Sabtu, 31 Desember 2011

Ketika Harus Menyiapkan Pernikahan Anak

Bulan Juli dan Agustus ini, rupanya, bagi sebagian besar orang Indonesia, dianggap sebagai bulan baik untuk melaksanakan pernikahan. Jadi saya mulai kebanjiran undangan pernikahan, baik dari teman-teman maupun keluarga.

Berbeda dengan saat saya dulu menikah, saat ini undangan pernikahan terbuat dari berbagai ragam bahan, warna dan bentuk. Dari yang sangat sederhana hingga yang super mewah. Dari yang hanya terdiri dari karton conqueror berwarna sampai dengan undangan yang dimasukkan ke dalam box mewah lengkap dengan bunga, pita dan photo pengantin. Bahkan bos saya di kantor pernah menerima undangan berbentuk pigura photo yang sangat cantik dan eksklusif, yang saya taksir harganya tidak kurang dari Rp.75.000,- per buah. Begitulah, di kantor, kami seringkali berebut undangan yang cantik-cantik itu untuk dimodifikasikan menjadi hiasan meja/dinding atau bingkai photo.

Itu belum tempat pesta, makanan dan dekorasi termasuk pelaminan. Jujur saja ... kadang-kadang, kala menerima undangan, kami sering memprediksi .. bahwa kalau gedung resepsinya di Wisma A atau di hotel A, sudah dipastikan bahwa makanannya mewah dan enak. Melimpah dan mengundang selera. Kalau di gedung atau hotel C maka, jangan berharap akan makan enak ... Hehe... kok milih-milih undangan sih?? ini niatnya mau memberi doa restu atau makan-makan ?? Untungnya, sudah beberapa tahun ini, kami menganut food combining sehingga tidak terlalu kemaruk dengan makanan mewah dan enak yang tersaji. Suami saya saja yang selalu lupa diri bila melihat nasi goreng. Berbekal pengetahuan tentang korelasi antara gedung dengan kualitas makanan, saya sering memberi peringatan pada suami, bahwa nasi goreng di gedung/hotel kelas A sangat enak dan layak disantap, sedangkan di gedung/hotel kelas C tidak bisa diandalkan. Namun fanatisme terhadap nasi goreng membuatnya sering mengabaikan ”peringatan dini” saya. Belakangan baru dia sadar dan nggrundel ... bahwa nasi gorengnya tidak enak.. walaupun habis juga satu piring.

Jumlah undangan yang terlalu banyak juga seringkali menjengkelkan tamu. Saya paling tidak suka menghadiri undangan yang jumlah tamunya melebihi kapasitas gedung, membuat tamu tidak nyaman bergerak. Kalau sudah begini, setelah mengisi buku tamu, dan melihat antrian masih sangat panjang baik menuju pelaminan maupun di tempat makan, maka sudah dapat dipastikan kami akan balik pulang dan mencari restoran terdekat untuk mengisi perut. Kok mengundang orang untuk disiksa antri berjam-jam? Ya antri memberikan salam dan doa restu lalu antri untuk ambil makanan. Duh... yang butuh doa restu itu siapa ya...??? Tamu atau yang mengundang? Terbalik-balik logikanya. Lagi pula, sudah dipastikan yang diundang adalah orang-orang yang mampu membeli makanan sekelas yang dihidangkan di pesta itu. Kok ya tega-teganya disuruh antri pembagian makanan. Kaya jaman resesi aja.... Padahal, katanya, kita diundang dan pengundang sangat mengaharapkan kedatangan tamu untuk memberikan doa restu .... Artinyanya yang diundang itu harus dihormati karena ”diharapkan” kehadirannya. Tapi ketika datang kok ya disiksa untuk ngantri.....????

