 2008

Senin, 21 Januari 2008

Laskar Pelangi


Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Andrea Hirata Seman
Laskar Pelangi, menurut Andrea Hirata ditulis bukan dengan maksud untuk diterbitkan tetapi untuk memenuhi janji yang diikrarkannya saat dia masih bersekolah di Belitong. Saat itu, hujan turun sangat deras, kilat dan halilitar bersahut-sahutan ... murid-murid ketakutan. Di tengah derasnya hujan, sosok mungil ibu Mus, muncul dengan berpayung daun pisang. Saat itulah Andrea (Ikal - dalam buku tersebut) berjanji, suatu saat akan menuliskan pengalaman hidupnya itu untuk didedikasikan kepada igu gurunya itu.

Laskar Pelangi, dibuka dengan suasana hari pertama di SD Muhammadiyah - SDM Belitong. SD orang-orang yang termarjinalkan dalam strata sosial kehidupan masyarakat Belitong. Saat itu, SDM terancam akan ditutup bila tidak mendapatkan minimal 10 orang anak di kelas 1. 9 anak telah mendaftar. Mereka dan orangtuanya harap-harap cemas, akankah harapan untuk mendapatkan pendidikan dapat terpenuhi. Maklumlah, mereka hanyalah termasuk golongan orang-orang Melayu miskin yang tidak mungkin bersekolah di SD PN, julukan bagi sekolah yang didirikan oleh PN Timah. Untunglah... di saat kritis, muncul Harun... Pemuda yang telah berusia 15 tahun, penyandang keterbelakangan mental menggenapi jumlah murid menjadi 10 orang.

Laskar Pelangi sarat dengan pelajaran budi pekerti dan berbagai mutiara kehidupan. Kemiskinan tidak menjadi ajang untuk memeras airmata iba, namun menjadi pendorong untuk menggapai kemajuan.

Laskar Pelangi membawa pembacanya untuk tertawa, menikmati indahnya kehidupan anak-anak dan sekaligus menangis haru, membayangkan kerasnya perjuangan anak-anak miskin tersebut, sebut saja perjuangan Lintang - si bintang kelas super genius yang harus menempuh 80km pp setiap hari dengan sepeda bututnya demi harapan untuk memperbaiki nasib keluarganya sebagai nelayan miskin walaupun harapan itu harus sirna berbarengan dengan wafatnya sang ayah.

Atau kejeniusan Mahar dalam bidang seni yang kemudian mampu membawa Sekolah Muhammadiyah memperoleh piala dalam pawai/karnaval 17 Agustus, piala yang dari tahun ke tahun selalu digenggam oleh sekolah PN.

LASKAR PELANGI, buku pertama dari tertalogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov adalah buku yang wajib dibaca terutama untuk orang-orang kota yang bergelimang fasilitas.

Jumat, 18 Januari 2008

Mlaku-mlaku neng Yogyakarta…..


Jum’at 28 desember 2007 adalah hari terakhir liburan kami di Yogyakarta. Usai shalat subuh dan membereskan koper, saya mengintip dari jendela kamar ke arah inner court. Ingin tahu apakah cuaca pagi sudah lebih bersahabat. Semalam hujan deras mengguyur Yogyakarta sehingga acara makan malam berupa gudeg di kawasan Wijilan terasa kurang nikmat. Untunglah, cuaca terlihat lebih cerah.

Anak gadis saya masih tidur. Begitu juga dengan para keponakan, adik, dan suami. Usai makan gudeg sambil kehujanan di Wijilan, kami sempat mampir ke “Kakiku”. Tempat pijat dan reflexology di depan hotel dan ramai-ramai dipijat seluruh tubuh, kecuali suami yang hanya berkenan pijat kaki. Sekarang mereka tentu masih nyenyak tidur karenanya.

