Jumat, 30 Januari 2009

Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa


Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Prof. Dr. Tjipta Lesmana, MA
Saya dapat resensi buku ini dari milis FTUI. Entah siapa pembuatnya.
Tapi membaca resensinya, sangat menarik dan semoga bermanfaat untuk kita menimbang-nimbang calon presiden RI dalam pilpres 2009 kelak

"Behind the Scene" (1):
Tingkah Laku Para Presiden Indonesia
Rabu, 17 Desember 2008 | 11:52 WIB

Suatu ketika, pada era pemerintahan Gus Dur, Laksamana Sukardi (Menteri Negara Badan Urusan Negara) ikut serta dalam kunjungan kenegaraan ke Eropa dan Asia. Jadwal Presiden sangat ketat sehingga membuatnya teler. Para anggota rombongan pun kelelahan luar biasa.

Di Seoul, Gus Dur menerima kunjungan kehormatan Perdana Menteri Korea. Kedua pemimpin negara duduk berdampingan. Perdana Menteri Korea berbicara kalimat demi kalimat yang diterjemahkan oleh seorang penerjemah. Rupanya, karena sangat lelah dan tidak menarik mendengarkan terjemahan, Gus Dur tertidur.

Pada salah satu bagian, PM Korea berujar, ”Mr President, we have an excelent nuclear technology for power plant. If you are interested, we would be happy to have it for you. (Tuan Presiden, kami memiliki teknologi nuklir yang canggih untuk pembangkit tenaga. Kalau Anda berminat, kami bisa mengusahakannya untuk Anda),” Pemerintah Korea menawarkan bantuan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik Indonesia.

Saat itu, Gus Dur tidur pulas sekali. Selesai pernyataan itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris, PM Korea menoleh ke arah Gus Dur menunggu jawaban. Namun, tidak ada jawaban. Laksamana cepat-cepat membangunkan Gus Dur. “Gus... Gus... bangun! Gus... dia tanya apakah kita interested dengan power plant technology yang dia punya.”

Gus Dur karena baru terbangun dari tidurnya dan belum berkonsentrasi langsung nyeplos, “My Minister ask about your nuclear technology…! (Menteri saya bertanya tentang teknologi nuklir yang Anda miliki),”

Laksamana geli bercampur malu. Anggota rombongan pun tersipu-sipu, tidak berani melihat wajah PM Korea. “Kita semua malu. Merah muka kita di hadapan Perdana Menteri Korea,” tutur Laksamana.

Demikian salah satu cerita yang terungkap dalam buku Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa karya Prof Dr Tjipta Lesmana, MA.

Buku yang baru diluncurkan Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada pertengahan bulan November menguak pola komunikasi politik enam presiden yang pernah memimpin Indonesia, dari Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Tjipta melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif. Ia melakukan wawancara secara mendalam dengan 25 orang yang dekat dengan ke enam presiden itu.

Sebagian besar informan adalah mantan menteri sehingga mereka sering berkomunikasi dengan Presiden. Dari pengalaman berinteraksi itulah mereka bercerita dan memaparkan apa saja yang diketahuinya tentang komunikasi politik sang presiden dan kesan mereka terhadap kepemimpinan presiden tersebut.

Buku setebal 396 halaman itu mengungkap gaya komunikasi para presiden Indonesia dalam beragam kondisi. Soekarno digambarkan sebagai sosok yang banyak bicara dengan bahasa lugas, tanpa tedeng aling-aling. Sementara itu, gaya Soeharto berada di ekstrem yang lain, hight context, para pembantunya harus pintar memahami yang tersirat di balik yang tersurat, plus memahami senyumnya yang multitafsir.

Habibie digambarkan sebagai pribadi yang terbuka, tetapi terkesan mau menang sendiri dalam berwacana dan alergi terhadap kritik. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga memiliki gaya yang sangat terbuka, demokratis, tapi cenderung diktator. Gus Dur sangat impulsif. Ia bisa tertawa terbahak, tetapi bisa juga menggebrak meja sekerasnya di depan komunikannya.

Megawati lain lagi. Meski dipandang cukup demokratis, pribadi Megawati dinilai tertutup dan cepat emosional. Ia alergi pada kritik. Komunikasinya didominasi oleh keluhan dan uneg-uneg, nyaris tidak pernah menyentuh visi misi pemerintahannya. Dan, tanpa diragukan lagi, tulis Tjipta, Megawati adalah seorang pendendam.

Selanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono digambarkan sebagai sosok yang demokratis, menghargai perbedaan pendapat, tetapi selalu defensif terhadap kritik. Hanya, sayang, konsistensi Yudhoyono dinilai buruk. Ia dipandang sering berubah-ubah dan membingungkan publik.

Yang menarik dari buku ini adalah semua analisis ditarik berdasarkan kisah–kisah kecil interaksi sehari-hari antara presiden dan para menterinya. Sebagian kisah itu tak pernah muncul ke publik sebelumnya.

***
"Behind the Scene" (2):
Megawati Lebih Antusias Bicara Soal "Shopping"

Megawati Soekarnoputri adalah Presiden Indonesia kelima. Bisa disebut ia adalah Presiden Indonesia paling pendiam. Putri Bung Karno ini sepertinya seorang pengikut fanatik pepatah kuno “Silence is Gold”. Tapi, diamnya Megawati seringkali kelewatan. Ia tetap tak bersuara bahkan ketika negeri ini membutuhkan kejelasan sikapnya. Sampai-sampai (Alm) Roeslam Abdulgani, tokoh pejuang 45, berseru, “Megawati bicaralah sebagai Presiden!”

Kenapa Megawati lebih banyak diam?
Tjipta Lesmana dalam bukunya “Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa” mengisahkan, pada suatu hari, saat masih menjabat sebagai Presiden, Megawati Soekarnoputri tampak tengah berbincang lama sekali dengan seorang menterinya di kediaman resminya, di Jl Teuku Umar, Jakarta. Sementara perbincangan berlangsung, seorang pembantu dekatnya yang lain menunggu dengan gelisah. Pasalnya, ia sudah menunggu lama lewat dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu.

Usai pembicaraan Megawati dengan menterinya, pembantu ini bertanya kepada si Menteri. “Lama amat sih kamu ngobrolnya. Apa saja sih yang dibahas?”
”Enggak ada, Mas. Kita ngobrol hal-hal lain yang enggak ada kaitannya dengan negara!” jawab Sang Menteri sambil tertawa lebar (hal. 272).

Itulah Megawati. Berdasarkan penuturan Laksamana Sukardi, mantan menteri negara Badan Usaha Milik Negara, jika berdiskusi dengan pembantunya, lebih sering soal-soal ringan seperti masakan, tanaman, dan shopping. Pembicaraan dengan topik itu bisa membuat diskusi dengan Megawati berlangsung lama. Tapi, jika sudah menyentuh soal pekerjaan atau negara, daya fokusnya sangat terbatas. Konsentrasinya kurang cukup untuk terus menerus fokus ke permasalahan. Hal ini menimbulkan kesan Megawati orang yang tidak mau repot dalam mengurus negara.

Mantan pentiggi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini hengkang dan mendirikan Partai Demokrasi Pembaruan, Roy BB Janis, menuturkan dalam buku itu, dalam sidang kabinet Megawati biasanya lebih banyak diam. Kalaupun angkat suara fungsinya hanya sebagai pengatur lalu lintas. Kalau ada dua menteri saling berdebat di sidang kabinet, Megawati hanya menonton, jarang memberikan pendapatnya sendiri atau menengahi keduanya, meski perdebatan sudah berada pada tingkat ‘panas’.

Ada cukilan kisah menarik tentang diamnya Megawati. Menjelang tutup tahun 2002 aksi-aksi unjuk rasa anti pemerintah, terutama dilancarkan mahasiswa, menunjukkan eskalasi yang tinggi. Aksi ini menyusul kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Di tengah ingar bingar unjuk rasa itu, beredarlah rumor yang menyebutkan ada pihak-pihak tertentu yang sengaja mengompori rangkaian unjuk rasa itu.

