Minggu, 29 Januari 2012

Perubahan pada Pernikahan Beda Usia


Minggu 14 januari 07 yang lalu, kami sekeluarga pergi ke Cianjur. Ada staff kantor yang menikah di kampung halamannya, kampung Cijaring – kecamatan Cibeber Cianjur. Sebetulnya, dari kantor sudah disediakan big-bird, kapasitas 44 kursi. Tapi karena anak-anak kantor merencanakan berangkat jam 06.00 pagi dengan niat menghadiri akad nikah yang akan diselenggarakan tepat jam 09.00, maka saya membatalkan ikut bus. Maklum sajalah … setiap hari minggu, otak dan otot sudah diset untuk istirahat. Jadi lepas shalat subuh, selimut ditarik lagi untuk menutupi badan. Apalagi, upacara rutin di pagi hari, biasanya cukup heboh. Baca koran sambil makan buah ditambah kopi/teh…., lalu membersihkan residu makan malam dari tubuh, masih sambil membaca koran, baru mandi. Kesemuanya tak bisa dilakukan sambil dikejar-kejar waktu. Mesti santai, badan dan pikiran. Kalau tidak, bisa-bisa, ritme biologis hari yang terkait menjadi berantakan dan kacau. Untuk kembali kepada ritme biologis yang normal, membutuhkan waktu berhari-hari. Ini pasti sangat melelahkan dan menyebalkan.

Dengan pernikahan staff kantor tersebut di Cianjur, maka perempuan jomblo di kantor tinggal satu saja, Patricia. Hingga saat ini, walau jumlah staff bertambah, namun anak itu masih tetap awet sendiri. Dilihat dari umurnya. Ipet, begitu panggilan sehari-harinya gadis Batak bermarga Tambunan, seusia dengan anak sulung saya.

Sebelumnya, ada Rina yang kemudian pindah ke Malang. Ternyata udara Malang yang sejuk membuatnya menemukan pelabuhan hati. Syukurlah … dia juga menikah, lagi-lagi di kampung halamannya, Surabaya, di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun.

Ada yang menarik dari kedua pernikahan ini. Keduanya …. adalah wanita yang berjodoh dengan lelaki yang berusia lebih muda. Salahkah…? Nggak juga …. Namanya jodoh! Rasul saja, ketika menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, usianya lebih muda 15 tahun lebih muda. Di keluarga suami saya, beberapa ipar saya memiliki istri yang usianya lebih tua. Dari yang hanya berbeda beberapa bulan saja hingga 2 tahun. Tidak lebih.
***

Pernikahan pada beberapa dekade yang lalu biasanya dilakukan antara lelaki yang usianya lebih tua dari istrinya. Jarang yang usia istrinya lebih tua. Kalaupun si istri lebih tua, paling hanya beberapa bulan saja. Yang paling menghebohkan mungkin kala Suzanna, artis senior yang seringkali berperan dalam film mistik menikahi Cliff Sangra yang usianya sebaya dengan Kiki anak perempuannya, usai bermain dalam film Sangkuriang. Orang bilang, pernikahan mereka dikarenakan “ketulah” dengan peran masing-masing dalam film tersebut. Selain pernikahan mereka, di kalangan artis, kemudian ada pernikahan Onky Alexander dengan Paula Ayustina Saroinsong dengan perbedaan umur sekitar 10 tahun.

Tahun 2000 an ini, terlihat ada kecenderungan peningkatan jumlah pasangan yang usia perempuannya lebih tinggi dari usia lelaki. Bukan saja di kalangan artis tetapi juga di kalangan masyarakat kebanyakan. Atau kalaupun ada perempuan muda yang menikah dengan lelaki yang berusia lebih tua, namun perbedaan usianya menjadi sangat ekstrim. Di atas 10 tahun. Bahkan ada beberapa perempuan yang bersedia menikah dengan lelaki yang usianya hampir seusia bapaknya. Di kantor saya, dari 10 orang perempuan yang sudah menikah, ternyata 4 orang menikah dengan lelaki yang usianya lebih muda antara 4 – 5 tahun.

Bagaimana kondisi riel di masyarakat. Di abad ke 21 ini, ada kecenderungan bahwa perempuan sekarang lebih dominan dan agresif dalam hubungan antar jenis. Ini terjadi tidak saja di kalangan orang dewasa saja, tetapi juga di kalangan remaja. Sayang, angket/survey mengenai perubahan perilaku masyarakat, tidak umum dilakukan di Indonesia. Ini berbeda dengan negara maju. Padahal hasil survey yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat serta kecenderungan perubahannya sangat penting dan berguna sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah agar strategi dan kebijakan yang dijalankan menjadi lebih terarah.
***

Orang bilang, pernikahan yang ideal itu, dilakukan antara pasangan yang usia suami lebih tua 4 – 6 tahun daripada usia isteri. Ini berkaitan dengan kondisi fisik dan biologis pasangan tersebut kelak, yaitu yang berkaitan dengan hubungan biologis saat istri memasuki masa menopause. Saat memasuki menopause, perempuan mengalami banyak perubahan fisik dan psikis yang dapat mempengaruhi kualitas hubungan suami isteri. Sementara, pada lelaki perubahan fisik dan kemampuan biologisnya relatif tidak mengalami perubahan apapun, kecuali bila dia menderita Diabetes Mellitus. Itu sebabnya, dalam perkawinan dianjurkan agar usia lelaki lebih tua dari perempuan. Tetapi perbedaannya pasangan suami – isteri sebaiknya tidak seperti usia Koes Hendratmo dengan Aprilia ... Itu pernikahan keblinger antara bapak dengan anak. Eh, tapi saya ingat, ada sepupu saya yang menikah dengan lelaki asal Amerika. Dan usia sang suami konon hanya berbeda sekitar 3 tahun dari usia bapaknya.

Kelahiran, pernikahan (jodoh) dan kematian memang merupakan rahasia ketentuan Allah SWT. Manakala itu sudah "ditetapkan" maka tidak ada seorangpun yang mampu menghindarinya. Termasuk tentunya keserasian biologis dari pasangan suami istri yang memiliki perbedaan usia yang ekstrim terutama bila usia istri lebih tua dari usia suami. Nyatanya, tidak ada pernikahan ideal. Ada banyak pernikahan yang ditinjau dari sisi umur merupakan usia ideal, toh tidak juga mampu melewati badai dan kandas hanya beberapa tahun setelah menikah. Tidak itu saja..., belakangan ini ada kecenderungan pernikahan yang sudah melewati usia perakpun bisa juga kandas. 

Pernikahan memang memerlukan "kerjasama" antara suami dan istri, saling mempercayai, menghormati dan menghargai. Cukup begitu saja...? Entahlah ... itu adalah salah satu rahasia alam yang diaturNya. Wallahu’ alam

Lebak bulus, kamis 18 january 2007 at 22.30 and reedited on Sunday evening 29th january 2012

Jumat, 27 Januari 2012

RUANG KOSONG DI RUMAH

Ada ruang kosong kehidupan yang hanya bisa diisi oleh perempuan melalui naluri keibuannya. Ruang kosong itu adalah sebagian dari kebutuhan anak-anak dan atau pasangan atau partner hidup kita. Itu yang sering dilupakan perempuan dan para ibu muda, terutama mereka yang masih sibuk mengejar karier.

Memang tidak mudah untuk menangkap signal kebutuhan dasar anak-anak akan perhatian orangtuanya terutama dari ibu. Kita seringkali mendengar banyak wanita karier berkata bahwa dalam mendidik anak dan memberi perhatian, kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas.

Pada kenyataannya, yang dinamakan kualitas menurut versi orangtua, lebih banyak bersifat materialistis. Misalnya saja, jalan-jalan ke Mall, untuk makan bersama atau sekedar membeli buku. Itupun, dilakukan dengan melibatkan para pengasuh anak agak orangtua terbebaskan dari kerepotan mengurus anak selama acara bersama tersebut. Jadi, dalam mengisi kualitas pertemuanpun, anak lebih banyak ditangani oleh para pengasuhnya, sementara orangtua asyik ngobrol. Hanya sesekali saja diluangkannya waktu menyapa anak. Benarkah hanya itu yang dibutuhkan anak? Bisakah “kualitas” pertemuan diterjemahkan dari sudut pandang si anak? ***

Ini kejadian sekitar 5 tahun yang lalu
“Ma, … aku tadi jatuh di kamar mandi. Tanganku bengkak dan sakit”, begitu kata gadis kecilku, saat menelpon ibunya yang sedang dalam perjalanan pulang sehabis bekerja sepanjang hari. “Tuh, kan .... pasti main air lagi”.

Teringat kebiasaan si gadis yang sangat suka bermain air di kamar mandi. Bayangkan saja, 100 ml isi shampoo habis digunakan dalam waktu satu minggu saja. Begitu juga dengan shower gel. Entah bagaimana cara dia menggunakan sabun dan shampoo, yang pasti begitu dia keluar dari kamar mandi, maka harum shampoo atau sabun akan langsung menyerang penciuman kita.

”Bapak sudah pulang?”
”Sudah ..., lagi baca koran”
”Sudah bilang sama bapak...?”
”Sudah .....”
" Kok nggak pergi ke H. Naim sama bapak..?"
"Mau sama mama aja.....!!!", begitu selalu jawabannya.

Tiba di rumah, seusai shalat maghrib dan makan malam, gadis kecilku mendekat, memperlihatkan jari telunjuk kirinya yang bengkak dan membiru. Aku melihat ke arah suami yang juga ikut memperhatikan jari tangan yang bengkak itu.

”Jam berapa jatuhnya dan bagaimana?”
”Tadi siang ... kira-kira jam dua. Nggak tahu gimana jatuhnya, lupa....”
”Kok nggak bilang dari tadi? Kan bisa langsung pergi ke haji Naim[1], minta tolong oom atau mami[2]”

Baik anak maupun suami, diam tak berkomentar. Dalam raut wajah gadis kecil, terbayang jelas ”ketakutan”. Takut karena membayangkan rasa sakit saat dipijat. Sementara itu, sukar untuk menterjemahkan diamnya si bapak. Entah apa yang dipikirkan saat itu..... Menyesali keterlambatan si ibu pulang dari kantor? Entahlah.... Namun pikiran seperti itupun sangat mungkin terjadi

Usai menelpon adik yang biasa berhubungan dengan ibu haji, aku menyiapkan teh manis hangat, untuk minum si gadis saat jeda di antara pijatan, maka pada jam 21.30 kami berangkat ke bilangan dapur susu – Lebak Bulus. Seperti yang sudah diduga, jeritan dan tangisan kesakitan membahana, saat si kecil dipijat. Usai dipijat/urut malam itu, si gadis terpaksa diijinkan ”mengisi” pojok tempat tidur orangtuanya. Katakanlah itu sebagai kompensasi atas kesediaannya merasakan sakit saat dipijat tadi. Ditambah kemanjaan anak gadis yang masih berumur 8½ tahun itu yang berpadu dengan rasa khawatir ibunya. Kalau-kalau demam menyerangnya sesudah pijatan yang menyakitkan itu.
***

”Ma .... minta data passportnya ya, sekalian juga datanya bokap” message itu masuk di yahoo messenger, dari anakku yang saat ini sedang kuliah di seberang, Jum’at siang itu.
”Kapan perlunya? Aku nggak ingat detilnya. Week end ini, aku bikin foto passportnya deh. Senin kukirim ya. Jadi, liat aja datanya disitu”.
”Kalo perforation number dan registration number itu apaan sih?”,
”Maksudnya apa sih?”
”Itu pertanyaan dari formulir isian perpanjangan passport”
”Coba lihat di pinggiran passport ... ada lubang-lubang kecil yang berisi huruf dan angka biasanya sama dengan nomor passport. Pasti itu yang dimaksud. Kalau Registration number, mungkin bisa dilihat di halaman terakhir passport. Ada data pemilik di situ, termasuk nomor file. Nah nomor file itu, mungkin yang dimaksud sebagai registration number”.
”Oke deh....”

Duh .... anak ini, udah gede, soal kecil begitu aja ditanyain ke ibunya. Beruntung sudah era internet, sehingga komunikasi bisa terjalin dengan cepat dan relatif murah. Bayangkan kalau masih awal tahun 80an, dimana, bahkan sambungan telpon internasionalpun masih sangat terbatas.

