Sabtu, 20 September 2008

HRD dan perselingkuhan

“Perempuan itu memang bukan perempuan baik-baik, bu…! Suami saya sekarang sudah tinggal sama dia dan malah saya denger sudah kawin siri”. Suara perempuan itu terdengar sangat berapi-api mencela kelakuan “madu”nya.

Agak terperangah, saya mendengar “kemarahan”nya, saat saya terpaksa memanggilnya ke ruang kerja. Atasannya “kurang nyaman” menegurnya. Dia tentu sudah mendengar bahwa saya yang “membawanya” masuk kerja di proyek. Ini kebiasaan di Indonesia, kalau seorang karyawan “dibawa” oleh seseorang dan kebetulan seseorang itu punya jabatan, maka bisa dipastikan tidak ada yang berani menegurnya bila yang bersangkutan melakukan kesalahan.

Sebetulnya saya enggan menegurnya. Bukan karena dia adalah “bawaan” saya, tetapi karena masalahyang dihadapinya adalah masalah keluarga. Perselingkuhan suami yang mengakibatkan semua rekan kerjanya berkeberatan atas perilakunya. Sering bolos untuk sekedar “menguntit” sang suami. Kalaupun masuk kerja, dia lebih sering melalaikan tugasnya, Menggunakan telpon hampir sepanjang hari, melamun atau “curhat” tak kenal waktu kepada semua orang sehingga akhirnya bukan lagi simpati yang diperolehnya, tetapi berbalik menjadi antipati.

“Jangan menyalahkan orang lain. Jangan melihat perempuan lain itu dari profesinya sebagai hostess. Kalau suamimu lelaki baik-baik, tentu dia akan mampu menjaga diri dari godaan duniawi”
“Tapi suami saya bilang, dia khilaf …..”
“Oh…? Ini perselingkuhan yang pertama kali? Lalu, dia minta maaf dan kemudian berjanji untuk kembali kepada keluarga dan menceraikan perempuan itu?”
“Nggak sih bu …. Dari dulu dia memang begitu….! Kan kerjaannya sering keluar kota….!”
“Nah…, kalau kamu tahu, suamimu memang sering main perempuan, kan cuma ada dua pilihan; telan atau minta cerai. Nggak perlu rebut-ribut kesana-kemari”
“Tapi bu, saya masih cinta! Lagipula kasihan anak-anak…!”
“Suamimu bagaimana? Kalau dia memang merasa khilaf dan kamu mampu memaafkan, ya ajak dia ngomong baik-baik agar mau kembali kepada keluarga dan melupakan perempuan itu”
“Dia nggak mau bu.. dia bilang, kalau putus sama perempuan itu, masih banyak yang ngantri!”

“Ya kalau begitu, pilihannya cuma dua; terima aja kalo kamu punya madu atau cerai! Kalau saya sih, mending cerai aja. Buat apa dipertahankan…? Biaya rumahtangga sudah nggak dikasih lagi, nggak pernah pulang dan dia juga nggak mau lepas kebiasaan main perempuan. Alasan apa lagi untuk mempertahankan.”
“Kasihan anak-anak bu…!”
“Anak-anak itu gimana ibunya. Sakit memang, tapi membesarkan anak dalam kemarahan bukan solusi yang baik. Lagipula, siapa tahu ini adalah jalan terbaik yang diperlihatkan Allah SWT. Kalau kamu bercerai, siapa tahu nanti dapat jodoh yang lebih baik.”

“Saya masih ingin kasih kesempatan buat dia…”
“Aduh… kamu ini gimana sih? Gini deh, ini urusan pribadi kamu. Saya cuma mau bilang bahwa semua orang complain atas kinerja kamu selama satu bulan ini. Sering bolos. Kalau di kantor lebih banyak telpon sana-telpon sini ngurusin perselingkuhan suami, curhat sehingga mengganggu teman kerja atau bengong membiarkan pekerjaan tertumpuk di atas meja. Saya menawarkan … ambil cuti di luar tanggungan perusahaan.”
“Maaf bu, saya janji nggak bolos-bolos lagi”


“OK, Buat saya juga enggak enak! Bulan puasa begini mesti ngomong keras sama kamu. Kita lihat ya… hari kerja menjelang libur Idul Fitri tinggal satu minggu lagi. Kalau ternyata tidak ada perbaikan, maka hari pertama masuk kerja nanti akan turun SP1 buatmu.”