Sebagai orang yang ikut bertanggung jawab atas stabilitas pemerintah, Hendropriyono (Kepala Badan Intelijen Negara), Susilo Bambang Yudhoyono (Menteri Koordinator Politik dan Kemanan), dan Da’i Bachtiar (Kapolri), rupanya terus memeras otak untuk mencari tahu siapa dalang aksi-aksi ini. Lantas, dalam rapat kabinet tanggal 20 Januari 2003, muncul empat nama yang disebut-sebut sebagai pihak yang berada di belakang aksi unjuk rasa. Mereka adalah Jenderal Wiranto, Fuad Bawazier, Adi Sasono, dan Eros Djarot.

Tentang Fuad Bawazier, memang diketahui lama adalah mitra bisnis Rini Suwandi yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dalam kabinet Megawati. Kemitraan mereka terjadi jauh sebelum Rini menjadi menteri.

Suatu hari bertemulah Hendropriyono dan Rini Suwandi di kediaman Megawati di Jl Teuku Umar. Hendro menegur keras Rini soal sepak terjang Fuad. Kata–kata Hendro meluncur tanpa tedeng aling-aling. Teguran itu begitu menyakitkan Rini hingga ia menangis sambil memeluk Megawati. Apa reaksi Presiden? Megawati hanya tersenyum menyaksikan adegan perang mulut antara dua pembantu dekatnya (hal. 276).

Pendendam
Semua orang mafhum, hingga detik ini Megawati emoh bertemu dengan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden berkuasa yang notabene adalah mantan pembantunya di kabinet. Dalam upacara kenegaraan memperingati ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-63, 17 Agustus, tahun ini, Megawati tidak hadir. Ketidakhadirannya diyakini karena faktor Yudhoyono sebagai Presiden.

Tjipta menulis, “di mata Megawati, Susilo Bambang Yuhoyono (SBY) tidak lebih seorang pengkhianat, bahkan seorang Brutus yang sadis,” (hal.303). Ini semua karena sikap “diam-diam” SBY yang mencalonkan diri sebagai Presiden pada Pemilu 2004. SBY dinilai tidak jantan. Beberapa kali Megawati bertanya kepada SBY apakah akan maju dalam Pemilu 2004. Dengan diplomatis SBY menjawab, “Belum memikirkan soal itu, Bu. Saya masih konsentrasi dengan tugas selaku Menteri Koordinator Politik dan Keamanan.” (hal. 288).

Namun, Megawati dan kubunya menaruh kecurigaan besar terhadap SBY dan timnya. Perseteruan di balik selimut pun terjadi. Terungkap ke publik bahwa Megawati mengucilkan SBY dari sidang-sidang kabinet. Sikap Megawati ini menguntungkan SBY karena dengan itu SBY tampil di media sebagai korban kezaliman Megawati.

12 Maret 2004 SBY mengirimkan surat pengunduran diri dari kabinet. Dua hari kemudian ia terbang ke Banyuwangi, berkampanye untuk Partai Demokrat. Pada putaran kedua pemilu 2004 SBY menang gemilang dalam pemungutan suara. Megawati sedih dan menangis.

Semua orang tahu, saat pelantikan SBY di Gedung MPR pada 20 Oktober 2004 Megawati tidak hadir, padahal banyak orang dekat membujuknya datang. Semua orang juga tahu, pagi itu Megawati bahkan tidak duduk di depan pesawat televisinya, tapi sibuk berkebun.

Menurut penuturan Roy BB Janis, kegusaran dan kebencian Megawati diartikulasikan dalam rapat DPP PDIP. “Kalau orang lain, Amien Rais Presiden, Wiranto Presiden, siapalah, saya datang. Tapi, kalau ini (SBY) saya enggak bisa, karena dia menikam saya dari belakang,” begitu kata Megawati seperti ditirukan Roy (hal.289).
***

"Behind the Scene" (3):
Gus Dur Menggebrak Meja Hingga Meraung-raung

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah presiden Indonesia ke-4. Masa kepemimpinannya tidak lama, hanya 21 bulan (20 Oktober 1999 - 23 Juli 2001). Ia dilengserkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dipimpin Amies Rais dan digantikan Megawati Soekarnoputri.

Meski rentang kepemimpinannya paling singkat dalam sejarah Indonesia, namun sepak terjangnya banyak menuai kontroversi. Manuver-manuvernya sulit dipahami. Gayanya yang ceplas-ceplos menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Tjipta menyebut dalam bukunya “Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa”, Gus Dur tidak bisa memisahkan statusnya sebagai kiai dan Presiden Republik Indonesia. Statusnya sebagai kiai bahkan kerap lebih menonjol daripada sebagai Kepala Negara. Akibatnya, komunikasi politik Gus Dur kacau.

Sebagai kiai Gus Dur adalah sosok yang terbuka terhadap siapa saja, termasuk terbuka terhadap segala informasi yang dibisikan kepadanya. Cilakanya, Gus Dur sering percaya begitu saja pada bisik-bisik orang tanpa pernah lagi mengeceknya. Gara-gara bisik-bisik ini pula ada orang kehilangan kesempatan emasnya berkarir di luar negeri.

Laksamana Sukardi, kala itu Menteri Negara Badan Urusan Milik Negara, menuturkan dalam buku tersebut, suatu kali dipanggil Gus Dur ke istana. Gus Dur menyampaikan, ada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dengan reputasi sangat baik. Ia masih muda dan pintar. Gus Dur ingin Laksamana mencarikan posisi untuk orang itu. “Dia pintar sekali. Lalu dia mau ditarik ke New York. Kan, sayang kalau ada anak muda yang pintar, masak kerja di luar negeri. Tolong, deh,” ucap Gus Dur seperti ditirukan Laksamana.

Tak lama setelah hari itu, Laksamana kembali menghadap Gus Dur. Ada posisi lowong sebagai direksi Indosat. “Gus, ingat enggak ini orang, anak muda yang tempo hari Gus titipkan ke saya? Dia lebih cocok di Indosat, Gus,” kata Laksamana.

Gus Dur rupanya sudah lupa. Setelah berpikir agak lama, tiba-tiba ia menjawab lantang,”Enggak bisa itu orang!”
“Lho, kenapa, Gus?!” Laksamana terperanjat.
”Dia bawa lari isteri orang.”

Laksamana kaget setengah mati. Pasalnya, ia sudah menyuruh orang itu keluar dari perusahaan tempatnya bekerja, bahkan diminta secepatnya keluar karena ada perintah Presiden. Orang itupun sudah ada di Indonesia. Laksamana kemudian meminta orang itu menghadap ke kantornya.

”Mas, kok Gus Dur bilang kamu bawa lari isteri orang?” tanya Laksamana.
”Demi Allah, Pak! Saya masih dengan isteri saya yang sekarang,” jawab orang itu.

Usut punya usut, ternyata Gus Dur mendapat bisikan dari orang tertentu tentang anak muda ini. Dan, faktanya bisikan itu tidak benar. Anak muda bergelar PhD ini akhirnya bekerja di sebuah bank swasta. Laksamana merasa kasihan. Bagaimana tidak! Karirnya di perusahaan luar negeri itu sudah bagus, tapi garagara seorang pembisik nasibnya jadi kacau balau (hal. 207).

Gus Dur menangis meraung-raung
Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang emosional. Bila marah, ia bisa menggebrak meja dan kata-kata keras meluncur dari mulutnya. Salah seorang mantan menteri yang tidak bersedia disebutkan namanya menuturkan, ia pernah dimarahi habis-habisan. Ceritanya begini:

Ada seorang kerabat Gus Dur duduk dalam pemerintahan. Sebut saja namanya XZ. Gus Dur sebenarnya tidak pernah mengangkat XZ. Namun, seorang pimpinan salah satu instansi pemerintah mengangkat XZ sebagai pejabat eselon 1. Mungkin, orang itu berpikir dengan mengangkat kerabat Gus Dur karirnya akan jadi lebih baik mengingat kedekatan XZ dengan Gus Dur. Namun, sebagai pejabat eselon 1, XZ diketahui kerap “memeras” sejumlah konglomerat keturunan Tionghoa. Para pengusaha ini mendapat semacam “bantuan” tapi dengan imbalan yang sangat besar.

