Kamis, 12 Agustus 2010

aku dan supir pribadi

Sebelum tulisan ini dilanjutkan, saya perlu meminta maaf terlebih dulu pada mereka yang berprofesi sebagai supir pribadi. Sungguh, tidak ada niat merendahkan profesi sebagai supir karena pekerjaan itu lebih mulia daripada mereka yang meminta-minta. Martabat mereka masih lebih mulia dari orang-orang berpenampilan necis, berdasi dan berjas tapi tak malu-malu mencuri hak orang lain, memperkaya diri sendiri, golongan dan lingkungannya. Melakukan tindak pidana korupsi. Bagi saya, profesi apapun tentu baik selama tidak merugikan orang dan jauh lebih bermartabat dibandingkan dengan para koruptor atau peminta-minta baik meminta karena kondisi ekonomi terlebih lagi "peminta" karena keserakahan dan kerakusan yang sering dilakukan oknum-oknum pemegang kekuasaan menjelang lebaran begini.

Ceritanya begini ... suatu waktu, dalam perjalanan dari proyek ke kantor di bilangan Blok M, usai rapat rutin, masuk pesan di blackberry, dari seorang staff proyek ...
"Ibu setir mobil sendiri?"
"Ya ... ada apa?," saya balas bertanya. Untung jalan di sepajang jalan raya Pasar Minggu, setiap hari memang macet. Jadi saya masih bisa dan sempat membalas pesan yang masuk.
"Kenapa nggak pake supir?"
Iya ya .... kenapa saya selalu menolak untuk mempekerjakan seorang supir?

Sungguh, pertanyaan tentang supir ini bukan pertanyaan pertama yang diajukan pada saya. Sudah berulang kali saya mendengar pertanyaan itu. Dari teman-teman dan boss di kantor juga pernah menanyakan hal tersebut. Bahkan suami saya sendiri seringkali "menyindir" saya yang lebih suka setir mobil sendiri daripada mempekerjakan supir. Terakhir, beberapa bulan yang lalu, bahkan rekan kantor menyatakan bahwa kalau saya mau, kantor bisa memberikan ada alokasi/tunjangan untuk supir, tentunya dengan syarat ... betul-betul ada supir yang dipekerjakan. Namun, saya masih tetap mengelak untuk mempekerjakan seorang supir. Ya... memang pantas dipertanyakan; kenapa tidak mau?Apalagi dengan adanya fasilitas kantor tersebut.

"Saya merasa jengah, ada orang lain di dalam mobil setiap hari. Saya merasa sangat tidak nyaman karenanya."

Tentu, itu bukan satu-satunya alasan saya merasa enggan mempekerjakan supir. Toh sesekali saya juga sering menggunakan dan meminta supir kantor mengantar ke suatu tempat. Tapi ... kepergian itu umumnya dilakukan beramai-ramai. Bukan hanya saya sendiri. Saya bahkan selalu menggunakan taxi setiap kali harus ke bandara saat bertugas keluar kota dan pasti hanya berdua saja dengan supir taxi tersebut. Tapi karena hal itu terjadi sesekali saja, maka saya masih bisa mengabaikan perasaan jengah. Berbeda halnya kalau supir hadir setiap saat ....

Sebetulnya, mengendarai mobil sendiri kan nggak salah ya...? Memang ada resiko kalau terjadi musibah tak terduga di perjalanan, mengingat umur yang sudah berada dalam koridor "usia beresiko tinggi". Refleks saat mengendarai mobil tentu sekarang sudah sangat berbeda dibandingkan masa muda dulu... Gila, nggak terasa, saya sudah memiliki SIM selama 33 tahun.

Tapi saya masih ingat pada Mr/Mme Blanchet, induk semang kami saat tinggal di Buxerolles - Poitiers pada tahun 1980-1981. Mereka adalah para pensiunan yang sudah berusia di atas 65 tahun, Masih aktif mengurus kebun di belakang rumah yang ditanaminya dengan buncir, apel, plums, pir, strawberry dan lain-lain. Tentu menggunakan traktor mini. Kemana-mana masih setir mobil sendiri, bahkan pernah mengajak kami ke pantai La Rochelle yang jaraknya lumayan jauh dari Poitiers tampat kami tinggal. Jadi, ingatan kepada mereka juga merupakan salah satu alasan saya untuk tetap setir sendiri. Semoga otak saya tetap bisa bekerja, karena digunakan untuk memerintah dan mengkoordinasikan syaraf motorik saat mengendarai mobil.

