Kamis, 29 Mei 2008

BLT harus jadi kewajiban pemerintah

Aku sedih membaca berita kenaikan BBM untuk keduakalinya selama masa pemerintahan SBY-JK. Kenaikan pertama tahun 2005 yang lalu masih berbekas dalam bentuk peristiwa bunuh diri karena tidak tahan menanggung derita, meninggal dunia karena tidak mampu berobat atau kelaparan di sana-sini. Sementara itu, pada periode yang sama pula, masyarakat disuguhkan dengan temuan-temuan “kongkalikong dan suap menyuap” antara perjabat penegak hukum dengan konglomerat “hitam”. Antara elite politik yang menyatakan diri sebagai wakil rakyat di satu pihak dengan para pembuat kebijakan publik. Tampaknya penderitaan rakyat, pembangunan negeri dan apapun yang menyangkut hajat hidup orang banyak telah menjadi komoditi untuk memperkaya diri.
Lebih sedih lagi membaca pro dan kontra mengenai pemberian BLT kepada masyarakat miskin. Kemudian, belakangan ini terdengar berita bahwa pemerintah berupaya “meredam” demontrasi mahasiswa dengan mengucurkan sebagian dana “subsidi BBM” dalam bentuk beasiswa kepada 400.000 mahasiswa. Makin terlihat betapa pemerintah sama sekali tidak mempunyai konsep dan acuan yang jelas untuk membangun Negara ini. Semua serba instant, unsustainable dan sektoral. Tidak pernah ada kebijakan yang menyeluruh dan terkonsep dengan baik. Yang paling menyedihkan ada banyak program Orba yang sebetulnya sangat baik untuk tetap dipertahankan, malah diterlantarkan.
Tapi, apakah masyarakat miskin tidak berhak mendapat santunan? Bukankah dalam agama (Islam), dinyatakan secara tegas bahwa kita wajib menyantuni kaum dhuafa. Pemerintah sebagai penguasa Negara adalah pemegang nomor satu dari kewajiban mensejahterakan rakyat, sebagaimana dicantumkan dalam UUD. Termasuk di dalamnya, menurut interpretasi saya, menyantuni kaum dhuafa.
Rakyat butuh makan dan untuk itu mereka harus bekerja. Semua setuju untuk konsep ini. Tetapi jangan lupa, ada segolongan masyarakat yang walaupun sudah membanting tulang dan memberdayakan seluruh kekuatannya, pekerjaannya tidak akan menghasilkan upah yang memadai untuk hidup secara layak. Adapula segolongan pekerjaan yang kalaupun si pekerja sudah melaksanakan lembur hampir tanpa henti, tetapi tetap saja upah yang diterima para pekerja tersebut tidak akan pernah memenuhi kebutuhan hidup layak.
Hal ini mungkin terjadi karena si pekerja memiliki banyak anak yang masih bersekolah, menanggung kehidupan anggota keluarganya yang lain misalnya orangtua yang jompo atau anggota keluarga yang cacat. Atau pekerjaan tersebut memang memiliki standar upah yang rendah.
Kita juga tidak bisa menafikan, kalau mau jujur bahwa standar upah minimal (UMR – UMP) yang ditetapkan pemerintah sama sekali belum mencerminkan standar untuk memenuhi kehidupan yang layak apalagi kehidupan layak di perkotaan. Standar yang sangat minimpun masih selalu diperdebatkan dan ditawar-tawar oleh kalangan pengusaha karena dianggap memberatkan. Padahal, bukankah pengusaha masih bisa mengurangi keuntungannya atau memangkas biaya siluman. Untuk itu, pantaslah pemerintah memberi bantuan agar golongan masyarakat marginal ini dapat hidup secara lebih layak.
Kalangan yang tidak setuju, berpendapat bahwa rakyat perlu kail, bukan ikan; bahwa BLT menjadikan rakyat Indonesia menjadi peminta-minta. Hey… come on …. Buat saya, ucapan itu sungguh menyakitkan hati. Itu sama saja menuduh rakyat Indonesia bermental peminta-minta.Kok tega ya…? Mungkin ada segelintir. Tapi jangan lupa… rakyat Indonesia sudah bekerja keras …
Coba tengok … para petani penggarap, para nelayan, para buruh pabrik dan bangunan, tukang sapu dan pemulung…. Mereka sudah membanting tulang. Tapi hasil yang diperoleh tidak mencukupi. Kenapa…? Karena tanah pertanian telah digusur oleh para pemilik modal untuk dijadikan perumahan atau pabrik-pabrik sementara si petani dibiarkan begitu saja tanpa adaptasi atau pelatihan agar mereka bisa bekerja di lingkungannya yang telah tergusur tersebut.
Nelayan tidak lagi mampu memperoleh ikan yang banyak karena kekayaan bahari Indonesia telah dijual melalui berbagai konsesi kepada investor/nelayan asing. Kekayaan hayati Indonesia yang seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan rakyat telah digadaikan dan hasil yang terbesar hanya diperuntukkan untuk menggelembungkan pundi-pundi segelintir oknum. Kesemuanya ini adalah ulah para pembuat kebijakan public yang semena-mena menjual dan menggadaikan kekayaan negeri ini.
Lalu kemana rakyat jelata itu harus mencari tambahan penghasilan demi mempertahankan kebutuhan hidup yang layak? Untuk memberi sesuap nasi kepada anak istri, memberi selembar kain penutup aurat, memberi selarik naungan bagi keluarga dari terpaan hujan, angin dan teriknya matahari? Inilah bentuk kemiskinan struktural yang diciptakan pemerintah demi sebuah kredo bernama pembangunan.
Pembangunan hanya bermanfaat bagi sebagian masyarakat kelas menengah tapi semakin memiskinkan kalangan marginal. Dari pemilik tanah/sawah menjadi penggarap, dari nelayan mandiri menjadi nelayan buruh. Bukan sekedar para orangtua yang bekerja keras, tetapi jangan lupakan anak-anak jermal di Bagan siapi-api. Masih juga mereka dikatakan pemalas yang bermental peminta-minta?
Bantuan Langsung Tunai harus jadi kewajiban pemerintah
Konsep BLT mulai dikenal masyarakat usai terjadinya reformasi. Entah apa konsep, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pemerintah dengan digulirkan program Jaring Pengaman Sosial yang saat itu (kalau tidak salah) di bawah kendali bapak Adi Sasono,  Menteri Koperasi dan UKM. Yang jelas, program itu tidak terdengar kabar berita dan apa hasilnya.
Kali ke dua, pemerintah menggantinya dengan istilah Bantuan Langsung Tunai – BLT, saat pemerintah memutuskan untuk mlakukan kenaikan harga BBM yang luar biasa besarnya dengan dalih pencabutan subsidi pada tahun 2005. BLT I, kalau tidak salah hanya berlaku selama + 1 tahun dimana rata-rata keluarga memperoleh Rp.100 ribu per bulan dan dibayarkan sekaligus 3 bulan.
Entah jatuh darimana angka keramat 100 ribu rupiah per keluarga yang diadopsi oleh pemerintah. Yang pasti demi 100 ribu telah terjadi banyak ekses. Dari mulai pungutan oknum pejabat rt/rw/kelurahan, perseteruan antar tetangga karena irihati tidak memperoleh BLT hingga pingsan atau bahkan hingga meninggal dunia saat terjadi dorong-mendorong dalam antrian memperoleh 100 ribu/bulan. Sungguh, sebuah perjuangan, konsekuensi dan dampak sosial, ekonomi dan keamanannya tidak sebanding dengan nilai BLT yang dikucurkan pemerintah.
Di banyak Negara terutama di Negara maju semisal Perancis, bantuan tunai untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat bukan suatu hal yang aneh. Bahkan sudah dimulai sejak 60 tahun yang lalu dan bentuk Jaringan Pengaman Sosial[i] yang paripurna, terstruktur dan sangat multidimensi. Kesemuanya ini antara lain dijalankan oleh Caisse Primaire d’Allocation Familialle[ii] - CAF.
Bantuan pemerintah Perancis melalui CAF dalam system Securite Sociale bagi masyarakat yang berpenghasilan di bawah SMIC[iii] sangat menyeluruh, mulai dari bantuan biaya sewa rumah (allocation de logement), bantuan biaya rumah tangga untuk keluarga yang beranak banyak (allocation familliale) hingga tunjangan berlibur bagi anak-anak ke colonie de vacances.
Bahkan ada bantuan untuk membayar biaya asuransi kesehatan, bantuan biaya melahirkan dan banyak sekali benefit yang dapat diperoleh rakyat termasuk tunjangan bagi penganggur (chomage). Toh kesemua bantuan tersebut tidak menjadikan masyarakat Perancis menjadi peminta-minta.
Walaupun bagaimana, mereka tahu bahwa menjadi penerima tunjangan tersebut hanya memberikan cap bahwa mereka adalah termasuk golongan masyarakat “miskin”. Saya yakin, pada dasarnya, tidak ada satu orangpun yang mau mendapat cap sebagai orang miskin yang terpinggirkan termasuk rakyat Indonesia.
Memang berlebihan kalau kita membandingkan kondisi ekonomi Indonesia dengan Perancis. Tetapi, setidaknya memberikan gambaran bahwa BLT atau apapun namanya merupakan kewajiban pemerintah untuk membantu rakyat yang memang dalam taraf hidup di bawah kelayakan, untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Yang lebih layak dicermati adalah, kriteria penerima dan prinsip keadilan dalam pembagian BLT. Kesemuanya tidak bisa disamaratakan. Begitu pula dengan cara pembayarannya agar tidak menimbulkan berbagai kerawanan sosial. Beban keluarga miskin yang beranak banyak tidak bisa disamakan dengan keluarga miskin yang tidak beranak. Biaya hidup manula jompo yang miskin tidak bisa disamakan dengan keluarga miskin yang beranak banyak. Lalu bagimana kesinambungan dari program ini dan upaya pemerintah untuk “mengeluarkan” rakyat dari jerat kemiskinan.
BLT harus menjadi salah satu kewajiban  pemerintah dan untuk sementara terutama diperuntukkan bagi golongan manula dan orang cacat, selama pemerintah tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup. Dan bantuan ini tidak harus dikaitkan dengan penghapusan subsidi BBM, tetapi harus menjadi program tetap yang masuk ke dalam APBN.
Jadi jalan menuju keadilan dan kemakmuran memang masih panjang. 