Sang menteri tersebut, sebut saja AB, melaporkan perilaku XZ kepada Gus Dur. Gus Dur marah. AB dicaci maki Gus Dur karena Gus Dur tidak memercayai laporan AB.

Beberapa hari kemudian, AB dipanggil Gus Dur ke istana. Pertemuan empat mata. Begitu masuk ke ruang kerja Gus Dur, AB melihat Gus Dur menangis meraung-raung. Ia tampak dilanda kesedihan luar biasa. Lama Gus Dur tidak bisa bicara, hanya menangis dan menangis.

AB bingung, tidak tahu apa yang sedang dialami Gus Dur. Ia berusaha menenangkan Gus Dur. “Gus, tenang, Gus. Tenang, Gus! Ada masalah apa?” ucapnya sambil mengusapi dan memijat-mijat tangan Gus Dur. Sesaat kemudian, Gus Dur berusaha menguasai dirinya, sebelum akhirnya membuka suara.

Intinya, ia mengakui kebenaran informasi tentang perilaku XZ yang pernah disampaikan AB. “Saya malu! Sangat malu! Ternyata, apa yang kamu laporkan kepada saya memang benar semua! Kurang ajar dia!” ujar Gus Dur (hal. 225). Sejak saat itu, dan selama setahun lebih, Gus Dur tidak pernah menyapa XZ.
***

"Behind the Scene" (4):
Habibie, Presiden Pintar yang Tidak Pernah Mau Kalah

Meski sekian lama menjadi bagian dari masa pemerintahan Soeharto dan menganggap Soeharto adalah guru sekaligus bapaknya, namun gaya kepemimpinan Habibie jauh bertolak belakang dengan orang yang dihormatinya itu. Muladi, mantan Menteri Kehakiman di era Orde Baru menuturkan, sidang kabinet yang dipimpin Soeharto selalu berlangsung dalam suasana mencekam. Para menteri takut angkat tangan mengajukan diri untuk bicara. Sementara di zaman Habibie, para menteri justru berebut mengacungkan jari. Muladi menggambarkan, susana sidang kabinet seperti sebuah seminar: riuh, panas, kadang gebrak-gebrak meja seperti mau kelahi.

Habibie sendiri yang merangsang suasana seperti itu karena dia memang senang berdebat. Semakin didebat ia semakin bersemangat. Karena semua menteri boleh bicara dan perdebatan dibuka seluas-luasnya sebelum diambil keputusan, sidang kabinet bisa berlangsung sampai larut malam.

Habibie, menurut Tjipta dala bukunya “Dari Soekarno Sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa”, adalah seorang extrovert. Gaya komunikasinya penuh spontanitas, meletup-letup, cepat bereaksi, tanpa mau memikirkan risikonya. Tatkala Habibie dalam situasi penuh emosional, ia cenderung bertindak atau mengambil keputusan secara cepat. Seolah ia kehilangan kesabaran untuk menurunkan amarahnya. Bertindak cepat, rupanya, salah satu solusi untuk menurunkan tensinya. Karakteristik ini diilustrasikan dengan kisah lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

Semua orang terkejut, terutama Almarhum Ali Alatas yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, ketika Habibie tiba-tiba mengumumkan kepada

Dunia internasional tentang pemberian opsi kepada rakyat Timor Timur: tetap bergabung dengan Indonesia atau melepaskan diri sebagai negara merdeka. Tjipta menganalisa, biang keladi dari keputusan besar ini adalah sepucuk surat Perdana Menteri Astralia kala itu, John Howard, yang ditujukan pada Habibie pada Desember 1998. Menurut penuturan Juwono Soedarsono, Habibie marah membaca isi surat Howard yang meminta Indonesia mempertimbangkan hak politik rakyat Timor Timur untuk menyatakan penentuan nasib sendiri.

Habibie merasa surat itu seperti tantangan sekaligus kritik terhadap pemerintah Indonesia. “Karena Habibie mempunyai tabiat tidak mau kalah dengan siapapun maka tantangan itupun secara spontan dijawab,” tulis Tjipta.

Dalam sidang kabinet 27 Januari 1999 kebijakan pemberian opsi ini dipertanyakan oleh Hendropriyono yang kala itu menjabat sebagai Menteri Transmigrasi. “Kalau plebisit kalah, bagaimana? Siapa bertanggung jawab? Ini kan nanti akan terjadi eksodus, eksodus dari para transmigran yang sudah 25 tahun di sana. Siapa yang bertanggung jawab?” cecar Hendro seperti ditulis dalam buku itu.

Habibie dengan sigap menjawab,”Saya bertanggung jawab.”
Fahmi Idris, Menteri Tenaga kerja, segera menimpali, ”Tanggung jawab apa, Presiden?”
Wajah Habibie tampak merah. Seorang menteri dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) lantas menengahi situasi panas ini. (halaman 154)

Bagaimana dengan SBY?
Selanjutnya, bagaimana dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)? Tjipta menilai, SBY adalah sosok yang perfeksionis. Ia selalu tampil rapi dengan tutur kata yang tertata. SBY pasti sadar bahwa ia seorang pria yang dikaruniai Tuhan dengan wajah cukup ganteng. Dan, ia betul-betul memanfaatkan ketampanannya setiap kali tampil di depan pers. Seolah kegantengannya dan penampilannya yang dandy merupakan daya tarik tersendiri yang harus selalu ‘dijual’ kepada publik setiap kali ia tampil.

”Pakaian yang dikenakan –apakah berupa setelan jas atau batik- selalu berkualitas No. 1 dengan warna, motif, dan ukuran mantap, mencerminkan seleranya berbusana yang tinggi. Ketika itu ia mungkin lebih pas diberikan predikat sebagai ‘foto model’ atau ‘aktor’ daripada seorang ‘kepala negara’,” tulis Tjipta.

Sebagai seorang perfeksionis, lanjut Tjipta, SBY selalu berusaha berkomunikasi dengan bahasa tubuh dan verbal yang sempurna. Namun, gaya bahasanya seringkali high-context, cenderung berputar-putar, terutama ketika ia belum siap dengan keputusannya.

Sayang, tidak banyak hal tersembunyi yang terungkap dalam analisis terhadap gaya komunikasi politik SBY. Tjipta banyak menggunakan contoh dari pemberitaan di media massa. Mungkin para pembantunya belum ada yang berani bicara terbuka karena Bapak Presiden masih berkuasa.

(Selesai)


Senin, 26 Januari 2009

Yuk kita bantu atasi banjir

Bertahun-tahun lalu, musim penghujan adalah musim yang berkah. Pohon-pohonan tampak tambah segar.... Orang tua membiarkan saja anak-anak ramai bermain air hujan, mandi di bawah cucuran air hujan dari atap.

Saya paling suka di suruh pergi ke warung saat hujan. Walau pergi ke warung dengan menggunakan payung, tetapi jalan yang dipilih adalah jalan yang penuh genangan air hujan. Kenapa....?Karena genangan air hujannya masih bening... sebening air yang baru turun dari langit. Bukan seperti genangan air hujan sekarang yang keruh menghitam serta bau dan membuat kulit menjadi gatal.

Terpeleset sedikit pada kubangan air, malah menjadi peristiwa yang sangat menyenangkan. Dan peristiwa belanja ke warung saat hujan terkadang jadi "bencana"..... Lupa apa yang harus dibeli karena saat berangkat ke warung, mampir dulu main berhujan-hujan dengan teman2.

Tapi... itu dulu.... Sekarang, saya jamin jarang ada orangtua (terutama golongan menengah ke atas) yang membiarkan anak2nya mandi air hujan. Alasannya segudang ... salah satunya karena takut anaknya sakit karena kehujanan. Apalagi konon katanya air hujan di kota besar Indonesia tidak bersih lagi. Malah sudah menghitam karena membawa polutan, sehingga bisa merusak kulit.