Belum lagi soal hari/waktu resepsi. Jakarta yang macet dan sibuk ini membuat kita harus mempersiapkan diri dengan baik untuk datang ke undangan. Mempersiapkan waktu yang cermat agar tidak terkena macet. Saya dapat dipastikan tidak akan pernah datang bila resepsi diadakan pada hari kerja . Tidak perduli yang mengundang itu keluarga apalagi hanya teman. Cukup kirim sms saja, memberitahukan ketidakhadiran dan doa restu bagi mempelai. Kemacetan yang luar biasa di Jakarta untuk menuju tempat resepsi membuat saya sudah patah arang. Jauh-jauh hari sudah ada komitmen dengan suami bahwa undangan yang akan dihadiri bersama, hanyalah undangan pada hari Sabtu atau Minggu, sehingga tidak merepotkan baik saya maupun suami. Bila suami merasa perlu hadir pada undangan di hari kerja, saya persilakan untuk hadir sendiri. Dia sudah tahu untuk tidak mengharapkan kehadiran saya bersama, pada undangan di hari kerja. Dan toh akhirnya, seringkali dia tidak hadir juga setelah melihat kenyataan bahwa hadir pada undangan di hari kerja sangat melelahkan dan menjemukan.

Dengan kondisi seperti ini, sebetulnya apa yang harus dipersiapkan, ketika kita akan mengadakan pesta pernikahan anak? Jujur saja ... saya tidak tahu. Semua tergantung pada persepsi si calon mempelai dalam menghadapi momen ”terpenting” dalam hidup mereka. Itupun juga masih diembeli-embeli dengan persepsi dan kepentingan, termasuk gengsi orangtua ke dua calon mempelai.

Sewaktu masih kuliah, saya tidak pernah membayangkan akan menikah. Terpengaruh oleh kisah ”cengeng” dalam majalah, saya berpikir, untuk apa menikah bila perempuan hanya menjadi pelengkap penderita dalam kehidupan berumah tangga. Dan toh akhirnya saya menikah dalam usia yang relatif muda dan belum selesai kuliah lagi. Maka terpaksa saya merevisi angan-angan tersebut. Bayangan saya adalah menikah dalam suasana yang sederhana saja. Hanya akan mengadakan ijab-kabul serta walimah sederhana langsung setelah ijab kabul yang hanya dihadiri keluarga terdekat dan teman dekat dari mempelai. Itupun tidak tercapai .... dengan berbagai dalih, orang tua ”memaksa” untuk membuat pesta, mengundang relasi. Alasannya terdengar klasik ... takut disangka anaknya sudah hamil sebelum menikah. Duh gemes banget dengar alasannya. Tapi apa boleh buat, daripada bertengkar dengan orang tua.

Akhirnya setelah berdebat panjang lebar, kebetulan orangtua saya tidak ”fanatik” terhadap tradisi, upacara pernikahan berlangsung secara simple. Tidak ada acara siraman – seserahan – midodareni – malam bainai (ibu saya orang Minang). Bahkan setelah akad nikah, tidak ada upacara ini itu, injak telur – kacar-kucur (suami berasal dari Jawa) dan lain sebagainya yang dianggap sebagai simbolisasi dari kehidupan rumah tangga. Termasuk upacara yang biasa dilakukan orang saat menjelang resepsi. Mana saya peduli ....???, Bagi saya, kehidupan rumah tangga tidak terkait dengan lengkap atau tidaknya tradisi itu dijalankan. Kehidupan rumah tangga lebih terkait pada bagaimana komitmen pasutri dalam menjalankan bahtera rumah tangganya. Cukup itu, dan sama sekali bukan tergantung pada simbol-simbol yang menghabiskan waktu dan biaya.

Yang tidak dapat saya tentang adalah penyelenggaraan resepsi, yang tergolong relatif mewah untuk waktu itu. Sungguh mati, saya benci sekali menjalani acara itu. Bagi saya... kok menyebalkan sekali jadi pengantin. Didandani dengan riasan medok seperti wayang orang. Dijadikan pajangan di tengah gedung pertemuan, lalu ditonton dan mesti cengar-cengir kepada orang yang menyalami (yang tidak semuanya kita kenal). Duh .... betul-betul menyebalkan sekaligus melelahkan. Demi gengsi orang tua ...... Padahal, kalau saja uang yang dihabiskan untuk pesta itu diberikan kepada kami, pasti bisa digunakan untuk membeli sebuah rumah mungil yang memadai bagi pengantin baru.

