Selasa, 13 Maret 2012

TELKOM dan ETIKA BISNIS

Kejadian ini sudah berlangsung 1,5 tahun yang lalu. Tapi, kalau kita perhatikan dan baca pengaduan di koran atau majalah berita, keresahan masyarakat tentang tagihan "luar biasa" ini masih tetap terjadi. Untuk itu, mari kita "sudahi" kecurangan ini.
***
Sejatinya, saya memang kurang peduli dengan detil tagihan telpon, kecuali kalau nilainya agak "luar biasa" tinggi, baru rincian tagihan dipelototi hingga detil sekali. Telpon kemana saja, berapa lama dan ke nomor mana. Maklum saja ... rumah tempat saya "menumpang" memang sangat terbuka. Saya tinggal dengan orangtua ... jadi adik-adik dan keponakan seringkali lalu lalang. Tentu sangat tidak mungkin melarang mereka menggunakan telpon.

Menuduh pembantu menggunakan telpon juga sangat tidak mungkin karena mereka sekarang masing-masing memiliki telpon genggam. Kalaupun secara sembunyi digunakan, mereka tahu persis, akan mudah diketahui. Apalagi saya tidak melarang mereka menggunakan telpon rumah, asal sepengetahuan kami. Pembayaran telponpun selalu dilakukan melalui internet banking dan seringkali dilaksanakan sebelum surat tagihan terkirim ke rumah. 

Entah kenapa, saat ibu saya menaruh amplop tagihan telpon pada minggu sore itu, saya iseng membukanya. Saat itu memang saya agak lupa, apakah tagihan sudah terbayar atau belum.

Saat membaca lembar tagihan, saya melihat tertulis pada baris pertama ABONEMEN sebesar Rp.15.000,- Wah, ada kemajuan nih ...., abonemen yang biasanya sekitar 36 ribu, turun sekitar 40% dari tarif awal abonemen. Tapi, kegembiraan itu hanya sekejap, karena pada baris kedua tercetak PAKET TAGIHAN TETAP sebesar Rp.100.000,-  Wah .... apalagi ini? Mata langsung menelusuri baris demi baris rincian tagihan dan bagian paling bawah tertulis pengurangan Paket Tagihan Tetap sekitar 23 ribu saja, sementara tagihan-tagihan lain seperti sljj, telpon lokal dan ponsel tetap tercetak dan nilainya lebih tinggi dari pengurangan Paket Tagihan Tetap tersebut.

Logika sederhana saja ... kalau sudah ada paket tagihan tetap, seharusnya pembayaran biaya telpon tidak akan lebih dari Rp.115 ribu (paket+abonemen) ditambah PPN 10%. Lalu, siapa yang mengijinkan Telkom menagih paket tersebut, karena seharusnya setiap penambahan fitur apalagi yang dikaitkan dengan penambahan/pengurangan biaya harus ada bukti tertulis permintaan dari pelanggan. 

Masih tanpa prasangka buruk kepada Telkom, saya beranjak ke kamar, menanyakan ibu saya apakah beliau yang mengijinkan adanya paket tagihan tetap tersebut. Maklum saja karena telpon tsb masih atas namanya. Namun beliau menyangkal dan memang sudah selalu saya ingatkan untuk tidak berurusan dan menolak tawaran apapun via telpon, apalagi dengan maraknya penipuan belakangan ini.

Satu demi satu, penghuni rumah saya tanyakan. Semua menjawab TIDAK PERNAH DIHUBUNGI atau TIDAK PERNAH (lebih tepat TIDAK BERANI) menerima tawaran apapun juga berkenaan dengan telpon.

Menerima jawaban seperti itu, saya kemudian menuliskan kondisi ini pada status di facebook. Ternyata, beberapa teman memang mengalami hal yang sama. Ada yang kemudian berhasil memberhentikan Paket Tagihan Tetap tersebut setelah mengajukan keberatan via 147. Yang ini memakan waktu hingga 3 bulan. Ada yang sama sekali tidak berhasil walaupun telah berulangkali menelpon ke 147.

Beberapa teman kemudian menganjurkan untuk langsung saja mengajukan keberatan ke plasa telkom, sehingga lebih cepat ditangani dan logikanya bisa langsung diprogram, karena mereka memiliki akses komputer. Masuk akal juga ...., Jadi saya pikir lebih baik datang langsung ke Plasa Telkom pada hari senin pagi sambil berangkat ke kantor.

Malam hari, sepanjang perjalan menuju undangan resepsi pernikahan, pikiran saya masih tidak bisa lepas dari Paket Tagihan Tetap yang dibebankan telkom kepada pelanggannya. Bayangkan ... pada saat penyedia layanan mobile phone  berlomba memberikan berbagai keringanan pembayaran maupun paket murah, TELKOM sebagai provider telekomunikasi tertua di Indonesia, malah "ngemplang" pelanggannya dengan paket yang tidak jelas.

Rp.100 ribu relatif kecil ... tergantung dari sudut mana kita melihat. Saya juga tidak tahu berapa banyak pelanggan telkom yang "dikadali" dengan program ini. Andaikan di seluruh Indonesia ada 23,5 juta sambungan telpon dan 10% atau 2,35 juta di antaranya dikenakan Paket Tagihan tetap, maka dari situ saja TELKOM sudah memperoleh jaminan pemasukan sebesar Rp.270,25M dari paket tagihan tetap dan abonemennya. Ditambah lagi dengan 22,5 juta dari abonemen sekitar 35ribu per sambungan sebesar Rp.740,25M atau total sebesar Rp.1,010.500.000.000,- alias lebih dari 1 trilyun. Ini belum termasuk penerimaan abonemen dari pelanggan ponsel yang tercatat sudah mencapa 81,6 juta pelanggan (data pelanggan telkom ini valid lho, karena saya membacanya dari situs telkom).