Jakarta juga sekarang sudah penuh sesak, tanah-tanah kosong, rawa, kebun, situ dan sawah-sawah yang dulu sekaligus menjadi daerah resapan air sudah lenyap menjadi hutan beton perkantoran, mall dan perumahan. Bahkan wilayah yang semula ditetapkan sebagai wilayah jalur hijaupun dibabat habis. Daerah selatan Jakarta yang berada di luar outer ringroad yang semula juga ditetapkan sebagai wilayah resapan air dengan KDB di bawah 20%, artinya pemilik tanah hanya diijinkan membangun rumah di atas tanah miliknya seluas max 20% saja) sudah menjadi wilayah pemukiman biasa dengan KDB 60%. Bahkan banyak yang melakukan pelanggaran dengan menutup hampir 90% luas tanahnya. 

Apalagi kondisi ini tidak dibarengi dengan ketersediaan prasarana yang baik, berupa saluran pembuangan kota, pengolahan air buangan maupun ketersediaan air bersih/air minum. Akibatnya terjadi pengeboran air tanah illegal yang lama kelamaan menyebabkan muka air tanah di wilayah Jakarta semakin menyusut.

Apalagi di permukaan tanah, jumlah serapan air hujan semakin berkurang. Dengan kondisi seperti itu, hampir dipastikan di musim penghujan Jakarta akan selalu kebanjiran sementara di musim kemarau Jakarta akan sangat kekeringan. Itu sebabnya, belakangan ini, pemerintah DKI Jakarta mensyaratkan pembuatan lubang resapan kepada masyarakat, pada saat meminta IMB.

Apakah pembuatan lubang resapan dipatuhi masyarakat? Entahlah ... sama gelapnya apakah ada pemeriksaan atas pembuatan lubang resapan tersebut. Seperti banyak anekdot saat berhubungan dengan aparat pemda - Peraturan dibuat untuk dilanggar dan karena akan selalu ada ruang untuk bernegosiasi yang ujung-ujungnya adalah DUIT.

Tapi, nggak usah berburuk sangka- lah. Ini soal lingkungan hidup kita. Rasanya jengah juga kalau saat musim hujan, halaman rumah tergenang air, apalagi kalau airnya menghitam. Jadi nggak ada salahnya juga kita berpartisipasi "membantu pemerintah" atau minimal menambah jumlah pasokan air untuk sumber air (sumur) kita yang setiap hari airnya kita sedot untuk digunakan, terutama untuk wilayah yang belum ada pasokan air PAM.

Ada berbagai cara untuk itu, antara lain :

Untuk rumah dengan halaman sempit
  • Jangan menggunakan talang air disekeliling atap. Biarkan air hujan jatuh langsung ke "tanah". Pada daerah cucuran air hujan itu, dibuat saluran "buntu" selebar + 50cm yang dasarnya tetap dibiarkan dari tanah. lalu diisi pasir, ijuk, pasir, ijuk dan lapisan atasnya diisi koral besar. bisa dipilih yang berwarna karena bisa menjadi bagian elemen taman
  • Kalau sudah terlanjur pakai talang, air dari talang jangan dibuang ke selokan, tapi dialirkan ke lubang resapan. Juga dibuat seperti saluran tadi cuma ukurannya lebih besar 1 x 2 meter dengan kedalaman 1 meter, juga diisi pasir ijuk, batu2an.
Untuk rumah dengan halaman yang luas, sebaiknya ditambah dengan lubang-lubang biopori untuk meratakan wilayah serapan air.

Lubang Biopori ini memang baru beberapa tahun ini dipopulerkan oleh tim peneliti dari IPB. Yang ini betul-betul Institut Pertanian Bogor ... Bukan Institut Perbankan Bogor.

Prinsip kerjanya, ya itu tadi.... memperbanyak wilayah serapan air sekaligus menyuburkan tanah dengan cara membuat lubang-lubang yang diisi dengan sampah organik yang berasal dari limbah rumah tangga. Pembuatan lubang ini, selain menambah jumah resapan air, sekaligus akan membantu pemerintah mengurangi jumlah sampah, karena limbah organik rumah tangga (sisa makanan, kulit buah dan sisa sayur-mayur) dimasukkan ke dalam lubang biopiori ini

Pembuatannya sangat mudah, kok! Hanya dengan mengebor tanah sampai kedalaman 1 meter pada jarak tertentu antar lubang. Lalu lubang diisi dengan sampah sampai penuh. Yang pertama sampah sisa makanan, baru daun-daunan dan kulit buah.
Tip ini saya dapat dari teman yang sudah membuat lubang biopori. Maksudnya supaya sampah makanan tidak diacak2 tikus.

Kalau ketinggian sampah berkurang, bisa diisi lagi. 6 bulan sekali, lubang di bor lagi untuk pemeliharaan dan sekalian mengangkat sampahnya untuk digunakan sebagai pupuk organik.

Nah... gampang kan? Problemnya tinggal bagaimana memperoleh alat pengebornya. Kunjungi saja situs www.biopori.com Yang saya lakukan adalah setelah baca-baca tentang lubang biopori, saya kirim sms kepada contact personnya untuk menanyakan harga dan ongkos kirimnya, lalu transfer uangnya, fax bukti setornya, sms lagi contact person bahwa kita sudah mengirim dana dan mem fax bukti setor. Tunggu deh kirimannya. Nggak lama kok... Kalo nggak salah, kurang dari 1 minggu kiriman sudah tiba. Harga bor (tangan) nya Rp.195.000,- per buah. Ongkos kirim tentu tergantung jaraknya.

Nah, ayo kita mulai memperbaiki lingkungan hidup dari hal-hal yang kecil dulu. Kalau tidak dari diri sendiri .... maka problema negeri ini tidak akan pernah selesai

Jumat, 16 Januari 2009

Andai waktu bisa kembali

Selasa 13 Januari 2009, matahari pagi bersinar dalam kesejukan pagi setelah beberapa hari hujan menyirami Jakarta. Lalu lintas di sepanjang jalan raya Pasar Minggu,seperti biasa cukup padat terutama, kalau dari arah selatan, menjelang pertigaan Volvo. Seluruh kendaraan terpaksa berjalan lambat. Kalau meminjam istilah para broadcaster ... PAMER alias padat merayap.

Sebetulnya, jalur sepanjang jalan raya dari Depok ke Pancoran, selalu padat oleh para commuter yang tinggal di Depok dan sekitarnya, terutama pada saat menjelang jam masuk kantor dan usai jam kantor.

Dari arah selatan,kantor proyek yang saya tuju, letaknya di sebelah kanan jalan. Itu sebabnya, usai pertigaan Volvo, saya selalu mengambil jalur paling kanan dari 2 jalur kendaraan bermotor agar tidak mengganggu lalu lintas dari arah selatan saat harus melakukan U-turn di depan gedung Tranka.

Saya menjalankan kendaraan tanpa tergesa sambil lihat kiri kanan mengalihkan stress karena kemacetan . So... pasti! Gimana mau kencang kalau jalannya padat merayap. Hingga suatu saat, mata saya tertumbuk pada seorang lelaki sedang membongkar-bongkar tumpukan kantong plastik di belakang sebuah kendaraan, mungkin innova atau avanza, yang sedang dipanaskan.

Walaupun pakaiannya terlihat bersih, saya perkirakan, lelaki paruh baya yang memakai kemeja warna kuning gading itu adalah seorang pemulung yang sedang mencari kertas, karton/dus atau kantung-kantung plastik untuk di jual kembali sebagai bahan yang akan di daur ulang. Dalam hati, saya berpikir... aduh..., begitu beratnya rakyat mencari penghidupan. Sepagi itu sudah harus mengais-ngais tumpukan sampah demi sesuap nasi.

