Kamis, 28 Februari 2008

Feng Shui dan The Secrets

Bossku di kantor percaya banget sama feng-shui. Itu sebabnya sebelum membuat perencanaan bangunan terutama untuk kantor dan rumah, doi selalu meminta konsultasi dengan pakar feng-shui yang tinggal di kawasan Muara Angke.
Si suhu ini, usianya sekarang 78 tahun, masih segar bugar dan terlihat lebih muda dari usianya. Konon perkenalan boss dengan suhu terjadi hamper dua puluh tahun yang lalu. Ceritanya, boss sedang yang membangun rumah cerita sama salah satu partnernya. Sang partner mengusulkan dan malah memerintahkan sekretarisnya untuk menjemput suhu untuk mengevaluasi rancangan rumah boss.
Di temani sang boss, suhu datang ke rumah yang baru sekitar 60% selesai. Begitu masuk gedung, suhu langsung berkomentar :
“Pak… rumah ini bau darah. Kalau mau selamat, ada banyak perubahan yang harus dibuat”
Boss terkesiap dibuatnya. Seminggu sebelumnya, memang ada tukang yang tewas saat mengangkat marmer slab untuk dipasang di lantai atas. Padahal, dia sama sekali tidak bercerita tentang kejadian itu baik pada suhu maupun partnernya itu.
“Jadi, apa yang harus diperbaiki..?” tanyanya. Takut juga dia mendengar ocehan suhu.
“Letak tangga dan hitungan jumlah anak tangganya salah, jadi harus dibongkar. Kamar utama tidak boleh di lantai bawah, harus ada unsur air tetapi lokasinya tidak boleh simetris terhadap as rumah  … dan lain-lain … dan lain-lain”.
Runyamlah sang rumah. Arsitek perencana langsung dipanggil untuk menyesuaikan rancangannya di bawah arahan suhu. tangga beton langsung dibongkar. Dinding yang tak sesuai letaknya dibabat habis. Sejak itu, setiap akan melangkah boss selalu berkonsultasi pada suhu. Termasuk saat merenovasi kantor.
Nah, kemarin, suhu dijemput untuk mengevaluasi rancangan rumahnya yang lain. Secara global sudah ok, karena arsitek sejak awal memang memegang “kaidah perencanaan” yang dibuat suhu. Tapi…. tetap saja ada yang “salah”. Pintu masuk rumah dari foyer yang berjumlah 3 buah, tidak boleh sama besar. Dua di antaranya harus berukuran lebih kecil. Walhasil, kusen harus dibongkar. Untung panel pintu belum dibuat. Kalau tidak… waduh… berapa besar dan  berapa lama harus menunggu penyelesaian rumah. Panel pintu dan kusen menggunakan jati yang sudah agak langka. Harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkannya.
Yang kurang mengenakkan bagi saya, usai konsultasi mengenai ruang kerja dan rumahnya, boss memanggil saya.
“Pak… tolong cek ruang kerja ibu ini. Letak mejanya apakah sudah sesuai dengan feng-shui nya!” begitu permintaannya. Terpaksa dia diajak masuk ruang kerjaku. Dia langsung menanyakan tanggal, bulan, tahun dan jam kelahiranku, lalu mengecek ke dalam bukunya yang bertuliskan huruf cina.
Nah…… ruang kerja si Monyet api ini sudah sesuai dengan “peruntungannya” . Namun mengakhiri analisanya, dia menuliskan di atas kertas “semua harus dari kekuatan perjuangan sendiri” seraya menambahkan secara lisan di depan boss….
“Ibu harus meraih segalanya dengan perjuangan sendiri. Tidak bisa mengandalkan suami!”
Huk…. Perutku terasa seperti tertohok. Boss nyengir salah tingkah…..
*****
Malam hari, aku cerita pada suami tentang hal itu seraya kutambahkan :
“Mengacu pada the secrets, selalu ada reaksi tarik-menarik di dalam dunia ini. Perkataan suhu feng-shui itu ada benarnya. "Nasibku" itu adalah hasil tarik-menarik dari kondisi yang kuciptakan sendiri. Karena aku bekerja, maka tarikan pekerjaan membuat ketergantunganku pada suami menjadi berkurang. Lama-kelamaan berakibat aku harus memperjuangkan segalanya dengan kemampuan sendiri karena alam sudah merespon lemahnya “ikatan/ketergantungan istri pada suami”. Kalau aku mau menyandarkan dan melepaskan semua kewajiban kepada suami, maka aku harus melepaskan “ikatan pekerjaan itu dari diriku” agar alam menyesuaikan dan merekatkan kembali “ikatan/ketergantungan istri pada suami“. Inipun memakan waktu penyesuaian kembali yang relatif lama"
Suamiku nyengir … “Ya sudah … berhenti kerja aja…”.
“Yup… dalam 2 atau 3 tahun lagi karena masih ada yang harus diselesaikan dan kesemuanya perlu persiapan".
Inilah dilematisnya perempuan yang menikah. Di satu sisi, dia ingin mandiri, memiliki jati diri sendiri dan “kekuasan” atas dirinya sendiri. Namun di lain pihak, keberadaan suami ingin “dimanfaatkan sebesar-besarnya”. Lha…. Kalo punya suami tapi masih harus kerja keras, masih harus mencari penghasilan sendiri lalu masih ditambah dengan kewajiban mengurus anak juga …. Lalu apa manfaatnya menikah ya?

Rabu, 27 Februari 2008

Gaya hidup executive jaman sekarang.

Kali ini cerita tentang teman perempuanku yang lain. Dia adalah salah satu executive di sebuah perusahaan. Tinggi langsing, extrovert dan open minded. Ngobrol sama dia, nggak ada putusnya. Segala macam jadi bahan obrolan yang menarik.

Usia temanku itu sudah cukup untuk berumah tangga. Bahkan aku yakin, teman-temannya sudah banyak yang memiliki anak.  Tapi si langsing ini masih betah melajang. Tentu bukan karena tidak ada lelaki yang mampu menaklukkan hatinya. Belum jodoh, katanya. Tapi, menurutku, bukan karena belum jodoh. Temanku itu “serba tanggung”. Nggak konsisten antara omongan dengan perbuatan.

Nah, aku sedang berada di kelas, saat sms nya masuk. Saat itu, dia sedang mengambil cuti untuk 2 minggu lamanya. Cuti itu digunakan untuk ….. Nah ini dia yang gawat …. Dating dengan pacar lamanya.

“Mbak, berapa harga apartemen ukuran studio di Jakarta atau Bali?” begitu bunyi baris-baris huruf di hp ku
“What…? Kenapa Tanya-tanya? Pacar lo mau beliin apartemen ya…?”
“Masih lihat-lihat harga, kalo cocok kenapa nggak? Will be a perfect hideaway for us….”
“Antara 200 – 300 juta. Atau gampangnya antara 8 – 20 juta per meter persegi. Tergantung lokasi.”
“Wah… mahal juga yak…?”
“Ya segitu memang harganya”

Sms terputus begitu saja. Aku memang nggak terlalu antusias menjawabnya, walaupun sebenarnya pertanyaan itu merupakan kesempatanku untuk menawarkan apartemen yang sedang dibangun oleh perusahaan tempatku bekerja.

Dan …. Perfect hideaway …. Tempat persembunyian yang sempurna…. Untuk apa? Pacar lama temanku itu bukan orang muda lagi. Dia berumur sekitar dua puluh tahun di atas umur temanku. Sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Konon beberapa tahun yang lalu, saat si pacar “meminang”, temanku gamang karena dia baru meniti karier. Masih menikmati euphoria, dari berpayah-payah kuliah lalu menikmati penghasilan dari kerja sendiri.