Sejak saat itu, saya selalu berandai-andai, bila suatu saat menikahkan anak, maka saya tidak akan membuat pesta. Cukup akad nikah dan walimah di antara keluarga dan teman dekat. Tidak lebih dari 100 orang, menurut perhitungan saya. Tidak jarang perandaian itu memicu ”pertengkaran kecil” dengan suami. Alasannya karena ”calon besan” belum tentu sama persepsinya dengan kami dan kami harus mau menyesuaikan diri. Sementara saya selalu ngotot dengan ”model ideal tata cara pernikahan” saya itu. Dan..... di luar dugaan.... anak saya menikah hanya dihadiri oleh 7 orang saja ... penghulu, saksi dan kami sekeluarga. Bahkan keluarga anak gadispun (non muslim) tak hadir karena anak saya menikah di mesjid. Sedihkah perasaan saya pada saat itu? Rasanya, tidak. Jauh dari perasaan sedih. Saya hanya merasa lega bahwa anak saya sudah menikah. Pernikahan anak saya adalah wujud dari bentuk pernikahan yang saya inginkan dulu. .... Singkat dan memenuhi syariat. Entah kalau perasaan anak saya saat itu. Saya tidak bertanya lebih jauh.

Minggu lalu, sebagian dari keluarga besar suami saya berkumpul. Kebetulan, salah seorang ipar saya berulang tahun, jadi kami semua berkumpul sekaligus membicarakan rencana acara pernikahan anak lelaki si tuan rumah. Calon menantu ipar saya itu blasteran Minangkabau (dari ibu) dengan Jawa (dari bapak).

Tadinya, saya berpikir jaman sudah banyak berubah, jadi, saya berasumsi, bahwa dalam mempersiapkan pernikahan, kita hanya akan mengambil yang esensial saja dari pernikahan itu. Kita tidak lagi terkungkung dengan segala adat istiadat dan simbolisasi upacara pernikahan ruwet. Apalagi bila ditambah dengan konsekuensi biaya yang akan melambung tinggi.

Ternyata, dugaan saya keliru sama sekali. Rupanya, semakin tinggi status sosial masyarakat, maka kecenderungan untuk mengadopsi segala pernak-pernik dan tata cara adat/tradisi dalam penyelenggaraan pernikahan yang ruwet, semakin mengental. Semakin tinggi status sosial, maka semakin ruwet pula adat istiadat yang digunakan dan itu berdampak semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Dan itulah (mungkin) yang diinginkan, karena semakin ”menonjolkan gengsi dan status sosial keluarga”.

Maka, dalam rencana acara pernikahan keponakan suami, segala tata cara pernikahan yang diatur oleh keluarga perempuan, secara adat/tradisi baik dari garis bapak (Jawa) dan ibu (Minang) semuanya ingin dimasukkan. Sementara upacara pernikahan di keluarga pengantin lelaki, dimulai dengan ritual pengajian (yang ini bolehlah diadopsi .... dengan makna berdoa kepada Allah SWT) pada hari sebelum pernikahan, lalu siraman. Setelah siraman, keluarga pengantin lelaki akan berkunjung ke rumah keluarga perempuan untuk mengikuti acara midodareni (Jawa) dan sekaligus malam bainai (Minang) yang diperkirakan berlangsung dari jam 19.00 s/d 22.00. Lalu, keesokan harinya, tepat jam 09.00 pagi akan diadakan acara akad nikah dilanjutkan resepsi pada sore harinya yang dimulai jam 19.00 di suatu gedung pertemuan.

