Rabu, 19 Maret 2008

Kapan saat tepat anak masuk sekolah?

Suatu pagi, sambil setir mobil, seperti biasa aku suka sok sibuk telpon sana sini. Memang membahayakan, tapi di tengah kemacetan, seringkali masalah kantor berkelebat di kepala. Daripada ada yang terlupa, lebih baik langsung dikerjakan, walaupun hanya melalui telpon. Nah begitulah situasinya, hari itu.

"Hei ... dimana kamu? aku mau minta tolong nih"
"Mbak... nanti siang deh, aku lagi di luar kantor!"
"Hah... ? Masih pagi begini udah keluar kantor?.

Hari masih pagi, sekitar jam 07.30. Mestinya dia masih dalam perjalanan. Tapi suasana yang tertangkap dalam telpon tidak menunjukkan dia masih dalam perjalanan.
"Nggak mbak. Aku ada di kindergarten. Nganter anak boss masuk sekolah. Kan hari pertama", begitu sahutnya, sambil menyebutkan sebuah nama kindergarten terkenal di bilangan Jakarta Selatan.

"Lho... kan belum tahun ajaran baru... Emang berapa tahun umurnya? Anak yang paling kecil itu kan?"
"Di sini kan sistem nya per semester, Jadi bisa masuk dong. Umur anaknya sudah lebih dari satu tahun kok".
***


Umur berapa sebaiknya anak mulai sekolah, hal ini masih banyak diperdebatkan. Ada yang mengatakan, seorang anak perlu bersosialisasi sedini mungkin, mendapat "pendidikan" seawal mungkin dan lain-lain. Di lain pihak ada yang mengatakan bermain adalah "pendidikan" bagi anak-anak di usia balita. Bagaimana cara mendidiknya atau bagaimana cara bermainnya agar sarana tersebut sekaligus merupakan ajang pendidikan bagi anak, masing-masing pihak punya argumentasinya sendiri. 

Dalam suatu wawancara di sebuah radio swasta Jakarta, pada suatu hari, saya mendengarkan seorang ibu, kebetulan seorang artis terkenal dengan bangganya menceritakan bahwa anaknya, lebih tepat bayi, yang baru berusia enam bulan "sudah bersekolah". Memang hanya 1 - 2 jam saja dan tidak dilakukan setiap hari. Tetapi si anak memang "dilepas" dari lingkungan "rumah"nya ke dalam lingkungan sosial yang lebih luas bernama sekolah bayi itu tadi.

Entah bagaimana suasananya, saya tidak pernah melihatnya. Tapi saya tidak bisa membayangkan seorang bayi berumur enam bulan harus terlepas dari kenyaman dekapan si ibu untuk dibiarkan "terjun" ke lingkungan sosial yang lebih luas "sendirian"
Bagaimana dampak psikologis anak/bayi yang "dilepas" terlalu dini seperti ini. Adakah yang bisa menjawabnya? 

Senin, 17 Maret 2008

Histeria Laskar Pelangi.

Taping acara ulangtahun ke 2 Kick Andy di grand studio Metrotv, baru saja usai. Hadirin mulai antri untuk keluar. Tepat di pintu keluar si Ikal, sosok sentral dalam tetralogi Laskar Pelangi tampak meladeni penggemarnya untuk berfoto bersama. Kulirik dua orang temanku … dalam sorot mata mereka, terbaca keinginan yang sama. Berfoto dengan sang idola.

“OK, yuk kita turun dan minta foto bersama” kataku, sambil meminggirkan kursi agar kami bisa turun lebih cepat. Ikal meladeni dengan cukup ramah. Tampaknya dia sudah cukup siap menjadi selebriti. Keluar dari studio, kami mencari tempat penukaran souvenir. Oh… rupanya di lobby, tepat di ujung elevator, sudah berdiri gadis-gadis yang siap memberikan satu buah goody bag.

 Ada buku Laskar Pelangi, kan?
“Ya…. Kok tahu?
“Feeling saya mengatakan begitu. Tadi siang saya diberitahu susunan acaranya. Karena episode Laskar Pelangi banyak penggemarnya, saya berpikir Andrea Hirata pasti diundang hadir dan saya pikir, mestinya Laskar Pelangi menjadi salah satu buku souvenir acara ini. ”
“Eh… iya, bu! Hard cover lagi…!. Sahut Ipet sambil meraba-raba dan melihat dalam gelap di mobil.
“Ah syukurlah…. Jadi nggak rugi kita bersusah payah hadir”
“Bisa titip untuk minta tandatangan Andrea, nggak ya?”
“Nggak tahu. Semoga sudah ada tandatangannya.”

Foto bersama Andrea Hirata dan buku Laskar Pelangi yang sudah ditandatangani oleh Andrea Hirata, menjadi pemicu “kemarahan” teman-teman kantor yang tidak mendapat kesempatan hadir di acara ulang tahun Kick Andy. Kamis pagi, mungkin menjadi hari yang paling “sial” bagi Ipet. Seperti yang sudah saya duga sebelumnya, Ipet dengan “sengaja” memamerkan foto dan bukunya dan dia “menuai” hasilnya. Cubitan dan lemparan buku, penggaris dan alat-alat tulis lainnya harus dia terima. Rupanya, Laskar Pelangi dan Andrea Hirata menjadi idola baru Indonesia.

Bukan main, kedua teman yang histeris itu bukan lagi remaja atau lajang. Mereka berdua adalah ibu dari anak-anak usia sekolah dasar dan toh tidak menghalangi mereka untuk menjadi histeris karena cerita keberuntungan Ipet berfoto dengan Andrea.