Di lain pihak, orangtuanya kurang setuju karena sang pacar berkulit “bule”. Khawatir anaknya di bawa kabur dari Indonesia. Jadi sang pacar yang patah hati kemudian menikah dengan orang lain dan “hidup bahagia” dengan keluarganya. Namun, mereka masih tetap berhubungan …. Un rendez-vous d’amour setiap ada kesempatan. Apakah itu di Indonesia atau di luar Indonesia. Kegiatan itu menjadi Un passe temps prefere di sela kesibukan yang menggunung.

Sempat kutanyakan, mengapa mereka tidak “menikah” saja. Supaya jelas statusnya. Namun dengan enteng dijawabnya :

“Berat mbak…. Bagaimana mungkin kami menikah? Bagaimana dengan orangtuaku? Bagaimana dengan anak-istrinya? Itu berarti mengkhianati mereka! Jadi aku nggak mungkin menikah sama dia!”

Aku tak bisa berbantahan lagi …. I’m really speechless. Logika berpikirnya sangat bertolak belakang.

Selasa, 26 Februari 2008

Anakmu. Tak pernah terduga

Masih cerita temanku. Pada liburan panjang akhir pekan saat Imlek 2008 yang lalu, temanku mengambil cuti agar dapat  pergi mengunjungi suaminya, dengan kedua anaknya. Kami teman-teman sekantornya tetap masuk karena pemerintah tiba-tiba membatalkan keputusan cuti bersama di hari Jum’at itu.
Pulang liburan itu dia bercerita. Konon pada suatu hari, sang suami yang kelelahan bekerja, tertidur di kamar. Mereka semula bermaksud makan malam di luar rumah. Namun melihat suami yang tertidur nyenyak, temanku itu tak tega membangunkannya. Jadi dia membujuk anak-anaknya untuk mau makan apa yang ada di kulkas. Suaminya, karena jauh dari keluarga, selalu menyediakan makanan siap saji di rumah.
Namun belum sempat dia beranjak ke dapur, si bungsu superaktif yang sedang melompat-lompat di atas tempat tidur kehilangan keseimbangan dan jatuh menimpa temanku. Si ibu tentu saja marah pada si bungsu. Bangkit menuju dapur sambil bersungut-sungut. Dari dapur dia menanyakan anaknya:
“Kak… kamu mau makan apa? tanyanya pada si sulung.
“Apa saja mi …” jawab si sulung.
“Mami gorengkan nugget ya… tapi makannya pakai indomie aja. Kita nggak sempat masak nasi. Tanya ade mau makan apa?”
Diam tak ada jawaban lagi… si bungsu tak menjawab pertanyaan ibunya.
“Kak…. Tanya ade mau makan apa…?
Masih tak ada jawaban. Si bungsu masih asyik mencoret-coret kertas, tak mempedulikan pertanyaan ibunya.
“Kak…. Tanya ade mau makan apa….?” ibunya sekali lagi meminta si kakak menanyakan adiknya.
“Ade nggak mau makan kalo mami nggak minta maaf sama ade…” tiba-tiba si bungsu menyahut. Si ibu yang sedang sibuk di dapur, menyahut …
“De…, mami nggak akan marah kalau ade tidak nakal. Mami kesakitan tadi tertindih ade. Jadi yang salah bukan mami, tapi ade. Jadi Ade yang harus minta maaf”
Si anak tetap keras kepala, meminta ibunya meminta maaf. Hilang kesabaran, si ibu berkata:
“ Kalo nggak mau makan, ya sudah “
Usai berkata, temanku sadar bahwa si bungsu tidak bisa diperlakukan dengan keras. Dia lalu menghampirinya, membujuk si anak. Namun si bungsu masih tak acuh dengan kehadiran ibunya.
“Nih… gambar untuk mami…” sahut si bungsu tiba-tiba. Sambil lalu dan anak umur 5 tahun itu kemudian membalikkan badannya menjauhi si ibu.
Gambar itu adalah gambar yang sudah dipersiapkannya, untuk hadiah bagi orangtuanya. Berisi keluarga lengkap. Ibu, bapak, kakak dan adik lengkap dengan tulisannya masing-masing;
I love mom … I miss you, dat (dad maksudnya) dan I love my sister.
Di bawahnya, terdapat tulisan yang rupanya baru saja ditambahkan si bungsu ….
KALAU MAMI TIDAK MAU MINTA MAAF, LEBIH BAIK AKU BUNUH DIRI SAJA.
Temanku hanya bisa diam terpaku…..

Senin, 25 Februari 2008

Sang Pemimpi


Rating:★★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Andrea Hirata
Buku kedua dari Tetraloginya Andrea Hirata ini bercerita tentang masa remaja Ikal. Masa sekolah di SMA Negeri di Magai.

Masih lekat dengan kemiskinan dan kerja keras yang amat sangat, namun ketiga remaja itu (Ikal, Arai dan Jimbron) selalu menikmati setiap mozaik hidupnya. Arai, sepupu jauh Ikal selalu memiliki mimpi-mimpi yang tinggi yang menjadikannya selalu optimis menghadapi hidup. Kenakalannya yang luar biasa mampu membius Ikal untuk selalu tunduk kepada kemauannya yang tidak terudga.

Arai selalu penuh kejutan, kehilangan kedua orangtuanya saat dia masih kecil membuatnya selalu berempati pada penderitaan orang lain. Lalu ada Jimbron yang terobsesi kepada kuda. Obsesi yang disebabkan oleh rasa sakit atas kehilangan bapaknya.

Kepala sekolah Pak Julian Ichsan Balia adalah guru kesusastraan yang hebat. Yang mampu membakar semangat murid-muridnya untuk bercita-cita. Seakan lupa akan kondisi lingkungannya.

"Pergilah ke Eropa... jelajahi Afrika dan puaskan dahaga ilmu di almamater Sorbone Paris"

Ah, seandainya murid-murid Indonesia seoptimis Arai.... andai guru-guru Indonesia penuh dedikasi dalam mendidik anak muridnya sebagaimana pak Balia dan bu Mus......

Buku ini sebagaimana buku pertama LASKAR PELANGI, mampu membawa pembacanya menangis dan tertawa bergantian. Buku yang mampu menyirami dahaga akan sebuah semangat, mengingatkan kita kepada kekuatan mimpi sekaligus memupuk empati bagi orang lain.

Anakmu. Jangan tinggalkan dia!

Teman kantor saya, perempuan, punya dua anak. Yang besar sudah kelas 3 SMP sedangkan yang ke dua berumur 5 tahun. Keduanya perempuan. Yang besar, konon lebih introvert. Tidak terlalu banyak menuntut. Sangat bertolak belakang dengan si bungsu. Gadis kecil itu sangat ekstrovert, banyak omong. Semua orang disapa dan terlihat selalu ingin menyenangkan hati semua orang dan pandai mencuri perhatian orang. Persis seperti ibunya.
Minggu lalu, ibu dan gadis kecil ini dipanggil seorang psikolog berkaitan dengan prosedur penerimaan murid sekolah. Psikolog itu ingin mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi tentang calon murid sekolah tersebut.  Selama psikolog berbincang dengan anak-anak, para orangtua diminta mengisi kuesioner yang pada umumnya berisi informasi tentang anaknya. Usai berbincang dengan anak, giliran si ibu diinterview;
“Ibu, …. Rupanya sibuk sekali ya…” Duh… belum apa-apa si psikolog sudah “menyerang” si ibu. Temanku diam, nggak tahu mesti bereaksi apa.“Ada apa dengan anak saya?”, si ibu balik bertanya sebelum menjawab pertanyaan itu.
“Apakah suami ibu tidak ada di rumah?” si psikolog bertanya lagi.
“Ya … dia bertugas di luar kota sejak enam bulan yang lalu. Kami hanya bertemu saat ada libur panjang akhir pekan”.
“Anak ibu merasa sangat kehilangan ayahnya. Kegiatan yang selalu dilakukan dengan bapaknya setiap hari, hilang. Kegiatan yang sangat sederhana. Sekedar membeli roti untuk bekal sekolah”.
“Bisakah ibu, meluangkan sedikit waktu untuk anak ibu?”
Temanku bungkam… Tak mampu menjawab pertanyaan itu. Kesibukannya sangat padat. Selain bekerja dan menjadi direktur di beberapa anak perusahaan, dia juga masih melanjutkan kuliah di malam hari. Maklum saja, dia menjadi orang kepercayaan pemegang saham mayoritas di perusahaan tempatnya bekerja. Itu sebabnya, waktunya sangat tersita dengan berbagai kegiatan di luar rumah. Bekerja, kuliah, perjalanan dinas ke luar kota dan tidak lupa hang out dengan teman-teman. Khas kehidupan wanita executive di kota besar.
Entah kapan diluangkannya waktu untuk anak-anaknya.