Lelaki itu asyik membongkar tumpukan dan merobek kantong kresek. Agak terperangah saya dengan perilakunya.... Biasanya pemulung berusaha keras agar dia memperoleh barang yang mulus. Bukan barang yang sudah koyak.

Satu demi satu kantung kresek dibongkar dan dikoyak seolah mencari barang berharga. Hingga akhirnya, yup..... dia menemukan sebuah bungkusan. Seperti bungkusan yang selalu saya lihat saat pesuruh kantor kembali dengan belanjaan pesanan makan siang rekan kantor. Bungkus kertas berwarna coklat berisi makanan. Tanpa ragu, dia merobek bungkusan yang saya perkirakan berisi sisa/sampah makanan. Tanpa ragu pula, kelima jarinya menari-nari, entah apa yang dicarinya dari bungkusan sisa makanan tersebut. Astaghfirullah ..... dimasukkannya makanan sisa tersebut dengan jari-jarinya yang pasti kotor ke dalam mulutnya. Dijilatinya juga kulit durian yang ditemukannya. Dinikmatinya tanpa ragu rasa durian yang sedap .......


Perutku terasa mual .... ludahku terasa asin, ingin muntah ... namun mata tak bisa dialihkan dari pemandangan pahit di tepi jalan itu. Hampir tertabrak mobil di depan, kaget memandang perbuatan lelaki itu. Tak kuasa lagi berpikir jernih melihat pemandangan yang menyakitkan di depan mata.

Tanpa sadar, saya melakukan u-turn dan masuk pekarangan proyek. Memparkir kendaraan dan tanpa menyahuti sapaan teman kantor, saya hanya bisa terduduk dan termangu di ruang kerja. Menyesali .... kenapa tak dihentikan saja mobil untuk memberikan sekedar uang pembeli nasi buat lelaki paruh baya yang kelaparan itu. Namun ... keadaan lapangan saat itu memang merepotkan. Saya berada di jalur paling kanan, dan sangat tidak mungkin untuk berhenti tanpa mengganggu lalu lintas.

Hari ini, saya kembali berkantor di proyek ..... dan seperti biasa dalam kepadatan kendaraan dari arah selatan menuju Pancoran. Mungkin terasa sangat "sadis" bila saya berharap bisa menemukan kembali lelaki paruh baya itu untuk sekedar menyapanya, mentraktirnya sebungkus nasi padang agar dia mendapat kesempatan makan makanan yang benar dan sehat. Bukan makanan sisa dan basi yang telah dibuang di tempat sampah.

Tapi, seperti biasa Allah SWT hanya akan sekali saja memberikan kesempatan pada kita untuk mendapat pahala. Dan kesemuanya selalu terjadi pada situasi yang sama sekali tidak terduga. Dan kesempatan yang tersaji di depan mata telah terlewatkan begitu saja.

Ah... andaikan waktu bisa kembali...... !!!!

Kamis, 15 Januari 2009

Ragam cerita di seputar Peristiwa MALARI 1974

Entah pikiran apa yang mampir di kepala, hingga tiba-tiba terbersit ide untuk membuat tulisan tentang Malari 1974. Sejujurnya, tidak banyak yang saya tahu tentang hal tersebut. Saya baru saja 3 minggu menginjakkan kaki kembali ke Jakarta setelah meninggalkannya selama hampir 9 tahun. Browsing di Wikipedia juga tidak mendapatkan banyak tulisan tentang hal ini.

Tapi, maksud hati menulis tak perlu dikalahkan oleh kekurangan referensi. Jadilah tulisan singkat yang sebetulnya tidak bisa memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang terjadi pada 15 Januari 1974. 35 tahun yang lalu.

Tulisan singkat yang "nggak mutu" tersebut ternyata memancing rekan-rekan saya di milis FTUI untuk bercerita tentang pengalamannya tersebut. Nah, setelah minta ijin untuk meng copy paste tulisan meramaikan dan melengkapi tulisan singkat saya. Nah, berikut copy paste nya disusun sesuai dengan urutannya terbit di milis.

***
Thu Jan 15, 2009 8:45 am; marsudi wibowo <marsudiwib@...> wrote :


Bls: [alumni_ftui] oot : 15 Januari 1974 - Mengenang peristiwa 35 tahun yang lalu

Mbak Lina aku nimbrung cerita nih.

Saat itu kami di SMA I Bhudhut didatangi mahasiswa berjaket hijau untuk ikut turun ke jalan, tidak ada tata krama dari mereka, mereka mengacuhkan peran guru2 yang ada disana. Akhirnya kami (OSIS) memutuskan untuk menolak turun ke jalan, setelah bicara dengan Kepala Sekolah dan Kepala Persatuan Orang Tua Murid. Kami membagi tugas,  mengatur mekanisme pulang kerumah (terutama pelajar putri).

Maka dengan gaya preman kita stop bis2 Merantama (arah grogol), Saudaranta (arah priok) dan Pelita Mas Jaya (arah kampung melayu). Disamping itu,  harus ada yg menjaga sekolah, karena keputusan kami mengecewakan mahasiswa2 tadi dan rekan STM sekitar kami.

Sampai 3 hari kami bergiliran berjaga. Kami beruntung, karena saat itu sekolah kami selalu identik dengan terjadinya perkelahian2 apalagi dengan tetangga sebelah (STM I). Kalau tidak salah dari 7 sekolah negeri yg diskors saat itu, dari SMA hanya SMA VII.

Kalau kejadian di lapangan, mungkin Mukti Wibowo bisa ikut nimbrung, dia kelas II waktu itu, sedang doyan-nya rame2. Saya ikut nimbrung karena khawatir tahun 2009 ini ada PEMILU, kita lihat Pilkada Gubernur, Bupati, bahkan kepala desa banyak yang rame, anarkis, tidak ada juntrungannya. Apa di negara ini, melakukan perubahan harus diawali dengan rame2??? Dan perubahan2 itu belum kita nikmati secara merata.

***
Re: Bls: [alumni_ftui] oot : 15 Januari 1974 - Mengenang peristiwa 35 tahun yang lalu
Thu Jan 15, 2009 12:11 pm, "Aswil Nazir" <aswil@...> wrote :

Wah, 15 Januari 1974 saya lagi jadi pengangguran (sehabis tamat SMA di Padang, ke Jakarta untuk ikut test masuk UI) numpang tinggal sama oom di FKUI, Salemba 6. Beliau adalah Kepala Tata Usaha (KTU) FKUI. Jadi, saya yang baru 2 minggu menginjak ibukota, cuma planga plongo melihat massa mahasiswa yang pagi2 kumpul di lapangan FKUI untuk long march ke Trisakti. Dalam hati kagum sama Hariman yang mimpin massa waktu itu, oh begitu to yang namanya aktifis?

Siangnya dan berlanjut sampai sore, massa mahasiswa udah balik lagi ke Salemba dan campur sama tukang2 becak. Suasana di kampus FKUI mulai tegang. Ada kabar bahwa di Senen udah terjadi bakar-bakaran. Saya sebetulnya sudah diinstruksikan sama oom untuk tidak keluar rumah, tapi rasa ingin tahu membuat saya menonton keramaian dari dalam pekarangan FKUI.

Sebagai warga pendatang, memang shock melihat keberingasan massa yang menyetop mobil-mobil yang lewat di ujung jalan Diponegoro menuju Salemba. Kalau ditemui mobil Jepang, penumpangnya disuruh keluar dan mobilnya dihancurkan dan dibakar. Brutal.

Tukang2 becak yang selama ini tidak berani tampil di jalan protokol, mendadak nongol di jl Diponegoro dan Salemba dan overacting beratraksi. Mobil patroli lalu-lintas yang lewat dipukul-pukul atapnya dan polisi di dalamnya cuma bisa pasrah. Itulah aksi massa yang saya saksikan dari balik pagar FKUI.

Sorenya Hariman, Yudil, Gumirlang dkk ngumpul di rumah tempat saya tinggal. Terlihat semua nya tegang dan panik melihat perkembangan yang diluar perkiraan.