Jam 5.30 saya, iseng keluar kamar … niatnya menuju pasar pathuk. Jalan kaki, melemaskan otot sekaligus mencari bekal perjalanan pulang. Di depan pasar ada penjual serabi Solo. Sehari sebelumnya, saya sudah mencicipi dan kelihatannya semua orang suka. Kali ini ingin memberi dua doos. Satu doos di setiap mobil. Dalam setiap perjalanan panjang yang menyertakan anak-anak, kita harus selalu siap sedia dengan makanan pengganjal lapar. Kalau tidak, tiba saat makan dan belum terlihat restoran yang sesuai selera dan layak dikunjungi, maka anak – anak akan menjadi rewel dan bahkan akan menangis.

Di halaman hotel ada seorang pengemudi becak yang langsung menghampiri saya.
“Mari bu …. Monggo, kemana ibu kerso. Saya bawa ibu keliling-keliling sekitar kraton atau Beringhardjo. Murah kok, tiga ribu saja.”
Duh… saya tidak berminat ke sana. Kamis sore, sepulang dari Prambanan, saya dan anak gadis sudak mengunjungi Beringharjo. Sudah dapat rok batik ber payet[1] model “duyung” untuk dipakai pada pesta pernikahan Nanda. Itu untuk dipakai anak gadis saya, melengkapi seragam kebaya brokat yang sudah selesai  saya jahit sebelum berangkat liburan. Tinggal lagi memasang payetnya.

“Nggak mas, terima kasih. Saya cuma mau ke pasar pathuk saja, kok”
Ada raut kecewa tergambar di wajahnya. Pengemudi becak itu rupanya memang selalu mangkal di depan hotel D. berharap agar penghuni hotel menggunakan jasanya untuk berkeliling kota atau ke Malioboro walau jarak hotel ke Malioboro hanya sekitar 100 meter saja. Selain itu… sudah lama sekali saya tidak naik becak. Mungkin sudah 25 tahun, yaitu sejak becak dilarang beroperasi di Jakarta. Lagipula, bukankah becak merupakan salah satu bentuk l’exploitation de l’homme par homme?[2]  Maka sayapun berlalu, menuju toko serabi.

Pulang dari pasar si pengemudi becak berupaya lagi merayu saya menggunakan jasanya.
“Ayo bu … keliling-keliling kraton dan kauman. Nanti ibu saya ajak ke tempat batik atau dagadu yang asli. Lebih bagus daripada yang ada di Malioboro atau Beringharjo”
“Lha… memangnya sudah buka, sepagi ini?”
“Sudah bu… kan kita langsung ke rumahnya…”

Entah kenapa, tiba–tiba terbersit ide …. Kenapa tidak saya manfaatkan saja jam–jam terakhir di Jogja untuk keliling kota. Kami belum sempat mengunjungi kraton. Niat saya membuat foto gedung Bank Indonesia dan Bank BNI, juga belum tercapai. Interest orang dewasa dan anak-anak selalu bertentangan dan karena ini liburan anak–anak, maka merekalah yang mengatur acara. Rasanya tukang becak di Yogyakarta layak diberi penghargaan atas keterlibatan dan kegigihan menarik penumpang berkeliling kota. Ini bentuk langsung keterlibatan mereka dalam mempromosikan kotanya.

“Berapa biayanya kalau keliling keraton dan kauman, lalu antar saya balik lagi ke sini?”
“Terserah berapa ibu mau memberi…”
“Walah…. Ya jangan begitu. Berapa maunya…?”
“Sepuluh ribu ya bu….”
“Keliling-keliling, terus mbawa saya balik lagi ke sini?”
“Ya bu……”
“Ok, tunggu ya… saya taruh serabi di kamar dulu”.

Di kamar, anak gadisku masih terkapar tidur. Masih belum ada yang terbangun. Hari baru jam 6. Saya pikir, ada cukup waktu yang bisa dimanfaatkan keliling kota naik becak sambil menunggu waktu makan pagi. Persetan dengan l’exploitation de l’homme par home. Selain ingin menikmati suasana pagi di Yogya, saya hanya ingin memberikan kebahagiaan dan kepuasan kepada pengemudi becak itu. Bahwa dia sudah berhasil merayu saya. Bahwa sepagi ini dia sudah mendapat rejeki yang bisa dibawa pulang nanti buat anak dan istrinya di rumah.