Senin, 18 Februari 2008

Sudah merdekakah anda?

Ini sebuah pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepala. Semula saya mengira bahwa menulis, menuangkan buah pikiran terutama yang berasal dari kejadian harian, akan memerdekakan diri dari jeratan keterkungkungan akal dan pikiran. Membebaskan hati dan pikiran dari aroma ketidakpuasan atas sesuatu yang mengganggu. Sampai disini, kemerdekaan sudah saya peroleh, karena apa-apa yang berkecamuk di kepala sudah tersalurkan. Persoalan nomor satu selesai. So what next ….?

Orang bijak mengatakan bahwa buah pikiran kita sebaiknya dibagikan kepada orang lain. Siapa tahu ada orang yang memiliki persoalan yang sama dan membutuhkan jalan keluar, memerlukan teman untuk berbagi. Agar pengalaman dan buah pikiran menjadi lebih kaya. Kaya masalah dan kaya solusinya. Namun kemudian timbul masalah kedua. Layakkah pengalaman dan buah pikiran itu dibagikan kepada khalayak ramai. Bukankah pengalaman yang ditulis akan mengaitkan pihak ke tiga, ke empat dan seterusnya sebagai bagian dari tulisan? Apakah mereka akan dengan senang hati merelakan penggalan hidupnya dipublikasikan menjadi bagian dari konsumsi publik? Lalu kemerdekaan pertama, yaitu menulis, kala berhasil memerdekakan diri dari pikiran yang mengganjal menjadi terbelenggu kembali.

Sang penulis kemudian “merasa diwajibkan” untuk meminta ijin kepada pihak-pihak terkait. Bahwa ada penggalan pengalaman hidup mereka saat berinteraksi dengan penulis yang akan dimasukkan ke wilayah publik. Reaksi tentu bermacam-macam. Ada yang memberi ijin dengan senang hati, tanpa harus menutup-nutupi. Sebagian lain memberi ijin dengan sedikit editing agar bagian yang merugikan citranya tidak terpublikasikan. Ada pula yang memberi ijin tetapi meminta agar nama dan tempat kejadian disamarkan atau dimodifikasi. Yang paling ekstrim tentunya menolak mentah-mentah seraya menumpahkan kekesalan karena merasa dipermalukan dengan adanya penulisan tersebut. Ternyata …. menulispun tidak serta merta memerdekakan akal dan pikiran manusia. Minimal tidak memerdekakan si penulisnya. Karena kalaupun tulisan itu merupakan tuliah ilmiah sekalipun, ada tata cara penulisan, tata cara memuat referensi dan terakhir editing naskah.

“Takutlah hanya kepada Allah SWT semata” begitu khotbah yang sering didengar. Dalam kehidupan bermasyarakat, ternyata manusia tidak sepenuhnya merdeka. Ada norma dan etika yang harus dipatuhi. Ada undang-undang dan beragam peraturan yang harus ditaati. Begitupun Allah SWT menurunkan wahyuNya sebagai pedoman bagi kehidupan bermasyarakat, di samping merupakan pedoman saat manusia berinteraksi dengan sang Pencipta.

Tetapi pada kenyataannya kita lebih patuh dan taat kepada norma, etika, undang-undang dan peraturan yang dibuat manusia. Lebih takut kepada sanksi masyarakat. Manusia seringkali takut menyuarakan kebenaran tatkala kebenaran itu berlawanan dengan lingkungan sekitar. Masih belum sepenuhnya merdeka dan mungkin sebenarnya manusia tidak akan pernah merdeka. Padahal  suara kebenaran yang harus disuarakannya itu sesuai garis perintah Tuhannya. Manusia ternyata dengan sangat mudah mengabaikan perintah Tuhan nya demi menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat. Apakah karena Tuhan – Allah SWT tidak berwujud, maka kita cenderung mengabaikanNya? Wallahu alam.

Lebak Bulus - Minggu 10 februari 2008 jam 10.30

Jumat, 15 Februari 2008

BPSK – pelindung hak konsumen

Tidak banyak yang mengetahui keberadaan BPSK atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Badan yang diharapkan menjadi pelindung hak konsumen dari kesewenangan pelaku usaha dan penengah sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Selain lokasi kantor BPSK yang tidak umum alias berada di tengah pemukiman, konon BPSK baru beroperasi penuh sejak awal 2007 yang lalu.

BPSK dibentuk untuk menindaklanjuti terbitnya UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku effektif sejak tanggal 21 April 2000. Pembentukan BPSK adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. BPSK berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sedangkan operasionalnya dibantu oleh pemerintah daerah setempat.

Tujuan pembentukan BPSK adalah untuk melindungi konsumen maupun pelaku usaha dengan menciptakan system perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi. Dengan demikian baik konsumen maupun pelaku usaha memperoleh hak yang sama antara lain :

  1. Konsumen mendapatkan ganti rugi bila barang/jasa yang dibeli tidak sesuai perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
  2. Hak konsumen untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
  3. Pelaku usaha mendapat jaminan perlindungan hokum dari perilaku/niat tidak baik dari konsumen dan hak untuk mendapatkan rehabilitas nama baik bila ternyata sengketa yang diajukan konsumen tidak benar.
Dalam melakukan tugasnya, Majelis BPSK terdiri dari 3 unsur, yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha dan penyelesaian sengketa diharapkan terselesaikan dalam jangka waktu maksimum 21 hari kerja.

Nah, kalau anda memiliki masalah yang berkaitan dengan perlindungan hak konsumen, jangan ragu untuk menghubungi :

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen – BPSK
Jl. KPBD no 42 – Sukabumi Selatan
Jakarta Barat.
Tlp 021 536 90569

Atau kunjungi websitenya di http://bpsk-jakarta.blogspot.com
(tapi, kalau bisa sih sebaiknya jangan sampai berurusan dengan BPSK deh. Kasian  majelisnya dan cape. Kalau urusan sampai ke BPSK itu berarti pelaku usahanya seringkali tidak punya itikad baik)


Senin, 11 Februari 2008

Panji Semirang.

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Comics & Graphic Novels
Author:RA Kosasih
Penggemar komik klasik R.A Kosasih, mungkin masih ingat dengan kisah cinta melodramatic putri kerajaan Daha bernama Galuh Chandra Kirana dengan putra mahkota kerajaan Kuripan (Jenggala) bernama Raden Inu Kertapati.

Sebetulnya, kerajaan Jenggala dan Daha pernah ada di bumi Nusantara ini. Saat itu, Erlangga yang memiliki dua anak lelaki memecah dari kerajaan Mataram - Hindu menjadi dua yaitu Jenggala yang juga dikenal sebagai Kuripan dan Daha pada abad ke 13. Namun demikian, tidak diketahui apakah kisah Panji Semirang ini memang merupakan kisah nyata atau hanya sekedar karya sastra pada jaman tersebut yang kemudian disadur oleh RA Kosasih menjadi komik asli Indonesia.