[i] Securite Sociale
[iii] UMR nya Perancis
Diambil dari situs Caisse Primaire d’Allocation Familialle
Portrait de notre institution
Les Allocations familiales forment la "branche Famille" de la Sécurité sociale, à travers le réseau formé par la caisse nationale des Allocations familiales (Cnaf) et l'ensemble des caisses d'Allocations familiales (Caf).
En 2005, le total des prestations financées par les Allocations familiales, ou versées pour le compte de l'Etat ou des Conseils généraux, s'élève à 62 milliards d'euros pour :
1.     accompagner les familles dans leur vie quotidienne,
2.     accueillir le jeune enfant,
3.     faciliter l'accès au logement,
4.     lutter contre la précarité ou le handicap.
Quelques indicateurs de qualité de service:
-       90 % d'appels téléphoniques traités en 2005,
-       94 % des allocataires satisfaits (enquête TNS SOFRES 2004),
-       97 % des courriers traités dans un délai inférieur à 21 jours,
-       97 % des allocataires reçus dans un délai inférieur à 30 minutes.
Profil
Depuis soixante ans, notre Institution accompagne les familles pour les aider dans leur vie quotidienne : éducation, garde des enfants, logement, loisirs. Acteur majeur de la solidarité nationale, l'un des pivots du "modèle social" français, elle est constituée d'un réseau d'hommes et de femmes présents sur tout le territoire. Résolument engagés sur la voie du progrès, ils ne cessent d'améliorer la qualité de leurs services, reconnue dans toutes les enquêtes réalisées par des organismes indépendants.
Aujourd'hui, les Allocations familiales travaillent à concevoir les politiques familiales de demain.

Selasa, 27 Mei 2008

Nasi Bakar udang


Description:
Pembantuku lagi kreatif. Entah dia lihat acara apa di TV, dicobanya resep nasi bakar udang. Ternyata enak juga lho. Semua orang suka. Anakku yang biasanya agak rewel, suka. Begitu juga teman kantor yang mencicipinya

Ingredients:
1 piring penuh nasi
150 gram udang kupas (sisakan buntutnya) dicincang kasar
3 buah cabe merah. Bila suka pedas boleh ditambahkan rawit
4 buah bawang merah
3 siung bawang putih
5 cm kunyit
5 lembar daun salam
6 butir kemiri utuh
10 lembar daun jeruk purut
5 sendok makan minyak goreng
Garam secukupnya (atau diganti dengan masako, bila suka)
2 batang sereh, potong serong (bagian putih)
daun pisang untuk pembungkus

Directions:
1. haluskan cabe merah/rawit, bawang merah+putih, kemiri, kunyit
2. campurkan bumbu halus dengan udang, garam/masako, minyak goreng, aduk rata lalu masukkan nasi. Aduk hingga merata.
3. masukkan sereh, daun jeruk dan daun salahm.
4. Bungkus nasi campur tersebut dengan daun pisang.
5. Kukus selama 15 menit, setelah dingin bakar di atas bara api atau di oven selama 10 menit.

Senin, 26 Mei 2008

Bubur ayam alias Chicken Porridge


Description:
Bubur ayam ini makanan rakyat banget. Dari kelas pinggir jalan hingga resto/café di hotel yang berkelaspun tersaji bubur ayam. Namun demikian, tidak berarti bubur ayam yang tersaji di resto berkelas selalu lebih lezat dibandingkan dengan bubur ayam kelas pinggir jalan.

Salah satu bubur ayam yang enak adalah bubur ayam di gerobak dorong yang mangkal setiap pagi hari di depan Restoran Menteng Kuring dekat Keris Gallery Jl. HOS Cokroaminoto – Menteng Jakarta Pusat. Hampir 20 tahun yang lalu, saat anak kami bersekolah di SDN Menteng 01 Jl. Besuki, bubur ayam menjadi sarapan pagi kami. Harganya masih murah, hanya Rp.1.000,- per porsi. Kalau tambah hati dan rempela goreng, jadi Rp.1.500,- Entah berapa harga satu porsi sekarang. Sudah lama kami tidak menikmatinya lagi, karena tidak ada lagi kepentingan melintasi kawasan Menteng di pagi hari.

Suatu hari, beberapa tahun yang lalu, saat menginap di guest housenya ITB di kawasan Dago – Bandung, kami menemukan bubur ayam yang cukup lezat di café nya. Setelah di-icip-icip sambil mencermati komposisinya, saya mencoba memasaknya dan ternyata keluarga besar kami sangat suka. Nah ini resepnya.