Maka, naiklah saya ke dalam becak, berkeliling kota sambil potret sana, potret sini menggunakan sony ericsson. Camera phone yang selalu saya kantongi. Tujuan pertama adalah ke daerah Kauman dimana banyak terdapat pengrajin batik. Sayangnya seperti sudah diduga, semua masih tutup  Perjalanan lalu dilanjutkan mengelilingi tembok keraton dari mulai arah Taman Sari hingga ke alun–alun. Tiba–tiba teringat niat untuk membuat foto ke dua bank milik pemerintah itu.

“Mas, lewat ke depan bank Indonesia ya…”
“Yang dekat kantor itu, bu…”
“Ya…. Jalan pelan–pelan lewat sana ya…”

Usai melewati Bank Indonesia, saya ditawari lagi untuk membeli batik
“Sepagi ini, mana ada yang buka?”
“Ada bu … saya tunjuki ibu tempat yang bisa saya sambangi. Banyak ibu–ibu yang mborong di situ”

Dia lalu memutar lagi haluan becaknya. Jujur, saya tidak tahu ke arah mana becak dibawa. Tapi, rasanya masih di sekitar keraton. Masih di wilayah yang berada di dalam gerbang batas wilayah kraton atau plengkungan, kata orang hotel. Di depan rumah yang cukup mewah bertuliskan “Rumah Batik”, becak dihentikan.

Mati saya….. kalo saya dibawa kesini, bisa runyam. Ini pasti batik kelas mahal. Sementara di dompet hanya ada beberapa lembar uang yang hanya cukup untuk membayar 2 kali makan dalam perjalanan pulang. Untung bisa bayar pakai CC. Kalau nggak, jatah makan dalam perjalanan pulang, bisa terkuras.

Selesai membeli batik oleh–oleh untuk ibu saya, pengemudi becak menawari saya ke tempat Dagadu. Kebetulan, saya masih memerlukan beberapa helai TShirt untuk oleh–oleh. Kira–kira  seperti tshirt dagadu yang saya beli di Malioboro. 11 ribu per helai. Nggak perlu yang asli. Tapi, lagi-lagi …. Itu toko Dagadu yang asli. Harga kausnya 3–5 kali dari harga eceran di Malioboro yang ternyata as-pal. Pemilik Dagadu itu tahu persis bahwa semua design yang ada di tokonya ada padanannya di Malioboro. Bahkan bukan tidak mungkin kaus-kaus itu merupakan produk kelas dua mereka. Saya membeli 3 buah kaus berlengan panjang. Anak saya pasti suka sekali dibanding dengan yang berlengan pendek.

“ibu masih mau jalan kemana lagi?”
“Nggak ah, cukup! Kembali saja ke hotel”
Saya baru tersadar, hari sudah cukup siang dan lalu lintas di jalan mulai ramai. Ada rasa sesal meninggalkan anak sendiri di kamar sementara saya menikmati perjalanan solitaire … yang  sangat jarang saya lakukan. Ternyata, tak terasa sudah 75 menit becak dikayuhkan mengantar saya mengelilingi wilayah kraton.

Duh beratnya mengais rejeki…..! Sepuluh ribu untuk 75 menit mengayuh becak dengan beban seberat orang dewasa? Tak sanggup dibayangkan betapa lelahnya… Betapa beratnya napas ditarik….betapa banyak energi yang telah terkuras!

Turun dari becak, saya mengeluarkan dompet dan segera membayarnya….. tanpa melihat, segera saya tarik lembaran uang dari dompet. Semoga bukan lembaran sepuluh ribu yang keluar dari dompet… Semoga dia merasa cukup puas dengan upah yang diterimanya sepagi ini……

Reedit sabtu 5 januari 2008





[1] paillette
[2] Eksploitasi manusia oleh manusia

Senin, 07 Januari 2008

Jeritan dari Yogyakarta.

Sebetulnya, sama sekali tidak ada niat untuk menyelidiki kondisi para karyawan hotel tempat kami menginap selama liburan akhir tahun 2007 lalu di Yogyakarta. Cerita itu mengalir begitu saja, terutama saat para karyawan tersebut mengetahui bahwa saya kenal dekat dengan pemilik hotel. Bahkan satu di antaranya masih ingat bahwa saya pernah berkunjung ke hotel bersama anak sulung pemilik hotel, hampir sepuluh tahun yang lalu.