Malam hari listrik di kompleks UI Salemba padam sementara suasana sepanjang jalan Salemba dan depan RS Carolus makin panas disertai suara tembakan2. Dalam suasana mencekam itu, tahu-tahu rumah kami digedor tentara yang ternyata baret merah mau mencari anak2 yang katanya abis menimpuk batu kearah truk RPKAD yang lewat, sehingga mengenai kepala komandannya.

Jadinya rombongan tentara ini ngamuk dan menyisir daerah di sekitar Carolus. Kami seisi rumah disuruh keluar sambil mengangkat tangan dan isi rumah digeledah (persis kayak di film action). Untung tidak ditemui apa2, dan kami diperbolehkan masuk rumah kembali.

Besok harinya (atau lusanya, udah lupa), mendadak Hariman dan Yudil nongol di rumah (dengan dikawal), pamitan sama oom karena mereka akan ditahan. Kalau ngga salah, kita dikurung (tidak boleh keluar masuk kompleks FKUI) oleh pasukan dari Brawijaya selama 3-4 hari. Makan ya, dari stok yang tersedia di rumah.

What an unforgetable experience.
***

Mohon ijin meng copy paste tulisan anda

on Mon 19/1/09 10.10AM; Rasam Syamsudin wrote:

Silahkan saja,
nah ada tambahan sedikit.Saya tidak ingat kapan tanggal pastinya waktu itu bang Hariman Siregar berorasi (sayang saya tidak ingat apa yang disampaikan) didepan fakultas kedokteran.

Nah didampingi dengan beberapa aktivis, yang saya ingat salah satunya wanita namanya .... Nasution (lupa nama depannya). Kira-kira sekarang dimana yah mbak Nasution itu? Juga kabarnya tentunya?Waktu itu ada kolonel ganteng bawa tongkat komando dipedestal jalan salemba antara jebatan penyebrangan dan Masjid ARH depan rektorat lama diluar. Kalau tahun 98 kayak Pak Syafrie.. Yaitu pak Edi Nalapraya (saya lihat label namanya) yah mengatur bawahannya.

Semua access masuk dijaga tentara.Yah memang suasana pada saat itu, yang saya ingat pada waktu itu saya baru tingkat satu, datang ke Kampus mau ujian (kalau tidak salah ujian HER waktu itu belum pakek semesteran) tanggal 14 January 1974. Saya tiba di Kampus antara jam 06.30 s/d jam 07.00 pagi.

Celakanya kampus sudah dijaga Brawijaya yang sudah didalam tidak boleh keluar yang diluar tidak boleh masuk. bagi yang mau masuk ke FTUI (jalan yang ada pohon asemnya dan dibawahnya ada warteg) terpaksa terkumpul dijalan masuk tersebut karena dihalangi tentara (waktu itu belum ada gerbangnya)..

Saya masih ingat betul sangkur yang dipasang tentara tersebut tajamnya bukan main (kelihatannya karena saya nggak pegang) dan ada dialog dengan teman-teman kami. Jawaban tentara yang saya ingat sampai sekarang kira-kira seperti ini : Saya diperintahkan tanpa tahu kemana tujuannya dan dari kemarin saya belum makan (sarapan), tolong kami jangan diganggu, kami hanya menjalankan tugas. Saya ingat diri saya kalau lagi lapar emosi susah terkontrol.

Tahun 1978 juga saya tidak berani teriakin (menggangu) mereka (mungkin nyaliku kecil) tidak seperti yang lainnya, karena saya pikir mereka hanya menjalankan tugas.Besoknya saya tidak bisa ke Kampus karena sudah tidak ada bis yang beroperasi, nah selanjutnya saya dengar peristiwa 15 January lewat TV. Kalau tidak salah banyak yang pulang jalan kaki, pergi ada bis pulangnya tidak ada.

Yang paling saya ingat ditahun 1974 itu adalah ujian her saya gagal dan saya tidak naik tingkat (nggak naik kelas kalau di SMA) dan diharuskan mengulang seluruh mata kuliah tingkat satu tersebut.

Rabu, 14 Januari 2009

15 Januari 1974 - Mengenang peristiwa 35 tahun yang lalu

15 Januari 1974, tepat 35 tahun yang lalu, hari masih relatif pagi. Jam 6.15 seperti biasa saya mulai berjalan kaki menuju terminal Rawamangun untuk berangkat ke sekolah di bilangan Matraman, naik bus. Seperti biasa, saya bisa langsung naik bus dan memilih-milih tempat duduk. Tidak perlu menunggu lama, apalagi sampai berdesak-desakan berebut bus seperti sekarang.

Tidak ada bus yang langsung melewati SMA Fons Vitae dari terminal Rawamangun, sehingga saya harus berhenti di per 4 an Matraman – Pramuka, untuk kemudian menyambung perjalanan dengan oplet menuju sekolah. Namun demikian, saya bisa tiba disekolah tepat waktu tanpa pernah sekalipun terlambat.

Tidak banyak yang saya ingat, apakah hari itu tanggal 15 Januari 1974, kami “disuruh” pulang lebih cepat atau tidak. sebagai “pendatang” baru yang belum “kenal” Jakarta atau lebih tepat dikatakan “anak hilang” yang baru pulang kembali ke rumah, saya tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada hari itu. Yang pasti, sore itu saya melihat tayangan di tvri tentang dibakarnya “Proyek Senen”, satu-satunya pertokoan modern di wilayah Jakarta Pusat. Dan konon, aksi pembakaran tersebut dilakukan oleh mahasiswa.

Penguasa negeri ini menuduh mahasiswa Universitas Indonesia yang saat itu masih memiliki dua kampus terpisah di Rawamangun dan Salemba, melakukan aksi pembakaran tersebut setelah sebelumnya rencana berdemonstrasi di pangkalan udara Halim Perdanakusuma untuk menyambut kedatangan perdana menteri Jepang Kakuei Tanaka, tidak berhasil karena ketatnya penjagaan.

Jakarta membara, walau tidak sedahyat peristiwa Mei 1998 yang meluluh-lantakkan hampir seluruh bagian kota. Namun demosntrasi 15 Januari 1974 yang kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Malari, bisa dikatakan lebih “dahsyat” dari demonstrasi mahasiswa dan pelajar (KAMI/KAPPI) pada era pasca G30S yang “hanya” memberhentikan untuk kemudian mengempesi ban mobil yang mereka temui di sepanjang jalan.

Akibat peristiwa ini, beberapa, tokoh mahasiswa terutama dari UI ditangkap dan dipenjarakan. Jenderal Sumitro, pangkopkamtib saat itu dicopot dari jabatannya. Bisa jadi… Malari 1974 merupakan “babak baru” cara berdemostrasi dengan pola anarkis, karena sejak itu, jarang sekali ada demonstrasi yang “santun”. Baik yang dilakukan oleh mahasiswa atau elemen masyarakat lainnya

Apa yang melatarbelakangi demonstrasi di awal tahun 1974 tersebut? Dalam banyak bahan bacaan, dikatakan bahwa mahasiswa memprotes masuknya pemodal asing untuk menguasai perekonomian Indonesia. Memang saya itu banyak program "bantuan" asing yang masuk ke Indonesia di berbagai sector industry dari hulu hingga hilir, dari sector agro hingga industry automobil.

35 tahun kemudian, apa yang dikhawatirkan mahasiswa tersebut terbukti. Seluruh sektor ekonomi Indonesia telah tergadaikan. Coba sebutkan sector industry mana yang bebas “campur tangan” asing? Kini kita malah merasa lebih bangga bila bisa bermitra dengan investor asing dibandingkan kebanggaan menjadi “ raja bagi diri sendiri”. Bahkan hingga harga diri bangsa ini tergadaikan. Bangsa Indonesia “mulai” menjadi kuli di negara asing (baca: menjadi TKI di negara Timur Tengah), dan lambat laun di negara sendiri.