Saya jadi ingat. Beberapa tahun lalu, saat film Ada Apa dengan Cinta yang menampilkan Dian Sastro dan Nicholas Saputra, telah menjadikan Nicholas Saputra idola remaja. Namun dugaan bahwa histeria terhadap NS hanya terbatas di kalangan remaja, ternyata tidak benar. Dalam milis arsitektur, terungkap bahwa saat reuni departemen arsitektur dimana NS kuliah, banyak ibu-ibu (yang tidak muda lagi) berebut untuk berfoto dengan NS. Karena itu pula, walaupun bagi saya tetap tidak masuk akal, keponakan saya di Bandung sangat tergila-gila pada Gita Gutawa. Setiap saat, setiap waktu GG selalu menjadi topik omongannya.

Lebak bulus, 15 maret 2008 jam 20.10

Sabtu, 15 Maret 2008

US property ads on Kompas

Sesuatu yang betul-betul choquant[1] tertera di Kompas, Sabtu 15 Maret 2008 di halaman 10 rubrik Internasional. Sebuah iklan sebesar lebih dari ¼ halaman bertajuk “Premier Chicago – US Property Launch” bertengger anggun di bagian kanan bawah dalam bahasa Indonesia. Property itu akan dijajakan pada week end tanggal 15 dan 16 Maret 2008 ini di Grand Hyatt Jakarta.

Iklan itu menjajakan apartemen di sebuah bangunan yang merupakan bangunan tempat tinggal tertinggi di dunia dan menghadap danau Michigan dengan pilihan apartemen dan penthouse 1/2/3/4 kamar. Harganya dipatok mulai dari $750.000 atau setara dengan Rp.6.750.000.000,- dan harga ini pasti harga termurah untuk apartemen 1 kamar di lokasi yang terjelek. Kalau saja luas apartemen 1 kamar (bukan berbentuk studio) memiliki luas sekitar 50m2 itu berarti harga apartemennya sebesar Rp.135.000.000,- per m2 atau hampir sama dengan harga 1 unit apartemen sederhana(ssttt, disini harus disebut rusunami alias rumah susun sederhana milik) yang sedang hangat–hangatnya dipromosikan oleh kantor Menpera dengan program 1000 tower yang nasibnya lebih mungkin gagalnya daripada berhasil. Harga 1 unit rusunami ini dipatok sebesar 145 juta.

Praktisi periklanan dan pemasaran pasti tahu persis bahwa iklan dalam bentuk apapun harus dilakukan (kalau bisa) di tempat-tempat yang diperkirakan banyak pembeli yang potensial. Setelah masyarakat kota-kota besar di Indonesia dibanjiri dengan iklan property di Singapore, Australia dan Malaysia, kini giliran property di Amerika Serikat, sang superpower, mengiklankan diri di Indonesia. Dan itu berarti Indonesia dianggap pasar yang sangat potensial bagi property di Amerika.

Banggakah kita….? Seharusnya ya…. Karena itu berarti ada banyak rakyat Indonesia yang dianggap mampu oleh pengusaha yang berasal dari negara adidaya. Bayangkan saja, kalau harga property yang paling murah saja sebesar 6,75 milliar dibiayai oleh KPR dengan sukubunga (normal rate di Indonesia) sebesar 9,5% pa maka angsuran selama 20 tahun adalah sebesar Rp.62.918.855,- per bulan. Kalau angsuran KPR maksimal 30% gaji, maka minimal si pembeli harus memiliki gaji sebesar 200 juta per bulan. Ah, mestinya…. Kalau harga apartemen semahal itu, seharusnya dibeli dengan uang tunai. Bukan kelas KPR lagi.

Oh ya, di Indonesia, paling tidak di Jakarta, diam-diam cukup banyak apartemen dan rumah yang harga jualnya di atas 6,75 M. Jadi, ternyata cukup banyak rakyat Indonesia yang memang mampu membeli apartemen tersebut. Mungkin atas dasar itulah pengusaha property mancanegara tidak segan-segan berpromosi di Indonesia

Inilah ironi sebuah Negara bernama Indonesia. Dianggap pasar potensial bahkan bagi pengusaha property mancanegara, sementara itu nun di tanah dimana sang wapres berasal, terbetik kabar bahwa seorang ibu hamil 7 bulan dan anaknya meninggal dunia karena     kelaparan. Seorang ibu lain di Tangerang meninggal dunia akibat sakit yang dideritanya sementara sang suami tidak mampu membawanya ke puskesmas dan satu keluarga lainnya mencoba bunuh diri karena tak tahan akan kemiskinan. Sementara itu diberbagai pelosok kota rakyat antri membeli beras, minyak dan berbagai kebutuhan sehari-hari yang harganya terus menerus meningkat.

Quo vadis Indonesia




[1] Membuat kita kaget

Jumat, 14 Maret 2008

Kick Andy’s effect.


Kick Andy's effect. Itulah tema acara ulang tahun ke 2 program Kick Andy. Dan pagi ini saya mendapatkan effect langsung yang tak terduga dari acara Kick Andy malam tadi.

Semalam, usai menghadiri acara ulangtahun ke 2 acara Kick Andy di studio Metrotv, saya baru tiba jam 23.30 di rumah. itu sebabnya pagi ini saya datang sedikit lebih siang. Tiba di kantor, entah kenapa saya merasa suasana terlihat kurang menyenangkan. Kudekati Ina, sekretaris bos….
“Hei… ada apa sih, pagi–pagi manyun gitu?”
“Mbak jahat deh….”
“Lho…., kok pagi-pagi aku dibilang jahat…? Ada apa…?”
“Tu … si Leny udah nangis pagi ini….”
“Lho… apa hubungannya sama aku….?”