Seorang supir pribadi, mengacu pada pengamatan pribadi selama ini, akan mengetahui banyak rahasia majikannya. Dengan demikian, dia haruslah orang yang bisa dipercaya. Mungkin kalau perlu "harus bisu, buta dan tuli" karena dia melihat dan mendengar apa yang dilakukan dan dipercakapkan majikannya. Bisa dibayangkan, kalau kita memiliki supir pribadi yang comel dan senang "ngember" .... Waduh ..... segala yang dilihat dan didengar setiap saat bersama majikannya itu, bisa diumbar kesana-kemari. Segala rahasia pribadi berubah menjadi konsumsi umum, minimal di lingkungan gaul si supir. Kalau kebetulan majikannya juga public figure, bisa-bisa, gosip yang merebak mengalahkan kehebohan videonya Ariel+Luna Maya. Ingat kan heboh perselingkuhan KD - Tohpati yang diumbar oleh mantan supirnya KD?

Walau bukan karena adanya perselingkuhan yang harus ditutupi, namun saya tetap lebih suka mengendarai mobil sendiri. Saya hanya tidak suka ada "orang asing" masuk ke dalam wilayah kehidupan pribadi, yaitu .... mengetahui kemana saya pergi, dengan siapa dan untuk urusan apa.

Saya ingat sekali, seorang teman yang sedang dalam proses "berpisah" dengan istrinya, menjadi lebih "nekat" untuk menceraikan si istri karena dibumbui cerita supir keluarganya yang menyatakan bahwa istrinya tersebut seringkali keluar masuk hotel dengan lelaki. Entah apakah supir itu memang melihat dengan mata dan kepala sendiri atau mendengar cerita dari supir si istri. Tetapi darimanapun sumber berita tersebut, tetap saja mereka tidak tahu maksud dan tujuan kita ke hotel. Saya yang juga suka melakukan hal itu tentu "sangat tersinggung" karenanya. 

Saat ini, para pelaku bisnis seringkali melakukan pertemuan di restoran-restoran, istilah kerennya breakfast/lunch meeting atau di business center/lounge yang memang menjadi salah satu fasilitas hotel. Di beberapa hotel, business lounge malah terletak di salah satu lantai hotel. Bukan di area umum di sekitar lobby, sehingga pengunjungnya harus masuk ke lift yang sama dengan pengunjung yang menginap. Nah... apa jadinya kalau ada yang melihat pasangan lelaki dan perempuan keluar dari lift. Padahal ... bisa jadi mereka baru saja menghadiri pertemuan di executive lounge tersebut. Jadi belum tentu orang-orang yang keluar masuk hotel dengan niat mesum. 

Tentu, kita juga tidak perlu menjelaskan panjang lebar kepada supir apa maksud dan tujuan ke hotel. Lucu aja.... masa supir harus tahu apa urusan si majikan? Tapi "keluguan dan ketidaktahuan" bisa membuat supir menduga-duga sesuatu dan hal ini bisa jadi boomerang, manakala si supir suatu saat merasa sakit hati pada majikannya. Atau hanya sekedar menjadi bahan obrolan di kalangannya.

Sebetulnya, ada satu alasan lain yang juga menyebabkan saya lebih suka sendiri, yaitu saat berbelanja. 

Jujur saja, belanjaan saya banyak, apalagi kalau belanja bulanan.  Segala macam dibeli... Mungkin sudah pantas punya toko sendiri. Kasir yang melayani saja, seringkali bingung melihat betapa melimpahnya belanjaan saya... hehehe... Belanja orang sekampung, kali ya...? 

Kalau saya punya supir pribadi, saya merasa sangat tidak nyaman kalau si supir tahu jenis barang belanjaan saya, apalagi kalau dia sempat mengintip harganya. Semurah apapun barang belanjaan saya, tetap saja akan membuat kening si supir berkerut. Menghitung dan membatin melihat barang belanjaan saya, apalagi kalau barang belanjaan itu makanan yang bisa jadi belum pernah dicicipinya.

Saya jadi ingat, lebih dari 10 tahun yang lalu saat masih tinggal di Kemang Pratama. Pada anak kampung yang, tinggal di balik tembok pembatas antara perumahan dengan perkampungan penduduk asli, suka bantu membersihkan halaman rumah, saya berikan beberapa butir lengkeng. Rupanya lengkeng yangtidak seberapa banyaknya itu dibawa pulang dan dibagikannya kepada ibu dan adiknya. Itu sebabnya keesokan harinya, si ibu datang ke rumah, mengucapkan terima kasih. Baru kali itu mereka sekeluarga mencicipi lengkeng. Padahal .... buah itu banyak bergantungan dan dijual oleh pedagang di pinggir jalan. Saya agak terkesiap dan tersadar, ternyata ... buah-buahan yang dijajakan di pinggir jalanpun belum tentu bisa dinikmati oleh semua orang. Saya sendiri jadi ragu apakah si penjualnya juga tahu rasa semua buah-buahan yang dijualnya.