Dia ini betul-betul duplikat bapaknya. Kalau ada masalah, nggak perduli besar atau kecil, istrinya (perempuan) juga yang harus menyelesaikan masalah. Mereka (lelaki) cuma mau tahu beresnya saja.
***

Ini kejadian sekitar 11 tahun yang lalu, saat anak lelakiku masih kuliah di Jakarta dan sesekali ke kampus UI Depok untuk praktikum.

”Aku sudah selesai ngajar nih ... tolong dong cari anakmu untuk jemput saya di jurusan dan langsung pulang”, begitu pesan suami melalui telpon.
Kalau sudah begini, nggak ada kompromi. Si ibu mesti mencari anaknya yang entah ada di belahan kampus mana. Padahal kedua lelaki itu, masing-masing memiliki telpon genggam. Jadi mereka sebetulnya bisa langsung berkomunikasi.

Tetapi kenyataannya komunikasi untuk urusan cari-mencari dan menetapkan posisi kedua orang itu di areal kampus UI Depok yang konon katanya seluas 300ha itu masih membutuhkan ”mediator”. Jadilah si ibu sibuk telpon dari yang tua, lalu disambung ke yang muda sampai akhirnya konfirmasi didapat dari keduanya, bahwa mereka sudah bertemu dan sudah dalam perjalanan pulang ke rumah, bersama.

Kondisi yang agak mengganggu waktu dan konsentrasi kerja ini bukan satu dua kali terjadi. Sudah jadi rutinitas setiap kali mereka saling mencari. Tidak itu saja, si suamipun terkadang menelpon istrinya, manakala dia mencari dompet, telpon atau stnk mobil yang ”ketlisut” entah dimana. Padahal, sungguh mati ... kesemuanya adalah barang-barang pribadi dan harusnya, prosedur keberadaannya sudah menjadi SOP (standard operating procedure) pribadi yang diterapkan setiap hari saat akan meninggalkan rumah.
***

Kesemuanya itu adalah sekelumit cerita yang menggambarkan hubungan/kedekatan/keterikatan antara anak (perempuan maupun lelaki) dengan ibunya dan hubungan/kedekatan/keterikatan antara suami dan istri. Dari kedua bentuk hubungan itu, terlihat kecenderungan bahwa perempuan/istri/ibu menjadi figur sentral. Saya teringat pada obrolan dengan anak lelaki saya sekitar 16 tahun yang lalu, saat dia masih duduk di bangku SMP.

Pertanyaan dilontarkan itu, sebetulnya dipicu oleh keingintahuan sekaligus membuktikan perkataan ArSa[3] bahwa lelaki, seberapapun usianya, sangat mengharapkan ibunya (perempuan) berada di rumah saat dia pulang dari manapun. Itu yang menyebabkan ArSa, saat masih duduk dibangku SMP meminta ibunya berhenti bekerja dan hanya menjadi ibu rumahtangga saja. Dia juga tidak mengijinkan ibunya aktif di Dharma Wanita di instansi tempat bapaknya ArSa bekerja sebagai pejabat tinggi negara). Padahal, saat itu, Suharto sedang dalam masa jayanya dan Ibu Tien ”mengharuskan istri aktif di Dharma Wanita dengan dalih untuk menunjang karier suami.

Pertanyaannya begini;
”Kalau bisa memilih ...kamu lebih suka punya ibu yang bekerja atau ibu yang ada di rumah saat kamu pulang sekolah?”
”Ibu yang ada di rumah!” jawabnya cepat, tanpa pikir panjang.
”Lho ... kok gitu? Kenapa? Kan enak dan bangga punya ibu yang bekerja. Apalagi bisa membelikan ini-itu buat anaknya”
”Iya juga sih .... tapi, kan lebih enak kalo pulang sekolah ada ibu yang nyambut di rumah...”

Nah lho....!!!! Kalau begitu yang ada di pikiran anak lelaki (dan pasti juga di pikiran anak perempuan), mungkinkah begitu juga yang ada di pikiran para suami?. Perempuan, apakah statusnya ibu atau istri, ternyata memiliki fungsi yang sangat sentral. Menjadi pusat roda kegiatan rumah tangga.

Adakah para perempuan (ibu) menyadarinya sehingga mau mengerti bahwa kebutuhan anak bukan hanya sekedar pemenuhan materialistis, tetapi juga pemenuhan rohani berupa ”kehadiran” fisik, sentuhan/affeksi dan perhatian yang penuh tanpa mediator (pengasuh). Mungkin ada banyak perempuan yang sadar akan hal ini, tetapi ego dan keinginan untuk ”exist”, aktualisasi diri, secara perlahan mengikis kesadaran itu. Atau minimal, membuat perempuan (ibu) serasa berada selalu di persimpangan jalan dalam menata kehidupannya.

Menjadi ibu rumah tangga atau menjadi wanita bekerja. Memilih keduanya agar berjalan seiring, seringkali memicu masalah. Apalagi bila karier (lebih tepat penghasilan) yang diperolehnya, menyumbangkan kontribusi yang cukup besar dalam kehidupan dan kemapanan rumahtangganya. Bila anak dengan sangat terpaksa menerima kondisi bahwa ibunya bekerja dan hanya memiliki waktu yang sempit untuknya, maka lain halnya dengan suami. Defisit perhatian, sentuhan dan afeksi, seringkali dicarinya di luar rumah dan seringkali mengakibatkan perselingkuhan. Padahal, seharusnya suami (lelaki) mau mengerti dan menyadari, istripun (perempuan) juga membutuhkan perhatian, sentuhan dan afeksi. Sama saja.... Lebih jauh dari itu, perempuan, sesuai dengan kodratnya, butuh perlindungan dan pengayoman dari suami. 

Kelihatannya, membangun komunikasi, menterjemahkan kebutuhan ”partner” (suami-istri atau orangtua-anak) dari sudut pandang mereka untuk menumbuhkan rasa saling mengerti, saling percaya, dan bukan menterjemahkan keinginan ”partner” sesuai interpretasi kita, bukanlah hal yang mudah. Dan kita seringkali terjebak oleh segala theory yang diperoleh dari bahan bacaan sehingga seolah-olah sudah mengerti kebutuhan partner kita, padahal sesungguhnya kita hanya mengerti kebutuhan pribadi saja.

Duh berat juga ya... Tenyata menuliskannya, juga membuat aku harus mengintrospeksi diri sendiri. Apa yang sudah kulakukan buat keluarga, terutama buat anak. Karena keharmonisan hubungan pasangan suami istri dan hubungan antara orangtua dengan anak, akan menjadi cermin bagi anak-anak saat mereka kelak meniti rumah tangga..