Ingredients:
1 gelas beras, direndam semalaman
½ ekor ayam atau 1 buah dada ayam utuh
2 – 3 batang serai dimemarkan
4 siung bawang putih dimemarkan
2 – 3 liter air
1 sendok teh minyak wijen
1 sendok teh merica halus
1 sendok makan garam
Minyak untuk menggoreng ayam

Untuk taburan
Kerupuk/emping
Kedele goreng
1 buah cakwe diiris halus
2 pasang ati rempela direbus lalu digoreng dan iris tipis
Daun bawang dan seledri diiris halus
Fish gravy (kecap ikan) seperlunya – sesuai selera
Bawang goreng
Kecap manis sesuai selera
Tongcai sesuai selera


Directions:
1. Rebus ayam dengan air, serai, bawang putih dan garam. Setelah matang, sisihkan lalu di goreng dan di suwir-suwir untuk taburan di atas bubur.
2. Saring kaldu ayam, Jangan buang serainya lalu masukkan beras. Masak hingga kental, sambil sesekali di aduk agar tidak gosong. Bila kurang air, tambahkan dengan air mendidih. Bila sudah kental, masukkan merica dan minyak wijen.
3. Ambil mangkuk, sendokkan bubur panas. Taburi dengan ayam suwir, cakwe, ati+rempela, tongcai, bawang goreng dan daun bawang/seledri. Beri fish gravy dan kecap manis secukupnya, sesuai selera
4. Taburi dengan krupuk atau emping. Bila suka, tambahkan sambal.

Catatan;
Bila suka, sebelum menyendok bubur panas ke dalam mangkuk, taruh 1 butir telur ayam mentah, baru masukkan bubur panas. Diharapkan telur akan menjadi ½ matang oleh panas bubur.

Problematika Rumah Tangga : Kasus 5 - Persaingan dalam negeri

Pernikahan adalah penyatuan dua hati. Bersatunya dua mahluk yang datang dari dua keluarga dengan berbagai kebiasaan dan hasil serta cara didik orang tua yang berbeda. Pernikahan juga menyatukan dua manusia yang memiliki sifat, kebiasaan dan kegemaran berbeda pula.

Mengapa mereka memutuskan untuk bersatu? Mungkin ini rahasia Allah SWT. Persatuan yang kokoh, ternyata bisa terjadi kalau ada dua benda yang dibentuk berbeda, kemudian dikaitkan. Maka kaitan itu akan lebih kuat, dibandingkan dengan dua bidang yang lurus. Lihat saja bagaimana cara tukang kaku menyambungkan dua batang kayu, atau lambang yin-yang yang berputar harmoni.

Saat masih dalam tahap pacaran, kedua manusia selalu mencari kecocokan. Kalaupun ada perbedaan, maka mereka akan selalu mencari titik temu. berusaha saling menyesuaikan diri atau minmal berharap suatu waktu sang pacar akan berubah. Kadangkala salah satu dengan senang hati mengalah. Keduanya berusaha untuk saling mengerti, bertenggang rasa dan memahami pasangannya. Namun, entah apa sebabnya, usai honey moon kondisi saling mengerti, bertenggang rasa dan memahami pasangannya sukar terpelihara dengan baik dan malah cenderung memudar secara perlahan untuk kemudian ego personal mulai timbul.


Paradigma lembaga pernikahan yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia, umumnya menempatkan posisi istri "selangkah" di belakang suami. Jarang ada suami yang "mampu" menerima istri melangkah di depan, Di antara perempuan yang melangkah di depan suami , seringkali terdengar gunjingan tak sedap di belakangnya. Rumah tangga mereka tidak seindah yang diperlihatkan atau terlihat di mata publik.



“Terlalu banyak kualitasmu, sehingga suamimu mungkin merasa terancam eksistensinya”, jawaban itu keluar begitu saja, menanggapi curahan hatinya saat kami duduk di cafe yang berada di sebuah gedung pertunjukan usai menyaksikan Chris Botti baru-baru ini.

"Saya sudah mengorbankan banyak hal, mbak. Termasuk mengorbankan study saya. Saya merelakan study saya terputus dengan resiko "dimarahi dan dimusuhi" supervisor saya. Saya mengabaikan tawaran memperoleh gelar PhD dari riset yang tinggal satu tahun lagi, karena saya tidak mungkin meninggalkan kewajiban saya sebagai istri dan ibu bagi ke dua anak saya. Jadi, kenapa mbak berpikir saya mengancam eksistensi suami? ", sahutnya panjang lebar.

“Kembali ke Indonesia, saya bekerja dan memilih jalur yang berbeda dengan suami. Suami di pemerintah dan saya mengambil jalur swasta dengan harapan tidak terjadi benturan atau persaingan dalam menempuh karir. Namun semuanya ternyata belum cukup, entah kenapa suamiku seperti berdiri tanduknya kalau berpapasan di rumah “, lanjutnya lagi.

“Itulah … kemampuanmu yang sangat tinggi itu tidak bisa ditutup-tutupi dan dihambat oleh gelar yang biasa saja atau bidang pekerjaan yang kelihatannya tidak bergengsi. Cepat atau lambat, semua orang akan melihat itu. Lingkup gaulmu juga bukan sembarangan. Kamu bisa masuk dimana saja, di akar rumput hingga elit negeri. Dari kelurahan sampai tingkat menteri bahkan dari pelosok desa hingga ke Washington DC. Tidak banyak lelaki yang sanggup berbesar hati melihat kesuksesan dan mendukung kegiatan istrinya. Kebanyakan dari mereka lebih suka perempuan berperan sebagai subordinate dari eksistensinya dan menurutku, suamimu termasuk golongan terakhir ini”

“Tapi, bagaimana mungkin mbak … Dia kenal saya sejak kami masih kuliah. Dia tahu persis siapa saya … Apa yang saya raih sekarang merupakan rangkaian dari apa yang saya lakukan dan raih sejak jaman kuliah dulu!”

Ada perbedaan besar antara saat berpacaran dan kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat dan berkarir saat kita sudah berumahtangga. Saat muda, mungkin ada suatu kebanggaan bagi seorang lelaki yang mampu menaklukkan hati perempuan yang cantik dan berprestasi. Namun kebanggaan itu bisa berubah drastis saat sudah menikah. Si lelaki yang secara tradisional mempersepsikan diri sebagai focal point dalam kehidupan rumahtangga belum tentu rela melepaskan posisi itu kepada istrinya, apalagi bila ternyata si istri betul-betul cemerlang. Bekerja dengan posisi yang tinggi, memiliki penghasilan yang jauh lebih tinggi, lingkup pergaulan elite dan lain-lain. Kesemuanya diraih si istri semudah membalikkan telapak tangan, Sementara si suami terseok-seok meraih karir, kasak-kusuk kesana kemari. Aku lihat, begitulah kondisimu. Kamu adalah salah satu perempuan cemerlang”

“Lalu … apa yang mesti saya lakukan, mbak? Berhenti bekerja …? Apa itu akan menyelesaikan masalah, sementara kehidupan kita semakin mahal dan anak-anak membutuhkan biaya yang tinggi”

“Ya…, bisa jadi itu merupakan salah satu jalan keluar. Minimal, cobalah berbicara dari hati ke hati. Cari akar masalahnya lalu tawarkan jalan keluar untuk membangun kesepakatan bersama lagi. Ya… ibaratnya kan seperti kontrak kerjasama kita di kantor, lah… Diperbaharui bila ada kekeliruan, ada addendum dan lain-lainnya. Hidup berumahtangga rasanya bisa dianalogikan dengan kontrak membentuk rumahtangga seumur hidup. Jadi wajar saja kalau dilakukan evaluasi dan kesepakatan-kesapakatan baru untuk kemudian dilakukan perubahan”.

“Ah, mbak …. Jangankan mau mengevaluasi, ngobrol santai aja nggak pernah. Suamiku, seperti yang kubilang berdiri tanduknya kalau aku ada di rumah. Agresif dan selalu berupaya menyakiti hatiku dengan tindak-tanduk dan ucapannya. Komunikasi kami sepertinya sudah buntu”

“Melalui tulisan, mungkin…?”