Yang menjadi titik perhatian saya yang pertama adalah acara midodareni dan resepsi yang keduanya berlangsung pada jam 19.00, dua hari berturut-turut. Lokasi rumah pengantin perempuan berada hampir di ujung selatan kota Jakarta dan mempelai lelaki di bilangan Jakarta Timur. Jadi untuk mencapainya memerlukan waktu minimal + 1 jam. Belum terhitung macet yang biasa terjadi di hampir seluruh ruas jalan di Jakarta pada malam minggu. Ini berarti, paling lambat, pada jam 18.00 rombongan calon pengantin lelaki sudah harus berangkat dari rumah menuju kediaman calon pengantin perempuan. Lalu, bagaimana menunaikan shalat maghrib. Haruskah ditunda (jama’)? Usulan mengundurkan waktu dimulainya acara midodareni/malam bainai, untuk memberi kesempatan menunaikan shalat maghrib hanya dijawab ” pengunduran waktu ini berarti acara midodareni/malam bainai akan berlangsung hingga larut malam. Sementara keesokan harinya, akad nikah akan berlangsung tepat jam 09.00. Tentu melelahkan bagi ke dua belah pihak. Terserah akan memilih yang mana. Tetap jam 19.00 dan selesai jam 22.00 atau mundur dengan konsekuensi mundur pula waktu selesainya”

Duh ... sedih mendengar jawaban seperti itu. Apakah demikian pentingnya acara adat midodareni/malam bainai itu sehingga waktu shalat maghrib pun harus dikorbankan? Bila demikian, mengapa tidak memotong acara adat (yang menurut saya tidak berguna – hanya buang-buang waktu dan uang saja) tersebut untuk memberikan kesempatan shalat maghrib dan istirahat yang cukup bagi keluarga ke dua belah pihak?

Belum urusan acara midodareni/malam bainai itu selesai, muncul lagi ”aturan baru” bahwa menjelang acara resepsi, keesokan harinya, seluruh keluarga kedua belah pihak diharapkan kumpul dan selesai berhias pada jam 17.00. Sesi photo keluarga akan dimulai sebelum acara resepsi, yaitu setelah mempelai dan keluarga selesai berhias. Jadi seluruhnya masih segar dan cantik untuk berphoto. Lalu, untuk keluarga yang lain,... jam berapa kami harus mandi, para perempuan berdandan, kemudian berangkat ke gedung? Bagaimana dengan shalat ashar dan shalat maghrib kami?

Saya betul-betul bingung dibuatnya. Ingin sekali saya berbaik sangka saja, bahwa yang mengatur acara tersebut adalah non muslim yang tidak mengerti bahwa di antara waktu-waktu tersebut ada waktu shalat ”WAJIB” ... panggilan Allah SWT yang tidak bisa diabaikan bagi mereka yang mengaku bahwa ”shalatku ... hidupku ... dan matiku ... hanyalah bagi Allah SWT semata....” Namun, nyatanya kedua belah pihak keluarga adalah keluarga muslim. Minimal yang saya ketahui, kedua ipar saya selalu shalat wajib lima waktu. Dan toh .... pada persiapan pernikahan tersebut, mereka luruh dan tunduk pada aturan manusia ... sudah diatur bahwa sesi berphoto ria adalah sebelum resepsi berlangsung, walau dengan resiko kehilangan waktu shalat. Betul, Islam memberikan kemudahan dengan adanya aturan jama’. Tapi apakah men-jama’ shalat bisa dibenarkan untuk alasan seperti ini? Wallahu ’alam.

Di luar dari pengaturan waktu tersebut, kecenderungan orang untuk bermewah-mewah dalam penyelenggaraan pesta pernikahan sungguh membuat hati bertambah sedih. Seorang teman wanita yang sedang mempersiapkan pernikahannya bercerita bahwa satu buah kebaya panjang brokat dengan sulaman mote untuk acara pernikahan harus dibayar dengan harga 8 juta rupiah. Konon harga ini 50% lebih murah dari harga resminya, karena sang teman langsung berhubungan dengan penjahit seorang designer terkenal di Indonesia.