Kalau kita anggap saja pelanggan telpon seluler hanya menghabiskan rata-rata 50 ribu/bulan, maka kocek TELKOM akan bertambah lagi sebesar Rp.4.080.000.000.000,- Jadi setiap bulan, TELKOM akan menerima pemasukan sebesar Rp.5.090.000.000.000,- alias sekitar 5 trilyun. Bukan main .... Pantas saja kalau saham telekomunikasi menjadi blue chip. Jadi, sebetulnya tanpa harus "menipu" pelanggan, dengan pemaksaan pengenaan tarif PAKET TAGIHAN TETAP, pemasukan Telkom sudah sangat besar.

Maka, sepulang dari resepsi, saya menghubungi 147 dan dari situ diperoleh jawaban bahwa memang mereka memasarkan paket tersebut melalui telemarketing tetapi tidak ada kejelasan apakah benar pelanggan meminta layanan tersebut karena data pengenaan tarif Paket Tagihan Tetap tersebut, diisi oleh petugas tanpa ada petunjuk lainnya. Jadi bisa diduga, bahwa TIDAK ADA PERSETUJUAN dari pelanggan.

Senin pagi, saya sempatkan datang ke Plasa Telkom menyampaikan keberatan dan tanpa banyak tanya. Bisa jadi karena "merasa bersalah", customer service langsung memproses keberatan saya. Sedikit "keberuntungan", ternyata saya belum membayar tagihan, sehingga saya bisa langsung memhnta agar restitusi segera diperhitungkan ke dalam tagihan.

Alhasil .... setelah dihitung-hitung, saya hanya membayar tagihan sebesar 48ribu saja dari tagihan awal sebesar hampir 200 ribu. Jadi, kalau informasi customer service itu bisa dipercaya, maka selama 2 bulan pengenaan Paket Tagihan Tetap tersebut, saya membayar lebih mahal 75 ribu per bulan.

Kembali otak saya menghitung .... kalau 2,35 juta pelanggan yang "dipaksa" mengambil paket tagihan tetap itu membayar kelebihan sebesar apa yang saya bayar, yaitu 75 ribu, maka telkom mendpt "sumbangan" dari pelanggannya sebesar 176,25M/bulan atau 2,115 trilyun per tahun.

Kemana larinya dana tersebut? entahlah .... semoga memang masuk ke kas negara, karena kalau tidak ..... Biarlah Allah SWT saja yang menjadi hakim bagi orang-orang yang melakukan "penipuan" tersebut

Kamis, 08 Maret 2012

MASALAH PERUMAHAN BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH


PENDAHULUAN
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar yang hakiki dari manusia. Tempat manusia berlindung dari fenomena alam seperti hujan, terik matahari maupun dari gangguan keamanan. Kebutuhan dasar sebagai pelindung diri, yaitu sebagai shelter, secara tradisional,  telah dipenuhi sendiri secara swadaya dan gotong royong.

Perkembangan teknologi, pembagian profesi serta adanya industri jasa pembangun-an rumah menyebabkan fungsi atau porsi pembangunan rumah secara swadaya dan gotong royong, terutama di wilayah perkotaan telah beralih. Pembangunan rumah di wilayah perkotaan, sebagian besar telah diambil alih oleh pihak ketiga. Pembangunan rumah oleh para pengembang industri perumahan untuk skala besar dengan beragam type dan luas rumah baik yang ditujukan untuk golongan menengah ke atas lengkap dengan berbagai fasilitas penunjang yang sangat lengkap. Belakangan ini, di kota–kota besar, marak dibangun town house yang hanya berisi 10 – 20 unit rumah mewah yang seringkali melanggar aspek tata kota dan tata ruang.

Dari berbagai data, dapat disimpulkan bahwa rumah dan perumahan merupakan kebutuhan dasar yang paling sulit dipenuhi oleh golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Di wilayah Tambora – Jakarta Barat, salah satu wilayah paling padat di Jakarta, masih dapat ditemukan rumah kumuh seluas 20m2 yang dihuni bukan saja oleh satu keluarga yang terdiri dari 4 orang, tetapi juga oleh beberapa keluarga dari 3 generasi.

Sejatinya, target utama dari Program Perumahan Nasional adalah para BMR perkotaan ditambah dengan masyarakat miskin di pedesaan yang saat ini, menurut data survey dari Biro Pusat Statistik (BPS)[i] berjumlah + 31 (tiga puluh satu) juta jiwa.


LATAR BELAKANG.
Perumahan bagi MBR merupakan masalah pelik yang tidak pernah tuntas terselesaikan. Berbagai program telah dicanangkan pemerintah untuk menyelesaikannya. Dari  mulai program sejuta rumah di masa pemerintahan Megawati sampai dengan seribu tower pada periode pertama pemerintahan SBY. Seluruhnya hilang tanpa bekas terhadang oleh berbagai kendala. Dari mahalnya harga lahan, biaya perijinan serta tingginya biaya konstruksi hingga kemampuan pengembang untuk memasok rumah bagi MBR yang hanya pada batas 150.000 unit pertahun.