Semuanya berawal dari rengekan anak gadis saya untuk berlibur melihat candi Borobudur dan Yogyakarta atau Solo menjadi kota tujuan untuk menginap. Pilihan jatuh ke Yogya, karena buat suami, Yogya lebih familiar. Anakpun memilih Yogya karena dia kenal nama kota tersebut melalui alunan suara Katon Bagaskara.

Tidak ada yang salah dari pilihan mereka. Yogya memang sudah dikenal sebagai salah satu kota tujuan wisata di Indonesia. Apalagi, ada 2 orang teman kantor yang berasal dari Yogya Kebetulan, keluarga keduanya memiliki losmen yang disewakan kepada turis. Bahkan kantor saya memiliki proyek di kota ini. Apalagi, di belakang proyek, ada rumah besar yang konon kamar-kamarnya (lengkap dengan kamar mandi di dalamnya) disewakan dengan tarif hanya seratus ribu per malam. Jadi klop-lah pilihan untuk menjadikan Yogya sebagai basis selama liburan akhir tahun itu.

Saat memilih penginapan, ketiga alternatif itu menjadi bahan pertimbangan. Kami memang ingin agar perjalanan ini tidak menghabiskan dana yang terlalu besar. Apalagi, ternyata beberapa hari menjelang hari H, adik ipar dari Bandung menanyakan kemungkinannya untuk ikut serta berlibur ke Yogya. Di samping itu ada 2 orang keponakan, juga dari Bandung yang ingin turut. Alih-alih hanya 3 orang yang berwisata, perjalanan kami akhirnya diikuti oleh 5 orang dewasa, 2 remaja dan 2 anak. Pilihan menginap di rumah belakang proyek terpaksa di dropped, karena suami ingin menginap di tengah kota. Sangat spesifik disebutkan….”tidak jauh dari Malioboro”.

Kakak iparnya Bayu, memiliki losmen di daerah Sosrowijayan di wilayah Malioboro juga. Problemnya losmen tersebut terletak sejauh + 50 meter masuk di gang dan tidak memiliki parkir sehingga penghuni harus menitipkan mobil di sepanjang jalan Sosrowijayan. Sedangkan Agung tidak sempat dihubungi secara serius karena mobile phone nya tidak pernah diangkat. Akhirnya pilihan jatuh kepada hotel D yang saya sebutkan di atas. Lokasinya juga tidak jauh dari Malioboro. Di salah satu jalan yang berhubungan langsung dengan Malioboro sebagaimana jalan Sosrowijayan. Dan saya, kira-kira tahu bagaimana kondisi hotel tersebut. Maka mulailah saya menelpon keponakan pemilik meminta nomor telpon manager hotel, setelah tidak berhasil menelpon si pemilik karena ternyata, sang pemilik beserta anak-menantu-cucu2nya sedang berlibur akhir tahun di luar negeri.

Sang keponakan dengan sigap memesankan kamar hotel, setelah saya katakan bahwa selama 2 hari saya tidak berhasil menelpon manager hotel melalui mobile phone nya.  Tidak lama kemudian masuk telpon dari sang manager. Setelah berbasa-basi meminta maaf tidak menjawab telpon saya, dia mengatakan :
“Ibu …. maaf, kondisi hotel kami kurang memadai untuk menerima ibu menginap disini”

Sungguh, agak kaget saya menerima jawaban yang terkesan menolak secara halus itu. Hampir terbersit pikiran buruk … jangan-jangan mereka menduga saya ingin menginap gratis. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud mendapatkan kamar secara gratis. Sudah siap lahir batin untuk membayar.

Ada apa..? Apakah hotel sudah terisi penuh untuk akhir tahun? Saya berharap bisa mendapat 2 kamar untuk 2 malam pada minggu terakhir Desember nanti. Suami saya ingin sekali menginap di wilayah Malioboro”
“Maaf bu …. Tentu masih ada kamar tersisa. Kalau ibu mau, bisa kami siapkan. Kami hanya menyampaikan apa adanya. Kondisi kamar tentu tidak sebagus 8 tahun lalu saat ibu mengunjungi kami.”
“Ok, tolong sementara di reserved saja dulu. Nanti saya kabari lagi, apakah saya jadi mengambil kamar-kamar tersebut atau dibatalkan.”