“Aku sudah berusaha banyak, mbak! Melalui sms, email …. Jawabnya pendek. Suamiku menjawab tulisanku begini; aku ingin diam and please, don’t bother me…!”

AND …. I’m really speechless. Sepertinya sudah tidak ada jalan keluar.

Kwetiaw goreng


Description:
Makan kwetiaw, mie goreng atau nasi goreng enaknya beli di chinesse resto, Cara masak dengan api berkobar-kobar panas menyebabkan ada "bau-bau gosong" yang ternyata membuat masakan cina begitu khas rasanya. Semirip apapun resep maupun cara memasaknya, selama kita tidak menggunakan kompor yang sama, pasti hasilnya tidak akan sama. Itu sebabnya, kalau saya membuat mie/kwetiaw goreng... anak,suami dan keponakan agak komplain rasanya.

Beberapa waktu yang lalu, temanku Pepita memberikan tips untuk menambahkan lemak ayam ke dalam masakan tersebut. Lalu saya yang suka dengan masakan yang "agak asam", coba2 menambahkan perasan jeruk dan irisan rawit merah. Jadi masakan ini berubah ala thailand cuisine alias pad thai. Ternyata saya merasakan, pakai air jeruk limau (jeruk sambal) malah lebih ok rasanya. Coba deh....!

Ingredients:
1 bungkus kwetiaw basah, cuci bersih
100 grm kol iris kasar
2 batang caisim potong 3 cm
5 cm wortel potong korek api
50 grm toge, bersihkan
5 buah jamur merang iris tipis
5 butir bakso di iris jd 4-5
1 ps ati+rempela potong/iris tipis
1 batang daun bawang potong 2 cm
2 siung bawang puting cincang halus
1/4 bawang bombay cincang halus
2 butir telur ayam
3 buah rawit merah diiris halus
4 butir jeruk limau, peras, diambil airnya
1 sendok makan saus tiram
2 sendok makan fish gravy (saus ikan)
1 sendok makan minyak/lemak ayam
Minyak untuk menumis

Directions:
1. Panaskan minyak hingga keluar asap. masukkan bawang putih+bombay, aduk aduk jangan sampai gosong. lalu masukkan ati+rempela iris, terus di aduk
2. Masukkan saus tiram, aduk rata, lalu masukkan telur. Diamkan sebentar agar telur agak matang, baru di aduk supaya telur tidak hancur terlalu halus.
3. Masukkan seluruh sayur2an, rawit dan bakso, aduk hingga layu seluruhnya. Masukkan fish gravy
4. Masukkan kwetiaw, aduk hingga rata dan kwetiaw menjadi lemas. Terakhir masukkan perasan jeruk limau dan minyak ayam.

Catatan :
- Kalau kurang asin, tambahkan lagi fish gravy nya
- Kalau suka pedas, boleh tambah rawitnya
- Minyak ayam dibuat dengan menggoreng (tanpa minyak) kulit ayam, aduk sesekali supaya tidak gosong, hingga kering. Ambil minyaknya dan masukkan ke kulkas. Digunakan 1 sendok makan untuk satu resep mie/kwetiaw goreng atau nasi goreng

Jumat, 23 Mei 2008

Berperkara dengan GRATIS ... ternyata ada dan bisa

Kalau kita mendengar kata BERPERKARA .... aduh, yang terbayang adalah setumpuk duit yang harus dikeluarkan agar perkara dapat ditangani dengan lancar. Dari mulai urusan ke polisi hingga pengadilan, konon tidak akan lancar kalau tidak ada pelicin yang berbentuk tumpukan lembaran kertas berwarna merah atau biru. Itu sebab, ada anekdot; kalau kita lapor polisi kehilangan ayam, keluar dari situ kita malah kehilangan sapi. Ini menunjukkan bahwa biaya pelaporan kepada aparat penegak hukum lebih tinggi daripada nilai masalahnya sendiri. Berangkat dari hal tersebut, saat menghadapi masalah yang berkaitan dengan ketidakpastian serah terima apartemen yang kubeli (sudah lunas), aku hanya bisa bersabar dan berdoa sambil mencoba pasrah.

Titik terang muncul, saat teman kantorku dari bagian legal ditugaskan mendampingi salah satu anak perusahaan yang digugat melalui BPSK. Dari bincang-bincang setiap usai sidang, mulai terungkap keberadaan BPSK, tentang fungsi, mekanisme kerja serta elemen pendukung keberadaannya yaitu adanya Undang-undang tentang Perlindungan terhadap Konsumen. Aku menceritakan masalah yang kuhadapi dan temanku mulai menginisiasi masalah tersebut kepada majelis hakim BPSK hingga akhirnya secara resmi gugatanku didaftarkan. BPSK memang khusus menangani gugatan yang berkaitan dengan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha.

16 Januari 2008 adalah jadwal sidang 1 yang diagendakan oleh BPSK. Konon seperti yang selalu terjadi dalam sidang-sidang BPSK, pelaku usaha sebagai tergugat berusaha menghindar. Hal itu bisa disebabkan karena ketidaktahuan mereka tentang keberadaan  dan mekanisme persidangan ala BPSK atau bisa jadi memang kesengajaan sebagai pihak yang merasa "kuat" untuk mengabaikan gugatan konsumen.

Begitulah, waktu demi waktu ... sidang demi sidang harus dilalui. Kebanyakan dari jadwal sidang selalu tidak dihadiri oleh pelaku usaha. Kalaupun mereka datang, maka yang hadir adalah staff yang sama sekali tidak memiliki wewenang mengambil keputusan sehingga sidang menjadi berlarut-larut.

Aku mungkin memang beruntung bahwa selama ini aku selalu memegang komitmen. Dalam gugatan yang kuajukan, dapat dibuktikan bahwa tidak ada celah sama sekali yang bisa digunakan oleh pelaku usaha untuk mengelak dari tuntutanku. Itu pula yang mengakibatkan seluruh unsur Majelis Sidang BPSK yang terdiri dari unsur konsumen, unsur pemerintah dan unsur pelaku usaha, tidak ragu-ragu mendukung.

Alhamdulillah, setelah melalui beberapa kali sidang berikut dengan penundaannya. Setelah melewati waktu 5 bulan, semuanya berhasil terselesaikan dengan baik.Walau tidak sepenuhnya sesuai dengan tuntutan awal (memang tujuan utama gugatan bukan semata-mata mencari keuntungan atas sengketa tersebut), minimal apa yang diusulkan oleh majelis sidang sebagai Win - win solution telah terpenuhi dengan baik. Perkara yang ditangani BPSK dilaksanakan tanpa biaya apapun juga. Betul-betul gratis. 

Aku menerima hakku kembali. Menerima utuh uang yang telah kubayarkan (Jangan berhitung kerugian bunga akibat tertahannya dana tersebut selama +/- 2 tahun .... sudah dipastikan rugi). Tapi ini adalah satu-satunya gugatan di antara ratusan gugatan terhadap pelaku usaha tersebut dimana konsumen (aku) memperoleh seluruh dana yang pernah kusetorkan ditambah dengan kompensasi kerugian. Gugatan lain, tidak membuahkan hasil.
Konsumen lainnya terpaksa meneruskan pembelian apartemen tersebut dengan membayar eskalasi harga. Atau, kalaupun mereka menuntut pngembalian uang yang telah disetorkan, maka pengembalian itu baru dijadwalkan pada bulan Juni 2009. Itupun tidak utuh. Uang yang dikembalikan hanya sebesar 90% (dipotong PPN 10%) ditambah dengan kompensasi sebesar 5%. Alhasil.... alih-alih mendapat kompensasi, konsumen malah merugi sebesar 5% dan ini tidak terhitung kerugian akibat keterlambatan penyerahan apartemen yang semula dijadwalkan pada bulan Juni 2006.