Hambatan–hambatan tersebut pada akhirnya hanya menambah jumlah backlog perumahan yang saat ini sudah mencapai 13,6 (tiga belas koma enam) juta unit dan pasti akan semakin membengkak dari tahun ke tahun. Dengan demikian, penyelesaiannyapun akan memakan waktu yang cukup lama serta biaya yang luar biasa besarnya.

Kesalahan tersebut tidak dapat semata–mata ditimpakan kepada pengembang. Sebuah industri berkembang dikarenakan adanya potensi keuntungan. Pemerintahlah, melalui Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang wajib mengisi celah yang tidak dapat dimasuki oleh sektor swasta.

SIAPA MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH – MBR

Tinjauan berdasarkan besaran penghasilan
Saat berbicara mengenai golongan masyarakat berpenghasilan rendah, ada baiknya seluruh stake holder negeri memiliki satu pandangan dan kesepakatan mengenai definisi MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH–MBR. Dalam salah satu terbitan Tempo beberapa waktu yang lalu, World Bank menyatakan bahwa masyarakat dengan pengeluaran USD 2–20 per kapita per hari, sudah dapat dimasukkan ke dalam kategori masyarakat berpenghasilan menengah. Dengan kata lain, minimal pengeluarannya Rp.540.000,-[ii] per kapita per bulan atau maksimal Rp.2.160.000,-[iii] per keluarga sudah termasuk golongan masyarakat berpenghasilan menengah.

Mengacu pada Biro Pusat Statistik, secara nasional, BPS menyebut orang miskin itu apabila dalam memenuhi kebutuhan makanan dan minuman serta non makanan di bawah Rp.212.000,- per bulan per orang atau Rp.848.000,- per keluarga yang terdiri dari 4 orang. Nilai garis kemiskinan dari satu daerah ke daerah lainpun berbeda–beda. Di DKI Jakarta, orang akan disebut miskin apabila hanya mampu memenuhi kebutuhan per bulannya di bawah Rp.331.000,- atau Rp.1.324.000,-/keluarga, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebesar Rp.1.112.000,-/keluarga, Bangka Belitung sebesar Rp.286.000.- per kapita atau Rp.1.144.000,-/keluarga, Kepulauan Riau sebesar Rp.300.000,- per kapita atau Rp.1.200.000,-/keluarga dan Jawa Tengah hanya sebesar Rp.192.000,-  per kapita atau Rp.768.000,-/keluarga.

Keluarga yang terdiri dari 4 orang serta memiliki penghasilan di bawah angka–angka di atas dapat digolongkan ke dalam keluarga miskin yang saat ini berjumlah + 31 juta orang atau hampir 8 juta keluarga.

Jumlah golongan miskin atau berpenghasilan rendah akan meningkat tajam apabila acuan yang digunakan adalah penghasilan/pengeluaran di bawah USD 2 per hari per kapita atau Rp.2.160.000,-/keluarga. Padahal, masih menurut World Bank, masyarakat berpenghasilan USD 2–4 per hari per kapita masih tergolong masyarakat yang sangat rentan terhadap gejolak penghasilan. Sedikit saja guncangan terhadap penghasilannya. Dapat mengakibatkan mereka masuk ke dalam golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Tinjauan berdasarkan kemampuan mengangsur KPR.
Bila mengacu pada ketentuan pemerintah dan Undang–undang nomor 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman – UU no.1 PKP, minimal luas bangunan yang berhak memperoleh bantuan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan - FLPP adalah 36 m2 dan Peraturan Menteri Keuangan serta Peraturan Menteri Perumahan harga maksimal Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah).

Ketentuan baru kerkenaan dengan luas bangunan minimal sebagai syarat perolehan FLPP, secara langsung akan mempengaruhi harga jual rumah. Minimal akan terjadi peningkatan harga jual sebesar (36–21) m2 atau 15m2, yaitu selisih luas bangunan standar lama dikalikan dengan harga jual bangunan per m2 yang jumlahnya sangat signifikan. Hal ini akan memberatkan masyarakat karena jumlah uang muka yang harus disediakan bertambah besar.

Tinjauan dari daya beli masyarakat.
Pada awal dicanangkannya program Kredit Pemilikan Rumah oleh Bank Tabungan Negara, masyarakat masih sangat beruntung mendapatkan rumah yang sangat layak dihuni, yaitu rumah–rumah dengan luas bangunan 45m2, 54m2 dan 70m2 dengan luas tanah di atas 150 m2, bahkan hingga 300m2.

Menjelang akhir tahun 1980 dan memasuki awal tahun 1990an, type rumah dan luas bangunan mulai mengecil, dimana type 70m2 bangunan sudah mulai tidak lagi mendapatkan subsidi bunga pinjaman dan kemudian ditangani oleh Bank Papan Sejah-tera. Dengan demikian, secara alamiah, para pengembang tidak lagi membangun rumah–rumah type besar.

Tahun demi tahun berlalu. Kucuran dana pemerintah yang digunakan sebagai pendukung program perumahan baik bagi pengembang maupun masyarakat konsumen semakin berkurang. Pemerintah mulai melakukan berbagai pembatasan bagi pengembang maupun konsumen.

Bila pada sebelumnya, pengembang masih memperoleh kucuran kredit untuk pembebasan lahan dan kredit konstruksi, maka kemudian pembebasan lahan harus didanai sendiri. Di lain sisi, maraknya pembangunan perumahan telah menyuburkan percaloan tanah yang menyebabkan peningkatan luar biasa atas harga tanah dan ditambah dengan maraknya mafia pertanahan yang memunculkan berbagai sengketa tanah.

