Sabtu, 07 Januari 2012

Rame-rame cari suami dari Jawa

Sya'ban/September 2006 ini memang bulan pilihannya masyarakat untuk menyelenggarakan pernikahan. Jadi jangan heran, kalau dalam satu minggu, kita akan menerima 2 sampai dengan 3 undangan resepsi pernikahan. Itu berarti unpredictable cost. Coba kita hitung deh berapa besar pengeluaran tambahannya. Buat "nyecep" - kata orang Sunda, terus buat bikin baju baru ... . Perempuan kan biasanya nggak mau pake baju yang sama untuk acara yang sama (pernikahan) takut ketemu orang yang sama .... (tapi nggak termasuk gue lho ....). Belum lagi buat sanggul dan make up di Salon .... Belum lagi kalo undangannya di luar kota. Wuaduh .... bayangin aja kalo setiap minggu selama bulan Sya'ban ada undangan dan mesti hadir ... Alamat, akan ada krisis di dapur.

Hari minggu 10 September 2006 yang lalu, gue dapet undangan pernikahan dari Padang. Ini kenalan lama waktu tinggal di Stains 1981-1984. Keluarga dosen dari Universitas Andalas. Saat mengikuti suaminya ke Perancis, uni Tjul (begitu sama memanggilnya) sudah punya 2 anak perempuan. Yang besar, Dhini (dia ini yang menikah) kira2 umur 7 tahun dan Lydia berumur 1 1/2 tahun. Baru tinggal 1 bulan di Stains, uni Tjul langsung hamil anak ke 3. Kehamilan yang berat secara psikologis maupun fisik, harus dilaluinya. Sampai2 PMI (protection Maternelle et Infantile) mengirimkan femme au foyer, yang membantu uni Tjul untuk mengerjakan urusan rumah tangga (masak, cuci, ke pasar dll). Kehamilan itu juga dilalui dengan harap-harap cemas, menginginkan kehadiran anak lelaki dalam keluarga. Maklum, punya anak perempuan saja, bagi orang Minang itu costly.

Saya yang kebetulan secara bersamaan hamil anak pertama dan tahu kekhawatiran uni Tjul, sering mengganggunya. Apalagi saat dari hasil USG, diketahui bahwa bayi saya berkelamin lelaki sementara uni Tjul ... lagi-lagi perempuan.

Kembali ke Jakarta tahun 1984, saya sempat bertemu lagi dengan uni di Jakarta dan di Padang saat ada perayaan hut REI. Saat itu, uni Tjul sudah punya anak ke 4, masih perempuan dan terakhir. Putus asa juga rupanya ..... 4 anak perempuan pasti bisa bikin pusing keluarga Minang.

Dalam perkawinan adat Minang, keluarga perempuan wajib "manjapuik marapulai" dengan sejumlah hantaran dan "uang panjapuik". Inilah sumber kekhawatiran Uni.

" Bayangkan Lin .... berapa kilo "ameh" yang mesti uni sediakan untuk manjapuik marapulai" bila anak uni berjodoh dengan urang awak...? Onde.... indak tabayang, jo uni....!" Saat itu, Dhini sudah kuliah di Unpad dan ketiga adiknya masih tinggal di Padang.

"Doakan uni supaya bisa menyekolahkan anak-anak di Jawa ya..."

"Kenapa ni....?"

"Biar anak-anak mendapat jodoh orang Jawa. Biar putus kewajiban uni menyediakan "ameh" tu!"

Duh .... kasihan si Uni!! gue inget banget, saat di Stains, uni cerita bahwa saat menikah dengan uda, beberapa keluarga si uda memaksakan untuk meminta "panjapuik marapulai" yang sesungguhnya diluar kesanggupan keluarga uni. Untungnya, diam-diam uda sudah punya simpanan yang cukup besar sehingga demi cinta dan terlaksananya pernikahan, simpanannya itu direlakan untuk digunakan dalam acara "manjapuik marapulai".

Gue juga inget, keponakan suami (Jawa+Sunda) beberapa tahun yang lalu terpaksa putus dengan pacarnya yang anak dokter asal Minang. Konon ibu si pacar keberatan anaknya menikah dengan non Minang, karena anak lelaki (sarjana bo .... nilainya sama dengan BMW) mereka tidak akan menerima "panjapuik".

Beberapa tahun kemudian, selesai mendapai ijasah S1, Dhini mulai kerja di Jakarta. Uni yang kebetulan berkunjung ke Jakarta, lagi-lagi berpesan....

"Carikan jodoh orang Jawa untuk Dhini ya Lin...", Gue gak bisa ngomong apa-apa .... Haree geenee ngejodohin anak orang .... Ngeri skalee....!!!

Jadi, saat menerima undangan dari uni Tjul ....buru-buru gue telpon dia ke Padang. Ngobrol agak lama, gak ngitung pulsa telpon lagi deh.

"Uni ..... selamat ya. Menantu uni; tepat dan sesuai dengan idaman uni ya.... ! Ketemu dimana tuh?"(keluarga calon suami Dhini, tinggal di Kediri - Jatim)

"Tetangga sebelah rumah kost di Depok, sewaktu Dhini ambil S2"

"Syukurlah ....Maaf nggak bisa hadir ya, ni..., kami di Jakarta juga banyak dapat undangan pernikahan! Maklum, menjelang puasa".

"Sayang ya, nggak bisa hadir. Mohon doanya ya .... Masih berat tanggungan uni nih .... masih ada 3 anak gadis lagi yang belum menikah...!"

Waduh si uni....! , masih itu aja yang dipikirin....!

Semua anak gadisnya "diusir" dari Padang agar mendapat jodoh non Minang. Lydia, selesai kuliah di univ Andalas, lalu kerja di kantor akuntan Jakarta. Irma ... yang lahir di St Denis - France, baru selesai S1 dan sudah dikirim di Jakarta untuk cari kerja. Tinggal si bungsu yang baru masuk kuliah, tinggal bersama mereka di Padang.

Alhamdulillah... perjalanan panjang si Uni berhasil..., Dari 3 anak gadisnya yang sudah menikah, dua diantaranya menikah dengan lelaki asal Jawa. tinggal si bungsu lagi... Entah apakah dia akan menikah dengan lekaki Jawa, atau mengikuti kakaknya nomor 3, menikah dengan lelaki Minang...

Apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup? Ternyata mempertahankan adat istiadat yang sakral dan katanya bernilai budaya yang sangat tinggi dalam berbagai aspek ternyata membebani masyarakat.

reedit 7 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...