Yang lebih menyedihkan, “roh” perjuangan Malari 1974 yang anti modal asing sudah kita lupakan sedangkan “yang buruk” dari peristiwa itu, demonstrasi anarkis dan barbarism diadopsi dengan sangat bangga. IRONI sekali….….

Senin, 12 Januari 2009

Kehebohan dini hari

Gara-gara acara The Professor's Band manggung di acara Semarak Bintang Indosiar semalam (Minggu 11 Januari 09), sejak semalam hp saya dipenuhi sms. Komentarnya macam2, tapi alhamdulillah kelihatannya positif. Saya sendiri nggak merasa kaget dengan "kelakuan" suami yang amat sangat heboh.

Kalo lihat penampilan dan dengar suara acara langsungnya semalam, rasanya waktu latihan masih lebih baik. Di acara semalam terasa ada jeda disetiap awal lagi yang mestinya terjadi. Ternyata ..., katanya suaranya nggak keluar. Apalagi saat lagu pertama. Mungkin ada kabel ke amply yang copot karena sebelumnya, panggung sempat dipakai grup lain dan banyak orang wira wiri.

Saya beruntung tidak ikut nonton ke studio, walaupun merasa rugi juga karena suasana dan kehebohannya pasti berbeda antara onton langsung dengan nonton di tv.

Suami cerita, saat dia tiba di jalan Daan Mogot sekitar jam 14.45, jalanan sudah dipenuhi massa. Jembatan dan halte bus trans Jakarta padat. Dengan susah payah dia mengendarai mobilnya hingga masuk ke jalan Damai dan parkir dekat studio. Padahal acara baru akan dimulai jam 18.30. Maju 30 menit dari rencana semula.

Sekitar jam 24, dia tiba di rumah dan ...... minta makan. Walah....... orang lain tidur, ini malah minta makan. Late super sekalian sahur kali ya... Terpaksa deh, tengah malam menghangatkan kuah soto dan menemaninya makan malam sekalian sahur. Rupanya saking stress menjelang manggung, dia ngak nafsu makan. Makan malam hanya sanggup menyuap 2 sendok saja. Kue-kue yang disajikan tidak disentuh sama sekali. Aqua pun jadi masalah buat tenggorokan. Padahal dia mesti nyanyi, jadi terpaksa kehausan daripada tenggorokannya sakit.

Memang agak repot tuh saat berurusan dengan air mineral produksi Indonesia. Bikin sakit tenggorokan, katanya walaupun tidak, bagi orang lain. Biasanya dia selalu membawa teh hangat atau EVIAN... sama-sama air tapi yang satu lokal dan satunya impor dari perancis dan pastinya mahal.... Tapi kemarin dia nggak bawa, karena "merasa" masih punya persediaan di tasnya. Padahal tertinggal di SUI.

Nah, balik ke kehebohan dini hari.... , makanlah dia dalam porsi yang menurut saya "luar biasa" banyak. Lapar banget katanya. Mungkin karena stressor nya sudah hilang.

Ternyata, behind the scene nya orang2 panggung itu merepotkan banget ya.... Kalo suami yang bukan professional di panggung aja sudah heboh banget, pantes aja kalo para professional memang harus didampingi oleh management yang baik supaya penampilannya berjalan dengan baik dan lancar

Minggu, 11 Januari 2009

Dilema ibu

The Professor's Band versi awal
Malam ini, suamiku dengan the professor's band dari UI yang Universitas Indonesia, diundang memeriahkan acara ulang tahun Indosiar ke 14 yang akan ditayangkan langsung mulai jam 19.00 s/d 22.30. Kalau baca promonya baik di media cetak maupun di Indosiar, acaranya bakal heboh dengan mengundang berbagai musisi papan atas Indonesia yang sedang digandrungi anak muda. Itu sebabnya, anakku ingin ikut lihat acara tersebut yang akan berlangsung di komplek Indosiar yang letaknya di....UJUNG DUNIA.

Saya sebut di ujung dunia, karena dari rumah kami yang terletak di Jakarta selatan dan tidak jauh dari batas wilayah Jakarta Selatan dengan Depok, maka lokasi studio Indosiar di jalan Damai - Daan Mogot, tentu bisa diibaratkan bagai dari kutub selatan ke kutub utara. Bukan saja masalah jarak yang menjadi "halangan". Mengingat acaranya adalah open air, maka Indosiar sudah menyiapkan 3 buah panggung. Satu di entry gate yang langsung berbatasan dengan Jalan Daan Mogot, di lapangan parkir zona E (yang ini saya nggak tahu dimana letak persisnya) dan satu lagi di studio I. Nah di studio I inilah tempat the Prof Band manggung. Entah jam berapa, mereka belum diberitahu. Kelihatannya untuk tayangan on air, acara hiburan akan berpindah dari satu panggung ke pangung yang lain. Entah bagaimana pengaturan acaranya in site. Maklum saya bukan orang broadcast. Jadi nggak ngerti yang beginian.

siap2 untuk sesi foto
Andaikan acaranya buka live, mungkin nggak masalah untuk menghadirinya karena taping (rekaman) acara bisa dimulai kapan saja dan produser tinggal mengeditnya saja. Tapi acara live tentu memerluka persiapan panjang. Mulai dari persiapan teknis (pengecekan suara oleh para teknisi), kalau nggak salah masih ada blocking coordination di panggung dan persiapan panggung antara lain custom dan make up. Itu buat si penampil.

Di lapangan, guna mengamankan situasi lokasi, maka manajemen Indosiar merencanakan akan mensterilkan lokasi mulai jam 15.00. Jadi para peserta diharapkan sudah berada di lokasi sebelum jam 15.00 karena setelah jam tersebut entry gate akan ditutup. Tentu penampil masih bisa masuk sih... cuma parkirnya itu lho... Nggak kebayang gimana pengaturannya karena saat ke Indosiar jum'at lalu. rasanya crowded banget. Kelihatannya mereka sedang membangun gedung2.

Dengan kondisi itu, kami mau tidak mau, harus berangkat dari rumah paling lambat jam 13.45 untuk acara yang akan dimulai jam 19.00. Lalu mungkin baru bisa keluar jam 23.00 setelah acara selesai dan lokasi berangsur kosong. Itu berarti paling cepat jam 24.00 baru tiba kembali di rumah.Gila, nggak ....?

Sempat terpikir untuk berangkat sendiri pakai taksi. Katakanlah berangkat setelah shalat maghrib. Itu berarti baru akan tiba sekitar jam 20. Iya kalo nggak macet.... Padahal sudah sangat bisa dipastikan di sekitar Indosiar akan ada kerumunan orang dan lalu lintas akan padat. Bagaimana mungkin keluar taksi dan berjalan di lokasi tidak dikenal, menuju studio Indosiar di malam hari. Wah .... nggak deh...!!!

Bayangkan hanya untuk penampilan 8 menit saja, saya harus merelakan hampir 12 jam berlelah-lelah. Padahal besok kami sudah harus beraktifitas. Sungguh .... dalam hati saya berharap si anak akan membatalkan niatnya ikut ke studio. Sampai sekarang saya belum berhasil membujuknya untuk membatalkan niatnya tersebut. Duh ... ini dilema jadi ibu di era keterbukaan...

update 11 Januari 2009 jam 19.15.
latihan di studio
Akhirnya diputuskan ibu dan anak tinggal di rumah dan nonton di tv saja. Acara Semarak Bintang sudah dimulai. Kalau tidak karena ingin lihat TPB, Indosiar biasanya jarang ditengok. Siaran rupanya dipusatkan dari studio 1, tempat dimana The Prof Band akan manggung, konon katanya jam 21.15. Pembawa acaranya "norak" banget ..... nggak enak dilihat dan didengar. Ini menurut saya lho!

Ah, mungkin karena memang selera pemirsa Indosiar begitu. Tapi, kenapa kelihatannya pamor Indosiar akhir-akhir ini menurun?

2 buah tiket masuk gratis yang saya miliki akhirnya menganggur tak bermanfaat. Sempat saya telpon/sms rekan kantor yang hari Jum'at lalu terlihat ingin sekali menonton. Sayang suaminya ada acara, sehingga dia tidak bisa pergi.