Saya menyampaikan hasil pembicaraan itu pada suami. Seperti biasa jawabnya selalu “asal-asalan”
“Ambil sajalah! Toh kita cuma numpang tidur! Kita berlibur pada peak season. Tidak mudah dapat kamar, jadi masih lebih baik daripada kalian kuajak ngemper[1] tidur di mesjid”.
“Ya sudah … asal jangan kecewa belakangan….!!”

Begitulah, hari selasa 25 desember 2007, sekitar jam 19 di tengah gerimis kecil kami tiba di hotel setelah menempuh perjalan selama 10 jam dari Bandung melalui jalur selatan. Hotel D ini, setahu saya adalah hotel Melati yang cukup baik. Jaraknya hanya sekitar 100 meter dari Malioboro. Bangunannya terdiri dari 2 lantai dengan + 30 kamar. Seluruh kamar dibangun mengelilingi inner court seluas 15 x 15 meter tempat tamu bisa duduk-duduk. Ada ruang makan berkapasitas 5 meja @ 4 kursi, di samping kanan pintu masuk dan lobby kecil. Selain itu tidak ada fasilitas lain.

Saat tiba, hanya ada satu orang duduk di concierge. Tidak ada petugas lain. Tapi tak apa… di luar negeri, ada banyak hotel yang tidak menyediakan bell boy untuk melayani tamu, membawakan koper ke kamar.

Sesuai pesanan, ada 3 kamar yang diberikan. 2 buah berada di bawah dan satu kamar berada di atas. Kamar pertama persis di sebelah tangga, diisi double bed. Ini saya berikan pada adik yang membawa 2 anaknya. Saya  dan anak gadis juga mengambil kamar di bawah. Untuk suami dan keponakan, biarlah mereka di atas.

Bau lembab langsung menyergap hidung saat kamar dibuka walaupun hawa sejuk sudah berhembus dari pendingin ruang yang ternyata sudah dihidupkan sejak pagi. Anak gadis saya langsung menampakkan wajah kusut…..
“Ma…. Boleh pindah hotel, nggak…?
Saya termangu, tidak bisa segera menjawab pertanyaannya. Sungguh … kondisi kamar hotel sama sekali di luar dugaan saya. Sekitar 10 tahun yang lalu, saat kantor saya mengambil alih pengelolaan hotel di Batu, bos sering uring-uringan dengan kondisi hotel yang buruk. Menyesali keteledoran pengelola lama dalam pemeliharaan. Beliau segera memerintahkan kami melakukan renovasi hampir total terhadap seluruh kamar hotel secara bertahap.

Ternyata kondisi kamar hotel D ini jauh lebih buruk daripada kamar hotel di Batu sebelum renovasi. Sebagian plafond kamar dekat pendingin ruang tergambar bercak air. Mungkin ada pipa yang bocor. Kamar mandi tidak jauh berbeda …. Plafond penuh bercak. Kran air bocor atau tidak bisa ditutup sempurna. Fasilitas, hanya tergeletak 2 buah sabun. Tanpa handuk ataupun kertas pembersih. Televisi jebol, kulkas tidak dingin, begitu juga dengan pesawat telpon. Hanya handset nya saja yang tetap berada di atas bed side table. Semuanya terasa lebih sebagai penghias ruang dari kepatutan kelengkapan sebuah kamar hotel. Pantas kalau anak saya tidak berkenan dengan kondisi kamar…. Pantas juga, belakangan saya melihat bahwa dalam peta pariwisata Yogya, lokasi D tidak lagi diberi notasi H tetapi L alias losmen. Turun derajatnya, sudah. 