Nah .... bayangkan, kalau supir saya melihat belanjaan saya, lalu terbit air liurnya, sementara, belum tentu saya "berniat memberinya", karena sesuatu alasan. Toh, kecuali memberinya gaji yang pantas setiap bulan, saya tidak punya kewajiban memberinya semua apa yang saya beli, kepada supir. Atau kalaupun memang saya berniat memberi sepotong, dua potong makanan yang saya beli atau makan, tetapi karena sok sibuknya, seringkali  lupa menyisihkannya. 

Waduh ..... bayangkan, betapa banyaknya dosa saya, kalau hal itu rutin terjadi. Bukankah kita dianjurkan harus selalu berbagi. Jangan sampai ada orang yang menderita sementara di hadapan mereka, kita menikmati apa-apa yang tidak mampu mereka dapatkan. 

Jadi .....itu juga merupakan salah satu alasan saya, mengapa hingga saat ini saya tidak menggunakan supir. Tapi.... ssstttt, jangan bilang-bilang ya .... sebetulnya, saya punya supir pribadi kok....! Ya suami saya itu ... hehehe, walau kadangkala dalam perjalanan ke Bandung, saya tetap harus mengendarai mobil sementara dia nyenyak terlelap di jok depan sambil buka penggerjajian.....

12 komentar:

  1. Bu, OOt yaaa.... Aku suka gak enak juga, misalnya lagi kelaperan sangat, naik taxi, trus berenti di konter roti atau donat... Atau fried chicken gituh.. Makan di taxi... Krn pjalanan bakal jauh. Apa kita harus beliin sopir taxinya juga...??? Kalo lagi bareng2 di taxi, cuek aja sih...gak smpet kpikiran. Tapi kl sendirian... Makan gak bagi2... Etis gak sih...
    *kl inget2, jarang banget..apa gak pernah ya..bagi sopir taxi*

    BalasHapus
  2. kalo saya sih, pilih menahan lapar dan makan di rumah aja...

    BalasHapus
  3. kalau saya sih pilih nahan lapar aja

    BalasHapus
  4. Mbak Lina, alasan saya kurang lebih sama seperti itu.. sering kali ibu atau sodara2 saya kasihan lihat saya nyetir kemana-mana sendiri... tapi ya gimana, saya gak nyaman jg klo ada orang lain...

    BalasHapus
  5. seandainya... saya punya mobil saya gak izinin pakai sopir... hihihiii... masa berdua2an sama lelaki lain (cemburu.com)

    BalasHapus
  6. maklum deh mbak kalu supirnya blom kenal sama kita suka gitu.. kadang ku juga ga suka pake supir lebih enak naik angkot, secara ku ga bisa nyetir..
    dulu pernah tuh ada supir yang sok tahu kalu ku meeting di hotel dari pagi sampe sore.. padahala seminar doang udah heboh kemanamana.. ajaib sama cara berfikir mereka.. apalagi belanja.. untungnya ku ga kaya mbak deh yang doyan belanja banyak.. lain kali ya kebutuhan lajang dengan rumahtangga..

    BalasHapus
  7. Alhamdulillah, ternyata bukan saya sendiri yang punya alasan seperti itu

    BalasHapus
  8. apalagi kalau wanginya "semerbak" ... aduh bikin perut mual

    BalasHapus
  9. ah... masa kamu percaya sih...? itu kan hiperbolik aja... hehehe, biar seru dibacanya...

    BalasHapus
  10. Kalo ibuku dulu, punya sopir... Sepupunya sendiri. Jadi om aku... Pagi2 waktu nganter sekolah... Lewat dr 6.30, abis diomelin kita berempat, sama si om. Lumayan juga tnyata ya...bikin kt ga telat. Ibuku lumayan nyaman disopirin om aku, meski galakan dia. Pas om aku unjuk rasa, gak mau nyupirin lagi... Ada org yg mau nyopirin.. Sodara jaauuuuuuuh banget. Tapi bikin ibuku rajin ngajak org buat ikut pulang kantor. Jengah bduaan dengan yg bukan mahrom. . . Gak lama ibuku pensiun, ga pake sopir lagi... Mobilnya juga dibalikin kantor..hehehhe

    BalasHapus
  11. Sammma...aku juga males pake sopir..gak bisa nyanyi keras2 di jalan! Tapi kadang2 enak juga siy kalo udah diduga jalanannya macet.
    Aku juga ga suka kalo ke mal sama pembantu. Risih aja. tapi sekarang sih kepaksa, kalo cuma sendirian bawa 2 anak batita susah juga kalo gak bawa asisten.
    Serba salah yah.....

    BalasHapus

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...