Ah, seandainya aparat penegak hukum di Indonesia seperti aparat di BPSK, tentu pemeo berperkara ibarat kehilangan ayam, usai sidang malah rugi satu ekor sapi tidak akan terdengar lagi. 

Salam hormat dan peghargaan yang tinggi bagi seluruh aparat BPSK. Semoga Allah memberikan pahala dan rejeki kepada anda semua dari jalan dan cara yang tidak terduga sebagai balasan dari dedikasi anda semua. 

Selasa, 20 Mei 2008

Selamat Jalan bang ALI SADIKIN

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun
Sesaat setelah saya shalat maghrib, suami memberitahu; dia mendengar berita di TV bahwa Bang Ali Sadikin - Gubernur DKI Jakarta Raya periode 1966 - 1977 meninggal dunia di RS Gleneagles - Singapore. Saya mencari beritanya diberbagai siaran berita TV. Baru sekitar jam 19.30 Metrotv memberitakannya kembali. Salah satu putra terbaik Indonesia meninggalkan kita.

Mahasiswa era selama tahun pemerintahannya tersebut, pasti sangat mengetahui sepak terjang bang Ali sebagai gubernur. Bahkan mahasiswa UI sempat mengusung nama bang Ali sebagai calon Presiden Indonesia ke 3. Itu sebabnya pula, penguasa Indonesia saat itu langsung membungkam, "menyingkirkan" dan menjauhkan bang Ali dari dunia politik agar pengaruh dan kekuatan bang Ali tidak membius rakyat dan kemudian mengguncang  kekuasaan Suharto. 
Ah..... andaikan Indonesia sempat dipimpin bang Ali ........
Semoga Allah SWT mengampuni segala dosa dan kesalahannya serta diberikanNya tempat yang layak sesuai dengan amal ibadahnya.
Selamat jalan Bang Ali
(baru sekali ini aku merasa betul-betul sedih mendengar berita pejabat/tokoh Indonesia meninggal dunia)
------- 

Jakarta sungguh beruntung pernah dipimpin Bang Ali
Pada akhir Januari 2006 yang lalu, dalam kolom album majalah mingguan Tempo, tertulis kabar pemberian penghargaan sebagai "Empu Kebudayaan Kota" kepada bang Ali, sebutan kepada letjen purnawirawan KKO (marinir) Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta Raya periode 1966 – 1977. Hanya itu, dan berita tersebut tidak terliput oleh media cetak nasional yang lain. Mungkin dianggap kurang menarik untuk diangkat sebagai berita.

Nama Ali Sadikin, bisa jadi, kurang akrab di telinga generasi MTV dan sebagian besar generasi internet Jakarta. Terutama mereka yang lahir sesudah tahun 1975. Tentu tidaklah mengherankan bila berita penganugerahan gelar Empu Kebudayaan Kota bagi Bang Ali, tidak menarik untuk diangkat oleh para wartawan muda yang tidak mengenalnya dengan baik. Namun begitu, nama bang Ali masih dan akan  tetap akrab di telinga dan hati sebagian besar anak muda/mahasiswa yang hidup dan besar di Jakarta pada periode tahun 1965 sampai dengan tahun 1980. Bahkan bagi mayoritas penduduk Jakarta saat itu, bang Ali adalah "idola". Bukan karena kegantengannya, tetapi karena keberhasilannya dalam mengubah wajah kota Jakarta. Karenanya anugerah gelar "Empu Peradaban Kota", walaupun sangat terlambat, amat sangat layak diberikan kepada bang Ali.

Ali Sadikin, putra Sunda kelahiran Sumedang, dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 28 April 1966 oleh Presiden Sukarno, di Istana Negara. Konon, alasan pengangkatan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jaya, karena bung Karno menganggap Jakarta perlu dipimpin oleh orang "koppig" (keras kepala) dan satu-satunya orang yang dianggap keras kepala adalah Mayjen KKO Ali Sadikin, yang saat itu menjabat sebagai Deputy Menko Ekuin, setelah sebelumnya menjabat sebagai Menteri Perhubungan Laut dalam Kabinet Dwikora.  Selain itu, bung Karno juga membutuhkan orang yang dapat mengimplementasikan impiannya akan ibukota Negara, sebagaimana ucapannya pada Ali Sadikin saat pelantikan, yaitu :"Saya sub-plant impian saya tentang Jakarta pada kalbumu. Biar nanti setelah kamu bukan gubernur, orang masih ngomong tentang kamu"

Pengangkatan Ali Sadikin sebagai Gubernur oleh Bung Karno, diakuinya, sangat tidak menguntungkan. Bukan karena jabatan itu dianggapnya "turun pangkat", tetapi karena posisi Bung Karno saat itu, pasca peristiwa G30S PKI, sudah berada di ujung tanduk. Mahasiswa sedang bergejolak keras, demonstrasi menuntut mundurnya bung Karno dan mengadili para menterinya merebak dimana-mana. Inflasi melambung tak terkendali. Jakarta nyaris menjadi kota terlantar. Tingkat kesejahteraan rakyat sangat rendah, sarana dan prasarana sangat minim. Kondisi ini diperparah dengan adanya dualisme kepemimpinan dan tarik menarik antar partai politik, sehingga terjadi saling curiga antar sesama aparat pemerintahan.

Pada saat menerima jabatan Gubernur, walaupun menyandang nama sebagai ibukota negara, kenyataannya, Bang Ali menerima beban mengurus sebuah "Big Village" yang dihuni 4,4 juta manusia dengan APBD sebesar 66 juta rupiah yang terdiri dari subsidi pusat 44 juta atau 66% dan pendapatan asli daerah hanya sebesar 22 juta atau 34% nya. Kondisi keuangan ini jelas tidak mencukupi untuk membangun Jakarta menjadi sebuah kota yang pantas menyandang predikat ibukota negara, sebagaimana yang diamanatkan bung Karno kepadanya dalam acara pelantikan. Apalagi ada batasan, pemerintah daerah sama sekali tidak diperkenankan mencari fasilitas pinjaman.

Namun, bang Ali memang memiliki visi yang jelas dan kuat mengenai Jakarta. Kesemuanya dituangkan dalam Masterplan Jakarta 20 tahun, walaupun pada kenyataannya terasa sulit dilaksanakan akibat minimnya APBD. Dalam upaya mencari pendanaan, tiba pada masa di mana Bang Ali mengetahui bahwa di Jakarta terdapat perjudian illegal, yang dilindungi oleh oknum pejabat/ABRI. Apalagi mereka (penyelenggara dan pelindungnya) menikmati hasil judi illegal tersebut tanpa membayar pajak. Bang Ali lalu meminta staffnya untuk meneliti peraturan mengenai perjudian, dan ditemukan bahwa UU warisan Kolonial yang masih berlaku, menetapkan bahwa Judi hanya ditujukan bagi etnis Cina, karena bagi mereka judi terkait dengan budaya "buang sial".

Berbekal dengan UU tersebut dan UU no.11 tahun 1957 tentang Pajak Daerah, bang Ali mulai membenahi perjudian yaitu melalui tindakan preventif maupun represif terhadap perjudian antara lain melokalisir judi ke lokasi tertentu di Jakarta, membangun sarana judi-kasino seperti Copacobana di Ancol, agar kesemuanya mudah dikontrol. Ia juga memberlakukan peraturan ketat bahwa hanya dari golongan etnis tertentu saja yang boleh memasuki tempat perjudian dan kemudian memanfaatkan pajak judi untuk membangun Ibukota Jakarta. Dengan demikian, hasil judi tidak lagi dinikmati dan memperkaya segelintir orang saja, tetapi bermanfaat dalam pembangunan kota seutuhnya.