Pertanyaan anak belum terjawab, suami sudah turun lagi, meminta kamar lain. Rupanya, dia tidak tahan dengan bau lembab kamar. Untung masih ada kamar lain yang kelihatannya lebih baik. Selintas, sempat saya sampaikan keluhan anak gadis saya ke suami. Seperti biasa, walaupun dia sempat meminta pindah ke kamar yang kondisinya lebih baik, dia tetap saja menjawab :
“Nggak gampang cari kamar di akhir tahun. Apalagi yang dekat dengan Malioboro. Sudahlah … yang penting ada tempat tidur. Kita toh akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar.”
Ya sudah, kalau begitu maunya.

Sambil menunggu redanya hujan serta menunggu suami dan adik untuk makan malam ke Malioboro Mall, saya mengajak ngobrol receptionist hotel;
“Mbak R, besok datang? Ingin ketemu lagi … Entah apakah dia masih ingat saya”
“Ndak bu …. Bos-bos ndak ngantor disini. Paling hanya satu kali sebulan. Untuk control saja”
“Oh….! Kamar hotelnya penuh, mas?”
“Ndak juga, bu. Hanya saja besok akan masuk lagi tamu. Titipannya ibu E, dari Manado
“Memang ada berapa kamar tersisa?”
“Kami hanya bisa menjual 18 kamar dari 30 yang ada. Itupun hanya 15 yang bisa dipakai alakadarnya. 3 lagi sama sekali tidak bisa dipakai”
“Lho, kenapa…?”
“Anu bu…. Kamarnya kosong. Selain ndak ada ranjangnya, gentingnya kalau hujan juga bocor bu. Jadi ndak bisa dijual. Yang tiga itu, kalau diisi dan kamar mandinya dipakai, pipa-pipa airnya bocor dan merembes ke kamar bawah.”
“Lho…. Kok bisa? Ranjangnya kemana”
“Anu bu …. dikirim ke Semarang untuk itu lho ….  untuk markas kelompok wayangnya ibu”.
“Oh gitu… terus kenapa nggak beli ranjang baru…?
“Ndak ada duitnya bu ….”
“Hehehe…. Ibu itu banyak duitnya lho….!”
“Nah .. itulah. Anak wayang itu banyak ngabisin duit ibu lho…! Dibawa ibu ke India, ke Cina … rekaman ini, rekaman itu… semua duitnya ibu…”

Saya terdiam … ingat rukan[2] yang dimiliki ibu di komplek dekat rumah beliau di bilangan Kemang Utara.  Beberapa di antaranya “dipaksa” ibu dijual untuk membiayai kegiatannya dalam membina kesenian tradisional Jawa. Mungkin senilai hampir 3 miliar yang sudah dihabiskannya dari hasil penjualan beberapa rukannya.

“Tadinya, saya pikir hotel ini sudah direnovasi … sudah ditambah jumlah kamarnya. Saya pernah liat gambar arsitekturnya. Yang dibuat oleh mas Heru…!”
“Ndak bu … Memang sudah sempat selametan … tumpengan sekalian perletakan batu pertama. Tapi entah kenapa, pembangunannya dibatalkan”
“Sayang ya …. Lokasi ini cukup strategis….!”
“Ya bu…. Dulu, ada temannya mbak D dari Jerman … Rsh namanya. Tahun lalu ada juga dari Malaysia datang. Semua, katanya mau Invest. Mau kerjasama. Tapi semua juga ndak ada kelanjutannya”.

Saya terdiam, sangat paham mengapa semua rencana itu tidak berhasil. Saya cukup kenal ibu dan anak-anaknya. Cukup tahu logika bisnis ibu. Ibu yang sangat generous dalam hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan social tetapi bisa sangat keras dan sangat “berhitung” saat berbicara mengenai honor/gaji pegawai dan buruh yang menggantungkan nasib dan periuk nasinya di perusahaan yang dimilikinya. Namun ….. bisa terjadi, tanpa ada angin atau hujan, beliau tiba-tiba menjadi sangat pemurah dan memberikan hadiah baik berupa natura atau uang dalam jumlah yang tidak terbayangkan siapapun juga kepada karyawan dan buruh-buruhnya. Ibu memang selalu penuh kejutan dan kontradiktif. Sementara anak-anaknya, terutama mbak D yang sering diumpamakannya sebagai Burung Merak, belum mampu meraih kepercayaan penuh dari ibu untuk mengelola bisnis keluarga.
 