Hal itu pula yang menjadi salah satu sebab usulan agar pemerintah melalui Perumnas bertindak sebagai land bank yang kemudian bekerja sama dengan para pengembang melalui skema Kasiba dan Lisiba, tidak pernah terealisir degan baik.

Di balik berbagai kesulitan pembebasan lahan perumahan, krisis ekonomi pada tahun 1998 membuat daya beli masyarakat semakin merosot tajam. Perkembangan ekonomi masyarakat di berbagai sektor menurun termasuk tentunya daya beli sektor perumah-an. Akibatnya backlog semakin bertambah besar.

Kondisi yang semakin memburuk ini, yaitu kenaikan harga lahan mentah dan bahan bangunan serta kenaikan biaya perijinan  dengan disertai menurunnya daya beli masyarakat “memaksa” pemerintah mencari berbagai terobosan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pemenuhan kebutuhan rumah dan mengurangi backlog.

Untuk meningkatkan daya serap industri perumahan serta daya beli masyarakat, pemerintah menurunkan standar luas bangunan yang mendapat fasilitas subsidi bunga. Dari semula luas bangunan 45m2, turun menjadi 36m2. Tidak berselang lama, batas maksimal luas bangunan penerima subsidi bunga KPR diturunkan kembali menjadi 27m2 untuk kemudian berakhir hingga hanya seluas 21m2 saja.

Di samping menurunkan luas bangunan agar harga rumah menjadi terjangkau, pemerintah kemudian mengijinkan penjualan kaling siap bangun–kasiba seraya menaikkan batas maksimum fasilitas kredit. Namun kondisi ini ternyata masih tidak mampu meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun backlog tetap bertambah besar.

Perumahan untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), demi untuk keterjangkauan harga jual, pada umumnya dibangun di wilayah “pelosok”, jauh dari tempat kerja para penghuninya. Minim fasilitas sosial dan fasilitas umum bagi para penghuninya serta minim pula sarana transportasi yang melayani para penghuni menuju tempat kerja. Kondisi ini kemudian meningkatkan biaya hidup non kunsumsi rumah tangga dimana pada akhirnya sangat memberatkan dan secara perlahan secara struktural “memiskinkan” masyarakat.


BERBAGAI MASALAH PERUMAHAN DAN PERMUKIMAN.

Siapa konsumen riel industri perumahan
Tanpa melihat figure dan karakteristik konsumennya, backlog sebesar 13,6 juta unit rumah merupakan peluang besar bagi industri perumahan. Itu sebabnya pembangun-an perumahan dan rumah susun di berbagai kota besar, begitu marak. 

Bila melihat standar world bank maupun BPS tentang struktur penghasilan/gaji, maka masyarakat yang berpenghasilan di atas Rp.3.500.000,-/bulan sudah masuk golong-an masyarakat berpenghasilan menengah. Dalam struktur pegawai negeri sipil umumnya adalah mereka dengan golongan 3A atau sarjana.

Masyarakat berpenghasilan rendah secara riel adalah mereka yang berpenghasilan di bawah garis kemiskinan termasuk di dalamnya mereka yang berpenghasilan sesuai dengan Upah Minimum Regional – UMR serta mereka yang membelanjakan pengha-silannya sebesar USD 2/hari/kapita menurut World Bank atau Rp.2.160.000,-/bulan/keluarga.

Pada kenyataan di lapangan, justru masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp.3.500.000,-/bulan dan terutama mereka yang berpenghasilan UMR dan di bawahnyalah yang paling membutuhkan akses pada kepemilikan rumah. Golongan MBR ini tersebar baik sebagai pekerja formal PNS golongan I. II dan honorer , pegawai swasta golongan rendah serta buruh pabrik maupun mereka yang bergerak di sektor informal dengan penghasilan tak menentu.

Sudah menjadi rahasia umum betapa MBR seringkali berteduh sekedarnya, dalam gubuk sederhana di lahan tak bertuan, di bawah jembatan, di sepanjang jalan layang yang seringkali membahayakan diri mereka maupun pengguna jalan itu sendiri seperti pernah terjadi kebakaran di tempat berteduh MBR yang berada di bawah salah ruas jalan layang di Jakarta.

MBR inilah sebetulnya konsumen riel penyumbang backlog yang tidak pernah tersentuh perhatian pemerintah, baik dari segi pembiayaan maupun akses lainnya agar mereka bisa memiliki tempat tinggal yang lebih layak.

Standard perumahan yang layak.
Pasal 22 ayat 3 Undang–undang no 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mensyaratkan rumah berukuran 36m2 sebagai salah satu syarat untuk memperoleh FLPP. Dampak dari ketentuan ini secara langsung akan menaikkan harga jual rumah tapak (landed house). Ketentuan luas minimal bangunan tersebut sepertinya dipermudah dengan dinaikkannya batas maksimal KPR menjadi Rp.70.000.000,- .

Memang, standar kelayakan luas minimal perumahan yang berlaku internasional mensyaratkan luas 12 m2/orang. Keinginan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh rumah sesuai dengan standar kela-yakan yang baik, patut diacungi jempol. Standar itulah yang memang digunakan di Negara–negara maju dimana ktidakmampuan masyarakat membayar angsuran pembiayaan rumah yang tinggi diakomodasikan dengan dibukanya akses untuk menyewa apartemen murah dengan subsidi berupa tunjangan sewa apartemen terutama untuk pasangan muda, seperti yang terjadi di Perancis.