Hasilnya memang luar biasa! APBD Jakarta meningkat pesat sehingga Bang Ali mampu merealisasikan impiannya dalam meningkatkan citra the big village menjadi ibukota Negara yang pantas disejajarkan dengan kota-kota lain di Asia. Bang Ali mulai membenahi Jakarta. Membangun begitu banyak sekolah, Gelanggang Remaja yang dapat menampung kegiatan remaja dan pelajar dalam bidang kesenian dan olah raga, termasuk berenang, di lima wilayah Jakarta. Membangun Student Center, yaitu Gelanggang Mahasiswa Sumantri Brodjonegoro di Kuningan yang saat ini dikenal sebagai Pasar Festival.

Wilayah pemukiman mulai ditata dengan menyertakan partisipasi swasta, yang sekarang dikenal sebagai real estate di wilayah Taman Solo – Cempaka Putih, Tanah Mas di bilangan Rawamangun, Kemang dan banyak lagi. Kawasan industripun tak luput dari perhatiannya dengan dibangunnya Jakarta Insdustrial Estate Pulogadung - JIEP.  

Disamping itu, Bang Ali juga membentuk berbagai perusahaan daerah (BUMD) untuk membangun dan merenovasi pasar-pasar tradisional yang becek dan kumuh, membangun Pasar yang sampai saat ini dikenal sebagai Proyek Senen, lalu kawasan wisata Ancol. Begitu pula dengan pembangunan terminal-terminal bus dan shelter penghentian bus kota.

Bukan hanya dalam bidang perekonomian dan remaja, Bang Ali juga memindahkan kebun binatang dari lokasi semula di tengah perumahan elite Cikini ke Ragunan yang teduh dan asri, sedangkan lokasi bekas kebun binatang tersebut di bangun sebuah pusat kesenian Taman Ismail Marzuki – TIM lengkap dengan Planetarium yang hingga saat ini, lebih dari 30 tahun kemudian, masih merupakan planetarium satu-satunya di Indonesia. Bang Ali tidak hanya memperhatikan hunian kalangan menengah ke atas, kampung-kampung kumuh mulai dibenahi dengan program perbaikan kampung yang dikenal dengan nama MHT, yang diambil dari nama pahlawan asal Betawi, Muhamad Husni Thamrin.

Perhatian bang Ali tidak melulu tertuju pada hal-hal yang bersifat materialistis saja, tetapi juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan karakter manusia dan perlindungan hak masyarakat, antara lain pendirian Lembaga Bantuan Hukum, Kamar Dagang Indonesia, Lembaga Konsumen, OSIS, Karang Taruna, Puskesmas, yang kemudian menjadi contoh dan dikembangkan ke seluruh Indonesia.

Selain Taman Ismail Marzuki, kalangan seniman film dilengkapi dengan pembangunan komplek Pusat Perfilman di Kuningan, revitalisasi Gedung Kesenian di Kawasan Pasar Baru, pemanfaatan berbagai gedung kuno di Jakarta menjadi museum dan pembentukan Dewan Kesenian Jakarta, Pekan Raya Jakarta yang dulu dikenal sebagai Jakarta Fair, Taman Rekreasi Senayan dan banyak hal lain menjadi karya nyata seorang Ali Sadikin.

Sarana transportasi kotapun tidak luput dari perhatiannya, termasuk Mass Rapid Transport – MRT walaupun masih dalam bentuk perencanaan (master plan) yang hingga saat ini sayangnya belum sempat terealisir. Bahkan realisasi pembangunan Taman Mini Indonesia Indahpun tak luput dari campur tangan bang Ali.

Masyarakat Jakarta juga, tentu masih ingat bahwa ulang tahun Jakarta tanggal 22 Juni adalah waktu yang ditunggu khalayak ramai. Inilah arena pesta rakyat kolosal sepanjang malam yang diselenggarakan di sepanjang jalan MH Thamrin. Pesta rakyat yang dikenal dengan nama malam muda-mudi, tempat kaum marginal menikmati hiburan gratis setahun sekali.

Bang Ali memang fenomenal. Sebagai Gubernur, beliau memang sangat keras dan tegas. Pada jaman itu, masyarakat Jakarta tidak heran membaca berita bahwa sang Gubernur, dengan entengnya menampar supir bus yang dipergokinya ugal-ugalan. Bang Ali juga rajin menggusur rakyat untuk menjalankan program perbaikan kampung dan pembuatan jalan. Kesemuanya dilakukan tanpa ganti rugi kepada rakyat. Bukan karena bang Ali tidak peduli pada kerugian rakyat yang tanahnya digunakan untuk proyek pelebaran jalan atau perbaikan kampung, tetapi itulah bentuk kepercayaan dan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya. Ini membuktikan bahwa kekerasan bang Ali tidak menjadikannya jauh dari rakyat yang dipimpin. Bang Ali mampu membuktikan bahwa semua yang dilakukannya, semata-mata untuk kemajuan kota Jakarta dan rakyatnya percaya penuh, karena ada hasil yang jelas terasa.

Bang Ali memang tidak dapat selalu diidentikkan dengan keberhasilan. Peraturan yang ditetapkan tentang larangan becak, dirasa menekan bagi rakyat kecil. Namun kesemuanya bukanlah dikarenakan beliau tidak "berpihak" kepada rakyat kecil, tetapi karena dalam pandangan bang Ali, becak merupakan bentuk eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Apalagi, bang Ali juga memberikan alternatif kendaraan pengganti, yaitu helicak – becak bermotor.

Kebijakan Jakarta sebagai kota tertutup yang ditetapkannya juga dimaksudkan agar pemerintah daerah terpacu untuk mencontoh keberhasilan Jakarta dalam membangun daerahnya. Agar dapat memberi lapangan kerja pada rakyatnya sehingga mereka tidak perlu berbondong-bondong mengadu nasib ke Jakarta.

Bang Ali menyelesaikan jabatannya pada tahun 1977 setelah 2 kali masa jabatan yang penuh warna. Banyak yang menangisi kepergiannya. Menangisi "kepergian bapaknya" … pemimpin yang dicintai seluruh rakyat. Selama berbulan-bulan kolom surat pembaca koran ibukota dipenuhi dengan luapan emosi kesedihan dan penyesalan berbagai lapisan masyarakat yang ditinggalkan bang Ali.

Bang Ali memang salah seorang pemimpin kharismatik yang dimiliki Indonesia, yang mampu membuktikan karya nyatanya dalam membangun Jakarta. Saat ditinggalkan Bang Ali, APBD Jakarta telah meningkat ratusan kali menjadi 116 milyar dimana 75% nya merupakan penerimaan asli daerah. Tentu tidak mengherankan bila Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, yang dipimpin Dipo Alam, berani memakai kaus bertuliskan "why not the best" kala menerima kunjungan bang Ali ke kampus Salemba. Bahkan dia, tanpa ragu mengusung nama bang Ali sebagai calon pemimpin bangsa Indonesia, dan mengenakan kaus bertuliskan " Bang Ali for President" dalam berbagai kesempatan.

Masa jabatan bang Ali memang sudah berlalu hampir 30 tahun yang lalu. Jadi tidak mengherankan bila generasi sekarang tidak mengenal beliau. Apalagi, ada kecenderungan "character assassination" yang dilakukan penguasa negeri ini terhadap bang Ali. Berbagai kebijakan bang Ali yang seharusnya bersifat sustainable, seperti yang tercantum dalam Master Plan Jakarta 1985 dijungkirbalikkan sehingga Jakarta berkembang tak terkendali lagi, sesudahnya.