Usai menyimpan tas dan notebook di ruanganku, aku balik lagi ke meja Ina.
Ada apa sih….?”
“Mbak itu curang! Udah nonton Kick Andy, dapat buku pake tandatangan, pake foto-foto…. dan lain-lain…., terus masih serakah lagi….”
“Serakah….?”
“Iya… apa bukan serakah namanya kalo mbak masih minta souvenir lagi…?”

Aku masih nggak ngerti apa yang terjadi. setelah didesak, Ina akhirnya cerita. Pagi ini Ipet si bungsu di kantor yang semalam ikut hadir di acara ulangtahun ke 2 Kick Andy Metrotv, seperti yang sudah kuduga, membuat kehebohan. Begitu datang, dia langsung menunjukkan foto yang semalam kuambil saat pulang…. Foto bersama idola orang sekantor….Foto bersama Andrea Hirata pengarang tetralogi laskar pelangi.

Dia juga bercerita pada teman sekantor bahwa souvenir yang diterima adalah buku Laskar Pelangi (hard cover) yang sudah ditandatangani Ikal alias Andrea Hirata. Kontan yang mendengar ceritanya menjadi histeris. Leny bahkan sampai menangis.

Dalam kekesalannya Leny menelpon si Eneng, menanyakan apakah dia bisa mendapatkan buku Laskar Pelangi yang sama. Sialnya, Eneng menimpali bahwa dia menerima sms saya pada jam 2 dinihari tadi, yang isinya meminta tambahan 3 paket souvenir. O’alah….., baru saya sadar kenapa mereka manyun dan sebab-sebab mereka menuduh saya serakah.

Kubuka hp dan kutunjukkan sms yang kukirim semalam, sekitar jam 01.30 sebelum tidur, karena takut terlupa. Disitu tertulis ;

“Neng …. Kalau masih ada dan diperkenankan …. Apakah saya bisa mendapatkan lagi 3 buah souvenir seperti semalam untuk Ina, Adhe dan Leny? Mohon kabar ya….”

13 Maret 2008 jam 21.30

Kamis, 13 Maret 2008

Road to Kick Andy’s 2nd Anniversary.

 13 Maret 2008 jam 21.00
Minggu lalu, di meja sekretaris bos, terpampang 2 buah undangan untuk menghadiri acara ulang tahun ke 2 Program Kick Andy yang biasa disiarkan di Metrotv setiap Kamis malam. Sejak itu, terjadi bisik-bisik di kantor dan doa mulai dipanjatkan, semoga bos tidak hadir dan mengijinkan undangannya dipakai staff kantor.

Rupanya banyak penggemar acara tersebut. Sudah berulangkali mereka mendaftar online untuk hadir pada rekaman acara tersebut. Sayangnya hingga kemarin, belum pernah ada hasilnya. Itu sebab saat dilihat ada undangan, ramai-ramai mereka berharap dapat menggantikan bos.

Senin 10 Maret 2008 atau H–2 belum ada tanda-tanda apakah bos akan hadir atau tidak. Semua gelisah menunggu. Apalagi undangan itu memerlukan konfirmasi kehadiran alias RSVP[1] . Begitu juga H–1 bos masih belum bereaksi atas undangan tersebut
“Jadi gimana nih?”
“Kirim sms aja ke bos, tanyain mau hadir atau nggak”, jawabku
“Sudah… tapi nggak ada balasannya”.
“Ya sudah … tunggu besok saja”

Selasa malam, saya mendapat sms, menanyakan apakah sudah mendapat undangan untuk hadir acara yang sama.
“Belum… paling tidak, sampai saat saya pulang tadi belum ada undangan di meja saya”
“Wah… sudah kukirim lho”
“Lihat besok saja…. Nanti kukabari ya…”
“Datang, kan?”
“Insya Allah….”

Rabu pagi, di meja saya tergeletak undangan. Anak–anak di kantor mulai ramai lagi mendesak sekretaris untuk menanyakan apakah bos hadir atau tidak.
“Jadi gimana nih….?”
“Kirim sms lagi deh, bilang harus konfirmasi. Kalau dijawab nggak hadir, langsung tanya apakah undangannya boleh dipake. Sementara itu tanya ke YR, apakah undangan bos dipakai orang lain. Siapa tahu, ada acara resmi dan bos ditempatkan di kursi VIP. Repot nanti kalian…!”
“Mbak YR bilang, boleh dipakai orang lain kok”
“Nah… kalo gitu tinggal tanya boss. Minta ijinnya. Saya pergi dulu. Kalau semua ok, kasih tahu ya, nanti kita pergi sama-sama.

Usai rapat di Gondangdia, saya dibujuk untuk langsung saja ke Kedoya, tempat acara berlangsung.
“Macet lho…. Peminatnya mbludak… semua undangan yang dikirim, confirmed kehadirannya. Malah banyak yang minta tambahan”, begitu kata mereka. Teman-teman dari metrotv.
“Aku balik dulu ke kantor deh, kan mesti shalat ashar”

Ternyata, perjalanan balik dari Gondangdia ke Hangtuah via Kuningan hari itu betul-betul melelahkan. Padat merayap dan saya perlu waktu 90 menit. Mendung mulai menggelayut menyelimuti langit Jakarta. Teman kantor sudah diberi ijin menggunakan undangan dan sudah siap berangkat. Sementara itu, usai shalat ashar saya masih menerima beberapa telpon dan si bos masih duduk anteng di depan saya. Di luar, hujan turun sangat deras. Untung si bos segera sadar dan mengingatkan untuk segera berangkat. Jam sudah menunjukkan pukul 4.45.

Untuk mencapai studio Metrotv di kawasan Kedoya, biasanya saya memakai rute arteri barat yang membujur dari Daan Mogot di utara hingga ke Lebak Bulus. Jadi dari kantor, kami bertiga mengambil rute ke Pati Unus menuju PB VI – Martimbang dan keluar di arteri tersebut di depan komplek Pertamina untuk melakukan u turn menuju utara.