“Sayang ya… aset berharga begini dibiarkan hancur”.
“Mau bagaimana lagi bu…?!
“Jadi, siapa yang sekarang pegang hotel dan gedung pertemuan? Masih keluarga ibu?”

Saya teringat bahwa ibu memang membentuk sebuah yayasan yang menguasai seluruh aset-aset/perusahaannya dengan tujuan untuk memberdayakan keluarganya.
 
“Ndak lagi bu… semua sudah didepak! Sekarang mbak R dan ibu E yang pegang. Ibu percaya sekali sama mereka. Padahal kami semua tahu bagaimana permainan mereka… Ibu itu banyak ditipu orang”
“Oh jadi mbak R bukan anggota keluarga, ya…?”
“Bukan bu… Orang luar..”

Saya juga ingat saat mengawasi renovasi dulu. Ternyata, saat bangunan dibongkar, baru diketahui bahwa sebagian besar dinding hotel tidak ditunjang oleh pondasi batu keliling tetapi hanya bertumpu di atas sloof saja. Padahal kontraktor pelaksananya adalah keponakan ibu sendiri dan pada gambar serta spesifikasi bangunan jelas tercantum keharusan adanya pondasi batu kali.

“Kenapa nggak bilang sama ibu…? Kamu kan orang lama”
“Ndak berani bu …! Nanti ibu-ibu itu marah dan kami bisa digeser atau malah dipecat. Orang kecil seperti kami, wis tuo[3]… mau cari kerja dimana lagi?”
“Iya ya… jaman susah begini. Apa-apa mahal, kalo gak punya kerjaan juga susah ya…”
“Ya mau apalagi, bu …? Sebetulnya, kerja disini, kalau dipikir-pikir, kok ya ndak nututi[4] kebutuhan hidup. Tapi ndak kerja malah tambah susah”
“Sudah lama kerja disini?”
“Sejak hotel dibuka.. Dulu sih enak, waktu masih dipegang pak B”.
“Tapi, dulu kan hotel baru. Jadi wajar kalau bagus pemasukannya.” Saya berusaha netral.
“Nah itu dia bu … Mengelola hotel kan gak mudah. Apalagi kalo sudah jelek seperti ini.”
“Betul … Nggak ngomong sama mbak R atau langsung sama ibu supaya kondisi hotel diperbaiki? Idealnya setiap 5 atau maksimal 10 tahun, hotel harus di refurbished. Kapan hotel ini dibuka”
“Tahun 90. Kami sudah minta renovasi lagi bu … Kan waktu tahun 2000 dulu, baru sebagian yang direnobasi. Tapi dijawab, hotel ndak punya uang…..”

Saya hanya bisa tertawa kecil… Bagaimana mungkin hotel bisa punya uang, kalau kondisinya seperti ini. Yang ada, malah semakin kehilangan konsumen. Tetapi, walaupun begitu, ibu sebagai pemilik, tidak mungkin tidak punya uang. Saat ini beliau sedang merenovasi total rumahnya. Saya taksir, milyaran rupiah akan dihabiskan untuk renovasi tersebut.

“Coba ibu bayangkan, sprei itu belum pernah dibelikan lagi yang baru sejak pertama kali hotel beroperasi. Yang repot, kalau ibu rawuh[5] dan menginap disini… wah semua kena semprot… Ndak bisa ngurus kebersihan… katanya. Padahal, bukan soal ndak diurus… gimana mungkin sprei yang usianya sudah 17 tahun bisa putih bersih kinclong seperti maunya ibu.”
“Hehehe… repot juga ya….” Jawab saya.
Sekarang baru terjawab sebabnya, mengapa sprei tidak terlihat berwarna putih gres tetapi agak keabu-abuan dan serat-seratnya terlihat jarang. Mbladus…. Begitu istilah yang sering diucapkan suami.