Kepada managernya, saya sampaikan rencana itu untuk dijalankan.
*****

Ini nggak enaknya ngurusin personalia. Urusan rumahtangga orang jadi bagian dari pekerjaan. Tapi di luar hal tersebut, ternyata pernikahan menyebabkan ketergantungan perempuan kepada lelaki. Dan repotnya si perempuan menyembunyikan ketergantungan itu dengan berlindung di balik kepentingan anak-anaknya. Eh, benar nggak kesimpulan saya ini?

Senin, 08 September 2008

Ramadhan Jadoel 2 - persiapan lebaran

Puasa di paruh pertama tahun 1960an dalam ingatan saya kegembiraan yang “suram”. Gembira karena kami semua menikmati libur panjang hampir selama 1,5 bulan sehingga setiap malam, selama orangtua menunaikan shalat tarawih, anak-anak bisa bermain di halaman rumah atau ditengah jalanan yang memang masih sepi dari kendaraan bermotor.
Namun, tidak bisa dipungkiri, kehidupan masa itu memang suram. Konon ekonomi Indonesia memang sudah menunjukkan arah kebangkrutan yang di kemudian hari baru saya tahu disebabkan oleh proyek-proyek yang disebut kaum Orba” sebagai proyek mercusuar. Namun di balik pengetahuan anak usia SD kelas 2 – 4, saat itu, saya hanya mengenangkannya melalui beberapa peristiwa sehari-hari.
Saat itu, Indonesia memang sedang memasuki periode konfrontasi dengan Malaysia. Coretan-coretan anti Malaysia seperti “Ganyang Malaysia”, Malaysia boneka Inggris atau Malaysia antek Inggris bertebaran dimana-mana. Pada malam hari yang temaram, bisa jadi tiba-tiba terdengar sirine yang dibarengi dengan suara sirine dan pemadaman lampu. Kalau sudah begini, maka anak-anak wajib masuk ke kolong tempat tidur atau dimana saja mencari perlindungan. Ini dinamakan latihan bila ada serangan udara pada malam hari.
Saya ingat sekali, pernah pada bulan-bulan tertentu, ayah saya membawa sekarung jagung pecah jatah pembagian kantor untuk makan kami serumah sebagai pengganti beras. Maka, hari-hari kemudian, selama sebulan kami akan menyantap nasi jagung tersebut. Di lain waktu, ayah membawa sekarung bulgur yang berwarna kecoklatan. Bagaimana rasanya…? Jujur saja, saya sudah lupa bagaimana rasa bulgur. Kalau rasa jagung, tentu masih tahu karena saya masih sering dan suka menyantap cenil lengkap dengan getuk dan jagungnya. Apalagi perkedel jagung manis merupakan salah satiu santapan kesukaan saya.
Nah bagaimana masyarakat Betawi mempersiapkan lebaran? Pada paruh kedua bulan puasa, ibu-ibu mulai mempersiapkan kue lebaran. Umumnya mereka membuat kue semprit atau nastar. Kalau nastar, tahu kan? Itu lho, kue kering umumnya berbentuk bulat kelereng yang isinya selai nanas. Ada juga yang berbentuk bulat panjang seperti biji kenari. Membuatnya agak repot, karena kita harus terlebih dahulu menyiapkan dan membuat selai nanas. Kastengel…? Aduh… jauh deh… itu makanan orang kaya, karena keju sudah pasti sukar diperoleh.
Kalau kue semprit, ada nggak yang tahu benda seperti apa itu? Sekarang kue semprit disebut cookies terbuat dari adonan tepung mentega, telur dan gula. Kenapa disebut semprit? Karena untuk mencetak kue, adonan dimasukkan ke dalam contong kertas minyak yang ujungnya sudah di sisipkan corong kecil yang ujungnya berlubang. Ada yang lubangnya datar, ada juga yang bersegi. KAlau sudah terisi sekitar ½ contong, maka ujung kertas akan dipelintir dan didorong agar kue keluar dari corong. Itu sebabnya disebut semprit. Mungkin diimaginasikan seperti saat kita meniup sempritan/peluit.