reedit 27 Januari 2012

PENDIDIKAN para PENDIDIK

Bosen ngomongin politik dan kejahatan ya?! Bayangkan ... belakangan, yang diomongin kejahatan, korupsi dan politik terus. DAri mulai tertangkapnya petinggi eh sekarang sudah mantan petinggi/anggota DPR ya, nyonya sosialita, lalu perang argumen para tersangka korupsi wisma atlet di Palembang.... Padahal pesta oleh raga SEA Games nya sudah selesai dengan gegap gempita. Lalu minggu terakhir ini, ramai diberitakan "pembantaian" 9 nyawa di salah satu trotoir jalan di wilayah Jakarta Pusat. Di kantor, di jalan, di tempat kursus, koran, majalah, tabloid, berita di tv, talkshow, infotainment apalagi. Pro dan kontra, nggak ada yang mau kalah. Masing-masing dengan argumentasinya. Apapun dalihnya ... semuanya bermuara pada hilangnya "rasa dan nurani" kita sebagai manusia yang beradab. Kondisi ini tentu tidak terjadi seketika, tetapi telah berlangsung sedemikian lama. Apa yang terjadi saat ini adalah akumulasi dari berbagai masalah di masyarakat yang selama ini terperangkap dalam "tiran" rezim otoriter. Saat terjadi "reformasi" yang sepertinya sekarang menjadi salah kaprah, semua yang selama ini terperangkap meledak tak terkendali dalam berbagai bentuk. Seperti "amarah" yang tersekap bagai api dalam sekam ... Menjalar kemana-mana hingga ke pelosok daerah terpencil sekalipun. Akan tetap seperti itukah masa depan anak-anak kita? Mungkin salah satu caranya adalah "kembali lagi ke rumah" atau lingkungan kecil di sekitar kita. Bagaimana mendidik anak-anak, laki-laki ataupun perempuan, agar mereka kelak memperoleh persepsi yang benar atas ajaran agamanya, norma dan etika hidup serta tradisi atau sekarang lebih dikenal sebagai "kearifan lokal". Nah yang berkaitan dengan pendidikan ini, saya punya sedikit cerita...; begini nih.... Sabtu beberapa waktu yang lalu, Budi nggak masuk untuk ngajar bahasa perancis. Katanya ada tugas keluar negeri … Jadi Mr. NY yang nggantiin dia. (sayang Budi nggak pernah bawa oleh-oleh buat murid-muridnya yang ditinggal pergi hehehe.... Mungkin lelaki biasa begitu ya? Nggak care dengan sekitarnya..., kecuali sama perempuan cantik). Dulu, kelas saya pernah diajar Mr. NY ini, selama satu semester. Duh ... bosen banget deh ... kelasnya nggak ”hidup”, jadi terasa membosankan. Makanya, waktu saya melihat NY duduk di meja depan, sempat terpikir untuk masuk dan bergabung ke kelas yang satunya lagi ... kelasnya Elisabeth. Tapi ... otak saya yang sebelah lagi, yang masih ”bersih” melarang saya untuk melakukan kekonyolan itu dan mengingatkan.. kok jahat banget ya, gue. Kan kita nggak boleh berpikiran buruk terhadap orang lain. Nggak ada salahnya untuk masuk kelas seperti biasanya. Siapa tahu ada hal baru ... Nah berbekal dengan pikiran bersih, saya akhirnya masuk kelas seperti biasa. Topik yang diangkatnya pagi itu, tentang sistem pendidikan di Perancis, yang konon disesuaikan dengan sistem pendidikan yang berlaku umum di negara-negara Union Europeene, yaitu LMD alias license (3 tahun) – Master (2 tahun) – Doctor (3 tahun). Mr NY memang sebagaimana seluruh pengajar di CCF, pernah mengenyam pendidikan atau minimal short course di Perancis. Topik ini cukup menarik. Maklum saja, ada banyak ibu-ibu dalam kelas yang anaknya sudah atau sedang sekolah di SMA. Tentu, mereka tertarik dengan sistem pendidikan di Perancis. Siapa tahu ada rejeki yang cukup dan anaknya ingin sekolah di negaranya Nicholas Sarkozy dengan istrinya yang mantan model itu. Jadi sudah ada bekal pengetahuan tentang sistem pendidikan di negara tersebut. Mr. NY menerangkan bahwa di negara-negara maju, terutama di Perancis, sekolah/universitas yang menghasilkan guru (semacam IKIP – jaman dulu) termasuk sekolah-sekolah yang ”high quality” sehingga mahasiswa yang kuliah di situpun termasuk top ranking. Hasilnya bisa dipastikan; guru-guru sekolah di Perancis termasuk orang-orang berkualitas. Terlebih lagi, tentu, bila dibandingkan dengan di Indonesia. Sepengetahuan saya, sejak dulu, yang namanya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan – IKIP[1] bukan menjadi pilihan utama dari para lulusan SMA. Sedikit sekali mahasiswa IKIP yang dengan sadar diri mendaftarkan ke IKIP dengan niat tulus ingin mengabdikan dirinya kelak dengan menjadi guru. Sebagian besar dikarenakan IKIP atau Universitas Negeri di bidang pendidikan dipilih karena statusnya negeri sehingga biaya kuliahnya lebih murah dibandingkan dengan masuk universitas swasta yang "berkelas". Hal ini mungkin masih berlangsung hingga saat ini. Dengan kata lain ... Mr NY mengakui bahwa sebagian mahasiswa IKIP[2] (beliau pengajar di tempat itu) adalah mahasiswa dengan kualitas nomor 2, yaitu sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus dalam saringan ujian masuk lima universitas incaran utama anak-anak SMA seperti UI – ITB – UGM – Airlangga – IPB. Bahkan juga universitas lapis ke dua di pulau Jawa seperti Brawijaya dan Pajajaran atau bisa jadi lebih buruk dari itu; mahasiswa yang terdaftar di IKIP belum tentu sejak awal berniat menjadi guru. Daripada tidak menjadi mahasiswa, apalagi mahasiswa universitas negeri, masuk IKIP masih lebih baik. Tak ada rotan, akarpun jadi. ”Ini menjawab sebagian pertanyaan, mengapa kualitas pendidikan dasar dan menengah di Indonesia menjadi sangat amburadul. Bagaimana mungkin kita mendapatkan kualitas murid yang baik bila murid-murid tersebut diajar oleh sebagian besar lulusan dari universitas yang mahasiswanya merupakan mahasiswa kelas dua, sisa-sisa dari Universitas umum” "Pemerintah, mungkin harus mengevaluasi lagi kebijakannya mengenai pendidikan anak-anak. Kalau memang pendidikan dasar/menengah dianggap penting, maka kualitas instansi pendidikan untuk para pendidik harusnya merupakan pendidikan yang mampu menjaring orang-orang dengan kualitas prima. Orang-orang yang memang sejak awal berniat menjadi guru. Lalu, kenapa IKIP harus diganti menjadi UNJ, instistusi pendidikan tinggi umum. Akibatnya, tidak ada lagi institusi yang mengkhususkan diri sebagai tempat pendidikan bagi para pendidik. Padahal bukankah pendidikan untuk para pendidik tidak bisa disamakan dengan pendidikan universitas umum? Atau mungkin pemerintah tidak mengganggap pendidikan anak-anak kita, suatu hal yang maha penting bagi bangsa ini?" ”Konon perubahan itu disebabkan karena adanya protes dari mahasiswa dan lulusan IKIP yang merasa dianaktirikan. Pada setiap lowongan kerja di berbagai instansi selalu dicantumkan persyaratan lulusan dari universitas. Jarang ada lowongan yang mau menerima lulusan IKIP. Padahal .. banyak lulusan IKIP yang berharap bekerja misalnya di DEPLU, mais croyez moi, quoi que ce soi ... pendidikan di UNJ masih tetap pendidkan untuk para pendidik. Tidak ada yang berubah” ”Kalau memang isinya/kurikulumnya tidak berubah, kenapa ”packaging”nya diganti? Itu kan sama saja dengan mengaburkan sesuatu ... bahasa terangnya menipu masyarakat. Mestinya ... alumni IKIP itu, ya menjadi pendidik.... Bukan jadi diplomat atau pegawai di departemen lainnya” ”Idealnya begitu ... tapi pada kenyataannya, tidak semua mahasiswa IKIP ingin menjadi guru. Alasannya sederhana sekali ... profesi guru sangat tidak bergengsi, apalagi, guru sekolah negeri. Tugasnya yang berat, mendidik anak, tidak diimabngi dengan ”gengsi dan imbalan” yang memadai untuk hidup dengan layak”. ”Kalau begitu, kenapa harus mengubah nama? Demi gengsi semata? IKIP adalah institusi pendidikan untuk para pendidik bukan untuk para diplomat atau berbagai jabatan mentereng lainnya. Mahasiswa yang masuk ke IKIP harus tahu bahwa profesinya kelak adalah guru, bukan yang lainnya. Kalau masalahnya berkaitan dengan gengsi atau penghasilan, maka bukan institusinya yang diganti menjadi universitas umum, tetapi gengsi dari profesi sebagai guru itu yang harus ditingkatkan agar orang mau secara sukarela menjadi guru sebagaimana profesi lainnya yang dikejar dan dipilih masyarakat.”. ”Tidak semudah itu ...” ”Memang tidak mudah ... tapi tidak ada suatu hal hal tidak mungkin kalau ada kemauan untuk melakukannya. Sebut saja ... apa yang menjadikan profesi guru tidak menarik? Karena gaji dan fasilitasnya tidak memadai? Kenapa tidak ditingkatkan gajinya, fasilitasnya dan lain sebagainya. Kalau pemerintah mampu memberikan gaji yang relatif tinggi bagi pns yang bekerja di departemen keuangan (direktorat jenderal Pajak, Bea dan Cukai dll), tentu hal yang sama juga bisa dilakukan untuk pns di departemen lainnya khususnya untuk guru. Kan anggaran bidang pendidikan sudah disetujui secara bertahap menjadi 20%. Jadi secara teoritis, kalau pemerintah mau dan tahu betapa pentingnya pendidikan anak-anak, maka semuanya bisa dilakukan secara bertahap. Malu deh sama Malaysia! Tahun 60 – 70 an, guru dan dosen dari Indonesia diundang mengajar di sana. Mahasiswa dari Malaysia banyak yang belajar ke Indonesia. Sekarang keadaan terbalik 1800, kita yang belajar ke Malaysia . ” Semoga semakin banyak orang yang berpikir seperti itu.... Pendidikan di Indonesia memang masih terus-terusan mencari bentuk, sampai akhirnya semakin terpuruk dan tidak jelas arah tujuannya” Begitulah isi sebagian obrolan kami saat itu. Tentu dengan bahasa Perancis yang terbata-bata, karena banyak kosa kata yang seringkali tiba-tiba hilang dari kepala saat dibutuhkan. Obrolan itu terputus begitu saja, tidak ada kesimpulan ... Ini kelas ”Conversation” bahasa Perancis, Pesertanya tentu tidak diharuskan untuk berdebat mengenai sistem pendidikan di Indonesia, tetapi diharapkan untuk berbicara dalam bahasa Perancis sekaligus memberikan opini. Kalau mau...... Tapi, sungguh deh, sejak lama, saya merasa prihatin dengan masalah ini. Kira-kira 15 tahun yang lalu, saya punya teman kantor yang istrinya lulusan IKIP – Pendidikan Teknik Sipil. Alih-alih menjadi guru di sekolah kejuruan (STM), dia malah bekerja di kantor konsultan struktur. Alasannya tentu saja mudah diduga .... gaji yang kecil dan menjadi guru tidak memberikan prospek masa depan yang cerah. Sedih ya......Memang, nggak semua mahasiswa IKIP mempunyai motivasi seperti itu. Saya percaya masih banyak mahasiswa IKIP, terutama untuk IKIP yang di daerah (terutama dari Jogya) yang betul-betul memiliki niat tulus menjadi guru. Seperti hampir seluruh guru SMA saya dulu di Xaverius Jambi. Mereka, sebagian besar lulusan IKIP Sanata Dharma Yogyakarta, adalah guru-guru yang sederhana dan penuh dedikasi. Mungkin mahasiswa IKIP yang materialistis adalah mereka yang kuliah di IKIP Jakarta/UNJ. Maklumlah.... penduduk metropolitan ini memang sangat materialistis. Semoga pemerintah mau mengerti masalah ini agar gengsi dan penghasilan dari orang-orang yang berprofesi sebagai GURU bisa setara dengan profesi-profesi lainnya. Sehingga profesi ini menjadi pilihan sepenuh hati dari anak-anak pintar Indonesia yang sama gengsinya dengan pilihan menjadi sarjana teknik atau kedokteran atau fakultas lainnya. Reedit on saturday, 16th december 2006, at 05.45 pm and 27th January 2012

Minggu, 15 Januari 2012

Poligami ....?

Pernikahan Abdullah Gymnastiar yang lebih dikenal sebagai Aa Gym dengan janda cantik beranak 3, yang konon keponakan mantan Presiden RI ke 3 BJ Habibie, beberapa waktu lalu memang sangat menghebohkan. Semua orang tiba-tiba angkat bicara. Isu poligami jadi menghangat kembali. Milis, koran, majalah, radio apalagi infotainment di tv, ramai memberitakan cerita seputar pernikahan ke 2 si Aa. Bahkan presiden RI lantas ikut sibuk memanggil Menteri Pemberdayaan Wanita DR Meutia Hatta untuk mengkaji kembali dan berniat memperluas cakupan penerapan PP no 10.


Yang tidak kalah menghebohkan juga, pada saat yang hampir bersamaan beredar video hubungan intim di luar nikah antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat Yahya Zaini dan Maria Eva yang sebenarnya telah berlangsung beberapa tahun yang lalu.. Terungkapnya hubungan gelap tersebut ini makin meramaikan pro dan kontra hubungan antara lelaki menikah dengan the other woman. Betul-betul langsung menohok .... Dua ekstrimitas. Legal versus ilegal. Dari sudut pandang saya, keduanya berawal dari “Perselingkuhan”. Yang satu berakhir secara legal melalui lembaga poligami, satunya lagi tetap illegal dan berakhir dengan membawa ”gunung es” dendam yang kemudian meledak melalui video intim tersebut.

Yang pro poligami, tentu mengeluarkan ”berbagai” jurus berupa ayat-ayat Al Qur’an dan hadist-hadit pendukung. Begitu juga yang kontra. Tapi, karena sebagian besar para penafsir al Qur’an adalah dari jenis kelamin lelaki, maka ayat-ayat dan hadist yang beredar tentu nuansanya sangat maskulin à pro poligami. Tidak ada satupun yang sifatnya feminin alias menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis dari sudut pandang ”kepentingan” perempuan.

Sebagai perempuan, rasanya sebel banget atas ke dua peristiwa ini dan pro – kontra yang menyertainya. Menurut saya ... semuanya berujung pada masalah sekwilda – sekitar wilayah dada dan ketidakmampuan lelaki menahan nafsu syahwatnya. Padahal .... masih menurut saya lho ... Manusia (jaman sekarang) yang mulia dan layak dihormati adalah Manusia yang mampu menahan nafsu syahwatnya (dalam bidang apapun juga), pada saat dia mampu melakukan apapun juga.

Misalnya saja ... lelaki yang kukuh mempertahankan monogami saat keadaan memungkinkannya untuk melakukan poligami (dia kaya raya sementara istri mandul atau sakit). Atau orang yang kaya raya, tetapi dia mampu hidup bersahaja, secukupnya seraya mendedikasikan seluruh harta dan karyanya semata-mata untuk kegiatan di jalan Allah SWT. Berharap ridho Allah SWT semata.

Nah rasa prihatin itu, agak terobati saat saya membaca artikel BENARKAH POLIGAMI ITU SUNNAH, yang ditulis oleh Faqihuddin (kalau tidak salah) di suatu blog di multiply. Jadi artikel itu saya forward ke salah satu milis perempuan yang saya ikuti. Maksud kerennya sih .... mengajak anggota milis untuk memandang tafsir ayat/hadis tentang Poligami dari sudut lain yang lebih kritis.

Awalnya, saya memang nggak tahu dan nggak menyelidiki siapa Faqihuddin itu. Cuma tahu (dari artikel itu) bahwa dia adalah dosen IAIN dan lulusan Damaskus – Syiria. Sayang ... rupanya members milis itu kurang berkenan dengan tulisan tersebut. Alih-alih berdikusi dengan sehat, saya jadi merasa dihujat dan prihatin karena ada salah satu anggota yang melihat saya sebagai orang yang ”salah jalan”. Padahal ... sungguh mati, saya nggak ngomong apa-apa kecuali mem forward tulisan itu. Pada prinsipnya, saya mengerti dan bisa menerima konsep POLIGAMI menurut Islam dalam konteks untuk perlindungan perempuan. Tetapi ini tidak berarti saya setuju dengan penerapannya di masa sekarang yang terlihat lebih mengutamakan "pemuasan syahwat" lelaki.

Jaman diturunkannya ayat-ayat Al Qur’an dan masa kehidupan Rasulullah SAW itu sangat berbeda dengan jaman sekarang. Keimanan dan ketakwaan manusianya juga berbeda. Mana mungkin manusia sekarang mampu punya kualitas ketakwaan yang sama dengan Rasul dan para sahabatnya sehingga mereka merasa mampu menjalankan poligami sebagaimana Rasul. Atau mungkin para pelaku poligami itu sudah merasa kualitasnya sebagai manusia sudah setara dengan Rasul, sehingga mereka merasa punya hak melakukan apa-apa yang dilakukan Rasul (sunnah Rasul) secara serampangan. Pernahkah mereka mengkaji asal-usul setiap pernikahan Rasul dengan para istri-istrinya .....? Apakah mereka pernah pula mengkaji, bagaimana Rasulpun pernah kerepotan dengan ”persaingan” antara istri-istrinya?

Kalaupun niat berpoligami dilakukan dengan alasan mengikuti sunnah/perilaku Rasul, ada baiknya mengikuti perilaku dan keshalehan Rasul terlebih dahulu, yaitu minimal masa umur 20 tahun sampai beliau berumur 55 tahun, yaitu semasa hidup membujang sampai dengan meninggalnya Khadijah binti Khuwailid untuk kemudian beliau menikah lagi 3 tahun setelah meninggalnya Khadijah? Mengikuti segala ibadahnya, kejujuran, konsistensi, keteguhan dalam memegang amanah, integritas, kesabaran dan banyak lagi perilaku Rasul yang dijadikan tauladan bagi umat manusia. Kalau kesemuanya sudah diikuti ....baru pantaslah seorang lelaki mengikuti sunnah/perilaku Rasul dalam berpoligami. Jangan hanya meniru kehidupan rumah tangga (poligamis) Rasul semasa 8 tahun sebelum beliau meninggal dunia dalam usia 63 tahun saja, yang menjadi obyek untuk diteladani?