“Iya bu…kadang sedih juga. Bagaimana tamu mau tidur disini?!”
“Ya… lalu bagimana kalian narik pengunjung….?”
“Kami jelaskan saja bu sama tamu yang datang. Kami ajak liat kamar yang kosong dulu kalau setuju, ya masuk… Kebanyakan akhirnya batal”.
Saya tercenung… mengerti sekali kesulitan dan kesedihan mereka.
“Sekarang ndak ada yang perhatikan kami lagi. Bayangkan saja… kami ini sudah kerja belasan tahun, gaji kami rata-rata hanya 400 ribu. Mana cukup buat hidup?”, lanjutnya lagi.

Huk…. Perut saya rasanya seperti tertonjok Mike Tyson…!!! Mual…!!!
Can you imagine four hundred thousands rupiah every month for feeding the whole family even they live in Yogya which is less expensive than Jakarta?

“Berapa UMR[6] di Yogya?”
“Sekarang sudah 540 ribu. Dulu waktu naik dari 400 ke 450, kami sudah matur[7] ibu. Tapi ibu ndak kerso[8]. Lalu naik ke 500 kami ndak berani matur lagi. Nah yang sekarang ini sudah kenaikan yang ke 3”.
“Jangan-jangan, sampeyan[9] ndak ngomong sama ibu langsung. Cuma nggrendengan[10] di belakang saja…”
“Sudah ngomong langsung kok bu… Cuma, Ibu bilang hotel ndak mampu. Kalau mau nderek[11] ibu, ya monggo kerso[12], kalo ndak ya silakan cari kerja di luar. Begitu katanya. Lha kami mau apa lagi kalau begitu jawabnya…?”
  
Duh…. Kok saya jadi terlibat jauh seperti ini ya? Entah apa maksud mereka menceritakan semua ini kepada saya? Untuk membawakan suara hati mereka kepada ibu? Tentu tidak mungkin saya lakukan. Sudah lebih dari 3 tahun ini saya tidak lagi berhubungan secara intens dengan Ibu. Terakhir bertemu beliau sekitar 1 tahun lalu saat saya mengunjungi kantor ibu untuk bicara dengan mbak LS dan mas DS mengenai rencana kerjasama budidaya mutiara. Walaupun prihatin dengan nasib mereka, saya tidak ingin mencampuri urusan orang. Lagipula, saya tidak mengerti jelas akar permasalahannya dan juga tidak tahu sampai sejauh mana kebenaran cerita karyawan tersebut.

Namun, yang pasti hilang sudah keinginan untuk pindah hotel ke tempat yang lebih baik lagi. Padahal, semula saya sudah berketetapan hati untuk mencari hotel lain dan pindah kamar. Cukup satu malam saja menginap di D, sekedar memenuhi pesanan saja. Saya juga sudah berhitung berapa biaya 3 kamar di hotel lainnya untuk 2 malam selanjutnya dan rasanya masih cukup mampu membiayainya. Namun niat itu terpaksa saya telan kembali. Kalau saya keluar… tentu mereka kehilangan pemasukan. Saya tidak memikirkan ibu atau mbak R. Tapi saya membayangkan wajah kecewa dari karyawan hotel atau lebih tepat disebut losmen D melihat satu demi satu tetamunya berpindah hotel.

Kalaupun akhirnya cerita mereka dituangkan dalam tulisan ini, tentu bukan maksud untuk mengumbar keburukan orang. Saya hanya ingin menghimbau kepada siapapun yang membaca tulisan ini agar memperhatikan kesejahteraan orang-orang kecil yang berada di sekitar dan menggantungkan nasibnya dari kemurahan hati kita. Jangan memperlakukan mereka dengan semena-mena dan bayarkan gaji mereka selayaknya sebelum kering keringat yang mengalir di tubuhnya. Agar kita tidak mendapat azabNya. Wallahu alam.

Lebak bulus 4 Januari 2008 jam 22.35




[1] Tidur di emperan/ lantai teras
[2] Rumah kantor biasanya terdiri dari 2 s/d 4 lantai
[3] Sudah tua
[4] Mengikuti/memenuhi
[5] datang
[6] Upah minimum regional
[7] Menghadap/berbicara kepada
[8] Kurang berkenan
[9] kamu
[10] Membicarakan ketidaksukaan terhadap sesuatu/seseorang di belakang orang yang dimaksud
[11] ikut
[12] silahkan

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...