MBR di Indonesia hingga saat ini belum membutuhkan standar rumah yang tinggi. Mereka masih berada pada taraf terendah, yaitu cukup bersenang hati dengan memiliki tempat bernaung yang layak dengan penuh ketenangan. Tidak berdesakan dalam ruang multifungsi berukuran 3x4m2. Tentu bukan pula berada dalam gubuk di lahan tak bertuan, di pinggir kali, di tepi rel KA, di kolong jembatan/jalan layang atau bahkan di emperan toko.

Pelaksana pembangunan perumahan dan kawasan pemukiman.
Dalam berbagai data perumahan, pelaksana pembangunan rumah di Indonesia terdiri dari berbagai elemen, antara lain pembangunan secara swadaya, secara gotong royong dalam suatu kaum, pemerintah melalui BUMN/D, maupun partisipasi kalangan industri perumahan yang tergabung dalam Real Estat Indonesia maupun Aspersi.

Masa keemasan pembangunan perumahan telah berakhir sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998. Sejak itu, kemampuan pembangunan atau lebih tepat disebut daya serap masyarakat atas RS yang kemudian beralih nama menjadi RSS seiring dengan pengurangan standar luas, lalu kemudian menjadi RSh, semakin menurun. Sudah beberapa tahun terakhir ini, daya serap RSh tidak lagi beranjak dari 150.000 unit per tahun akibat dari langkanya/keterlambatan pencairan dana subsidi pemerintah, yang juga selalu berubah skema dan penyebutannya.

Ketidakberhasilan pemerintah untuk mengurangi backlog, bagai lingkaran setan yang tak berkesudahan. Minimnya fasilitas kredit konstruksi, suku bunga pinjaman yang tinggi, harga tanah yang semakin meningkat, harga bahan bangunan serta melemahnya daya beli masyarakat serta tersendatnya pencairan FLPP menjadi sebab-sebab terjadinya kegagalan tersebut.

Pasal 42 UU no.1 PKP yang mensyaratkan keharusan ketersediaan perumahan minimal 20% yang dapat diterjemahkan sebagai rumah stock sebagai syarat pemberian fasilitas FLPP kepada konsumen perumahan merupakan tambahan beban biaya bagi pengembang.

Pada akhirnya, mega proyek 1 juta unit rumah untuk rakyat, program 1.000 tower rusun hanya tinggal nama, terkendala baik oleh ketidaksinkronan antara program pemerintah dengan penerapan di lapangan maupun skema pembiayaan.

Tata Ruang yang adil.
Sebuah kota yang adil adalah kota yang mampu mengakomodasikan seluruh kebu-tuhan masyarakatnya sesuai dengan kemampuan masyarakat terkait. Adalah suatu hal yang sangat ideal bila MBR, karena keterbatasan daya belinya dapat bertempat tinggal “di tengah” kota, dekat dengan tempatnya mencari nafkah. Masyarakat menengah dengan segala kemampuan keuangannya masih dapat memilih untuk bertempat tinggal di wilayah elite di pusat kota atau perumahan mewah di sekitar ring road, yang mempermudah akses ke tempat kerja.

Peningkatan kualitas hidup dan keseimbangan lingkungan perkotaan perlu diupayakan secara terus menerus antara lain dengan penataan wilayah kumuh perkotaan, perluasan ruang hijau terbuka. Penataan ruang hijau terbuka, perbaikan wilayah kumuh dan program perumahan sebetulnya dapat dijalankan secara terpadu.

Pada umumnya, kota–kota di Indonesia berkembang dari suatu pusat kegiatan se-perti stasiun, terminal atau alun–alun. Masyarakat Indonesia juga selalu memperlakukan sungai sebagai wilayah “belakang”. Itu sebabnya sebagian besar sungai di Indonesia yang melalui kota selalu memperoleh limbah, baik limbah rumah tangga, bahkan limbah industri tanpa pengolahan apapun juga sehingga pada akhirnya mematikan biota sungai dan menurunkan kualitas air sungai sebagai sumber air baku.

Penataan kota terpadu bisa dimulai dari tepi sungai. Pembebasan wilayah tepi sungai untuk menerapkan garis sempadan sungai dapat dilaksanakan sekaligus untuk pembangunan jalan inspeksi dan kemudian pembangunan rusun baik jenis rusunami maupun rusunawa. Pada lokasi yang strategis, pembangunan rusunawa harus menjadi prioritas agar MBR bisa mendekati lokasi kerja. Hal yang sama juga bisa dilaksanakan pada jalur tepi rel kereta api.


KESIMPULAN DAN SARAN.

Perumahan di Indonesia sampai saat ini masih menjadi masalah pelik yang tidak terselesaikan. Backlog perumahan semakin bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Berbagai upaya yang dicanangkan pemerintah untuk mengatasi masalah ini pada akhirnya hanya menjadi pencitraan bagi pemerintah tanpa ada kelanjutannya.