Ipar saya yang lain, seorang florist yang mengkhususkan diri pada pesta pernikahan, bercerita bahwa tarif untuk menghias (dengan bunga) untuk suatu acara pernikahan minimal 25 juta untuk campuran bunga lokal plus sedikit bunga impor. Belum lagi biaya perias pengantin yang konon juga seharga di atas sepuluh juta, seragam panitia dan keluarga, biaya pelaminan, dokumentasi dan lain-lain. Sementara biaya makanan pun paling tidak harus membayar minimal 35 ribu/per orang (ini menu paling sederhana), belum termasuk makanan yang tersaji di gubuk-gubuk yang tarifnya antara 10 ribu sampai dengan 35 ribu per porsi. Belum lagi bila resepsi diselenggarakan di hotel berbintang. Minimal 85 ribu per pax plus pajak dan service 21%. Ini tentunya juga, belum termasuk makanan tambahan yang ditata dalam gubuk. Jadi tidak heran bila biaya penyelenggaraan pesta pernikahan termurah (sederhana) yang pernah saya hadiri bernilai 200 juta (angka ini saya dapat dari keluarga mempelai perempuan) untuk undangan sebanyak 500 lembar.

Salah satu kenalan, secara bisik-bisik mengungkapkan angka di atas 1,5 miliar untuk suatu pesta di sebuah hotel berbintang 5 di Jakarta. Bayangkan ... dapat disimpulkan; harga sebuah pesta pernikahan kelas menengah di Jakarta dimulai dari 200 juta rupiah hingga di atas satu milyar.... .

Bayangkan bila uang sebesar itu dibelikan sebuah rumah untuk pengantin baru ... pasti jadilah sebuah rumah yang cukup indah di sebuah kawasan perumahan di Jakarta. Kalau saja uang tersebut dipinjamkan kepada pengusaha kecil untuk bantuan modal, minimal ada 40 pengusaha yang memperoleh pinjaman senilai 5 juta rupiah. Seandainya uang tersebut digunakan untuk memberi makan kaum dhuafa, pasti ada minimal 20.000 boks nasi seharga 10 ribu per boks yang dapat dinikmati mereka. Kalau saja.....

Sayangnya, kita lebih suka bermegah-megah, menonjolkan keakuan di tengah kemelaratan sesama .... Kita lebih suka memberi makan orang berpunya yang sudah kelebihan kalori di tubuhnya, yang juga mampu membayar makanan sejenis di restoran mewah, untuk datang ke pesta yang kita buat dibandingkan dengan memberi makanan yang lezat bagi kaum dhuafa satu kali saja dalam hidup mereka.

Sayangnya lagi kita lebih suka membuang-buang uang untuk membayar bunga hias dan pernak-perniknya yang hanya digunakan satu malam saja, dibandingkan dengan membina dan menolong pengusaha kecil dan lemah dengan jumlah uang yang sama.

Sayangnya, kita lebih suka membuat undangan yang indah dan mewah, memberikan seragam lengkap bagi para among tamu demi menaikkan gengsi keluarga ketimbang menyisihkan dana tersebut untuk anak tetangga yang nyaris bunuh diri karena tidak sanggup membayar uang sekolah...

Dan ... ah begitu banyak perandaian yang muncul di benak saya, sampai saya tersadar, saat suami saya mengingatkan...” jangan berburuk sangka.... mungkin ibadah, zakat dan sedekah mereka sudah lebih besar dari apa yang mereka buang untuk menyelenggarakan pesta pernikahan anak-anak mereka. Jadi biarkanlah mereka memenangkan egonya sekali saja dalam sepanjang umur hidup mereka ”..........

Cukupkah alasan itu ..... entahlah...! Sejuta protes dan ketidakpuasan masih menjejali kepala saya dan mungkin harus saya telan sendiri. (eh ada untungnya... nih, jadi tulisan yang bisa dibaca oleh semua orang...)

Jakarta, 20 juli 2005
Hangtuah – jakarta selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...