Kok enak banget ya...., Apakah perilaku Rasulullah selama 28 tahun mengarungi kehidupan monogami bersama Khadijah binti Khuwailid tidak patut diteladani? Padahal .... pada jaman tersebut, poligami dan harem bagi orang kayan adalah hal yang sangat biasa. Pada periode tersebutlah beratnya kehidupan dan perjuangan Rasul dalam menyebarkan mengembangkan agama Islam.

Setelah Khadijah meninggalpun, Rasulpun masih menduda hingga +/- 2 tahun hingga masa para sahabat ”memaksa” beliau menikah kembali agar anak-anak[1] beliau ada yang mengurus dan beliaupun memiliki pendamping dalam menghadapi perjuangan berat menyebarkan ajaran Islam. Demikianlah, karenanya, Rasul akhirnya menikah dengan Saudah binti Zam'ah[2] .

Baru setelah pernikahan ke dua itulah, kemudian selama 8 tahun sampai dengan wafatnya Rasul SAW, menikahi beberapa perempuan. Masing-masing dengan berbagai pertimbangan khusus. Beberapa di antaranya berkaitan dengan penerapan kandungan al Qur’an. Tentu sah-sah saja bila sementara orang menafsirkan bahwa pada dasarnya Rasul berperilaku monogami (di tengah masyarakat Arab yang poligamis) dan hanya karena ”kewajiban” beliau dalam memberi contoh kepada umat dalam berperilaku sesuai dengan ”arahan” Allah SWT, di dunia inilah maka beliau melakukan poligami.

Berkaitan dengan ”teladan” Rasul mengenai poligami ini, adakah para pelaku poligami sudah betul-betul mengikuti teladan Rasul yang lainnya, yaitu .... segala perilaku Rasul selama berumah tangga dengan Siti Khadijah. Apakah dalam memilih istri ke dua – ketiga dan seterusnya, para pelaku poligami itu juga sudah mengikuti teladan Rasul ..... Istri kedua Rasul, Saudah binti Zam'ah adalah janda tua yang sama sekali tidak cantik. Begitu pula dengan istri-istri beliau lainnya, kesemuanya janda, kecuali Aisyah RA. Bahkan ada pula yang nerasal dari budak yang dimerdekakan.

Kebanyakan pelaku poligami saat ini lebih memilih perempuan muda atau janda cantik untuk disunting sebagai istri ke dua. Jarang, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada pelaku poligami karena niat "menolong janda tua yang miskin dan anak-anak dhuafa". Padahal ... justru merekalah yang perlu dibantu, dilindungi dan dinikahi ..... Ada banyak janda miskin, banyak anak yang lebih butuh perlindungan. Itu kalau kita, secara konsekuen, mau mengikuti sunnah/perilaku Rasul lho!

Jadi .... dimana letak alasan “mengikuti sunnah Rasul” yang sering digembar-gemborkan oleh para pelaku poligami. Itu betul-betul tafsir Al Qur’an dan Hadist yang bias gender ... yang terlalu maskulin. .. Sak’ enak’e dewe...!!! Sorry to say ..... bagi saya pribadi ... poligami masa kini lebih banyak pertimbangan “syahwat” daripada mengikuti sunnah Rasul. Konyol betul ..... teladan baik yang diperlihatkan Rasul dalam melakukan poligami, ditafsirkan serendah itu.

Sangat disayangkan, intelektual perempuan muda jaman sekarang ikut terjebak dan terbelenggu dalam penafsiran bias gender tersebut. Belum ada intelektual muslimah yang berani memulai membuka wacana penafsiran baru. Kelihatannya ada ”ketakutan” untuk menfsirkan sesuatu yang ”berbeda” dengan yang sudah ada. Takut di cap sesat, takut dihujat dan lain-lain. Padahal .... bukankah Islam adalah agama yang relevan untuk segala jaman ... rahmatan lil alamin ... dan yang terpenting adalah .. Agama bagi orang-orang yang berpikir.

Pemikiran seperti ini bukan dengan maksud sok pintar ... Saya cuma sebutir pasir tak berguna, bila dibandingkan dengan dai/daiyah, alim ulama. Apalagi bila dibandingkan dengan ahli tafsir dari belahan dunia manapun juga. Saya hanya berpikir .... bukankah para dai/daiyah, alim ulama, ahli-ahli tafsir itu juga manusia biasa ... yang punya nafsu, ambisi, khilaf dan silap. Bukan tidak mungkin kekurangan ini terjadi saat mereka menafsirkan kandungan Al Qur’an dan Hadist.

Jadi ... kalau kita meyakini bahwa kandungan Al Qur’an bisa menjawab persoalan manusia hingga akhir jaman, maka tafsir Al Qur’an secara periodik harus dikaji kembali dan disempurnakan. Jangan lupa .... yang sempurna itu adalah Al Qur’an yang merupakan firman/wahyu dari Allah SWT. Sementara tafsir adalah buah pikiran manusia yang ”mungkin” sarat dengan kesalahan.

Wallahu’ alam.
Semoga Allah SWT mengampuni kesalahan saya (bila ada) dalam menafsirkan poligami.
Diedit kembali pada tanggal 9 desember 2006 jam 14.30 di Lebak bulus

[1] Dalam pernikahannya, Rasul SAW hanya memiliki 6 (enam) orang anak dari siti Khadijah yaitu Qasim, Abdullah, Zainab,Ruqayyah, Ummu Kultsum dan Fatimah Az Zahra dan 1 orang anak dari istrinya yang berasal dari Mesir, bernama Mariyah al Qibtiyah yang diberi nama Ibrahim. Ibrahim kemudian meninggal dunia dalam usia 1 tahun.
[2] Di dalam sebuah referensi dikatakan bahwa pernikahan beliau dengan Saudah binti Zammah terjadi lebih dahulu, baru kemudian Rasul menikahi Aisyah binti Abu Bakr. Namun karena Aisyah masih di bawah umur, maka Aisyah baru bergabung di rumah Rasul 3 tahun kemudian. Selama masa tersebut, Rasul hidup monogami dengan Saudah binti Zammah. Dalam Referensi lain, dikatakan bahwa Aisyah dinikahi lebih dahulu daripada Saudah tetapi bergabung/serumah dengan Rasul 3 tahun kemudian.

Kita dan Ritual Agama


Bahasa agama adalah bahasa nurani dan spriritual. Perintah Allah SWT selain harus dilakukan dalam bahasa ragawi, tetapi yang lebih penting adalah niat dan keikhlasan. Inilah bagian yang tidak bisa kita sembunyikan dari Allah SWT.

Selama ini, kita seringkali terjebak pada simbologi dan ritual di permukaan saja, namun hal yang terpenting, yaitu esensi perintahNya seringkali terabaikan. Ini ilustrasi yang seringkali saya temui dalam kehidupan sehari-hari ;

Anda yang pernah melaksanakan ibadah umroh/haji, mungkin pernah berpapasan, beriringan dan kemudian memperhatikan “bacaan-bacaan” doa saat melaksanakan thawaf dan sai dengan berbagai bangsa dan logat bahasa. Pernahkah memperhatikan bagaimana orang-orang yang berasal dari Turki mengucapkan Allahu Akbar? Ternyata ... mereka mengucapkannya “ Allahu Ac-bar” dengan lafadz “c” alias bukan ”akbar”. Padahal di Indonesia, ustadz/ustadzah mati-matian mengajarkan kita untuk tidak boleh salah melafadzkan huruf-huruf arab apalagi kala membaca al Qur’an.

Tidak perlu jauh-jauh ke Turki, bagaimana dengan saudara kita yang berasal dari ranah Sunda. Bukankah mereka juga merasa kesulitan untuk melafadzkan “fa”? Bagi mereka, fa, pa dan va, semuanya sama saja dan dilafadzkan sebagai “pa”. Salahkan mereka? Apakah Allah SWT hanya mengerti bahasa Al Qur’an yang dilafadzkan sebagaimana orang Arab asli melafadzkannya? Kalau begitu, kasihan sekali orang Cina yang tidak mampu melafadzkan ”ra”. Bagaimana pula dengan Turkish yang melafadzkan Allahu Acbar dan bukan Allahu Akbar? Bukankah orang Indonesiapun masih memiliki ”logat” asli dan tidak akan mampu membaca al Qur’an dengan lafadz seperti Arab asli?


Di berbagai tausyiah, kita seringkali mendengar ucapan .... ”bacalah Al Qur’an, walaupun hanya satu huruf ata membaca Al Qur’an memberikan pahala yang berlipat ganda. Kalau kita tidak mampu membaca dengan lancar, mulailah walaupun tersendat-sendat karena setiap huruf yang dibaca memberikan pahala bagi yang membacanya”. Ini anjuran yang sangat baik. Tidak ada yang mengingkari. Di Indonesia, banyak orang yang mampu membaca al Qur’an dengan sangat baik tetapi sayangnya kurang mampu mengamalkan esensi al Qur’an dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Majlis Taklim bertaburan dan selalu penuh tetapi kehidupan umat Islam tidak pernah beranjak dari itu ke itu saja. Masih bergelut pada hitung-hitungan pahala dan keindahan ritual. Maksiat tetap berjalan dengan aman ...., perselingkuhan, ghibah, korupsi makin marak.

Pada suatu saat, saya ditanya oleh seorang teman .... :
”mbak, tahun ini mau menyalurkan zakat dimana, ramadhan ini? Sudah dihitung sesuai dengan nishab dan haulnya? Ingat lho ... bulan berkah bertabur pahala nih”.
Saat itu saya hanya tertawa saja seraya menjawab ...
“Kamu ini mau menjalankan ibadah/zakat dalam pengertian Lillahi Ta’ala atau karena embel-embel pahala, sih? Sama Allah SWT kok berhitung untung rugi?”.

Ada perbedaan penafsiran tentang zakat, infaq dan sadaqah, antara saya dan teman tersebut.
Seingat saya, dalam al Qur’an tidak pernah dicantumkan bahwa kewajiban yang bernama zakat/infaq/sadaqah terkait dengan waktu (haul) dan nishab. Umumnya, kesemuanya merujuk kepada perintah untuk ”Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Perhitungan (nishab) dan jangka waktu (haul) lebih merujuk kepada hadist untuk mengatur pelaksanaan. Nishab memang diperlukan agar tidak ada keragu-raguan umat mengenai besaran kewajiban zakat. Sedangkan haul, berkaitan dengan keengganan umat Islam berbagi hartanya dengan kaum dhuafa. Jadi penundaan karena rasa enggan tersebut perlu diberikan batas waktu, karena walau bagaimanapun, zakat adalah perintah Allah SWT yang perlu dijalankan dan ditunaikan dengan penuh keikhlasan. Nah ... sebagai ”iming-iming” untuk mendorong umat Islam menunaikan zakat, maka dikatakanlah bahwa apabila zakat ditunaikan pada bulan Ramadhan agar memperoleh pahala berlimpah.


Atas hal ini, ada baiknya kita semua mengkaji kembali .... Apakah zakat yang ditunaikan pada bulan Ramadhan itu benar-benar karena menjalankan perintah Allah SWT atau karena berpamrih untuk memperoleh pahala berlimpah? Dimana keikhlasannya kalau begitu? Sudah waktunya kita meyakinkan diri, bahwa zakat bisa dtunaikan kapan saja dengan pahala yang sama besar dengan pahala yang ditunaikan pada bulan Ramadhan dari Allah SWT, manakala dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Demi menunaikan kewajiban kita karena ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dibandingkan dengan niat menunaikan zakat di bulan Ramadhan karena berharap pahala yang lebih besar.

Masalah pahala Allah SWT, tidak bisa disandarkan pada ”apa yang dikatakan ustadz” tetapi semata-mata rahasia Allah SWT. Kaum dhuafa membutuhkan uluran tangan dari kaum berpunya, setiap waktu. Kebutuhan hidup untuk makan, menyekolahkan anak dan lain-lain berlangsung sepanjang waktu, bukan sesaat selama bulan Ramadhan saja. Uang (yang berasal dari zakat/infaq/sadaqah) yang diterima secara berlebihan pada bulan Ramadhan cenderung dimanfaat secara serampangan dan sangat konsumtif. Kurang optimal, untuk memperbaiki taraf hidup kaum dhuafa, sehingga kurang membawa manfaat untuk melepaskan kaum dhuafa dari jerat kemiskinan.