Harga tanah perkotaan yang semakin tinggi juga menjadi tambahan masalah yang menyebabkan rumah dan rusun bagi MBR tersingkir ke pinggir kota dan bahkan hingga ke pelosok desa. Infrastruktur perkotaan berupa transportasi umum, fasilitas  air minum dan penerangan belum tentu siap mengikuti perkembangan lokasi perumahan tersebut.  Hal ini sudah pasti menambah beban pengeluaran, bukan saja untuk pemerintah yang sewajarnya menyediakan infrastruktur perkotaan, tetapi juga MBR sebagai konsumen. Tidak mengherankan bila daya serap MBR menjadi semakin kecil.

MBR adalah konsumen riel yang sangat membutuhkan rumah. Merekalah sesungguhnya bagian masyarakat penyumbang backlog perumahan saat ini akibat rendahnya daya beli mereka. Untuk itu diperlukan upaya keras untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi mereka.

UU nomor 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang semula diharapkan mampu mengatasi dan mengurangi backlog perumahan, pada kenyataan malah semakin memperberat beban para pelaku sektor perumahan. Untuk itu diperlukan “Blue Print” dan upaya radikal (out of the box) untuk mengatasi masalah perumahan antara lain:


  1. Mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan MBR, termasuk ca-kupan sektor pekerjaannya à pekerja sektor formal dan informal.
  2. Menentukan maksimal penghasilan untuk memperoleh FLPP serta jangka waktunya agar MBR dapat hidup dengan layak dengan sisa penghasilannya.
  3. Memprioritaskan pembangunan Rusunawa di perkotaan untuk mendekatkan MBR ke lokasi tempat mereka mencari nafkah dengan memanfaatkan lahan di tepi kali ataupun tepi rel KA. Dilaksanakan sekaligus dalam rangka penataan kota dan penambahan ruang hijau terbuka sebagai paru-paru kota.
  4. Membangun dan menjamin ketersediaan infrastruktur perkotaan (jalan, air minum, penerangan) serta sarana transportasi umum yang aman, nyaman dan murah untuk mengurangi beban biaya pengembang maupun beban hidup konsumen–MBR.
  5. Perlu dilakukan judicial review atas Undang-undang no. 1 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PKP) yang dapat membebani daya beli konsumen maupun biaya/beban pengembang.

Disampaikan oleh Enggartiasto Lukita pada Seminar Nasional Polemik UU no 1 PKP di Le Meridien, Jakarta 8 Maret 2012.



[ii] Kurs 1 USD = Rp.9.000,-
[iii] 1 keluarga terdiri dari 4 orang

Minggu, 04 Maret 2012

Anak dan Konsumerisme

Sejak beberapa tahun terakhir ini anakku selalu membujukku untuk membelikannya sepatu/sandal Crocs atau Nike setiap kali dia membutuhkan sepatu/sandal. Anak yang satu ini memang relatif seringkali mengganti sepatu/sandal. Bukan karena ingin memiliki banyak koleksi sepatu/sandal tetapi memang karena struktur kakinya "memakan" sepatu/sandal. Ada saja bagian sepatu/sandalnya yang jebol dan ini berlaku menyeluruh, tidak peduli sepatu/sandalnya terbuat dari bahan yang "murah meriah", tetapi juga sepatu/sandal semacam adidas/kickers.

Entah apa yang menarik dengan Crocs. Bahannya dan modelnya, menurut saya, sama sekali tidak menarik. Padahal, semua orang di kota-kota besar Indonesia nampaknya sangat gandrung dengan Crocs. Tua muda bahkan hingga nenek-nenek. Mereka semua seperti tak peduli dan sangat gandrung dengan sepatu/sandal keluaran Crocs ini. Padahal harganya lumaan selangit ... ini yang asli, karena di pasar juga banyak sandal tiruannya.

Beberapa tahun yang lalu, dalam perjalanan wisata, salah satu peserta, nenek-nenek, yang diperkirakan sudah memiliki cucu, selalu memakai beragam jenis sandal/sepatu crocs dalam setiap kesempatan. Entah berapa pasang crocs yang dia bawa. Semula, aku tak terlalu peduli dengan apa yang dipakainya. Tapi, melihat perilakunya yang main borong segala macam barang bermerek di Gallery Lafayette - Paris dan bahkan berlian di Amsterdam, rasa ingin tahuku muncul dan mulai kuperhatikan penampilannya. 



Gila ....., nenek yang kebetulan suaminya dokter itu termasuk "korban merek" yang nggak pede kalau cantolan di badannya tidak bermerek terkenal. Dandanan dan apa yang tercantol di sekujur tubuhnya betul-betul salah kostum. Gimana nggak? Lha kalo selama perjalanan wisata itu, selain crocs-nya yang berganti setiap hari, gelang dan cincin bertabur berlianpun tak lekang dari pergelangan tangan dan jari-jarinya.

Nah, kembali pada permintaan anakku untuk minta dibelikan Crocs yang selalu kutolak, tentu bukan maksudku untuk berlaku kikir pada anak. Itu kulakukan karena aku nggak mau anakku sejak kecil terbiasa dipengaruhi trend mode. Perilaku untuk selalu tidak mau kalah dengan penampilan teman-temannya atau ingin dianggap termasuk pada suatu golongan, yang pada akhirnya menjurus pada konsumerisme. Apalagi dan sudah sangat dipastikan barang-barang konsumtif bermerek itu berharga mahal.