Yang pasti komik-komik karya RA Kosasih beserta beberapa karya fenomenal antara lain Ganes TH berjudul Panji Tengkorak, Badra Mandrawata Si Buta dari Goa Hantu, Jaka Sembung menguasai jagat perkomikan Indonesia tahun 1960-1970an (jadul banget ya …… gila nggak terasa sudah hamper 40 tahun yang lalu. Pantes aja susah nyari bukunya)

Konon, ceritanya begini :
Alkisah, raja Kuripan memiliki putra mahkota bernama Raden Inu Kertapati. Seorang ksatria tampan, gagah berani serta berbudi pekerti luhur. Raden Inu Kertapati memiliki dua orang punakawan bernama Punta dan Jeruje yang selalu setia menemaninya kemanapun dia pergi. Sementara itu, adik raja Kuripan yang memerintah di Daha memiliki dua orang putri. Yang pertama anak permaisuri Puspaningrat; bernama Galuh Chandra Kirana yang cantik jelita, penyabar dan berbudi halus. Sedangkan yang kedua dari selir bernama Paduka Liku, bernama Galuh Ajeng. Berbeda dengan Galuh Chandra Kirana yang halus pekertinya, Galuh Ajeng menuruni sifat ibunya yang manja, kasar dan pendengki.

Saat putra putri raja berangkat dewasa, terbit keinginan raja Kuripan untuk menyatukan kembali kerajaan melalui pernikahan anaknya Inu Kertapati dengan Galuh Chandra Kirana. Apalagi mereka sebetulnya telah saling mengenal dan berhubungan baik sejak kecil. Maka diutuslah patih untuk meminang Chandra Kirana dan pinangan itu tentu saja disambut gembira keluarga kerajaan termasuk Chandra Kirana yang memang diam-diam mencintai Inu Kertapati.

Sayangnya, kedengkian melanda Paduka Liku. Dia tidak dapat menerima bahwa , bukan Ajeng anaknya yang juga sama cantiknya, yang dipinang putra mahkota Kuripan. Dia lalu meminta adiknya untuk mencari guna-guna untuk “meraih kasih sayang raja” dan diam-diam merancang upaya menyingkirkan permaisuri.

Upayanya berhasil. Permaisuri meninggal dunia setelah makan kue beracun yang dikirim oleh Paduka Liku. Sementara kemarahan raja akibat kematian permaisurinya, luluh berkat guna-guna yang disimpannya di bawah bantal.

Setelah kematian permaisuri, berbagai cobaan mendera hidup Chandra Kirana akibat ulah Paduka Likud an Ajeng. Yang paling menyakitkan adalah saat sang prabu menggunting rambut sang putri karena Chandra tidak mau menyerahkan boneka emas kiriman Rd Inu kepada Ajeng.

Tak tahan dengan cobaan yang terus menerus menderanya, bersama Mahadewi, salah satu selir prabu yang lain serta beberapa pengikut setianya, termasuk Ken Bayan dan Ken Sangit dayangnya, Galuh Chandra Kirana kemudian melarikan diri. Sang putri berserta para pengikut setia membangun sebuah dusun kecil sebagai tempat persembunyian di hutan. Tempat yang dinamakan Asmarantaka. Di sinilah putri menyamar sebagai ksatria “perampok budiman” bernama Panji Semirang. Sedangkan kedua dayangnya beralih rupa menjadi Kuda Perwira dan Kuda Peranca yang gagah.

Sementara itu Rd. Inu Kertapati yang tidak mengetahui hilangnya sang calon istri segera bersiap berangkat ke Daha dan mengabarkan kepada raja bahwa mereka siap untuk melaksanakan pernikahan. Paduka Liku kemudian menghasut raja agar pernikahan tetap dilaksanakan dengan mengganti pengantin perempuan dengan Galuh Ajeng.

Malam menjelang pernikahan, kota kerajaan diporakporandakan oleh tamu yang tak dikenal dan menyebabkan batalnya acara pernikahan Inu dengan Ajeng.
Kisah Panji Semirang masih berlanjut dengan pencarian Galuh Chandra Kirana. Rd Inu Kertapati bersumpah untuk tidak kembali ke kerajaan Kuripan sebelum menemukan calon permaisurinya.

Nah….. cari deh buku komik Panji Semirang ini… Seru banget!!! Memang tampilan bukunya tidak semenarik komik-komik Jepang seperti Naruto dan lain-lain. Mungkin itu sebanya anak-anak jaman sekarang tidak pernah mau melirik komik asli Indonesia. Tapi buat para ABG nya (angkatan babe gue…. Kata anak2 gitu lho…!!!) buku ini cukup asyik buat bernostalgia.

Banjir dan banjir lagi.

Jakarta banjir? Itu bukan berita lagi. Sudah menjadi rutinitas tahunan yang tidak pernah terselesaikan. Apalagi ditambah dengan isu pemanasan global yang berdampak pada pergeseran musim dan anomaly cuaca dunia.

Banjir pada tahun 2002 dan 2007 disebut sebagai banjir siklus lima tahunan. Tetapi pada awal tahun 2008 ini, Jakarta dilanda banjir besar lagi. Sama besar dengan banjir di awal tahun 2007 yang lalu. Karenanya, entah karena memang begitu kenyataannya atau sekedar mencari kambing hitam atas ketidakmampuan menanggulangi banjir, pemerintah buru-buru menyatakan bahwa banjir siklus lima tahunan telah menjadi banjir rutin tahunan. Artinya, masyarakat Jakarta harus siap sedia bahwa setiap tahun akan dilanda banjir besar.

Kalau diperhatikan, banjir di Jakarta semakin menghebat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan pembangunan baik di Jakarta itu sendiri maupun di kota sekitarnya serta di wilayah penyangga (green belt) Bogor – Puncak dan Cianjur (Bopunjur). Banjir besar dan meluas dimulai sejak tahun 70an. Walaupun tidak berarti sebelum era tahun 70an Jakarta tidak pernah dilanda banjir. Namun saat itu, wilayah yang terkena banjir masih sangat terbatas dan ketinggiannyapun masih dalam batas yang dapat ditolerir. Masih dalam bilangan di bawah 50 cm.

Ada banyak faktor penyebab banjir. Selain hilangnya wilayah hutan penyangga Bopunjur, pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan pertumbuhan kebutuhan tempat tinggal. Juga berarti pertumbuhan kebutuhan akan sejumlah fasilitas kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Ini berarti ada sejumlah kebutuhan untuk membangun rumah, jalan, tempat kerja (kantor, pabrik dan lain-lain) fasilitas umum berupa sekolah, pasar pertokoan, kawasan rekreasi dan lain-lain. Ini berarti lahan hijau perkotaan terpaksa dikurangi untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut.

Pada tahun 1965, gubernur kala itu, Ali Sadikin, dikenal dengan panggilan bang Ali, telah membuat sebuah tata ruang DKI Jakarta. Termasuk di dalamnya rencana pembangunan MRT[1]. Sosialisasi tentang RUTR[2] dan RBWK[3] telah dilakukan. Di tempat strategis terpampang papan yang berisi peta RBWK terkait.

Masyarakat kemudian mengenal dan dikenalkan dengan keharusan memperoleh IMB[4] sebelum mendirikan bangunan. Keinginan kuat bang Ali untuk membangun Jakarta agar bisa disejajarkan dengan ibukota negara lainnya dilaksanakannya dengan baik. Pada jaman pemerintahannyalah, berbagai fasilitas sosial dan fasilitas umum dibangun. Sebut saja di antaranya Gelanggang Remaja dan kolam renang di seluruh wilayah kota Jakarta. Velodrome, pacuan kuda, Pusat Kesenian Jakarta - Taman Ismail Marzuki, Gelanggang Mahasiswa dan  Pusat Perfilman, keduanya[5] di kawasan Kuningan. Pasar tradisional yang kumuh mulai dibangun secara permanen.

Masyarakat Jakarta mulai berkenalan dengan  komplek pertokoan modern, kala itu dengan dibangunnya Proyek Senen, Aldiron dan lain-lain. Tidak itu saja, kawasan industri dan Pusat Industri Kecil untuk menampung kebutuhan pertumbuhan tenaga-kerjapun dibangun di Pulogadung dan Cakung. Begitupun dengan kawasan perumahan seperti Taman Solo di Cempaka Putih, Tanah Mas di Rawamangun dan lain-lain.