Sialnya, baru 500 meter dari kantor… jalan stuck … betul betul berhenti entah apa sebabnya. Menit demi menit berlalu namun mobil sama sekali tak bergerak. Hujan rupanya telah membuat kali meluap dan banjir dimana-mana khususnya di wilayah Jakarta Selatan. Dari radio diberitakan bahwa kawasan PB VI, Mayestik – Gandaria – arteri Pondok Indah macet total. OTW dan FD silih berganti menelpon menanyakan keberadaan kami.

Jam 18.00 lalu 18.30 …. Kami belum beranjak dari jalan Pati Unus. Saya berpikir keras, haruskah berlelah-lelah dan stress dalam kemacetan ini hanya demi acara Kick Andy? Dua orang teman sama sekali tak terdengar keceriaannya lagi. Saat ditanyakan apakah akan melanjutkan perjalanan, mereka memasrahkan keputusannya pada saya. Duh….. berat juga. Saya mungkin masih akan dapat undangan pada acara-acara Metrotv lainnya. Tapi mereka belum tentu bisa memiliki kesempatan ini. Sambil memutar otak, saya berusaha melepaskan diri dari kemacetan walaupun dimarah-marahi orang.

Jam 18.45 akhirnya kami bisa masuk ke jalan Sisingamangaraja. Bayangkan, butuh 120 menit untuk melepaskan diri dari kepungan kendaraan di jalan Pati Unus dan Hang Jebat. Kami kemudian melaju di jalan sudirman, gatot subroto, s parman dan akhirnya masuk ke jalan tol Kebun Jeruk. Jam 19.30 akhirnya kami tiba di Kedoya. Lapar dan lelah. Suara dua orang temanku mulai terdengar lagi, ceria bahkan.

Naik di lantai 2, sebagian besar hidangan di meja makan sudah ludas tandas. Undangan sudah masuk ke Grand Studio Metrotv tempat acara digelar. Di luar masih ada beberapa wartawan sedang makan. Teman – temanku berbisik-bisik. Rupanya ada Iwel-wel yang ngetop di news.com

Kami hanya sempat mengambil sedikit sate pengganjal perut. Menurut daftar, acara sudah dimulai jam 19.00. dari dalam studio terdengar sayup-sayup suara musik. entah siapa yang sedang bernyanyi. Masuk studio, ternyata harus melalui security door. Standar pengamanan karena wapres akan hadir.

Grand studio sudah penuh. bahkan sudah banyak tamu yang berdiri. Untung masih ada 3 kursi, masing-masing di pinggir setiap trap. Tak apalah… yang penting bisa duduk.

Acara berlangsung seperti biasa. Seperti yang biasa kita saksikan setiap Kamis malam bahkan tidak terlalu istimewa karena lebih bersifat seremonial. Kali ini hanya berupa cuplikan-cuplikan dari program yang pernah ditayangkan dan sedikit laporan dampak tayangan Kick Andy terhadap tamu-tamu yang pernah diundang serta peluncuran buku Kick Andy. Bedanya kami menonton langsung 

Di akhir acara, kami mendapat bingkisan berupa buku Kick Andy yang baru diluncurkan, majalah Rollingstone, kaus Kick Andy berwarna hijau dan …… buku Laskar Pelangi (hard cover) yang sudah dilengkapi dengan tandatangan si Ikal alias Andrea Hirata…

Terima kasih Andy Flores Noya – terima kasih tim Kick Andy.
[1] Repondez s’il vous plait

Selasa, 11 Maret 2008

Biaya Pernikahan

Teman kantorku sedang dimintai pertolongan menjadi bendahara acara pernikahan. Kalau tidak salah, acara resepsi pernikahan akan digelar di salah satu gedung pertemuan yang cukup megah di Jakarta dalam tata cara Palembang.

Tadi, saya sempat "ngintip" sebagian biaya pernikahan. Disitu tercantum  Catering untuk resepsi (saja) +/- Rp.236,5 juta. Dekorasi pelaminan lengkap dan kamar pengantin sebesar Rp.85 juta. Pastinya biaya ini belum termasuk biaya-biaya lain seperti seragam among tamu (konon kabarnya masing-masing diberikan songket palembang dan kebaya brokat untuk perempuan) dan pengisi acara (musik) dan kebutuhan lainnya. Keluarga pengantin kabarnya menyediakan budget sekitar 500 juta.

Besarkah? Kabarnya biaya sebesar itu tergolong "sederhana" apalagi bila dibandingkan dengan pernikahan keluarga Cendana atau pernikahan anak Prayogo Pangestu baru-baru ini di Singapore.
Namun demikian, 500 juta untuk biaya pernikahan, bagi saya, tetap saja luarbiasa. Aduh... teman-temanku yang belum punya rumah pasti ngiri deh... Kan dapat satu atau dua buah rumah yang cukup representatif ya...

Minggu, 09 Maret 2008

Wanita dalam Tuntutan Profesi dan Keluarga*

Perjuangan RA Kartini untuk membebaskan belenggu yang melarang anak perempuan mencicipi pendidikan yang setara dengan anak lelaki telah membuahkan hasil. Pada abad ke 21 ini, sudah tidak terbilang yang menduduki jabatan penting bahkan jabatan tertinggi di suatu negara. Kesemuanya tentu bermula dari terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak lelaki, sehingga secara individu, perempuan dapat berkembang tanpa batas. Namun demikian, fase kehidupan manusia sebagai individu “ada batas waktunya” tatkala secara alamiah, seorang manusia “merasakan signal” kebutuhan untuk berpasangan. Persatuan antara lelaki dan perempuan dalam suatu ikatan pernikahan.