Jakarta sekarang memang sudah berubah banyak. Berbagai fasilitas modern yang layak menghiasi ibukota Negara sudah memadati Jakarta. Apartemen, hotel bertaraf internasional, perkantoran shopping mall mewah bertaburan di seluruh pelosok Jakarta. Mobil mewah berseliweran setiap hari, memeriahkan jejeran kemacetan kota. Tapi tengoklah semuanya …… Adakah semua fasilitas tersebut ditujukan sebagai fasilitas umum dan sosial yang dapat dinikmati bagi masyarakat banyak? Tidak …… Sayang sekali, harus diulangi bahwa seluruh fasilitas yang ada saat ini tidak lagi menjadi fasilitas umum dan sosial yang terbuka bagi masyarakat luas, tetapi merupakan fasilitas sosial - komersial bagi segelintir masyarakat kelas atas.

Gelanggang Mahasiswa Sumantri Brodjonegoro di Kuningan yang pada jamannya sangat dibanggakan mahasiswa, kini telah berubah menjadi fasilitas komersial yang dikuasai swasta. Bahkan pusat perfilman "Usmar Ismail", gedung wanita "Nyi Ageng Serang" yang berada di sebelahnya, nyaris kumuh dan mungkin hanya dapat dikenang saja keberadaannya. Belum lagi gelanggang remaja di seluruh wilayah Jakarta, komplek Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan dan lainnya . Kesemuanya merana dan kumuh karena salah urus.

Jangankan menambah fasilitas umum dan sosial  bagi masyarakat, memelihara yang sudah dibangun oleh bang Ali – pun, kita tak mampu. Bahkan ada kecenderungan untuk meniadakannya dan "menjual" aset-aset pemerintah daerah ke tangan para pengusaha. Ini tentu sangat merisaukan bagi semua yang pernah merasakan masa-masa keemasan pemerintahan Ali Sadikin.

Judi, sejak jaman bang Ali memang sudah diharamkan. Bang Ali tahu akan hal itu. Bedanya, bang Ali mampu memanfaatkan dan mengendalikannya untuk pembangunan kota. Sekarang … judi masih tetap haram dan …. tetap ada. Namun, kita, nampaknya lebih suka dengan hal-hal yang bersifat munafik. Berpura-pura melarang dan menganggap judi tidak ada di Jakarta. Kemudian, Judi dikemas dengan nama lain "undian atau sumbangan" sehingga masyarakat terutama golongan berpenghasilan rendah "dipaksa" berjudi dengan dalih menjadi dermawan. Ini tentu sangat berbeda dengan kasino yang hanya menyentuh segelintir orang yang memang memiliki budaya "berjudi". 

Semua orang juga tahu sama tahu akan hal itu, karena seperti kata bang Ali, Judi tidak akan pernah dapat diberantas. Kini, judi kembali illegal seperti jaman sebelum pemerintahan bang Ali, dan hasil judipun kembali hanya dinikmati oleh segelintir oknum.

Mengingat semua hasil karya nyata bang Ali selama beliau menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, memang pantaslah bila beliau diangkat sebagai Empu Peradaban Kota, melengkapi berbagai penghargaan yang pernah diterimanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Bang Ali …. Jakarta sungguh beruntung pernah dipimpin oleh anda!!!

Senin, 19 Mei 2008

Problematika Rumah Tangga : Kasus 4 - Istri yang dominan

Kejadian yang menimpa kenalanku ini  memang sudah sangat lama, namun masalahnya tetap aktual sepanjang masa. Mungkin, itu juga sebabnya para orangtua selalu mewanti-wanti anaknya untuk menikah dengan pasangan yang sesuku atau yang paling longgar, seagama. Ini diharapkan dapat mengurangi berbagai macam "konflik" yang timbul selama perkawinan.

Seorang kenalanku, perempuan berasal dari suku Minang. Dibesarkan dalam keluarga yang (seharusnya) berkecukupan. Orangtuanya bekerja di Stanvac yang kemudian bersalin rupa menjadi Caltex Pacific. Jadoel banget. Ibunya kenalanku anak tunggal yang sangat dominan, karena beliau juga lahir dari keluarga bangsawan Minang yang memiliki tanah pusako yang sangat luas. Sementara bapaknya, lahir dari keluarga Minang yang bersahaja. Beliau sangat lembut hati dan pemurah.

Suami kenalanku berasal dari Jawa. Dari Malang tepatnya dan dari keluarga terpelajar. Dia juga bekerja di perusahaan minyak BPM/Shell. Setelah BPM/Shel dinasionalisasi, kemudian dia bekerja di Pertamina hingga pensiun. Orangnya relatif ganteng, pendiam dan sangat santun. Jauh berbeda dengan istrinya yang "cowawakan....", pintar cari muka dan mengambil hati atasan atau kalau bahasa jelasnya sih pintar "menjilat"

Pernikahan mereka dianugerahi dua orang anak. Yang tertua, perempuan yang sangat mirip dengan ibunya, walaupun berkulit hitam manis seperti bapaknya. Sementara wajah si bungsu merupakan duplikat bapaknya. Mereka hidup berkecukupan di komplek perumahan pekerja perminyakan yang serba ada dan lengkap.

Semua orang yang mengenal mereka, dengan sangat mudah melihat bahwa peran istri dalam berbagai hal sangat dominan. Dalam pergaulan sosial dan bahkan di lingkungan pekerjaan. Sukar ditepis dugaan bahwa si istri sangat berperan untuk kasak-kusuk mencarikan posisi yang baik dan basah bagi suami. Mungkin si suami memang cukup ahli dalam bidangnya, tapi semua orang juga tahu bahwa dalam meraih posisi penting, networking dan lobbying turut berperan. Nah peran ini yang tampaknya diambil sang istri sehingga si suami memperoleh berbagai posisi yang mustahil bila diperoleh melalui jalur umum.

Hingga suatu hari, terjadi kehebohan. Kenalanku menyuruh adiknya membuntuti sang suami. Konon, sejak mengikuti satu seminar perminyakan di sebuah kota di pulau Jawa, sang suami seringkali pergi ke Jakarta. Sebetulnya, mengingat posisinya saat itu, tugas ke Jakarta bukanlah hal yang aneh. Tetapi si istri mendengar berita bahwa sang suami yang biasanya selalu menginap di rumah kakaknya bila tugas ke Jakarta, saat itu selalu menginap di mess perusahaan.
Demi rasa sayang kepada si kakak, adiknyapun membuntuti kegiatan kakak ipar. Ternyata, si suami mengunjungi dan berkencan dengan rekan kerja yang tinggal tidak jauh dari mess perusahaan. Yang mengejutkan si adik ..... wajah teman kencan si kakak ipar sangat mirip dengan kakaknya. Perbedaannya hanya pada rambut dan perilakunya. Bila kenalanku (istri) selalu berambut pendek, maka rekan pujaan berambut panjang dan ikal. Bila istri "cowawakan" maka sang pujaan lembut dan santun.

Usai melakukan investigasi, si adik menunggu kakak ipar pulang berkencan di mess. Panjang lebar mereka berdialog, antar sesama lelaki..... Dari situ, terungkap bahwa suami kenalanku merasa lelah "dipacu" oleh ambisi istrinya. Dia ingin hidup tenang sebagaimana dia dididik oleh orangtuanya dalam kultur Jawa. Dia merasa menemukan apa yang tidak diperoleh dari istrinya pada sang gadis pujaan. Seluruh impiannya tentang penampilan, perilaku dan sifat istri bahkan hingga penampilan fisik.