Perkembangan Jakarta yang sedemikian pesat dan relatif sangat maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Indonesia telah menarik penduduk pedesaan untuk mengadu nasib di Jakarta. Tanpa bekal maupun ketrampilan yang memadai, mereka berbondong-bondong berdatangan ke Jakarta dan menghuni sembarang lahan kosong. Entah apakah lahan tersebut berada di bantaran kali, di sepanjang rel kereta api ataupun sekedar secuil lahan kosong di kolong jembatan.

Dari seluruh pertumbuhan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya yang kemudian berdampak pada pertumbuhan jumlah penduduk baik karena pertumbuhan jumlah penduduk Jakarta itu sendiri karena kelahiran maupun karena peningkatan jumlah pendatang, ada satu benang merah yang mengikat à Ada pengurangan jumlah lahan kosong yang ternyata cukup signifikan. Yang telah menyebabkan menyusutnya jumlah ruang kota berupa rawa, situ, hutan karet dan lahan pertanian yang semula berfungsi sebagai daerah resapan air hujan.

Kawasan Taman Mini dan Lubang Buaya pada awal tahun 1970an, masih berupa hutan karet yang sepi. Itu sebabnya pelaku pembunuhan pada peristiwa G30S membenamkan para jenderal di sebuah sumur di kawasan tersebut. Bahkan Pondok Indah, kawasan elite di Jakarta Selatan merupakan kebon karet.

Perhatikan juga beberapa nama kawasan di Jakarta yang mencirikan kondisi lingkungannya. Nama-nama Kebon Manggis, Kampung Rambutan, Kebon Melati, Kebon Kacang, tentu sudah menyiratkan kondisi kawasan tersebut. Kawasan Rawasari, Rawaterate, Rawamangun dan lain-lain yang didahului dengan kata rawa, tentu bukan sekedar nama yang diberikan masyarakat setempat, tetapi memang karena daerah tersebut memang masih berupa rawa penampung air. Kawasan pantai utara seperti Muara Karang, Pluit, Kapuk, Pantai Mutiara dan Ancol adalah daerah rawa dan hutan bakau. Begitu pula kawasan Kelapa Gading dan Sunter. Jadi, kalau dilihat kondisinya saat ini kawasan-kawasan tersebut, bisa dibayangkan seberapa besar sudah hilangnya kawasan hijau royo-royo dan rawa penampung air di Jakarta.

Perkembangan kota, memang tidak bisa dihindari. Atas dasar itu pulalah penataan dan pembangunan kota Jakarta, dibarengi oleh bang Ali dengan menata kampung kumuh, membuat RUTR dan disertai dengan perangkat hukum dan administrasi lainnya. Namun sayangnya, niat baik tidak selalu berjalan sesuai dengan rencana. Perkembangan dan pertumbuhan kota secara fisik selalu berjalan lebih cepat dari perkembangan sosial budaya masyarakat dan masih diperparah dengan pertumbuhan ekonomi yang lambat masyarakat pendatang terutama mereka yang tidak memiliki ketrampilan yang memadai untuk menunjang kebutuhan hidup di Jakarta. Apalagi, setelah era bang Ali, tidak ada kesinambungan atas apa yang telah dirintisnya.

Di luar masalah hilangnya wilayah penyangga hujan Bopunjur yang semakin hari semakin dipenuhi villa dan resort hotel, ada baiknya kita mengintrospeksi diri. Mencari tahu penyebab banjir yang semakin hari makin tidak terkendali; dengan memulainya dari diri sendiri.

Beberapa kesalahan yang dilakukan masyarakat antara lain; masyarakat pedesaan, tanpa ketrampilan tanpa bekal yang memadai, berbondong-bondong menyerbu Jakarta untuk mencari penghidupan lebih baik. Setelah tiba di ibukota, melakukan penyerobotan dengan menempati lahan kosong, di bantaran kali, tepi rel KA, taman-taman dan bahkan dikolong jembatan. Akibatnya aliran sungai menjadi terhambat, menyempit dan kemudian menjadi dangkal.

Di lain pihak penduduk Jakartapun kerap tidak mematuhi aturan pemerintah daerah berkenaan dengan ketentuan mendirikan bangunan. Ketentuan koefisien dasar bangunan - KDB[6], seringkali dilanggar dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan jumlah anggota keluarga. Perluasan bangunan akhirnya menghasilkan tutupan dasar bangunan yang seringkali memenuhi seluruh luas tanah atau KDB 100%. Akibatnya sudah bisa dipastikan; tidak ada secuil tanahpun yang tersisa sebagai lahan penyerap air hujan.

Kaum berpunya kerap meninggikan ego dengan membangun villa di kawasan penyangga Puncak, membangun rumah dengan luas yang melebihi kebutuhan dasar. Tanpa mau menyadari bahwa “perbuatan”nya itu menyebabkan pengurangan lahan penyangga (green belt) di kawasan Bopunjur.

Andil Pemerintah Daerah untuk “merusak” lingkunganpun, tidak kurang. Pemerintah Daerah selalu terlambat mengantisipasi penyerobotan wilayahnya oleh pendatang, yaitu taman-taman, pedestrian dan jalur hijau dan bahkan sebagian badan jalan untuk dijadikan lokasi berdagang atau tempat tinggal. Ada kesan terjadi pembiaran. Di beberapa tempat terjadi kolusi antara oknum aparat dengan para pendatang sehingga pelaku penyerobotan merasa terlindungi haknya.

Pemdapun selalu terlambat mengantisipasi penyerobotan wilayah bantaran kali, sepanjang rel kereta api dan kolong jembatan yang dijadikan tempat tinggal. Hal ini diperparah dengan kurangnya koordinasi antar aparat atau dinas pemerintah. Adalah suatu keanehan bila pendatang/penyerobot lahan bisa memperoleh sambungan telpon, listrik serta memiliki identitas kependudukan. Ini berlangsung hingga puluhan tahun. Akibat dari kedua kondisi di atas, kala dilakukan penertiban dan pembersihan suatu kawasan, akan selalu terjadi perlawanan keras dari  penghuni.

Di samping hal tersebut, pemda seringkali tidak konsisten memegang aturan penerbitan IMB yang berkaitan dengan KDB dan KLB[7]. Peraturan tata kota mengenai IMB memberikan peluang terjadinya pelanggaran atas KDB maupun KLB, yaitu dengan peraturan mengenai besaran denda pelanggaran. Akibatnya peraturan tersebut seringkali dilanggar. Wilayah Jakarta Selatan[8] yang semula ditujukan sebagai daerah green belt dengan KDB 20%, saat ini sudah menjadi daerah perkotaan dengan KDB 60%. Kawasan jalur hijau seperti Senayan bisa berubah menjadi kawasan komersial dengan KDB  dan KLB tinggi, karena para pengusaha hanya tinggal menghitung ratio besarnya pembayaran denda dengan keuntungan.

Pembangunan infrastruktur terutama jalan dan saluran seringkali mengabaikan hirarkinya sehingga tidak jelas mana jalan/saluran primer atau sekunder. Ataupun kalau ada tetapi tidak terintegrasi secara makro dengan jalan/saluran, kali dan sungai yang membelah kota. Bahkan seringkali jalan dibangun tanpa saluran.

Lebih jauh, pemerintah Indonesia dan pemda setempat terlambat mengantisipasi pembangunan perumahan rakyat secara vertikal, untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Padahal semua orang tahu bahwa luas lahan tidak akan bertambah. Pembangunan rumah (landed house) di Jakarta, sejak dua atau tiga dekade yang lalu seharusnya sudah harus dibatasi dengan ketat. Landed house seharusnya hanya dibangun di wilayah perkotaan dengan KDB 20% yang dijaga ketat. Sedangkan di wilayah kota dengan KDB 60% sudah harus dibangun hunian vertikal.