Pernikahan, mau tidak mau mempunyai dampak bagi masing-masing individu, baik lelaki maupun perempuan. Ditinjau dari aspek hukum, tradisi dan agama maka timbullah hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang seyogyanya dipahami, disepakati dan dihormati oleh kedua belah pihak. Namun ada bagian kehendak alam yang tidak dapat dikompromikan, yaitu kelahiran anak-anak dari rahim perempuan dengan berbagai ikutan yang secara alamiah tidak dapat dihindari seperti menyusui.

Pendidikan telah melahirkan perkembangan teknologi yang sangat pesat dan mengubah pola hidup manusia. Paradigma kehidupan sosial dan budaya manusia berubah dari masyarakat tradisional  yang guyub menjadi masyarakat urbanis – materialistis yang individualis. Dari sinilah timbul berbagai perubahan paradigma ikatan pernikahan. Dari kehidupan tradisi suami sebagai kepala rumah tangga dan penanggungjawab tunggal kebutuhan keuangan keluarga, kemudian berbagi tanggungjawab tersebut dengan istri. Terutama manakala si istri juga telah mengecap pendidikan yang tinggi dan setara dengan suami.

Berbagi peran dengan suami. Mungkinkah?
“Keluarnya” perempuan dari sangkar bernama rumahtangga ke dunia kerja sebagai professional di berbagai bidang sebetulnya bukan hal yang baru. Tengoklah, di pedesaan dan pada lapisan sosial terbawah. Perempuan telah lama keluar dari rumah untuk membantu suami mencari nafkah. Kalau sesekali kita keluar rumah dinihari, akan dijumpai ibu-ibu berbalut kain meringkuk di atas mobil bak terbuka menuju pasar induk untuk berburu sayuran yang akan diperdagangkannya saat mentari sudah menerangi bumi. Begitu juga dengan perempuan-perempuan yang turun ke sawah dan perkebunan teh. Bahkan di Bali, perempuan berkain tak sungkan mengerjaan pekerjaan berat sebagai kuli bangunan. Namun sayangnya pekerjaan-pekerjaan tersebut belum cukup “bergengsi” dan masih terkesan pekerjaan domestik.

Berkat pendidikan, saat ini perempuan sudah memasuki pekerjaan yang lebih professional dan mampu bersaing dengan lelaki. Dalam pekerjaan, perempuan mempunyai kewajiban yang sama dengan lelaki. Mampu menunjukkan bahwa kemampuannya tidak kalah dengan lelaki. Walaupun demikian, dalam berbagai segi seperti gaji dan tunjangan masih terdapat perbedaan hak dengan kaum lelaki.

Bagi perempuan yang menikah, bekerja di luar rumah dengan jam kerja tetap yang relatif panjang memerlukan penyesuaian dalam pengaturan rumah tangga. Para perempuan kemudian kehilangan waktu untuk memasak, mengurus rumah tangga dan bahkan sekedar membelai anak-anaknya.

Keleluasaan keuangan memang kemudian membuat sebuah rumah tangga mampu membiayai sejumlah tenaga kerja untuk mengurus rumah dan anak-anak. Mampu membeli susu bagi bayi mungil, mampu menggaji seorang baby sitter untuk mengurus dan mengawasi anaknya yang baru belajar merangkak. Namun adakah disadari bahwa ada sesuatu yang berharga yang luput dari genggamannya?

Susu formula, secanggih apapun formulanya, tidak akan mampu menggantikan ASI. Dia tetap susu sapi yang seyogyanya hanya cocok untuk anak sapi. Ada momen berharga tatkala sang bayi mengucapkan kata pertama yang hilang, yang tak sempat dinikmati si ibu. Perempuan bekerja tidak akan menyaksikan betapa si bayi mungil tertatih-tatih melangkahkan kaki untuk pertama kalinya, menyongsong si ibu. Alih-alih si ibu yang dicari, maka baby sitter mendapat tempat utama dalam hati si anak.

Di lain pihak, secara tradisional, sebagian besar lelaki Indonesia masih berada dalam paradigma lama yang menempatkan dirinya sebagai focal point. Sebagai “pemimpin” di berbagai aspek kehidupan dan pekerjaan. Masih banyak lelaki yang belum dapat menerima kenyataan dengan lapang dada bahwa di luar rumah, istrinya juga seorang professional. Bahwa dengan adanya penghasilan pribadi, telah menyebabkan perempuan “melepaskan” sebagian ketergantungannya kepada lelaki. Bahkan bisa menjadi lebih parah lagi apabila penghasilan istri lebih besar.

Berbagi peran dengan suami, seringkali dianggap sebagai jalan keluar bagi perempuan bekerja. Dapat dikatakan, pilihan bekerja bagi perempuan menikah menuntut mereka harus berperan ganda. Professional dalam pekerjaan di luar rumah, professional juga sebagai ibu rumah tangga. Namun pada kenyataannya, bukanlah suatu hal yang mudah. Kita masih terjerat pada pandangan tradisional bahwa perempuan adalah konco wingking. Harus berjalan selangkah di belakang suami dan secara tidak sadar masyarakat masih mendidik anak-anak, baik lelaki maupun perempuan dengan paradigma ini.

Jalan keluar memenuhi tuntutan profesi dan keluarga.
Bekerja di luar rumah atau menjadi ibu rumah tangga seharusnya menjadi suatu pilihan yang sama bergengsi. Menjadi ibu rumah tangga harus dipandang sebagai suatu profesi yang  sama tingginya dengan profesi apapun di luar rumah.