Wallahu’ alam
Wassalam
Lebak bulus 10 desember 2006 jam 16.30
reedit 22 Januari 2012

saya & jilbab

Tahun 1990, perempuan berjilbab masih bisa dihitung dengan jari tangan. Di antara yang langka ini, ada satu rekan kerja di bagian pemasaran. Anaknya hitam manis, lembut, santun dan cantik. Karenanya, kami tidak terlalu terkejut saat melihatnya memutuskan untuk menutup aurat, walaupun salah satu direksi perusahaan kemudian menegur keras. Untungnya, teguran keras itu tidak menyebabkan pemecatan dan rekan kerja tersebutpun tidak surut dengan niatnya menutup aurat.

Hari berjalan dan berganti minggu dan bulan. Bagai petir di siang bolong, ketika suatu hari kami mendengar kabar, rekan tersebut mengundurkan diri dari perusahaan karena hamil di luar nikah. Bayangkan ... perempuan berjilbab (pada saat jilbab belum umum digunakan muslimah), jatuh kepada perzinaan. Kami yang beragama Islam merasa terpojokkan karenanya. Direktur yang menegur rekan berjilbab tersebut, seringkali mengejek kami.

Tahun 1994, usai menunaikan ibadah haji dengan suami, perempuan berjilbab sudah mulai banyak ditemui. Sebagian besar adalah mereka sontak menggunakan jilbab saat usai menunaikan ibadah haji. Coba deh perhatikan, kalau kita (berjilbab) berbelanja ke pasar tradisional, maka para pedagang sontak akan menyapa kita dengan panggilan bu hajjah... Padahal, belum tentu perempuan yang berjilbab itu, sudah melaksanakan ibadah haji, tetapi masyarakat selalu beranggapan bahwa orang yang sudah menunaikan ibadah haji ”pasti” berjilbab. Padahal .. hal ini belum tentu benar. Jadi saat usai menunaikan haji dan saya belum menggunakan jilbab, tentu ada beberapa orang yang menyindir, baik secara tersamar ataupun terang-terangan.

Saya sendiri, saat itu berpendapat bahwa menunaikan ibadah haji adalah starting point untuk menjadi lebih baik secara bertahap. Dan perjalanan menjadi lebih baik itu bukan dan tidak perlu dilakukan dengan simbol-simbol seperti jilbab, memelihara jenggot untuk lelaki tetapi melalui perilaku yang lebih terjaga dan terus menerus secara konsisten menjadi lebih baik. Memang, ada perintah untuk ”menjulurkan kerudung, menutupi dada/aurat”, tetapi perilaku yang terjaga, menurut pemahaman saya (sampai sekarang) jauh lebih baik daripada sekedar simbol-simbol saja. Apalagi, kecuali jilbab, saya sejak lama memang sudah selalu menggunakan celana panjang dengan blous lengan panjang. Jadi sudah cukup sopan dan tidak mengumbar aurat.

Tahun 2001, 7 tahun setelah menunaikan ibadah haji saya mendapat musibah dan hampir kehilangan nyawa. Pagi itu, sebelum berangkat ke kantor saya mampir dulu di salah satu bank dekat rumah untuk mengambil uang dalam jumlah yang cukup banyak. Saat menunggu pencairan dana, seolah ada firasat buruk, saya menelpon kantor meminta agar supir menjemput saya di bank. Jadi kemudian saya berangkat ke kantor dengan supir sambil membawa uang yang jumlahnya lumayan besar. Setiba di halaman kantor, usai mengambil tas berisi uang dari bagasi mobil, seraya meminta bantuan satpam membantu membawa tas uang yang cukup berat untuk dibawa masuk kantor, saya dikejutkan oleh teriakan keras dan kilatan clurit yang hampir mengenai muka. Saya menjerit keras dan kehilangan kesadaran ... Entah apa yang terjadi kemudian ... saya hanya tersadar beberapa saat kemudian dan sudah berada di dalam kantor. Konon kata orang setelah menyerahkan atau melempar tas uang ke arah satpam, (saya sama sekali tidak mampu mengingatnya sampai sekarang), saya yang shock berat lari dengan linglung .... Hari itu dan esoknya, shock oleh kejadian tersebut, walaupun tidak ada luka sama sekali saya ”dipaksa” tinggal dirumah. Uang yang baru di ambil dari bank, seluruhnya raib.

Dua hari setelah peristiwa yang saya alami, korban lain jatuh di daerah Tebet .... Juga perempuan, dan mendapat luka bacok yang sangat parah. Seminggu kemudian, istri dekan tempat suami saya bekerja, terluka bacok oleh clurit, usai berbelanja di bilangan Radio Dalam. Otot lengannya hampir putus dan 3 jarinya nyaris lumpuh. Untunglah dengan pengobatan yang telaten selama berbulan-bulan, akhirnya jari-jarinya bisa berfungsi kembali. Sejak itu, berbagai berita perampokan terhadap nasabah bank yang terjadi di Jakarta kerap menghiasi koran. Tidak ada korban yang selamat seperti saya. Semuanya terluka, kalau mau dibilang selamat, karena beberapa di antaranya malah tewas ditembak atau kena clurit perampok.

Saya merenung dan interospeksi. Inikah teguran Allah SWT atas kelalaian saya dalam menunaikan perintahNya, terutama dalam menutup aurat? Saya memang selalu berusaha untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari, tetapi sebagai manusia, mana mungkin kita melakukannya dengan sempurna. Apalagi kalau itu berkaitan dengan perintah Allah SWT. Namun sebagaimana biasanya, saya selalu ”ingin jawaban” pasti dari berbagai peristiwa atau fenomena yang saya alami. Dalam hati saya berkata ... : ”Ya Allah, apabila peristiwa perampokan itu adalah peringatanMu agar saya menutup aurat, tentu Engkau dengan sangat mudah akan menjawabnya dengan cara ”menangkap” para perampok tersebut”.

Begitulah .. hari demi hari berlalu. Saya hampir melupakan ”permohonan jawaban dari Allah”, sampai saat suatu siang ada telpon yang disusul dengan facsimile berisi permintaan dari polres untuk membuat proses verbal tentang perampokan yang saya alami 6 bulan sebelumnya. Saya langsung tercekat ... teringat pada ”permohonan jawaban” untuk memakai jilbab. Inikah jawaban Allah?

Saya kemudian datang ke kantor polres dan bahkan sempat berpapasan dengan salah satu pelaku (ternyata komplotan perampok tersebut ada 8 orang). Uang yang dirampok berhasil terkumpul hampir seluruhnya. Hanya sebagian kecil sudah dalam bentuk barang. Keberhasilan polisi menangkap pelaku perampokan dan kesediaan pemilik uang untuk menyumbangkan pengembalian uang yang dirampok tersebut untuk kegiatan sosial, menguatkan hati saya, bahwa kesemuanya itu merupakan jawaban Allah SWT bahwa saya ”ditegurNya” untuk segera menutup aurat.

Orang boleh mengatakan bahwa itu suatu kebetulan yang terjadi berkat kerja keras polisi. Biarlah ... setiap orang boleh memiliki pendapat sendiri. Namun saya meyakini, bahwa itulah jawaban Allah bahwa peristiwa perampokan itu merupakan bentuk teguranNya atau kelalaian saya dalam menjalankan perintahNya.

Maka dua bulah kemudian, awal tahun 2002, saya mulai menutup aurat. Tentu masih belum sempurna. Masih ingin terlihat modis dan cantik. Tapi saya selalu bertekad agar setiap hari kemudian menjadi ”jihad” saya untuk selalu menjadi lebih baik dari hari sebelumnya. Insya Allah...

Minggu, 10 desember 2006 – jam 17.40 di lebak bulus

Rabu, 11 Januari 2012

Di antara dua pilihan

Krishna sudah meninggalkan Hastinapura. Demikian pula dengan para raja sekutu Kurawa. Mereka harus segera mempersiapkan para prajurit agar siap maju dalam Bharatayudha yang segera berlangsung, membantu sekutunya. Amanat yang dibebankan Pandawa kepada Krishna sebagai duta perdamaian yaitu melakukan perundingan agar Kurawa bersedia mengembalikan Indraprasta atau setidak-tidaknya lima desa saja kepada Pandawa, telah gagal total. 

Duryodana dan Kurawa sama sekali tidak akan mengembalikan sejengkal tanahpun kepada Pandawa. Demikianlah ...., Bharatayudha, perang besar di antara keturunan Bharata, sudah dipastikan akan segera terjadi.

Dewi Kunti sangat bersedih hati. Ngeri membayangkan peperangan yang akan segera terjadi. Apa yang akan tersisa dari perang besar ini, kelak? Bagaimana mungkin Pandawa Lima mampu melawan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona, guru yang sangat mereka hormati dan cintai? Dan Bhisma putra Gangga yang sangat masyhur, kakek yang disayangi dan sangat menyayangi Pandawa?. Mereka semua adalah senapati mumpuni yang tak pernah terkalahkan. Dan mereka berada di pihak Kurawa. Memang betul, Mahaguru Kripa, Mahaguru Drona dan Maharesi Bhisma tidak akan sampai hati melukai dan menewaskan Pandawa yang mereka cintai, Tetapi bagaimana dengan Karna? Anak kusir Adhirata yang telah bersumpah untuk membunuh Arjuna terkasih? Karna tentu akan berusaha menyenangkan hati dan membalas budi Duryodhana atas kemewahan, kehormatan dan kemuliaan yang dikecapnya selama ini. Apakah aku harus menumpahkan kepada Karna, segala kegalauan yang bersemayam dalam hati?. Haruskah kukatakan semua rahasia yang selama ini dipendamnya, kepada Pandawa ?: Atau ....
”Wahai putra-putraku, Terimalah segala penghinaan. Sebaiknya kita tidak usah meminta kembali Indraprasta demi menghindari peperangan....”
Namun.... bagaimana mungkin Pandawa bisa menerima usulan ini? Bukankah ini bertentangan dengan dharma para ksatria?

Berbagai pikiran dan perasaan berkecamuk di benak Dewi Kunti. Kesedihannya semakin mendalam manakala teringat akan Karna. Haruskah mereka saling berbunuhan? Rasa cinta kepada anak-anaknya dan kegalauan menjelang Bharatayudha membuatnya tak dapat tidur...
”Aku harus menemui Karna ....”
Keesokan hari, sang Dewi keluar istana menuju tepi sungai Gangga, tempat biasa Karna melakukan pemujaan pada dewata. Dari kejauhan, tampaklah sosok gagah, khusu’ bersemadi sehingga tak disadarinya kehadiran Dewi Kunti. Dengan sabar, sang dewi menunggu Karna hingga selesai.


Matahari telah terik saat Karna selesai melakukan pemujaan dan menyadari kehadiran Dewi Kunti. Kaget dan bingung melanda pikirannya, Gerangan apa yang membawa permaisuri Pandhu merendahkan diri menemui anak kusir Adhirata?
”Anak Radha dan Adhirata, kusir kereta menghaturkan sembahnya padamu, wahai Ratu Kunti. Apa yang dapat hamba persembahkan kepada Paduka?”, sapa Karna penuh hormat.
”Wahai ksatria yang gagah perkasa ... janganlah engkau merendahkan dirimu seperti itu. Engkau bukanlah anak Radha dan kusir Adhirata. Sesungguhnya, engkau putra Batara Surya – dewa Matahari yang lahir dari rahim Pritha, putri bangsawan yang terhormat.”

Karna terkejut dan tak mampu berkata-kata mendengar berita tak terduga ini, Namun penderitaan yang dialami akibat penghinaan putra-putra Pandhu selama ini, telah membuatnya keras hati dan merasa curiga akan maksud Kunti menceritakan hal ini.
”Engkau dilahirkan lengkap dengan senjata suci dan anting-anting emas di telingamu akibat keteledoran Pritha muda menggunakan mantra pemanggil dewata.”
”Wahai dewi... apa yang sesungguhnya Paduka inginkan dariku dan siapa Pritha?”
”Aduhai anakku tercinta.... maafkanlah ibumu ini, Pritha yang malang... Kemarilah anakku... marilah bergabung dengan adik-adikmu untuk memerintah Hastinapura, melaksanakan dharma seorang ksatria. Aku yakin, adik-adikmu akan merelakan tahta kerajaan untukmu, manakala mereka mengetahui bahwa engkau adalah saudara tua Pandawa....”