Banjir yang semakin membesar dan meluas dari tahun ke tahun hanyalah merupakan akumulasi dari berbagai ketidakpedulian serta egoisme masyarakat terhadap lingkungan hidup serta kebutuhan komunalnya. Adanya celah pada peraturan pemerintah berupa denda pelanggaran telah mengakibatkan pemerintah daerah tidak konsisten memegang aturan yang dibuatnya. Ditambah lagi dengan keterlambatan pemerintah mengantisipasi berbagai dampak pembangunan yang dilakukannya. Sesuai dengan simbol materialitis, pembangunan lebih banyak dilakukan secara fisik dan ditujukan untuk meningkatkan nilai ekonomi. Pembangunan non fisik berupa moral, etika dan norma seringkali dilupakan. Apalagi ada kesan bahwa pembangunan yang berhasil hanya dilihat secara fisik saja. Melupakan bahwa pembangunan atau minimal mempertahankan kawasan hijau untuk keseimbangan lingkungan hidup merupakan bagian dari pembangunan fisik itu sendiri.

Banjir hanyalah bagian kecil dari dampak akumulasi kerusakan di berbagai bidang baik fisik, lingkungan dan moral yang sudah berjalan bertahun-tahun. Bisa jadi sudah lebih dari 30 tahun. Untuk memperbaikinya, tentu diperlukan banyak waktu dan kerja keras yang terus menerus. Tanpa maksud membela, akumulasi kerusakan selama 30 tahun tidak mungkin diperbaiki hanya dalam waktu 100 hari program kerja seorang Fauzi Bowo. Bahkan untuk mengantisipasinyapun diperlukan waktu yang cukup panjang.

Kontributor kerusakan lingkungan bukan hanya pemerintah daerah saja, tetapi juga para pengusaha dan masyarakat dari berbagai strata sosial itu sendiri. Untuk memperbaikinya, harus ada kerjasama dan saling pengertian dari seluruh stake holder. Harus ada kemauan untuk mengekang diri dari keinginan menonjolkan egoisme untuk mulai memikirkan kepentingan bersama. Ada pengertian dan kepercayaan dari seluruh stakeholder bahwa penertiban, pembersihan dan pembenahan dilakukan semata-mata untuk kepentingan bersama. Kepentingan kita sekarang dan terutama kepentingan bagi generasi yang akan datang. Inipun harus dilakukan secara bertahap, gradual dalam berbagai aspek pendekatan. Jalannya masih sangat panjang. Entah apakah kita masih mampu melakukannya?

Minggu 10 Februari 2008, debut du jour 00.35




[1] mass rapid transportation
[2] rencana umum tata ruang
[3] Rencana bagian wilayah kota
[4] Ijin mendirikan bangunan
[5] Saat ini keduanya dikuasai oleh kelompok Bakrie, dikenal dengan nama Pasar Festival
[6] perbandingan antara luas dasar bangunan dengan luas lahan seluruhnya
[7] Koefisien lantai bangunan, yaitu perbandingan antara total luas bangunan dengan luas tanah
[8] Khususnya Jakarta Selatan di luar outer ring road (Cilangkap - jl TB Simatupang – RA KArtini)

Senin, 04 Februari 2008

Cerita di balik Pilkada

Dalam suatu jeda pada kesempatan rapat di kantor group media di daerah kedoya, kami sempat ngobrol dengan seorang teman tentang berbagai pelaksanaan pilkada. Terutama tentang pertarungan calon pejabat, yaitu antara calon incumbent, saingan terberat dan sang underdog.

Ini sebuah cerita nyata yang dibawa temanku dari sebuah kabupaten di Jawa Timur. Konon, seorang calon incumbent dari partai hijau yang katanya membelot mencari dukungan merah, yang mencalonkan diri lagi, bersaing sangat ketat dengan ketua dprd setempat dari partai kuning. Melupakan bahwa di luar mereka berdua, masih ada underdog yang baru sebulan menjelang kampanye berketetapan untuk bertarung, dari partai biru. Keduanya sudah sangat mengenal dengan baik masing–masing kelebihan dan kekurangan lawan politiknya. Entah siapa campaign manager masing-masing pihak dan entah apa yang ada dibenak mereka dalam upaya “menjual” calonnya, yang pasti … keduanya terlibat dalam black campaign.

Sang incumbent menyerang saingannya dengan mengungkapkan kehidupan pribadinya. Bahwa sang ketua dprd tersebut telah melakukan poligami. Padahal, kehidupan seksual si incumbent pun tidaklah bersih. Dia diketahui selalu minta disediakan fully service dari seorang ladyescort, saat berkunjung ke Jakarta. Mungkin dipikirnya…. biarlah, toh tidak dilakukan di hadapan rakyatnya. Sementara saingan berat ini dengan lantang menuduh incumbent melakukan berbagai penggelapan dana apbd untuk memperkaya diri. Padahal … pikiran yang waraspun bisa berhitung darimana dana yang diperlukan si ketua dprd itu untuk membiayai dua rumahtangganya. Itu kalau tuduhan poligami, benar adanya.

Begitu konon suasana kampanye di kota tersebut sebagaimana yang diceritakan oleh SSP. Di samping itu, kampanye tidak lupa juga diwarnai dengan upaya-upaya “membeli suara” melalui perang gerilya dan serangan fajar. Entah berapa karung dana yang harus disiapkan dan entah dari manapula mereka memperoleh dukungan dana tersebut. Maklumlah, kedua calon pejabat itu merupakan murid yang baik dari penerus perilaku generasi orde baru.

Pada hari yang telah ditentukan …. dengan pongah dan percaya diri sang incumbent memantau pemilihan. Sangat yakin bahwa dirinya akan terpilih lagi. Apa yang kurang? Potensi daerah sudah hafal luar kepala. Program kerja, entah sekedar untuk tebar pesona dan angin surga atau betul ikhlas akan dilaksanakan, sudah diumpankan kepada masyarakat. Berbarengan dengan serangan fajar para pendukungnya. Bahkan hasutan telah dibisikkan ke telinga para kawula di segala penjuru kabupaten.

Tapi, impian tinggal impian….! Bahkan keyakinan bisa jadi hanya fatamorgana, karena manusia tidak boleh mendahului kehendak sang Dalang Agung. Allah SWT punya rencana tersendiri yang tidak bisa ditipu dan ditelikung manusia. Ternyata si underdog yang menguasai medan pertarungan. Dengan persiapan seadanya dalam satu bulan saja. Dengan bekal keuangan yang sangat minim akhirnya dia memperoleh keuntungan maksimal dari pertarungan dua gajah yang saling membuka borok masing-masing. Rakyat ternyata tidak bodoh…. Ajaran “ambil duitnya, pilih yang lain” diterapkan dengan sangat pas!

Namun cerita tidak berhenti di situ. Usai pilkada, sms mulai berseliweran dari berbagai pihak yang merasa diri “berjasa” mengantarnya menjadi pemenang pilkada. Bahkan dari orang-orang yang tadinya bersebrangan. Semua titip diri dan kepentingan agar diingat kala pejabat baru menyusun “kabinet”. Tidak itu saja ….. sang pejabat yang belum menerima SK dan tentunya belum dilantik juga pusing tujuh keliling. Sang incumbent “ngambek”. Mogok dari kegiatan dan tugas rutin yang harus dikerjakan. Bahkan sekedar menghadiri acara seremonialpun, enggan dilakukannya. Padahal, sebelumnya dia dan istrinya tak pernah absen menebar pesona kesana-kemari.

Alasannya sangat klasik! Sudah demisioner… begitu selalu yang dikatakan. Padahal …., asalkan tidak membuat suatu kebijakan atau keputusan strategis dan kalau saja ada niat tulus bekerja untuk kepentingan rakyat, bukankah dia masih memiliki kewajiban menyelesaikan dan menuntaskan pekerjaannya hingga penggantinya dilantik.