Ya sudahlah... daripada bersusah payah, nanti pulang terlalu malam, apalagi besok anak harus masuk sekolah dan saya harus kerja. Kalau suami sih bisa masuk agak siang karena kegiatan akademis di Depok masih sepi. Mahasiswa sedang libur antar semester.

Rabu, 07 Januari 2009

Traffic jam sudah mulai lagi

Hari ini suami berangkat ke kantor agak pagi karena mau bersepeda di bike track UI. Jadi dia nggak ikut ngantar anak ke sekolah. Dua hari ini, jalan ke sekolah anak di bilangan Karang Tengah - Lebak bulus sangat lancar. Memang mestinya begitu, karena kami keluar rumah jam 6.30 saat bel sekolah anak-anak sudah berbunyi sementara sekolah anak saya tetap masuk pada jam 07.00. Ternyata kenyamanan mengantar anak sekolah dan berangkat ke kantor ternyata hanya berumur 2 hari saja.

Tadi pagi, antrian kendaraan di pertigaan Jl. Karang Tengah dengan Jl. Lebak Bulus 3 (di belakang Bona Indah) sudah kembali seperti semula baik dari arah Jl. Adyaksa maupun dari arah Cinere. Padahal selama dua hari pemberlakuan jam masuk sekolah yang baru, per3an tersebut kosong-song... Alhasil, waktu tempuh kembali seperti semula, 20 menit, bukan 10 menit seperti pada hari Senin dan selasa lalu.

Begitu juga saat saya berangkat ke kantor. Antrian di traffic light per4an Poins sudah mengular seperti biasa. Belok ke kanan - arah Pondok Indah, kepadatan kendaraan menjelang bundaran juga tidak jauh berbeda. Agak berkurang, memang tapi tanda-tanda padat sangat terasa. Begitu juga di sepanjang jalan Radio Dalam.

Hari ini saya menempuh waktu selama 45 menit untuk tiba di kantor, dibandingkan dengan 25 - 30 menit pada hari Senin dan Selasa.

45 menit pada hari ke 3 pemberlakuan jam masuk sekolah yang baru dapat diartikan bahwa besok-besok, bisa jadi saya akan kembeli harus menyediakan waktu antara 45 - 60 menit untuk menempuh jarak 8 km dari rumah ke kantor.

Lha... kalo begini, perubahan jam masuk sekolah nggak ada manfaatnya dong, selain menyusahkan anak2 dan orangtuanya. 

Senin, 05 Januari 2009

Dampak anak sekolah masuk jam 06.30

Ini hari pertama anak sekolah masuk jam 06.30. Banyak yang komplain karena anak2 terpaksa berangkat jauh lebih pagi dan menimbulkan kemacetan yang luar biasa di jalanan.

Bagaimana suasana perjalan menuju sekolah anak saya? Belum tahu karena anak saya hari ini tidak masuk sekolah. Tadi pagi saat kami sedang sahur, terdengar dia keluar kamar dan muntah. Entah apa sebabnya. Mungkin masuk angin karena keasyikan internet-an sehingga lupa makan. Tapi, jam masuk sekolahnya juga tidak berubah. Tetap jam 07.00. Sekolah swasta tampaknya tyidak terikat dengan jadwal baru.

Saya berangkat sekitar jam 09.00 setelah memastikan si anak dalam kondisi baik dan memperkirakan akan tiba di kantor paling cepat jam 09.45 atau jam 10.00 dengan rute biasa. Lewat Pd Indah dan Jl. Radio Dalam.

Di luar dugaan, seluruh perjalanan yang biasanya terhambat terutama di traffic light POINS/Carrefour Lb Bulus, Jl Metro Pd Indah menjelang bunderan Pd Indah dan di depan PIM, semua lancar bagai air mengalir.... Wuih .... jarang-jarang menikmati lancarnya lalu lintas di Jakarta.

Walhasil, saya tidak di kantor dalam waktu 25 menit saja dari biasanya 45 - 60 menit. Senang tentu dengan kelancaran hari ini... Semoga berlangsung terus. Tapi .... saya tetap TIDAK SETUJU dengan peraturan memajukan jam masuk anak sekolah menjadi jam 06.30.  Apakah kalau ternyata nanti kemacetan lalu lintas berpindah pada jam 06.00 - 06.30, jam masuk anak sekolah akan dimajukan lagi?

Ini bukan soal jam masuk anak sekolah. Tetapi soal manajemen transportasi di Jakarta yang amburadul. Sistem transportasi dan manajemennya yang mesti dibetulkan dan jam masuk anak sekolah hanya satu faktor kecil saja. Banyaknya jenis angkutan (Bis, Mini Bus - Metromini & Kopaja) lalu berjenis-jenis angkot, bajaj/kancil, ojek ....). Sementara transportasi massa seperti KRL tidak juga bertambah dan diperluas jaringannya. Padahal sekali angkut KRL/KA akan menampung ratusan orang.

Kalau KRL/KA yang infrastruktur sudah ada tidak mampu dikembangkan lagi bagaimana mungkin kita bisa membangun sistem transportasi seperti Monorail dan subway yang teknologinya dan manajemennya belum dikuasai. Padahal Metro (subway) di Perancis sudah berumur lebih dari 100 tahun.... Artinya dalam sistem transportasi massa, kita tertinggal 100 tahun dibandingkan dengan negara maju... Aduh... kapan ngejarnya ya...?

Minggu, 04 Januari 2009

berbagi ide .... Baju Mandi murah meriah

Baju Mandi murah meriah? Relatif deh....
Kalo dibandingkan beli jadi, ya iya lah...!

renda dilengannya  untuk menyiasati  panjang lengan 
Kegemaran pakai baju mandi, dimulai beberapa tahun yang lalu karena anak perempuanku, suka sembarangan. Habis mandi masih dengan handuk membalut badannya dia sudah langsung ambil buku/koran atau bahkan nonton tv sambil sarapan. Ngeselin banget. Nggak sopan dan yang terpenting body-nya itu kemana-mana, apalagi pertumbuhan badannya begitu pesat.

Cari baju mandi (bisanya pelengkap renang), saat itu, ternyata nggak mudah. Tapi saya teringat masih punya dua potong kain IHRAM milik suami, yang terbuat dari bahan handuk yang tidak terpakai usai umroh. Atas ijinnya, kain ihrom itu saya buatkan 2 baju mandi yang sekaligus berfungsi sebagai handuk untuk anak gadis saya. Begitulah selama 2 masa, 2 set kain ihrom dipreteli dan dijahit menjadi baju mandi.

Akhir tahun ini, saya melihat baju mandinya sudah semakin sempit dan malah bagian bawahnya sobek. Sementara saya sudah tidak punya persediaan kain ihram. Sempat terbersit untuk beli jadi. Sudah lihat-lihat di Carrefour, tapi harganya aduh..... muahal, buat ukuran kantong istri PNS. Sekitar 400 ribu dan sementara saya pasti memerlukan minimal 2 buah.

Hitung-hitung... kalau saya menjahit sendiri, dengan harga minimal separuhnya saya sudah dapat 1 buah baju mandi. Tapi ini betul-betul jahit sendiri lho, bukan pergi ke penjahit. Jadi nggak ada ongkos jahit. Cuma ongkos obras saja sekitar 5ribu dan benang jahit bisa pakai persediaan yang ada di rumah.

Setelah ditimbang-timbang, saat pergi ke Makro, saya membeli 5 buah handuk pantai (ukuran 85x150 cm) warna pink kesukaannya yang saya perkirakan bisa menjadi 2 buah.

Konyolnya sang bapak ikutan ingin dibuatkan. Terpaksa balik lagi ke Makro untuk beli handuk pantai. Sayangnya cuma ada warna putih. Tapi nggak apa2lah... kan buat bapaknya. Masa bapaknya mau dibikin jadi Mr Pinky....?

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...