Corong yang lubang datar akan membentuk kue yang lurus-lurus saja, sedang corong bersegi akan mengeluarkan adonan bergelombang seperti helai bunga. LAlu bagian tengahnya diberi bulatan kecil, biasanya adonan yang diberi coklat.
Karena saat itu belum ada mixer, maka suara kopyokan telur ramai bersahut-sahutan dari rumah kerumah membentuk simpony indah khas ramadhan di perkampungan. Kadang-kadang ada beberapa tetangga yang saling bergotong-royong saling menyumbang bagian bahan kue yang dimiliknya, lalu memasaknya bersama untuk kemudian dibagikan.
Nenek saya yang keturunan Sunda-Betawi, selalu membuat geplak, kue satu khas betawi dan kue lapis legit selain tape ketan dan uli. Makanan buatan nenek saya itu legit dan enak sekali. Apalagi tape ketan dan ulinya. Duh, rasanya sampai sekarang saya belum pernah menemukan tape ketan selezat buatannya..
Geplak adalah makanan kesukaan nenek saya. Diluar lebaran, beliau seringkali membuatnya. Tahukan anda apakah geplak itu? Makanan ini dibuat dari bahan tepung beras dan kelapa parut yang disangrai, lalu dimasukkan ke dalam cairan gula merah atau biasa disebut kinca. Diaduk secukupnya dengan porsi tepung beras yang sangat banyak sehingga membentuk adonan basah sekedarnya dan bisa dipipihkan. Sudah… begitu saja. Sederhana sekali pembuatannya. Tapi, walaupun sederhana, persiapannya cukup lama karena kita harus membuat sendiri tepung beras. Saya lebih suka makan tepung beras yang sudah tercampur kelapa parut itu lalu ditambahkan gula pasir. Ini disebut sagon. Enak lho…, karena bahan-bahannya alami dan tepung berasnyapun masih baru.
Ibu saya, biasanya sibuk menjahit. Beliau memang bisa menjahit baju perempuan. Jadi semua baju anak-anaknya adalah buatannya. Apalagi, pada saat itu belum ada industry pakaian jadi. Bahan bajunya, seperti juga beras, adalah berasal dari penukaran kupon. Sayang, saya nggak tahu bagaimana ayah saya memperoleh kupon tersebut. Apakah pembagian kantor atau membelinya. Dari pembagian itu, biasanya bisa dibuat baju untuk semua anak-anaknya. Jadi jangan heran kalau pada saat lebaran kami sekeluarga memakai baju seragam. Bukan karena disengaja seperti sekarang, tetapi dulu, karena itulah jatah yang diperoleh setiap keluarga.
Saya dan adik-adik hanya bisa memiliki baju dan sepatu baru saat lebaran. Biasanya ibu saya akan menjahitkan 3 buah rok seragam dengan adik-adik. Bukan hanya seragam motifnya tetapi juga modelnya. Begitu berlangsung hingga saya duduk di bangku kelas 6 SD, saat saya mulai melakukan protes-protes kecil agar tidak dibuat seragam lagi. Saat itu ibu saya mulai membedakan warna dan model baju namun bahannya tetap sama untuk menghindari rasa iri di antara kami.
Begitulah cari kami dan sebagian besar masyarakat Jakarta yang saat itu masih menjadi the big village, menyiapkan lebaran. Mungkin saat itu sudah terjadi perbedaan kelas sosial, sama seperti sekarang. Jurang pemisah antara kaum berpunya dan kaum proletar. Namun keterbatasan media informasi dan komunikasi menyebabkan dunia kami terbatas pada lingkungan kecil saja. Beruntungkah…? Entahlah! Setiap jaman memiliki problematikanya sendiri dan saya merasa kenikmatan menjalankan puasa pada masa kecil dulu, jauh lebih bermakna daripada apa yang dialami anak saya sekarang.