Kalau saja hatinya ikhlas dan bersih seperti kita selalu menyatakan … bekerja semata-mata karena Allah semata, maka kalaupun ada kebijakan strategis yang sangat urgent diambil di masa demisioner, dia bisa saja berembug dengan pejabat terpilih untuk menyelesaikannya.
Tetapi begitulah kenyataannya. Entah dimana dia kemudian. Ruang kerjanya sudah langsung bersih sesaat setelah kpud mengumumkan hasil resmi pilkada. Mungkin dia sedang menyesali cara kampanye yang telah ditempuhnya. Bisa jadi, dia sedang berhitung berapa besar dana yang telah dikeluarkan untuk biaya kampanye. Sibuk berhitung darimana dana pembayar hutang yang harus disediakan. Atau, kalau benar tuduhan pesaingnya, bagaimana menambal apbd yang disedotnya untuk kepentingan pribadi agar dia terlepas dari kemungkinan jerat hukum. Akan halnya sang pemenang, diapun tak  kalah pusingnya. Bingung, karena tidak mengira akan terpilih.

Mengamati perilaku mantan pejabat dan pejabat terpilih di masa demisioner, mungkin sangat menarik. Keduanya menjadi salah tingkah …. The winner mungkin merasa salah tingkah, takut menyinggung perasaan the looser. The looser merasa “sudah habis” entah karena habis betulan …. Duitnya habis untuk kampanye dan membeli suara. Malu, mungkin …karena sudah terlalu percaya diri dan begitu meremehkan saingannya.

Mungkin mestinya, ditetapkan saja bahwa suatu jabatan hanya bisa dipegang selama satu periode saja. Tapi, apa mungkin? Suatu jabatan selalu diikuti dengan sebuah power. Kekuasaan untuk melakukan sesuatu. Kekuasaan untuk memerintah dan karenanya membuat orang lain menjadi patuh. Kekuasaan itu tidak hanya untuk dirinya sendiri. Bahkan mungkin bagi istri maupun anak-anaknya bila aturan protoler diberlakukan.
Bagi segelintir orang, memiliki kekuasaan merupakan suatu kenikmatan yang tiada tara. Yang selalu ingin dinikmati, terus dinikmati. Hingga lupa bahwa suatu waktu, cepat atau lambat kekuasaan itu harus dilepaskan. Maka lupa dirilah dia. Apalagi kalau sang penguasa dikelilingi oleh para punakawan yang selalu membisikkan …”pak … rakyat masih mendukung bapak. Masih menginginkan bapak memegang jabatan itu”. Waduh lupa dirilah dia.

Mungkin sudah saatnya ada suatu aturan protokoler yang berisi what should be done or not be done selama masa demisioner baik bagi pejabat lama maupun pejabat terpilih. Agar keduanya tahu bagaimana menempatkan diri. Tetapi terlepas dari keduanya … kalau saja ucapan bahwa semua pekerjaan dan jabatan yang kita sandang semata-mata hanya karena Allah semata …. Lillahi ta’Ala. Maka….. tidak perlu ada dusta di antara kita….. (kagak nyambung banget, ya akhirnya)

Lebak bulus, minggu 3 februari 2008 dinihari jam 01.25



Dies Natalis ke 48 Universitas Indonesia; Out of the box kebablasan.

Pergantian pimpinan suatu institusi diharapkan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Begitu juga di dalam dunia pendidikan, apalagi di Indonesia. Maklum, pendidikan tinggi Indonesia saat ini tidak berada pada posisi yang menggembirakan. Simak saja dalam peringkat 500 universitas dunia, universitas di Indonesia tidak pernah masuk dalam 200 terbaik, terkalahkan oleh Singapore.

Ini berbeda dengan akhir tahun 60 hingga tahun 70an, Malaysia banyak berguru kepada dunia pendidikan Indonesia baik di tingkat sekolah menengah hingga universitas. Kini sang guru harus belajar ke Malaysia.

Kalau pada dasawarsa 60–70, dosen dari Indonesia diundang dengan penuh hormat untuk mengajar mahasiswa Malaysia di negaranya, maka tiga puluh tahun kemudian dosen Indonesia belajar di Malaysia untuk meraih gelar magister (S2) atau bahkan gelar doktor. Sebagaimana banyak orangtua Indonesia yang mengirim anak-anaknya ke berbagai universitas di Malaysia untuk tingkat sarjana dan magister, yang biayanya relatif murah namun konon memiliki kualitas dan fasilitas pengajaran yang lebih baik daripada di Indonesia. Namun itupun masih harus ditebus pula dengan rasa malu dan traumatis terkena penggeledahan pendatang haram.

Secara individu, kualitas dosen Indonesia yang berasal dari universitas terkemuka masih jauh lebih baik dari dosen Malaysia. Namun sayangnya, pada tataran institusi, kualitas universitas-universitas dari Indonesia di tingkat Asia Tenggarapun banyak dipertanyakan.

Di samping itu, pelaku industri dan masyarakat seringkali mengeluhkan bahwa lulusan universitas saat ini kurang siap pakai atau penelitian universitas tidak relevan dengan kebutuhan dunia industri. Alumnipun mengeluhkan bahwa universitas kurang mampu bersinergi dan memanfaatkan potensi alumni dalam pengembangan ilmu/pendidikan. Semua berjalan sendiri, tidak pernah titik temu. Universitas seringkali ditengarai “terlalu merasa tahu dan karenanya merasa paling mampu mendidik” mahasiswa. Tidak mau tahu bahwa dunia luar bergerak sangat cepat. Lupa bahwa sebagian besar akademisi hanya tahu teori tetapi miskin pengalaman praktis. Bahwa masyarakat sudah berubah, dunia berubah dan tantanganpun berganti. Ada berbagai pergerakan ekonomi global yang terus menerus serta perkembangan teknologi yang tak terbendung. Semua berubah dan untuk mengantisipasi perubahan tersebut diperlukan orang muda. Kaum yang umumnya lebih “berani” menerobos berbagai tantangan dengan berbagai inovasi dan kreatifitas.

Itu sebab, terpilihnya Prof. DR. der Soz. Gumilar Rusliwa Somantri dari jajaran professor yang relatif berusia sangat muda, menjadi rektor UI membawa asa bagi banyak orang untuk mengangkat pamor Universitas Indonesia. Prof. Gumilar, pada masa jabatannya sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik - FISIP telah banyak membawa perubahan. Menempatkan FISIP menjadi salah satu fakultas di Universitas Indonesia – UI “terkaya” dan memiliki berbagai fasilitas pendidikan yang baik.

Berpikir out of the box, konon begitu kiatnya untuk membuat FISIP menjadi sedemikian berkembang. Kiat itu pula yang kiranya ingin dibawa dalam “memerintah” kaum akademisi di tingkat universitas. Itu pula yang disampaikan Rektor UI pada akhir pidatonya, mengenai alasan penunjukan Maurits DR Lalisang, presiden direktur PT. Unilever Indonesia Tbk. Salah satu alumni FISIP yang berhasil memimpin sebuah perusahaan multi nasional untuk menyajikan pidato ilmiah dalam rangka acara Dies Natalis ke 48 Universitas Indonesia. Acara yang sekaligus merupakan wisuda program spesialis, magister dan doktor di Balairung Universitas Indonesia – Depok Sabtu 2 Februari 2008.