Seorang perempuan yang bekerja sepantasnya mendapat apresiasi dari suami dan karenanya ada beban kewajiban domestik yang dibebaskan darinya sebagaimana dia telah membebaskan suaminya dari sebagian tanggung jawab keuangan rumah tangga. Di lain pihak menjadi ibu rumah tangga harus mendapat hak dan penghargaan yang sama untuk tidak dilecehkan keberadaannya.

Memang tidak mudah memilih di antara keduanya terutama saat perempuan telah mendapatkan pendidikan tinggi. Mungkin harus ada suatu perjuangan panjang untuk memperluas hak perempuan untuk “memadukan kewajiban domestik dengan kewajiban professional” misalnya dengan adanya suatu undang-undang yang mewajibkan setiap gedung perkantoran atau kantor dengan sejumlah karyawati memiliki tempat penitipan anak. Memberikan tambahan hak cuti melahirkan hingga 6 hingga 12 bulan di luar tanggungan.

Tidak kalah penting adalah membangun komunikasi yang baik dan menempatkan diri sejajar dengan suami.

* artikel ini  saya tulis atas permintaan ibu KPH untuk dibawakannya pada suatu seminar interaktif di Batam

Jumat, 07 Maret 2008

Akhir hidup a la Gito Rollies.*

Sejujurnya, saya iri pada Gito Rollies. Di mata saya, Gito Rollies telah mendapat kasih sayang dan hidayah Allah SWT yang sangat luar biasa. Dia telah mengakhiri hayatnya dengan akhir yang sangat baik. Akhir hidup yang menjadi dambaan umat manusia dan saya tidak yakin, kecuali alim ulama yang zuhud, banyak orang yang memperolehnya. Tidak banyak orang yang mendapat kesempatan untuk mencicipi ragam hidup sekomplit yang dialami seorang Bangun Sugito. Untuk urusan kehidupan dunia, Gito Rollies betul-betul paripurna.
Di penghujung akhir tahun 60an, publik Bandung dikejutkan oleh ulah seorang remaja yang baru lulus SMA. Lelaki itu adalah Bangun Sugito yang kemudian dikenal dengan nama Gito Rollies. Kala itu, Gito yang telah dikenal seantero Bandung sebagai bad boy, tidak yakin akan lulus SMA. Untuk itulah dia bernazar, bila dia lulus akan keliling Bandung sambil berbugil. Akibat ulahnya, dia sempat ditangkap polisi.
Lead vocal brass band group the Rollies dari Bandung dikenal dengan suara serak-serak basah yang khas ditimpali dengan aktrasi panggung yang ciamik, memikat para penikmat musik bahkan hingga ke Singapore dan Bangkok. Tak heran bila perusahaan rekaman asal Singapore tertarik untuk teken kontrak dengan the Rollies. Memang, era tahun 60 hingga pertengahan 70an, musisi asal Bandung dikenal produktif dan berkelas.
Sebagaimana laiknya musisi/rocker terkenal dari jaman ke jaman, kehidupan Gito tak luput dari pengaruh hedonism dan glamorous yang menjadi credo golongan tersebut. Musik cadas, minuman keras, narkoba (saat itu jenis ganja, marijuana dan morphine), perempuan/sex adalah bagian dari keseharian hidup mereka. Dia diketahui memiliki anak di luar nikah, sering bermabuk-mabukan dan menyantap narkotika. Kebiasaan inilah yang mungkin akhirnya menyebabkan Gito menderita penyakit kanker kelenjar getah bening.  
Turning point,
Setiap manusia mempunyai kesempatan untuk melakukan suatu perubahan dalam hidupnya. katakanlah semacam turning point. Masalahnya adalah, apakah dia menyadari akan diarahkan kemanahidup ini setelah turning point itu. Ke arah perbaikan atau malah ke arah yang berlawanan karena keduanya memiliki sifat yang sangat relatif ditinjau dari sudut pandang masing-masing. Mungkin ada orang yang mengarahkannya kepada kenikmatan duniawi tetapi tak jarang kita mengarahkannya untuk kembali kepada fitrah manusiawi sebagai hamba Allah yang senantiasa mengharapkan agar sisa hidupnya menjadi lebih bermakna dalam ridho sang Pencipta.
Gito menjadi salah satu orang yang sangat beruntung mendapat hidayah Allah. Hidayah untuk menangkap signal yang dikirimkan Allah SWT untuk melakukan pertobatan dari segala perbuatan maksiat yang pernah dijalaninya. Dan tidak banyak orang yang sanggup dan mampu menangkap signal itu untuk kemudian melaksanakannya dengan konsisten.
Orang bijak selalu mengingatkan bahwa sesungguhnya, dalam setiap kejadian yang kita alami akan selalu ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Ada niat Allah SWT sang Maha Mengetahui untuk memberi yang terbaik bagi setiap umat manusia. Umat yang sangat dikasihiNya. Yang jadi masalah adalah, seringkali kejadian yang dialami tidak selamanya sesuai dengan harapan dan doa yang selalu kita panjatkan.
Gito, mungkin merupakan segelintir manusia yang diberikan kesempatan oleh Allah SWT mencicipi warna kehidupan secara paripurna. Muda berkarya, tua kaya raya dan meninggal masuk surga. Masyarakat melihat bagaimana Gito berkarya dalam musik dan film dengan hasil karya yang tidak dapat dianggap enteng. Malah dapat dikatakan, karya yang disajikan Gito cukup berkelas.
Sebagai individu, Gito telah mendapat kesempatan mereguk puas kehidupan duniawi. Sex bebas, minuman keras dan bahkan narkotika semua telah dinikmati selama puluhan tahun kehidupannya. Kekayaan… walaupun tidak seberapa dibandingkan dengan kekayaan para konglomerat, namun keluarga Gito tidak pula bisa digolongkan sebagai keluarga miskin. Masalahnya mungkin karena “kekayaannya” banyak dihabiskan untuk konsumsi narkotika dan menjelang akhir hayatnya, untuk pengobatan kanker kelenjar getah bening yang diderita.
Meninggal masuk surga … merupakan hak prerogatif Allah SWT. Tentu kita yakin bahwa Allah yang Maha Pengampun dan Maha Mengetahui akan niat tulus umatnya untuk melaksanakan taubatan nasuha akan mengampuni dosa yang telah diperbuatnya. Minimal, selama 10 tahun terakhir, masyarakat melihat Gito telah membuktikan diri secara konsisten niat pertobatannya. Menjalankan ibadah secara konsisten dan dengan cara dan kemampuannya sendiri, Gito tak henti-henti berdakwah, mengajak kaum muda untuk “kembali” ke jalanNya.
Itulah nikmat dan karunia yang tak terhingga dari Allah SWT bagi seorang Bangun Sugito. Akankah kita juga mendapatkan karunia yang sama? Saya sangat yakin bahwa setiap manusia memiliki kesempatan yang sama dengan cara memetik hikmah dari kejadian yang dialami untuk kemudian melakukan perubahan. Sama yakinnya bahwa Allah SWT tidak akan pernah bosan-bosannya memberikan signal-signalnya agar kita mengambil kesempatan pertobatan itu.
Namun sebagaimana laiknya manusia, kita seringkali lebih tertarik pada kenikmatan semu duniawi dan membutakan mata hati akan signal-signal pertobatan tersebut. Sedemikian seringnya kita abaikan sehingga semakin hari kemampuan kita menangkap signal itu makin melemah hingga akhirnya kita tak mampu lagi menangkapnya. Sampai pada akhirnya kemampuan manusia menangkap signal cahaya Illahi menjadi redup dan hati nurani kita terbutakan.
Kita juga seringkali lupa untuk mengambil setiap kesempatan baik pada “waktu” yang tepat. Kita lupa bahwa setiap saat, sesungguhnya kita sedang berkejaran dengan maut. Bahwa belum tentu kita memperoleh waktu yang sama panjang seperti yang diberikan Allah kepada seorang Bangun Sugito. Bisa lebih panjang tetapi bisa jadi jauh lebih pendek. Karenanya, dengan kualitas seperti apa, kita isi hidup ini; demi memenuhi prinsip Muda berkarya, tua kaya raya dan meninggal masuk surga.
Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa yang pernah diperbuat Bangun Sugito dan memberikan tempat yang baik sesuai amal ibadahnya di penggalan akhir hidupnya.