Kamis, 04 September 2008

penjaminan pribadi - personal guarantee

  1. Penjamin pribadi (Personal Guarantee) dengan ini menjaminkan seluruh harta kekayaan kepada Bank, untuk menjamin pelunasan hutang perusahaan kepada Bank untuk jumlah hutang, jangka waktu, syarat – syarat dan ketentuan – ketentuan yang dianggap baik oleh suami/istri penjamin tersebut. Segala akibat yang timbul dari penjaminan tersebut menjadi tanggung jawab penjamin juga.
  2. Penjaminan ini berlaku terus menerus untuk setiap perpanjangan, tambahan, dan atau perubahan dan atau pembaharuan fasilitas kredit tersebut yang akan ada/dibuat di kemudian hari sampai pinjaman/hutang Debitor pada Bank tersebut selesai (lunas) dan segala akibat hukum yang timbul dari penjaminan tersebut menjadi tanggungjawab penjamin juga.
  3. Penjaminan ini tidak akan berakhir oleh sebab penjamin meninggal dunia tetapi tetap mengikat para ahli warisnya hingga pinjaman/hutang debitor kepada bank tersebut selesai/lunas.
  4. Demikian Surat Persetujuan ini dibuat dan ditandatangani dalam keadaan sehat jasmani dan rohani tanpa paksaan dan atau tekanan dari pihak manapun untuk dipergunakan sebagaimna mestinya sebagai alat bukti yang sah, serta membebaskan Bank dari segala tuntutan dan gugatan dari pihak manapun juga yang timbul di kemudian hari.

******


Begitu antara lain bunyi sebagian akta penjaminan pribadi (personal guarantee) yang harus ditandatangani sebagai akibat pemberian fasilitas kredit dari bank kepada perusahaan.

Nanar mata membaca ayat demi ayat dari akta. Terbayang betapa masa depan anak dan cucu tergadai sudah untuk suatu kewajiban yang sama sekali tidak pernah mereka nikmati, bahkan sebetulnya sama sekali tidak dinikmati oleh penandatangan personal guarantee tersebut.

Terbayang sudah bahwa para pasangan (suami/istri) dari sang penjamin pribadi yang harus turut memberikan persetujuan akan terkejut manakala menyadari kemungkinan resiko yang timbul. Entahlah, apakah mereka mampu menolak atau terpaksa memberikan ijin/persetujuan kepada pasangannya untuk menandatangani penjaminan pribadi tersebut.

Andai saja si penandatangan adalah pemilik perusahaan, penikmat berbagai keuntungan apabila usaha yang dibiayai kredit tersebut menghasilkan laba besar kelak, maka mengambil resiko penjaminan tersebut sangatlah wajar.

Tapi bagaimana bila si penandatangan tersebut hanyalah seorang professional yang penghasilannya dan bonusnya selama bekerjapun tak akan sanggup melunasi kewajiban tersebut bila ternyata pinjaman tersebut tidak dapat terselesaikan dengan baik.

Dalam era reformasi, perseroan terbatas tidak lagi membatasi resiko usaha sebatas modal perusahaan. Resiko usaha bisa jadi akan menjarah harta kekayaan pribadi baik kekayaan pemilik modal maupun pengurus perusahaan.

Inilah dampak dari kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh para pengusaha era sebelum reformasi. Side streaming - penyalahgunaan fasilitas kredit bank telah memporakporandakan negeri ini. Dampak akhirnya sangat luas, antara lain adalah hal-hal tersebut di atas; Beginilah bila negara, masyarakat dan dunia industri berada dalam kondisi low trust society 

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...