Aku berpikir, bahwa anakku harus percaya diri pada kualitas pribadinya, bukan atas apa yang dimiliki dan dipakai. Barang - barang bermerek dan mahal sama sekali tidak ada manfaatnya ketika digunakan oleh orang yang "salah". Yang "kampungan" akan tetap terlihat "kampungan" walau ditubuhnya digandoli berbagai macam barang mewah, karena dia tidak tahu kapan, dimana dan harus menggunakan apa untuk setiap kesempatan. Semua diborong jadi satu agar orang lain melihat betapa dia menggunakan semua barang bermerek.. Yang intelek juga tidak akan kehilangan kualitas intelektualnya walau dia hidup dan berpenampilan sederhana serta menggunakan barang-barang berkualitas sederhana.

Tanpa harus menonjolkan barang-barang bermerek tertentu yang digunakan, setiap manusia juga sudah akan terlihat dari kelas mana dia berada. Jadi tidak perlu ditambah-tambah dengan segala sesuatu yang mahal agar "dianggap dan diperhatikan" oleh lingkungannya. Apalagi kalau yang mahal itu diperoleh dengan sedikit "agak memaksakan" diri, bayar mencicil ... pakai Credit Card yang pada akhirnya menjerat diri sendiri.

Kehidupan kota besar yang hedonis ini memang membuat kita menjadi "salah tingkah" ketika kita harus berinteraksi sosial. Mau tidak mau, harus diakui bahwa ada segelintir manusia yang membatasi lingkup pergaulannya berdasarkan materi yang dimiliki. Mereka juga hanya akan bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya "sekelas".


Masih teringat, lebih dari 20 tahun yang lalu, saat masih tinggal di suatu perumahan di pinggiran Jakarta, ada ibu-ibu di perumahan tersebut yang mengadakan arisan khusus untuk "pemilik" mobil BMW.

Adik iparku bercerita bahwa di lingkungan perumahannya, yang kebetulan salah satu perumahan kelas atas di Bandung, ada kelompok arisan yang "tarikannya", saat itu, adalah mobil Kijang terbaru. Bisa dibayangkan berapa juta rupiah uang arisannya, kalau pesertanya dibatasi hanya 20 - 30 orang saja. Bagaimana kalau suatu saat setelah mendapat gilirannya, tiba-tiba si peserta menghilang atau tidak mampu meneruskan arisan.

Di kantorku ... ada seorang teman yang seringkali mendapat tamu, teman baiknya, yang seringkali mampir ke kantor setelah "kulakan". Kulakannya, walaupun barangnya kecil mungil, .... amboi... nggak main-main ... Yang paling murah harganya 5 juta dan pernah suatu saat dia membawa barang berharga 200 juta yang akan diantarkannya atas pesanan istri seorang pejabat. Tentu saja mahal, karena kulakannya itu adalah perhiasan berlian. Tidak bisa dibayangkan, kalau si ibu memakai perhiasan seharga 200 juta, lalu tas Hermes yang katanya berharga juga hampir seratus juta rupiah, lalu arlojinya yang pasti juga berharga mahal .... Aduh.... bayangkan kalau si ibu dijambret. Pasti hasil jambretannya bisa digunakan untuk beli rumah ...

Hihihi ... Tapi percaya deh ... kalau dia lewat di depanku, percuma ...!!!  Aku nggak ngerti dan nggak peduli dengan barang mahal, jadi nggak bisa menghargainya... Wah, terbayang pasti dia sakit hati, upayanya memakai barang berharga tidak diperhatikan orang. Padahal, tujuan memakai barang mahal, kan salah satunya supaya diperhatikan orang.

Seorang anak Balita, tentu tidak mengerti apakah bajunya berharga mahal atau bermerek. Anak berpakaian sesuai dengan apa yang dipakaikan padanya sejauh terasa nyaman dan tidak mengganggu geraknya. Tanpa disadari, sebetulnya, perilaku ibu konsumtif sangat besar pengaruhnya terhadap keinginan anak-anaknya. Pada awalnya ... anak kecil tentu tidak menyadari keberadaan barang bermerek. Keinginan ibunya untuk "menonjolkan dan membedakan" anaknya dari segi kemampuan materilah yang mendominasi pemilihan barang-barang yang digunakan si anak. Tentu, karena itulah akan banyak orang yang mengagumi si anak. Mengagumi bukan saja kelucuan si anak, tetapi juga apa yang dipakainya. Dari situlah tersemai bibit "ingin menjadi pusat perhatian" pada di si anak. Hal ini akan terbawa hingga besar. Beruntunglah bila kita sebagai orangtua mampu memenuhi keinginan anak. Tetapi kalau tidak? 

Lepas dari kemampuan ekonomi orang tua, bukankah lebih baik lagi bila kita memupuk rasa percaya diri si anak melalui kualitas diri, bukan pada benda-benda artifisial seperti itu?

Lalu, apakah aku tidak tertarik dengan barang bermerek? Pernah .... pernah!!! Dulu sekali... saat kuliah tahun pertama dan kedua. Kesempatannya memang ada .... Tapi, lama kelamaan terutama setelah menikah dan harus keluar uang sendiri untuk memperoleh barang bermerek itu, terasa betapa mahal harga barang-barang tersebut. Walau kualitas barang-barang bermerek itu memang berbeda.

Sekarang ... ? Ada satu dua barang-barang seperti dari Lancel, Aigner, Burberry, Kate Spade yang umumnya berbentuk dompet kepit. Tapi, kesemuanya itu kudapat sebagai oleh-oleh dari istri boss, saat dia melakukan perjalanan ke mancanegara. Untuk beli sendiri...? Nggaklah ... sayang uangnya! Masih banyak yang bisa dimanfaatkan daripada hanya sekedar memuaskan nafsu. Aku lebih suka apa adanya ... Nggak harus bermerek, yang penting sesuai kemampuan. Banyak juga barang berkualitas, walaupun tidak menyandang merek ternama, terutama kalau kita rajin dan teliti mencari.