Karna tercekat ... tak pernah disangkanya bahwa ia adalah anak sulung permaisuri Pandhu Dewanata. Apalagi mata batinnya menerima firasat bahwa Batara Surya membenarkan pengakuan Kunti. Batin Karna bergolak, kerinduan pada kasih ibu berbenturan dengan sakit hati dan kesedihan atas nasib malang yang dialaminya selama ini.
”Ibuku... engkaukah ibuku..., Engkaukah perempuan yang sanggup membuang aku... anakmu.... bayi tak berdaya ke sungai... ? Mengapa baru sekarang kau ungkapkan rahasia ini? Tahukah ibu, engkau telah merampas dan menghilangkan hak kelahiranku sebagai ksatria. Membuatku hidup menderita dengan penuh kehinaan. Mengapa sekarang engkau mengingatkanku akan tugas-tugasku sebagai ksatria ?”.
”Maafkan aku, anakku ........ Mari kita lupakan masa silam!”.

Karna tercenung..... berbagai perasaan berkecamuk dalam hati. Keinginan membalas cinta ibu kandung yang baru diketahuinya berbenturan dengan kewajiban diri untuk melaksanakan dharma seorang ksatria ... membalas budi Duryodana yang selama ini telah memuliakannya. Kegembiraan mengetahui kebenaran atas asal usulnya terpaksa ditelannya manakala teringat betapa seringnya ia menerima hinaan para ksatria semasa hidupnya. Sebelum ia memperoleh kemuliaan dari Duryodana,

”Ibu, maafkanlah anakmu! Engkau sesungguhnya tidak mencintaiku... Kehadiranmu di sini lebih dikarenakan rasa sayangmu kepada Arjuna dan jangan kau ingkari itu!. Selama ini, aku hidup dalam naungan Duryodana dan Kurawa... Aku diangkat dan dimuliakan saat anak-anakmu menghina dan menghardikku. Dimanakah engkau saat itu...? Mengapa tak kau katakan rahasiamu pada kesempatan itu? Selama ini aku dihidupi anak-anak Dristarata. Aku dipercaya mereka sebagai sekutu yang setia. Kemuliaan dan harta yang kumiliki berasal dari mereka. Bagaimana mungkin aku meninggalkan mereka dan berkhianat saat perang pecah? Bagaimana engkau mampu menyuruhku mengkhianati dharmaku...?”
Dewi Kunti terdiam... tak mampu berkata-kata. Penyesalan selalu datang terlambat.

Karna masih menumpahkan segala perasaan yang selama ini mengcengkeram hatinya.
”Katakan ibu... apakah ada yang lebih hina daripada orang yang mengkhianati orang yang telah menolong kita? Katakan... adakah yang lebih hina daripada orang yang tak tahu membalas budi? Ibuku tercinta... aku harus membalas budi... membayar hutangku... Bila perlu, semua kubayar dengan nyawaku... Karenanya, tentu aku akan melawan anak-anakmu dalam Bharatayudha, dengan segala kekuatanku. Kalau tidak, maka aku bagaikan perampok.. yang bertahun-tahun menikmati harta kerajaan Hastinapura.”
”Aku tidak akan mengkhianati siapapun.. Aku tidak akan menipu siapapun... tidak pula menipumu, ibu.. apalagi menipu diriku sendiri. Maafkanlah anakmu ini...!”
”Oh... Karna anakku ......”
”Biarpun begitu... aku tidak akan menyia-nyiakan permintaanmu, ibu. Aku berjanji tidak akan membunuh anak-anakmu yang lain dalam peperangan kelak..., apapun yang mereka perbuat kepadaku. Namun ibu.... ini soal aku dan Arjuna... Aku atau Arjuna.... salah satu pasti akan mati dalam peperangan besar ini.”
”Wahai ibu para ksatria.... Aku berjanji, anakmu tak akan berkurang satupun juga, saat Bharatayudha usai nanti. Salah satu dari kami, Arjuna atau aku akan tetap hidup usai perang kelak dan anakmu akan tetap berjumlah lima orang. Tidak berkurang satupun juga. Percayalah...!”
Mendengar ketegasan Karna, hati Dewi Kunti semakin sedih. Ia tak kuasa berkata-kata lagi. Dipeluknya Karna dengan penuh kasih seolah melunasi seluruh hak Karna sebagai anak, yang belum pernah dicicipinya. Hatinya semakin sedih membayangkan kedua anaknya yang gagah perkasa, Karna dan Arjuna bertempur, mempertahankan dharma mereka sebagai ksatria dan saling berbunuhan. Namun diapun terharu akan keteguhan hati Karna menjalan takdir kehidupannya. Akhirnya, diapun meninggalkan sang putra Matahari yang teguh. Dengan langkah gontai Kunti kembali ke istana.
”Siapakah yang sanggup menentang suratan nasibnya? Semoga Dewata melindungimu, anakku sayang!”, doanya tulus bagi putra dewa matahari.

Lebak bulus 30 november 2006 – 23.20
Diceritakan kembali berdasarkan Mahabharata – Nyoman S Pendit dan film Mahabharata versi India.

Selasa, 10 Januari 2012

Penantian Panjang....


Tidak banyak teman dekat yang kumiliki.
Ada banyak alasan kenapa hal itu terjadi. Salah satu yang terpenting dan pasti dapat dimaklumi semua orang, adalah karena tugas bapakku yang sering berpindah kota.

Aku lahir di Jakarta dan hingga usia 9 tahun tinggal di wilayah perkampungan di belahan Jakarta Timur. Lebih tepatnya di belakang gereja St. Josep jalam Matraman Raya atau lebih banyak dikenal sebagai komplek sekolah Yayasan Marsudirini.

Sekolah TK hingga kelas 2 SD di sekolah Ibu SU, jalan Slamet Riyadi, yang dahulu kala berada di belakang pos pemadam kebakaran. Juga di Jalan Matraman Raya. Kelas 3, aku pindah ke SD Muhammadiyah di jalan KHA Dahlan, yang jalannya berada tepat di sebelah komplek Marsudirini tersebut. Aku hanya sempat bersekolah di SD Muhammadiyah tersebut, selama 1,5 tahun saja, karena 3 bulan setelah pecah peristiwa G 30 S/PKI, kami sekeluarga pindah ke Garut, mengikuti tugas bapakku.

Di SD Muhammadiyah inilah aku bertemu, berteman baik dan bahkan duduk semeja dengan Siti Nurbaya. Siti Nurbaya yang mungil berkulit hitam manis, dengan rambut panjang dikepang dan sangat pintar. Bersamanya kami banyak menghabiskan waktu bersama setelah usai sekolah. Saling berkunjung ke rumah masing-masing, namun yang paling berkesan adalah ... kami saling memberi contekan kalau sedang ulangan yang saat itu lebih dikenal dengan cara mencongak untuk mata pelajaran berhitung atau mendikte untuk pelajaran lainnya.

Kepindahanku ke Garut menyebabkan kami tidak lagi berkomunikasi. Sangat bisa dimaklumi karena transportasi pada jaman itu memang sangat minim. Bepergian jauh tentu belum menjadi kebiasaan orang banyak. Waktu tempuh Jakarta - Garut saat itu adalah 6 jam melewati jalan raya Bogor lama, lalu menyusuri area pegunungan yang sekarang kita kenal dengan Puncak ... lalu ke Cianjur, melintasi jembatan Rajamandala yang terletak jauh di lembah gunung hingga menyusuri pegunungan kapur Padalarang, masuk ke Bandung lalu melewati Cicalengka, Kadungora, Leles, Tarogong dan akhirnya tiba di Garut. Prkatis, selama 2,5 tahun tinggal di Garut, kami tidak pernah "pulang" ke Jakarta.

Tahun 1968, bapakku dipindah tugaskan ke Karawang, saat itu aku melewati masa triwulan terakhir di kelas 6 SD hingga triwulan 1 di SMP. Jakarta sudah lebih dekat untuk dikunjungi. Namun kedekatan itu menyebabkan kami tidak pernah singgah ke rumah nenekku yang ditempati oleh keluarga adik nenekku itu. Kunjungan ke Jakarta selalu dilakukan pergi-pulang hanya untuk menyelesaikan apa yang dianggap perlu diselesaikan di Jakarta.

Saat aku duduk dikelas 3 SMP, bapakku kembali dipindahtugaskan. Kali ini ke Jambi ... propinsi yang saat iu agak "tertutup". Satu-satunya transportasi yang menghubungkan Jambi dengan Jakarta hanyalah dengan pesawat F28. Lalu lintas ke kota lain di Sumatera seperti ke Palembang - Padang atau kota-kota lainnya terlalu sukar ditempuh melalui darat. Bisa berhari-hari karena begitu jeleknya kondisi jalan raya.

Tahun 1974, kami kembali ke Jakarta. Saya bersekolah di SMA Fons Vitae, di komplek gereja dekat tempat tinggal masa kecilku. Ada banyak kesempatan untuk kembali bertemu dengan teman-teman masa kecilku. Namun rupanya tidak demikian mudahnya untuk kembali bertemu dengan mereka. Jejak langkah teman masa kecilku sudah semakin tak terdeteksi. Ada signal sedikit tentang teman masa kecilku Siti Nurbaya. Konon kabarnya, dia bersekolah di SMA 8 Bukit Duri. Hanya itu dan akses untuk berhubungan dengannya belum terbuka.

1975, saat kuliah di Arsitektur - FTUI, salah satu teman satu jurusan berasal dari SMA 8. Darinya, samar-samar diperoleh kabar Siti Nurbaya.

Baya (nama panggilannya) yang selalu kukenang dengan kulit hitam manis dan rambut dijalin kepang, adalah juara kelas dan jago basket di SMA 8, saat itu kuliah di IPB. Entah karena melalui jalur PMDK atau mengikuti test langsung, tentu aku tak terlalu peduli. Satu yang pasti .... IPB merupakan salah satu perguruan tinggi yang tergabung dalam SKALU. Ini nama sistem penjaringan (test) mahasiswa baru saat itu, yang kalau tidak salah diikuti oleh UI - IPB - ITB - Gajah Mada - Airlangga.

Waktu begitu cepat berlalu ... kesempatan bertemu dengan teman-teman masa kecil baik di Jakarta, Garut, Karawang maupun Jambi relatif tak pernah terjadi. Ada keinginan untuk mencari mereka..., tapi, kemana?

Aku memang tak banyak memiliki teman dekat, Kepindahan demi kepindahan dari satu kota ke kota lain apalagi bertepatan dengan masa-masa menjelang ujian akhir sekolah, baik di SD, SMP maupun SMA menyebabkan tak banyak waktu yang dapat kugunakan untuk bermain.

Tahun pertama di kota-kota baru itu lebih banyak disibukkan dengan penyesuaian diri. Penyesuaian dengan budaya dan makanan setempat, Penyesuaian dengan bahasa dan lingkungan baik di rumah maupun di sekolah yang tidak selalu berjalan lancar. Mungkin itu pula yang menjadi sebab semakin hari, aku menjadi semakin tertutup, trauma terhadap berbagai hambatan saat penyesuaian diri sebagai anak pendatang.

Kehadiran Facebook sebagai social media networking, membuka kesempatan untuk menelusuri kembali keberadaan teman-teman lama. Itupun tidak selamanya mudah dilakukan karena generasi kami yang sekarang berumur lebih dari 1/2 abad bukanlah generasi yang melek teknologi. Sekedar menggunakan telpon genggam, jadilah....Tetapi menggunakan perangkat komputer yang tersambung dengan internet, belum tentu dilakukan oleh semua orangtua semacam kami.

Ada berbagai alasan tentunya. Salah satunya adalah akses internet yang masih sangat terbatas. Mereka yang menggunakan gadget Blackberry, masih terbantu untuk tersambungkan dengan Facebook.

1 tahun yang lalu, atas bantuan salah satu temanku dari arsitektur yang juga lulusan SMA 8 itu, aku mulai terhubungkan dengan SIti Nurbaya.