Tentu, rektor berharap bahwa dengan perubahan pembawa pidato ilmiah dari yang biasanya, kalangan akademisi menjadi praktisi industri, akan terselenggara sebuah sharing session yang menarik. Yang merupakan pembekalan bagi para wisudawati/wisudawan mengenai kiat-kiat menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh di universitas ke dunia kerja agar meraih sukses baik bagi pribadi maupun bagi perusahaan tempat berkarya. Sharing session yang akan menjadi masukan bagi para akademisi mengenai kebutuhan dunia kerja terutama dalam bidang manajemen dan industri terkait. Agar universitas tidak hanya menjadi menara gading yang kropos. Dengan demikian jurang yang memisahkan antara kalangan akademisi dengan dunia industri menjadi semakin kecil

Tapi …. Itulah!!! Bak pepatah, tak ada gading yang tak retak …. Niat baik tidak selalu berakhir dengan baik terutama kala persiapan tidak dilakukan dengan seksama. Usai memperkenalkan profil pembicara, dan saat pembicara telah berada di atas mimbar, di hadapan senat guru besar Universitas Indonesia, di hadapan lebih dari 1.000 orang wisudawati/wisudawan tingkat S2 dan S3, pidato ilmiah sudah bergerak secara pasti dan nyata serta tidak terkendali menjadi ajang promosi gratis bagi PT. Unilever Indonesia Tbk, walaupun yang bersangkutan dalam bukunya, sudah menyatakan tidak bermaksud mempromosikan Unilever.

*****
“Unilever Indonesia udah dibeli UI tuh…”, itulah sms yang tiba-tiba masuk ke mobile-phone saya di tengah “pidato ilmiah” tersebut. Sms itu dikirim oleh seorang teman yang hadir dan kebetulan merupakan salah satu yang duduk di panggung, sejajar dengan rektor. Gilee….. si kumis keren banget, pake dasi kuning dan jas. Padahal biasanya saya ketemu dia pake baju “tukang minyak”. Pagi ini dia jaim banget…. Duduk “berwibawa” di deretan terdepan bersama Ketua MWA, ketua SAU, rektor UI dan para dekan fakultas di lingkungan UI. JAdi, pantaslah kalau dia pasang muka “garang”, lengkap sama kumis tebalnya.

Lama saya mencernakan isi sms itu. Maklum, otak karatan ini telmi dan lagi gak mudeng sama maksud sms. Entah apa maksud UI dibeli Unilever. Belakangan baru saya tahu bahwa gerombolan “hantu” yang ada dipanggung itu memiliki buku pidato ilmiah sang presdir Unilever. Setelah sadar, langsung saya balas sms itu,
“Apa bukan terbalik? …. UI yang sudah dibeli oleh Unilever! Yang pasti ini promosi gratis Unilever di forum terhormat.”
“Apa maksud …?

Wakakak …… UI yang pendidikan digratisin sama UI yang industrialis tuh! Tertipu dia...! Masa, cuma segitu harganya? Lu tahu gak? Sponsored talkshow/advertorial di TV untuk satu session berdurasi 30 menit harganya 200 juta. Satu sloot iklan di prime time berharga tidak kurang dari 60 juta. Ayo …. Hitung tuh, ada berapa slot iklan yang tadi ditayangkan di LCD! Gila aja … forum resmi UI dipake beginian. Malu-maluin! Kurang dana, ya gak gini caranya! Murah banget ya UI sekarang?
*****

Di tengah sebuah forum terhormat. Pada sidang terbuka Universitas Indonesia dalam rangka Wisuda dan Dies Natalisnya yang ke 48. tayangan power point dari berbagai produk dan bahkan beberapa thriller iklan Unilever terpampang silih berganti di layar LCD di berbagai penjuru Balairung kampus UI - Depok. Tidak bisa dihentikan, dan tidak lagi bisa dikendalikan. Sukar dihindari kesan bahwa telah terjadi sebuah komersialisasi sebuah forum yang dinamakan pidato ilmiah.

Berpikir out of the box nya pak rektor sudah diterjemahkan dan dilaksanakan. Entah apakah memang itu yang dimaksudkan oleh pak rektor. Ataukah karena sang penterjemahnya terlalu bersemangat sehingga salah mengartikan. Yang pasti …….. nasi sudah menjadi bubur. Universitas Indonesia sudah kebobolan dan mempermalukan dirinya sendiri.

Sungguh … sebagai salah satu alumni yang hadir pada kesempatan itu. Masih terikat sangat dekat sebagai keluarga besar UI karena suami menjadi staff pengajar di kampus sejak tahun 1980, saya merasa sedih, kecewa dan sekaligus malu.

Hari ini, Sabtu 2 Februari 2008 disaksikan oleh sekitar 100 guru besar yang penuh wibawa, + 1.200 wisudawati/wisudawan, ratusan mahasiswa berjaket almamater berwarna kuning, orangtua wisudawan serta ratusan undangan, Universitas Indonesia, universitas penyandang nama negara secara sengaja atau tidak, telah mempermalukan dirinya sendiri. Acara resmi sidang terbuka Universitas Indonesia untuk memperingati Dies Natalis ke 48 dan wisuda, sadar atau tidak sadar, telah menjadi tempat promosi gratis bagi PT. Unilever Indonesia Tbk.

Entah dimana salahnya …. Apakah karena Unilever Indonesia juga bisa disingkat menjadi UI sehingga sang presiden direktur yang notabene alumni merasa sangat memiliki almamaternya sehingga lupa menempatkan diri. Lupa menyaring apa yang pantas dan tidak untuk disajikan sebagai makalah ilmiah dalam forum resmi. UI yang bergerak di bidang pendidikan bukanlah klien UI alias Unilever Indonesia yang produsen utama household dan makanan ringan. Universitas bukan klien yang memerlukan penjelasan mengenai company profile, berbagai produksi dan aktifitasnya. Ataukah karena penanggung jawab acara Dies Natalis kurang perhatian, kurang seksama memperhatikan materi pidato ilmiah. Atau saking sibuknya, beliau menjadi kebobolan tidak sempat mengecek persiapan dan materi acara.

Saya masih ingin percaya bahwa para akademisi dan pendidik di UI yang Universitas Indonesia, masih “bersih” dan tidak mungkin mengotori nilai-nilai, etika dan norma profesinya sebagai pendidik anak bangsa. Walaupun wajah akademisi UI sempat babak belur tercoreng oleh perilaku beberapa dosen FISIP dalam kasus Komisi Pemilihan Umum. Kesemuanya, kebetulan berasal dari fakultas yang sama dengan rektor UI saat ini. Para petinggi UI  sama sekali berniat “menjual” forum pidato ilmiah itu. Ini hanya suatu kecelakaan yang tidak disengaja.

Namun, yang pasti, mata seorang awam sukar menepiskan bahwa UI yang universitas sudah “menggadaikan” acara Dies Natalis nya kepada Unilever Indonesia dan nasi sudah menjadi bubur. Sejarah Dies Natalis UI akan mencatatnya. Sms permintaan maaf dari penanggung jawab acara Dies Natalis telah disebarkan, kepada para gurubesar. Namun semuanya sudah tidak berarti lagi dan tidak bisa menghapus peristiwa yang sudah terjadi. Image sudah terpatri. Permintaan maaf tidak lagi cukup untuk sesuatu baik disengaja ataupun tidak sengaja telah mencoreng nama baik UI.

Kalau hal ini terjadi di Jepang, mungkin hara-kiri sudah dilakukan oleh penanggungjawab acara. Tapi ini terjadi di Indonesia. Negara dimana orang yang sudah diketahui umum melakukan kesalahan masih bisa dan mampu berdiri tegak sebagaimana seorang innocent. Tapi, siapa tahu kaum intelektual dari UI yang universitas mampu memberi warna baru dan pendidikan bagi kaum elite Indonesia. Yaitu bagaimana cara bertanggung jawab atas kesalahan fatal dari pekerjaan yang tidak dipersiapkan dengan baik sehingga mencoreng nama baik institusi tempat kita bekerja. Mungkin… walaupun belum pernah terjadi, ada yang mau bertanggung jawab dan kemudian mengundurkan diri dari jabatan strukturalnya, sebagai bentuk tanggung jawab dan konsekuensi dari kejadian itu. Kita tunggu saja.

Nah, hari Minggu 3 Februari 2008, kita lihat …. Apa yang akan ditulis di Koran nasional mengenai pidato ilmiah yang sarat iklan tersebut.

Lebak bulus, minggu 3 februari 2008 jam 00.00

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...