Perempuan yang berasal dari Minang memang sangat dominan. Mungkin karena dalam kultur Minang, perempuan memang memiliki tempat yang tinggi dibandingkan dengan kultur Jawa yang menempatkan perempuan sebagai konco wingking. Hanya sebagai penyokong. Perbedaan kultur dari kedua orang itu, ditambah dengan sifat dasar yang sangat bertolak belakang itulah yang menyebabkan sang suami mencari pelarian dari segala pemberontakan hatinya. Padahal, sesungguhnya dia sangat cinta pada si istri.

Si adik hanya bisa terdiam dan memakluminya. Dia sama sekali tidak melaporkan hasil kerja dan pembicaraan dengan kakak iparnya kepada sang kakak yang meminta laporan investigatifnya

Saya Iri pada Surabaya

Saya baru pulang dari Surabaya. Baru sekali ini ke Surabaya lagi karena sejak ada penerbangan langsung ke Malang, saya tidak harus ke Surabaya dulu kalau harus tugas ke Malang.

Saya betul-betul kaget dengan perkembangan Surabaya. Bersih, rapi dan hijau. Jalan-jalan sangat mulus, Sepanjang perjalanan dari airport, keliling kota Surabaya bahkan melewat terminal Bungur Asih dsb, sama sekali tidak terlihat sampah berserakan. Trotoir lebar, bersih dari pedagang K5 dan teduh. Tanaman hias dan pohon peneduh di sana-sini. Pinggir kali menghijau dan bebas gubuk.  Sangat berbeda dengan Jakarta. Jangankan ke pelosok kelurahan, dalam perjalanan dari Blok M ke Lebak bulus saja, saya melihat banyak sekali jalan berlubang, kesemrawutan dll. Jakarta Bersih tetapi lebih terfokus ke Menteng dan sekitarnya.

RSUD Dr Sutomo betul-betul bikin ngiri, walaupun hanya melihat dari luar, tetapi penampilan luarnya rapi bersih dan teratur baik gedung maupun ruang Parkir. Semula, saya pikir gedung tinggi dengan tulisan Graha Amerta di puncaknya adalah gedung perkantoran modern. Ternyata gedung itu adalah salah satu bagian dari RSUD Dr Soetomo. Secara selitas, saya jamin bahkan RS Swasta di Jakarta kalah kerapihan dan keteraturannya.

Jangan bandingkan RSUD Dr. Soetomo dengan RSCM….. Malu, kita dibuatnya, karena akan banyak dalih dan kambing hitam untuk membantah kekurangan2an yang ada, karena kita seringkali enggan mengintrospeksi diri.

Konon, Surabaya bersih karena pemerintah daerahnya mau mendengar dan “tunduk” kepada usulan dan saran dari Prof Johan Silas yang pakar perkotaan. Sementara pemda di Jakarta? Silakan jawab sendiri.

Perjalanan singkat ke Surabaya membuat saya merenung… Apa yang salah dengan Jakarta?
Sungguh saya iri dengan Surabaya


From: Sylviana [mailto:sylviana@cbn.net.id]
Sent: Saturday, May 17, 2008 6:10 AM
To: 'Nanang'; nobry2342003@yahoo.com; 'nina zainal'; 'Lubis, Uni (ANTV)'; 'harlina r koestoer'
Subject: Doakan akan terwujud Jakarta Pusat Bersih ya...

Doakan akan terwujud Jakarta Pusat Bersih ya…..
Jumat , 16/05/2008
JAKARTA PUSAT BERSIH
Pagi ini Jum'at tanggal 16 Mei 2008, telah terjadi suatu kekompakan sebagai Tonggak Sejarah Berdiri di tengah-tengah jantungnya ibukota Jakarta yakni adalah Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat. Kehirupikukan dan suasana padatnya pembangunan Ibukota Jakarta, ternyata masih banyak masyarakat Ibukota yang peduli dengan lingkungan.

Dan peristiwa ini tercermin dalam kekuatan di hati yang bersih dari seluruh potensi masyarakat yang menetapkan pukul 07.00 pagi tanda kebangkitan dan juga suatu bentuk kepedulian terbangun antara Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Pusat, TNI dan seluruh potensi masyarakat, yang membuktikan rasa tanggungjawab di lingkungan dengan menciptakan kali yang bersih, asri, sejuk dan nyaman berada di 8 kecamatan (secara serentak) melaksanakan suatu kesepakatan untuk melaksanakan kerja bakti massal di lingkungan yang dilalui kali Ciliwung membersihkan kali dalam rangka 100 Tahun Kebangkitan Nasional.

Program Jakarta Pusat bersih ini dijadikan agenda rutin enam bulan sekali sebagai tanggungjawab moral dan bukti terhadap cinta akan lingkungan yang bersih.
Langkah ini dicetuskan Pangdam Jaya Bapak Suryo Prabowo dengan Walikota Jakarta Pusat Ibu Dr.Hj. Sylviana Murni SH, MSi pada waktu pelaksanaan Pekan Bakti Sosial di Balai rakyat Kemayoran pada tanggal 12 Mei 2008 yang pada kesempatan ini juga dihadiri oleh Panglima TNI Bapak Djoko Santoso dan Putra Presiden Republik Indonesia Mas Eddy Baskoro Bambang Yudhoyono.


Target Operasional kerja bakti massal "Jakarta Pusat Bersih" adalah
1. Kecamatan Senen di lokasi jalan Kramat Lontar 14 Kel Paseban Kec Senen sepanjang kali Sentiong (dari jalan paseban s/d jalan kramat sawah baru) sepanjang 1550 m dengan kekuatan 1300 personil.
2. Kecamatan Johar Baru di sepanjang kali sentiong (dari jalan kramat sawah baru s/d jalan Suprapto sepanjang 1170 m dengan kekuatan 450 personil.
3. Kecamatan Kemayoran di sepanjang kali sentiong (dari jalan Letjen Suprapto s/d jembatan Marto serdang) sepanjang 2700 m dengan kekuatan 800 personil.
4. Kecamatan Sawah Besar sepanjang kali Anak ciliwung (dari kartini s/d jalan Dr Suratmo, saluran jalan melawan dan saluran jalan jembatan merah sepanjang 600 m dengan jumlah kekuatan 400 personil.
5. Kecamatan Cempaka Putih sepanjang kali rawa kerbau (dari cempaka putih tengah 22B s/d Letjen Suprapto 1500 m dengan kekuatan 450 personil.
6. Kecamatan Gambir sepanjang kali Krukut bawah (dari jalan Suryo pranoto s/d jalan Zainal Arifin sepanjang 1190 m dengan kekuatan 425 personil.
7. Kecamatan Tanah Abang sepanjang kali krukut bawah (dari jalan lontar s/d kali cideng) sepanjang 2500 m dengan kekuatan 650 personil.
8. Kecamatan Menteng kali jalan Surabaya s/d saluran jalan Probolinggo (kali kroncong) sepanjang 1200 m dengan kekuatan 525 personil.

Kegiatan ini akan berlangsung selama 2 hari dari tanggal 16-17 Mei 2008 dimulai pukul 07.00 hingga selesai. Khususnya pada hari Jum'at yang dilaksanakan di jalan kramat lontar dan juga dilaksanakan penyerahan alat-alat (seperti cangkrang, sapu, skop, pacul dan lain sebagainya), penyerahan secara simbolis 8 pot dan pohon untuk 8 Kecamatan sebanyak 1000 pot dan pohon.

Berikut alamat website gugus tugas sampah yang dikoordinasi Bapenas. Selamat bergabung ! http:// gtps.ampl.or.id
Regards,
SM

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...