Gadis mungil, berambut panjang yang hitam manis itu rupanya sudah meniti karir begitu panjang dan begitu tingginya sebagai birokrat negeri ini. Kesulitan untuk menghubunginya pada awal "penemuan kembali" itu sempat membuatku bertanya-tanya ... akankah dia masih seperti Siti Nurbaya teman semejaku dulu saat di SD. Pengalaman panjang dan traumatis dalam menjalin kembali pertemanan dengan mereka yang sudah menjadi pejabat tinggi atau kaya raya membuatku agak kikuk dan merasa rendah diri. Namun.... kita tentu tak perlu berburuk sangka dulu, bukan....?

Itu sebab, saat kukirim pesan melalui Facebook yang menyatakan betapa keinginanku untuk bertemu dengannya bersambut dengan ajakannya makan malam, tentu kusambut dengan gegap gempita. Bukan karena ajakan itu datang dari seorang SIti Nurbaya yang saat ini menjabat sebagai Sekjen DPD, tetapi ... dia adalah teman semejaku saat di SD dulu ... Teman yang sama dan selalu berbagi contekan dan memanjat pohon jambu di halaman rumahku dulu...

Senin 9 Januari 2012, rasanya patut kujadikan salah satu hari yang bersejarah dalam hidupku... Saat kulangkahkan kaki dan menerabas kemacetan menuju plaza Senayan, tempat yang kami pilih untuk bertemu, rasanya seperti "ujian" yang mampu membuatku gemetar. Aku yang selalu ingin datang tepat waktu merasa sangat malu menyebabkan temanku harus menunggu.

Jam 19.15, tiba di depan restoran yang dipilihnya ... agak kaget, karena kedatanganku dsambut oleg seorang lelaki berpakaian dinas... oupf ..... baru aku sadar lagi, bahwa yang kutemui ini memang salah satu pejabat tinggi negara. Tentu sang ajudan wajib mengiringi dan menyiapkan apa-apa yang diperlukan....

Sambil melangkah masuk, deg-degan .... mungkin seperti orang yang baru pertama kali berkencan ...aku disambut seorang perempuan yang wajahnya sudah kuketahui melalui facebook. Memang, beruntung ada facebook, sehingga kita bisa mengenali wajah teman lama yang rata-rata sudah banyak berubah...

Malam terasa begitu cepat .... obrolan mengalir berona nostalgia ... Sesekali kupandangi wajah polosnya ... tidak se glamour perempuan sukses lainnya yang penuh topeng make up. Dia masih sederhana seperti SIti Nurbaya yang kukenal walau jabatannya sudah melambungkannya ke dalam jajaran elite birokrat negeri ini.

Bangga dan senang sekali bisa bertemu lagi denganmu ... semoga Baya yang kukenal tetap mampu menahan godaan jabatan dan tetap tegak di tengah badai yang melanda negeri ini. Good luck

Ketika Kulkas sedang bercanda....


Kamis sore kemarin, usai shalat maghrib dan makan malam, Dedeh laporan;
”Bu ... sepertinya kulkas rusak”
”Oh ya, sejak kapan?”, sahutku sambil berjalan ke dapur untuk melihat keadaan kulkas.
”Tadi pagi, jam sepuluh. Waktu saya lagi setrika, tiba-tiba dengar suara kulkas keras banget. Terus saya rapi-rapiin isinya. Siapa tahu, tombolnya tertekan sama isinya. Tapi sejak itu nggak kedengeran suaranya lagi. Lihat deh ... sore ini, semuanya mencair”

Saya melongok isi kulkas. Benar saja, bunga es yang biasanya menutupi bungkus daging, sudah mencair. Untung isinya belum mencair. Lalu saya memintanya untuk ”mengungsikan isi kulkas dapur tersebut ke dua kulkas lainnya yang ada di gudang maupun di ruang makan. Repotnya, ternyata freezer yang digudang penuh. Isinya ikan-ikan mas beku yang beberapa hari sebelumnya menggelepar kepanasan di kolam. Ini ikan hasil pancingan ibu dan adik saya. Saya nggak bisa mengeluarkan isi kulkas tanpa ijin. Kalau sang mbaurekso nggak dikasi tahu, bisa-bisa tanduknya keluar.

Jadi, malam itu saya menelpon ke Bandung, minta ijin mengeluarkan isi freezer. Kebetulan ibuku sedang menjenguk adikku yang tinggal di Bandung. Awalnya diusulkan agar salah satu adik saya itu meminta anaknya datang kerumah mengambil ikan. Tapi mana mau anaknya berurusan dengan ikan-ikan bau amis itu. Cuma iming-iming makan lasagna yang mampu membuat anak-anak abg itu bergegas datang ke lebak bulus, tempat tinggal kami.
”Kalau begitu ... diberikan ke tetangga aja deh... Kalau nggak, nanti ayam dan bakso yang baru saya beli jadi rusak”
”Tunggu. .. tanya mami dulu”.
Ternyata adik saya itu juga nggak berani ambil keputusan.
”Ya sudah ... diatur saja” sahutnya setelah mendapat “restu” dari nyonya rumah.

Segera saja dikeluarkan isi freezer. Ada 12 ekor ikan mas beku. Lumayan, mungkin ada sekitar 5-7 kg berat totalnya. Usai memindahkan isi kulkas dan membersihkannya, malam tadi Dedeh terpaksa berjalan ke beberapa rumah tetangga memberikan ikan mas beku. Entah mimpi apa si tetangga didatangi orang untuk memberikan ikan mas beku.

Pagi tadi ... usai shalat subuh, Dedeh kembali laporan ...:
“Bu .... kulkasnya udah baik lagi..., liat deh sini ...”
Saya kembali ke dapur membuktikan omongan Dedeh
“Kok bisa ya...?”
“Gak tahu deh ... Semalam, kira-kira jam 1 saya terbangun. Suara kulkasnya keras banget seperti waktu pagi. Terus saya masukin aja mangkuk air. Eh tadi waktu saya cek airnya udah beku. Lihat deh tuh ... dingin kan...!” ujarnya, sambil membuka kulkas menunjukkan uap dingin yang mengalir keluar freezer.
”Ya... baguslah... jadi kita gak perlu repot ngebetulin lagi...”
”Tapi ikan mas yang semalam itu, sayang banget ya, bu...”
”Ye ... itu ikan emas emang rejekinya tetangga... Bukan rejeki kita. Makanya Allah cari cara, bagaimana supaya ikan emas itu dikeluarin dari kulkas. Udah jangan disebut-sebut lagi... Ntar ni kulkas rusak lagi lo!!!”

3 November 2006

Maaf bu ... bu Merry nya sedang rusak...!!!

Hari-hari libur sesudah lebaran belum tentu merupakan hari libur yang menyenangkan bagi kebanyakan penduduk Jakarta. Lalu lintas kota, memang relatif lebih lengang dibandingkan hari biasa. Maklum saja, konon ada sekitar 2 juta penduduk Jakarta yang mudik ke kampung halamannya untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar masing-masing. Peminat utama golongan pemudik, sudah tentu para ”penguasa” dapur dan rumah kita, yaitu para pembantu rumah tangga. Itu sebabnya .... libur lebaran merupakan ”bencana” tahunan yang tak terhindarkan bagi para ibu rumah tangga.

Memang banyak ditawarkan pembantu pengganti sementara. Tapi dalam kondisi keamanan dan kenyamanan seperti ini, menerima orang asing dirumah, walaupun hanya sementara, tetap penuh resiko. Tidak ada yang bisa menjamin kejujuran dan niat baiknya. Alih-alih membawa solusi, malah bencana yang datang. Jadi solusi bagi orang kaya adalah berlibur keluar kota/negeri atau mengungsi ke hotel. Alternatif lainnya adalah membeli makanan siap saji yang sangat mudah diperoleh. Apalagi pertokoan modern dan grand surface/hypermall hanya tutup di pagi hari lebaran saja. Lewat tengah hari, mereka sudah buka seperti sediakala. Urusan cuci mencuci dan membereskan rumah, bisa ditanggung bersama. Ada mesin cuci dan vacum cleaner yang membantu mempercepat pekerjaan. Tinggal kemauan untuk melaksanakan. Kondisi seperti ini sekaligus sebagai ajang untuk introspeksi bagi kita agar lebih menghargai keberadaan para pembantu rumah tangga.

Lebaran tahun ini, Dedeh, untuk pertama kali selama hampir 5 tahun bekerja di rumah kami, berlebaran di kampungnya, Cihampelas-Cililin. Biasanya dia baru pulang di H+4 sampai dengan H+7, bergantian dengan Nunung adiknya. Tahun ini, karena Nunung sudah berhenti, maka kami mengijinkannya pulang kampung selama lebaran. Ijin ini tentu membawa konsekuensi pada aktifitas keseharian kami. Pasti akan ada kerja ekstra melakukan pekerjaan tumah tangga yang biasa ditanganinya. Walaupun sudah ada mesin cuci, pekerjaan tersebut tetap saja menyita waktu untuk mengeringkan dan menstrikanya. Belum lagi masak memasak. Di lain pihak, ini kesempatan besar bagi anak dan suami untuk ”memaksa” saya turun dapur. Alasannya tentu ada saja ... beli di luar enggak seenak masakan mama. Begitu selalu alasan mereka. Dan saya selalu akan memasak makanan yang mudah, tanpa bumbu yang njlimet seperti biasanya masakan Indonesia.

Pagi ini, usai membereskan kamar tidur dan memeriksa isi kulkas, saya pergi ke Carrefour Lebak Bulus. Niat utama, mencari sayur-sayuran dan buah-buahan. Yang tidak pernah tertinggal tentu saja jamur segar. Portabella, Champignon, shiitake, Shiimeji ... dan ada satu lagi bentuknya seperti jarum... panjang 10cm dengan pentul kecil di ujungnya. Ini jenis sayur yang selalu ada di kulkas dan sangat bermanfaat untuk campuran segala jenis masakan. Dari oseng-oseng, cah sampai nasi goreng.

Sore itu, menu buka puasa (hari ke 3 puasa Syawal), rencananya mau bikin mie kangkung saja. Ini makanan satu porsi lengkap, ada sayuran (kangkung), karbohidrat (mie) dan proteinnya (telur puyuh + suwiran ayam). Jadi tidak terlalu repot menyiapkannya. Buahnya, mangga harum-manis yang lagi musim dan strawberry juice. Wah terbayang deh nikmatnya buka puasa nanti.

Belanjanya orang yang sedang berpuasa seringkali ngawur. Itu sebabnya dianjurkan agar jangan berbelanja saat ”lapar”. Belanja kita, lalu menjadi melewati niat awal dan melebihi budget awal. Apalagi, sebelumnya anak gadis saya, sudah memesan untuk dibelikan ice cream Walls. Nggak tanggung-tanggung ... neapolitan, buble gum dan choco-strawberry. Yang berbau choco, pasti pesanan bapaknya. Dia memang penggila coklat.

Usai membeli keperluan dapur, mata yang lapar ini melahap Kacang madu (kacang tanah rebus yang manis). Seperti biasa, terpajang rapi di depan counter roti. Ini cemilan favorit di rumah yang disantap sehabis shalat tarawih. Dijual dalam kemasan kira-kira 250 gram, kacang madu biasanya terasa hangat. Namun kali ini, kacang madu yang tersaji, dingin. Tidak ada tanda-tanda rasa hangat seperti biasa.


"Mbak ..., kok kacangnya anyep? Nggak hangat seperti biasanya...?”, tanyaku pada seorang perempuan yang melayani pembeli.
”Iya bu ..... Maaf, bu merinya lagi rusak...”, jawabnya.
”...?????,
Dengan bingung saya lalu menjawab :
”ya sudah ... 4 bungkus deh...!”.

Sambil memperhatikan si mbak membungkus kacang madu tersebut saya menduga-duga tentang bu Meri... Siapakah dia, Pemilik jualan kacang? Kok rusak ....?. Sambil berpikir tentang bu Meri yang sedang rusak, saya memperhatikan perangkat tempat saji kacang madu tersebut. Ketika terlihat dasar tempat kacang madu tersebut, hampir meledak tawa saya. Barulah saya sadar siapa atau lebih tepatnya apa yang dimaksud bu meri dalam jawaban si mbak. Untung tawaku masih bisa ditahan, sehingga tidak memancing perhatian orang yang ramai lalu lalang.

Kasihan si mbak yang melayani penjualan kacang madu itu. Tentu dia sama sekali tidak tahu bahwa bu meri yang di maksud itu adalah ”au bain marie”. Dia tentu hanya mendengar orang bicara tentang ”au bain marie” yang di tangkap telinganya sebagai bu meri. Ini istilah Perancis untuk cara mematangkan makanan dengan menggunakan dua panci. Panci pertama diisi air panas dan panci kedua diisi dengan makanan yang akan dimatangkan dan ditaruh di dalam panci pertama yang berisi air. Cara memasak seperti ini digunakan untuk membuat caramel – puding atau mencairkan cooking – chocolat. Dan yang lazim kita lihat adalah dalam penyajian makanan di restoran atau pesta pernikahan untuk menjaga agar makanan tetap hangat, tanpa berisiko gosong.