* cet article est dedie a une amie, une petite soeur donc la vie qu’elle a menee me rendre une tristesse profonde.

Selasa, 04 Maret 2008

Bumbu dapur dan bumbu pernikahan.

Resepsi pernikahan, kerap jadi ajang untuk menyebarkan gossip. Nggak percaya? Coba deh sesekali “nguping” pembicaraan orang atau kita ikutan nimbrung dengan sekumpulan ibu-ibu yang lagi ngobrol. Pasti dapat banyak info tentang banyak hal. Nggak kalah dengan infotainment yang setiap hari ditayangkan di tv. Mungkin itu juga yang menyebabkan tayangan tersebut laku keras di seluruh stasiun tv Indonesia.
Nah, dalam suatu kesempatan resepsi pernikahan di sebuah hotel berbintang di Jakarta, sambil mencicipi hidangan, seorang kenalan menggamit lengan saya;
“Dik … kamu lihat lelaki itu?” tanyanya sambil menunjuk seorang lelaki muda sekitar umur 30an yang berdiri tidak jauh dari tempat kami. Dia berdiri dengan seorang perempuan muda yang manis parasnya, ramping dan lumayan tinggi. Sungguh sepadan dengan lelaki yang berdiri di sampingnya.
“Ya… ada apa gerangan?”
“Adik, kalau belanja bulanan atau belanja bumbu-bumbu dapur biasanya dimana?, tanyanya lagi.
Bingung saya. Dari pertanyaan tentang seorang lelaki muda kok tiba-tiba beralih menjadi pertanyaan seputar belanja bulanan dan bumbu dapur.
“Saya biasa belanja bulanan di Makro, mbak. Kalau ada kekurangan biasanya belanja di Carrefour. Tapi seminggu sekali saya ke pasar tradisional kok. Belanja sayur-mayur dan bumbu dapur”, jawab saya sambil bertanya-tanya dalam hati, kearah mana pembicaraan akan berjalan.
“Lelaki itu datang sendiri dik … Tidak dengan istrinya”.
“Lho… jadi perempuan itu bukan istrinya?, tanya saya sambil menunjuk perempuan yang berdiri di sampingnya.
“Bukan…. Mungkin cuma kebetulan berdiri berdekatan atau mungkin teman sekolah jaman mahasiswa dulu. Atau jangan-jangan ttm….”,
“Ah, si mbak ada-ada saja ….. Gossip nih ceritanya…?”, canda saya. Nggak enak juga kalau terlihat curious. Biar si mbak aja meneruskan gossip nya… Pasti dia ingin sekali “menyebarkan” pengetahuan sosialnya itu.
“Lelaki itu sudah beberapa minggu kembali ke rumah orangtuanya.” Lanjutnya : “Tak tahan dengan perilaku istrinya….”
“Ah… pertengkaran suami istri kan biasa. Namanya juga manusia yang berasal dari dua keluarga yang berbeda. Pasti ada hal-hal yang masih harus disatukan. Anak muda jaman sekarang terlalu membesar-besarkan masalah”, sahut saya berusaha menetralkan suasana.
“Yang satu ini beda dik … Bayangkan saja, istrinya itu, masa belanja merica, jahe, lengkuas, segala macam harus ke Bangkok” katanya berapi-api sambil menyebutkan segala macam jenis bumbu dapur.
“Hahaha… si mbak ini ada-ada saja. Orang Indonesia berwisata ke Bangkok itu sudah jadi cerita rutin mbak. Nggak ada yang aneh. Tapi ya jangan ditambah-tambahin gitu lho…. Masa iya, belanja bumbu dapur mesti ke Bangkok. Kan namanya kebangetan si mbak ini”
“Nah… kebangetan, kan katamu tadi? Ya memang kebangetan si istri itu…. Makanya suaminya ampun-ampunan deh… Bayangkan... dikasi uang belanja berapa saja, nggak pernah cukup. Ludes seketika. Lha… wong tiap minggu de’e pergi dolanan ke Bangkok sama mbok’e… Apa nggak mumet suaminya” lanjut si mbak.
“ ?!?!?!?!....”
Entah darimana si mbak dapat cerita itu. Entah apakah dia kenal betul dengan lelaki muda atau istrinya atau sebatas kabar angin.
Orang Indonesia, tatkala berada di luar negeri, memang terkenal doyan belanja. Segala macam benda diburu…. Apalagi barang-barang end of season’s sale. Namun mendengar kabar ada segelintir orang Indonesia yang belanja bumbu dapurnya harus ke Bangkok, benar-benar absurd. Apalagi kalau kemudian peristiwa ini bisa memicu perpisahan dengan suami/istri. Wadaw... sungguh tak masuk akal.

Senin, 03 Maret 2008

Basse dan Umar ibn Khattab

Dari banyak kisah tentang para sahabat rasul, kisah keteguhan Umar ibn Khattab dalam memegang amanah yang dipercayakan kepadanya, sering disitir para khatib.
Konon, selama masa pemerintahan Umar ibn Khattab, beliau seringkali menyelinap keluar rumah untuk keliling kota. Mendengarkan secara langsung suara hati rakyat, apakah mereka memang sudah terpenuhi kebutuhannya. Beliau sangat takut akan murka Allah SWT, seandainya amanah yang dipercayakan kepadanya ternyata membawa kesengsaraan bagi rakyat.

Di suatu rumah, Umar tiba-tiba menghentikan langkahnya. Sayup-sayup terdengar suara seorang ibu sedang membujuk anak-anaknya yang menangis kelaparan. Umar mendekat dan mengintip apa yang sedang terjadi :
"Tunggulah nak, ... ibu sedang menanak beras dan membuatkan sup untuk kalian", begitu bujuknya seraya berlinangan airmata. Di hadapannya ada sepanci air sedang dijerang yang diisinya dengan beberapa butir batu. Sang ibu sedang memberikan kesan memasak, sambil berharap anak-anaknya lelah menangis lalu segera tertidur.

Demi melihat pemandangan itu, terkejutlah Umar, lalu bergegas kembali ke rumahnya, segera dibukanya baitul maal. Diambilnya sekarung beras dan dipanggulnya karung itu. Pengawal yang ingin membantunya, ditolak :
"Biarkan kupanggul karung beras ini. Ini masih lebih baik daripada murka Allah SWT yang harus kutanggung karena melalaikan kepentingan rakyat yang menjadi tanggung jawabku". Begitulah... Umar ibn Khattab kembali kerumah keluarga miskin itu, lalu memberikan sekarung beras kepada ibu tersebut, tanpa membuka identitas dirinya.
*****

Itulah salah satu kisah keteladanan sang khalifah dalam mengemban amanah.
Ratusan tahun kemudian .... di suatu negara yang tanahnya sangat subur. Tempat dimana orang-orang Arab mengidentifikasikannya sebagai surga dunia. Dimana air mengalir jernih, hutan tropis dan berbagai sumber daya mineral berlimpah ruah. Di sebuah kota, tempat kelahiran dan asal wakil presiden. Salah satu dari petinggi negara yang menerima amanah untuk mensejahterakan rakyat telah terjadi suatu tragedi.

Seorang ibu hamil 7 bulan dan seorang anaknya terpaksa meregang nyawa. Satu anaknya yang lain sempat terselamatkan. Media massa ramai memberitakan tragedi tersebut. Walikota, penguasa daerah mungkin merasa dipermalukan oleh tragedi tersebut. Segera digelar press conference untuk mengklarifikasikan tragedi tersebut.

"Kematian Basse dan anaknya serta musibah yang diderita anaknya yang lain disebabkan oleh Muntaber. Bukan karena kelaparan.  Pemerintah Daerah telah mengambil langkah yang diperlukan dan akan menanggung seluruh biaya. Kejadian ini sudah dipolitisasi." Begitu inti pernyataan pemerintah daerah.

Seakan tidak ingin disalahkan, jajaran pemerintah daerah balik mempermasalahkan keluarga tersebut. Basri, sang kepala keluarga yang berprofesi sebagai penarik beca dianggap tidak "tertib" lapor diri sehingga tidak dapat terdeteksi keberadaannya. Akibatnya yang bersangkutan tidak dapat memperoleh bantuan tunai langsung yang dibagikan oleh pemerintah.

Aduhai... sudah sengsara, dipersalahkan pula. Tidak adakah sedikit kerendahan hati dari para penguasa itu untuk menyatakan "Kami lalai memperhatikan kasus ini, Mohon maaf dan semuanya akan ditanggung pemerintah. Kami akan melakukan perbaikan dan tindakan-tindakan yang layak agar kasus yang memalukan ini tidak terulang lagi".
Jangankan meniru apa yang dilakukan Umar ibn Khattab. Sekedar menyampaikan permintaan maaf kepada para korban saja, para penguasa di Indonesia tidak sudi melakukannya.

Malangnya nasib rakyat Indonesia...

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...