International culinary memang banyak menggunakan istilah dari bahasa Perancis. Maklum saja, negerinya Jacques Chirac, di samping memang sangat terkenal dalam bidang wewangian (perfume) dan adi busana (haute couture) juga terkenal dalam bidang masak-memasak. Semuanya menyiratkan kualitas rasa dan penyajian yang sangat berseni. Tidak heran bila berbagai istilah masak-memasak internasional banyak mengadopsi bahasa Perancis. Sebut saja, istilah ”menu a la carte”, masakan ”Kakap a la meuniere”, ”pot au feu” dan lain-lain ...., termasuk istilah “au bain marie” tadi. Salah satu istilah makanan yang juga menghebohkan adalah istilah “cordon bleu”.

Beberapa waktu yang lalu, boss meminta saya untuk mengkoreksi barang cetakan hotel, termasuk daftar menu hotel. Nah salah satu menu yang harus dikoreksi adalah “Chicken Gordon Blue” yang menurut saya, seharusnya ditulis sebagai “Chicken Cordon Bleu”. Nama Cordon Bleu memang mengacu pada salah satu nama restoran yang sangat terkenal di Paris. Mungkin dari sanalah tercipta menu daging ayam goreng ini.

Namun apa boleh buat, koreksi tersebut malah diprotes keras oleh “penguasa” hotel, katanya :
"
"Bu .... kenapa tulisan Chicken Gordon Blue diganti?”, tanyanya melalui telpon.
”Setahu saya, istilah yang benar memang Cordon Bleu. Bukan Gordon Blue. Ini nama yang diambil dari bahasa Perancis”.
“Tapi ... saya sudah mengeceknya di Hotel “X”. Mereka menggunakan istilah Gordon Blue ... bukan Cordon Bleu! Tidak mungkin mereka salah ... Hotel itu kelasnya boutique hotel. Bukan hotel kelas melati. Saya yakin betul yang tertulis adalah Gordon Blue, bukan Cordon Bleu. Jadi jangan mengubah-ubah istilah itu seenak!!!”, nada suaranya agak mengeras.
“Ya sudah ... Terserah deh, mau pake Gordon Blue atau Cordon Bleu, isinya kan tetap sama. Filet ayam yang diisi keju dan smoke beef, dilapisi tepung panir, lalu digoreng. Lagipula, saya hanya menunjukkan istilah yang benar. Bukan ingin berdebat. Kalau anda yakin itu istilah yang benar, silakan saja menggunakannya”.

Begitu banyak istilah asing yang diadopsi dalam ucapan dan ungkapan sehari-hari. Beberapa di antaranya seperti fait accompli, a priori dan istilah lainnya seringkali salah dalam penggunaan dan penerapannya. Sehingga nuansa yang tercipta menjadi berubah. Yang seharusnya netral menjadi negatif atau bahkan salah kaprah. Usaha untuk memadankannya dengan bahasa asli Indonesia, tidak selamanya berhasil. Penyebabnya bisa jadi karena tidak ditemukan istilah yang pas atau kurang enak ditelinga dan tidak nyaman diucapkan. Atau mungkin kegemaran masyarakat kita untuk menggunakan istilah-istilah asing (walaupun salah ucap atau salah tempat) memang tidak bisa dihindari. Mungkin agar kelihatan lebih keren dan berkelas, gitu ......!!!

Lebak bulus 27oktober2006.

Minggu, 08 Januari 2012

Perkawinan Drupadi

Duryudana
Duryodana, yakin betul bahwa Pandawa dan Dewi Kunti telah terbakar hidup-hidup di Waranawata. Semua orang yakin, Pandawa berada dalam tempat peristiarahatanya di tengah malam saat api menjilat-jilat dan menerangi udara malam Waranawata. Tak ada yang melihat mereka keluar dari istana kayu yang telah disiapkan dengan rapih oleh Purochana, usai pesta meriah malam itu. Semua hangus tak berbekas.

Hastinapura gempar .. Pandawa yang dicintai tewas. Semua berduka kecuali Durjudana dan Sakuni yang memang telah mempersiapkan rencana pembakaran istana kayu dengan sangat rapi. Hanya Widura yang menerima berita tersebut dengan amat tenang. Yakin bahwa Yudistira dapat menterjemahkan pesan rahasianya dan mereka tentu sudah berada di tempat yang aman. Jauh di tengah hutan.

Ketika akhirnya Pandawa berhasil menyelamatkan diri dari upaya pembunuhan dengan cara membakar istana kayu tempat tinggalnya selama menghadiri acara upacara pemujaan Batara Syiwa, mereka memutuskan untuk mengembara di hutan. Berkelana sambil menuntut ilmu dan kesaktian. Bima yang besar dan kuat, tidak jarang harus memanggul ibunya, manakala sang Dewi merasa kelelahan, sambil menggendong Nakula dan Sadewa di lengannya yang lain. Penderitaan selama menempuh perjalanan yang penuh marabahaya dengan segala keterbatasan yang ada membuat mereka semakin bersatu. Disaksikan Dewi Kunti, Pandawa berikrar bahwa apapun yang mereka miliki akan mereka bagi rata dan nikmati bersama-sama sebagai wujud kebersamaan dan persaudaraan.

Hingga suatu hari, mereka bertemu dengan Begawan Wiyasa yang menganjurkan untuk hidup sebagai brahmana dan tinggal di Ekacakra. Mereka kemudian bersalin pakaian dan menyamar sebagi brahmana serta hidup dari sedekah masyarakat. Sekian lama mereka hidup menyamar dalam kesederhanaan agar tidak ditemukan oleh para Kurawa yang tentunya masih bernafsu untuk melenyapkan Pandawa.


Drupadi
Sementara mereka hidup damai di Ekacakra, Pandawa mendengar berita tentang sayembara memperebutkan Drupadi. Putri Mahkota Kerajaan Panchala. Menurut tradisi jaman itu, seorang raja wajib menyelenggarakan sayembara untuk mencari calon mempelai yang pantas bagi putrinya. Sayembara Agung seperti itu, dikunjungi oleh para brahmana yang berharap mendapat sedekah berlimpah sambil menikmati pertandingan hingga usainya acara pernikahan agung manakala sang putri akhirnya memperoleh calon mempelai yang sesuai.

Sebagai ibu yang bijaksana, Dewi Kunti memahami gejolak jiwa putra-putranya tatkala mendengar berita mengenai sayembara memperebutkan putri Panchala tersebut. Dengan sangat halus dan tersamar, sang dewi mengajak putra-putranya meninggalkan Ekacakra untuk mengembara ke negara Panchala yang subur makmur.

Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, merekapun tiba di Panchala dan menumpang di rumah tukang kendi sambil tetap menyamar sebagai brahmana. Tiba saat penyelenggaraan sayembara, para ksatria dari berbagai kerajaan beradu kemahiran menggunakan busur dan panah, membidik sasaran berupa burung yang tergantung di belakang roda cakra yang berputar tanpa henti. Tepat di tengah cakra terdapat lubang yang hanya dapat dilalui oleh satu buah mata panah.
Pandawa Lima
Para ksatria mencoba peruntungan untuk menyunting bunga kerajaan Panchala dalam sayembara yang dipimpin oleh Dristadyumna, termasuk Duryodana dari Hastinapura, prabu Salya, Sisupala dan Jarasandha. Semua menemui kegagalan. Bahkan adipati Karna yang kerapkali dianggap memiliki kepandaian memanah setara dengan penengah Pandawa, gagal mengangkat busur pusaka kerajaan Panchala. Para peserta ramai memprotes sayembara yang dianggap terlalu berat dan dinilai dilakukan hanya untuk mempermalukan putra mahkota yang hadir.

Di tengah keriuhan sayembara dan kekecewaan para putra mahkota kerajaan peserta sayembara, sesaat penonton terkejut kala seorang brahmana maju, meminta ijin agar diperkenankan mengikuti sayembara. Para ksatria memprotes permintaan tersebut. Brahmana tidak pantas bersaing dengan para pangeran. Namun ada juga yang gembira mendukung. Apalagi, setelah memperhatikan tingkah laku, postur tubuh dan raut wajah sang brahmana muda;
”Lihat ...dan perhatikan! Sikapnya yang mantap dan keberaniannya maju ke arena, menyiratkan bahwa dia tahu apa yang harus dilakukannya. Apalagi, seorang brahmana telah terlatih untuk memusatkan perhatian dalam semadi. Beri dia kesempatan”. 

Sang brahmana segera menghadap Dristadyumna, meminta ijin;
”Bolehkah aku mengangkat busur?”
”Wahai brahmana muda, adikku bersedia dipersunting oleh pemenang sayembara. Siapapun dia asalkan berasal dari keluarga baik-baik. Apa yang telah terucap tak dapat ditarik kembali. Silahkan mencoba”

Brahmana muda diam sejenak, mengheningkan cipta dan kemudian mengangkat busur. Perlahan-lahan dipasangkan anak panah, lalu diarahkan kepada roda cakra yang berputar. Gerakannya ringan, anggun dan tangkas. Penonton menahan napas. Nyaris tak tertangkap mata, anak panah melesat menembus lubang kecil dan mengenai sasarannya. Anak panah kedua kemudian melesat menembus anak panah pertama. Demikian pula dengan anak panah ke tiga dan seterusnya. Roda cakra kemudian terbelah dan jatuh. Keheningan yang mencekam penonton sontak pecah dengan keriuhan sorak sorai. Gamelan riuh ditabuh. Sasaran telah jatuh dan sayembara dinyatakan usai. Seorang brahmana muda dinyatakan sebagai pemenang dan berhak menikahi Putri Panchala.

Para pangeran ramai memprotes kemenangan brahmana;
”Sayembara apa ini? Pengantin lelaki tidak mungkin dipilih dari kalangan brahmana! Jika tidak mau disunting oleh ksatria, maka Drupadi harus tetap perawan sampai ia melakukan satya. Tak pantas brahmana menyunting putri raja!!”.

Akhirnya keributan pecah. Bhima segera mencabut pohon dan menghalau para ksatria. Balarama dan Krishna berupaya menyabarkan para pangeran. Sementara brahmana muda yang tak lain adalah Arjuna, meloloskan diri dan bersama dengan Drupadi dan saudara-saudaranya yang lain, kembali ke rumah untuk menemui Dewi Kunti.

Tiba di rumah, dengan riang mereka membuka pintu sambil berseru ...:
”Ibu ....., kami membawa hadiah berharga bagi ibu... Kemarilah ....”
”Wahai anak-anakku tercinta ... bagilah hadiah itu, untuk kalian berlima sebagaimana ikrar kalian...” sahut sang Dewi yang sedang asyik memasak, dari balik dinding, tanpa memperhatikan apa yang dimaksudkan dengan hadiah berharga tersebut.

Alangkah terkejut para Pandawa mendengar jawaban sang ibu. Bagaimana mungkin seorang putri raja dibagi untuk mereka berlima. Sama terkejutnya dengan Dewi Kunti, saat menyadari bahwa hadiah yang dimaksud para putranya adalah Drupadi yang baru dimenangkan dalam sayembara.

Prabu Drupada tak kalah terkejut saat mendengar laporan Dristadyumna yang mengiringi Pandawa menjemput sang dewi untuk dibawa ke negara Panchala, mempersiapkan pernikahan agung dewi Drupadi. Drupada menentang perkawinan putrinya dengan Pandawa :
”Sungguh perbuatan tak patut ... tak bermoral ... Bagaimana mungkin pikiran seperti itu merasuki pikiran kalian?”
”Daulat, paduka raja ... Maafkan kami ... Dalam kehidupan sengsara dan terlunta-lunta di tengah hutan, kami telah berikrar dan bersumpah akan membagi rata segala sesuatu milik kami. Kami tidak dapat melanggar ikrar tersebut. Ibu kami sudah memberikan restunya”.

Demikianlah..... perkawinan agung itupun akhirnya dilaksanakan antara Drupadi dengan Pandawa Lima.

Lebak bulus 28 november 2006
Disadur dari buku Mahabharata – Nyoman S Pendit dan film Mahabharata versi india

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...