Jumat, 02 Maret 2012

Antara ZAKAT dan PAJAK


Setiap tahun ... menjelang dan selama bulan Ramadhan, ramai bertebaran spanduk di jalan, iklan di media cetak maupun layar kaca, mengajak umat Islam menunaikan kewajibannya mengeluarkan zakatnya terutama Zakat atas harta kekayaannya, apakah itu dari emas perhiasan yang dimilikinya, pertambahan nilai kekayaan (uangnya) dan bahkan dari hasil pertanian/ternaknya.

Mengapa di bulan Ramadhan? Konon karena ustadz selalu ramai mengingatkan bahwa pahala atas segala "kebaikan" dan ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan akan "diganjar" pahala yang berlipat ganda. Padahal, kalau mengacu pada adanya zakat atas hasil pertanian/ternak, menurut saya zakat sebaiknya, kalau tidak boleh dikatakan "wajib", dikeluarkan saat terjadinya transaksi. Misalnya kalau zakat hasil pertanian, tentu dikeluarkan/dihitung saat terjadinya panen. Kalau zakat hasil ternak kalau binatang ternaknya akan dijual. Jadi seketika .... 

Kalau menunggu waktu 1 tahun, nanti uang hasil penjualan hasil pertanian/ternaknya habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi ... masih ada yang ingat nggak ya, kalau hasil pertanian/ternak juga wajib diperhitungkan zakatnya? Saya sih cuma tiba-tiba saja teringat dengan pelajaran agama Islam bab Zakat saat di SMP dulu. Semoga mereka yang memiliki ternak dan sawah/kebun/ladang ingat bahwa mereka wajib mengeluarkan zakatnya atas hasil yang diperoleh.

Memang, kenapa ya harus menunggu 1 tahun dulu, bukankah kalau kita mensegerakan segala amal dan perbuatan baik, maka itu akan jadi lebih baik. Hati-hati lho, seringkali kalau kita menunda hingga 1 tahun, kemudian terasa betapa besarnya zakat yang "sudah jatuh tempo" sementara kebutuhan menjelang lebaran meningkat anak, istri/suami ingin beli baju lebaran yang baru ... para assisten di rumah wajib diberi sangu pulang plus segala macam extranya --> THR, kue-kue, baju lebaran, ongkos perjalanan. Belum lagi extra makanan yang "seolah menjadi wajib" tersedia di atas meja makan saat Lebaran ... Padahal, tamu juga merasa bosan melihat hidangan yang hampir seragam dari satu rumah ke rumah yang lain ... Ada lagi biaya perjalanan pulang kampung yang harus dipersiapkan termasuk juga oleh-oleh "sekedarnya" yang harus dibawa pulang, bagi mereka yang terbiasa merayakan Idul Fitri di kampung halaman tempat orangtua/sanak saudara berada.

Nah ... kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin terjadi "peperangan" baik didalam batin kita sendiri atau dengan anggota keluarga lainnya. Syukur alhamdulillah kalau kita memiliki keluasan rejeki sehingga segala pernak-pernik yang mengiringi datangnya bulan Ramadhan itu bisa terpenuhi dengan baik.
***

Belakangan ini juga marak imbauan baik di email, Facebook, tweetter yang mengajak untuk TIDAK LAGI mengirim zakat ke lembaga-lembaga pengelola ZIS professional namun dianggap sebagian orang, komersial. Kita diimbau untuk kembali menyalurkan ZIS ke mesjid-mesjid, panti asuhan dan kaum dhuafa dimana kita berada, atau menyalurkannya kepada keluarga dekat yang memang membutuhkannya.

Adakah yang salah dengan lembaga pengelola ZIS? Rasanya secara konsep, tidak ada yang salah. Potensi dana ZIS yang luar biasa besarnya bila dikelola dengan baik dan benar serta disalurkan melalui program pemberdayaan masyarakat yang terpantau dan terpadu, secara berangsur diharapkan bisa menghapus atau minimal mengurangi kemiskinan. 

Namun "kecurigaan" atas tingkat "keamanahan" dari lembaga tersebut masih melekat. Kalau mau jujur, jarang ada yang percaya dengan lembaga amil zakat yang dibentuk pemerintah, apalagi pengumpulannya dilakukan dengan cara "setengah memaksa". Pengurus RT/RW dibebani kewajiban untuk menarik zakat dari warganya .... Mungkin mereka lupa bahwa walaupun zakat merupakan salah satu ibadah wajib, tetapi sebagaimana menjalankan shalat, puasa, berhaji ... 

Sekarang, memang ada lembaga-lembaga penerima dan penyalur zakat yang bisa dipercaya. Sebut saja salah satunya adalah Yayasan Dompet Dhuafa yang bertujuan agar zakat bisa tersalurkan untuk program-program pemberdayaan masyarakat. Mengapa tidak ... kalau itu bisa mengubah nasib kaum dhuafa dari kaum penerima zakat menjadi, kelak, kaum pemberi zakat. Jadi ... kalau menurut saya sih, .... zakat yang ingin dikeluarkan, dibagi dua saja... sebagian untuk kalangan dekat (mesjid dan kaum dhuafa di sekitar tempat tinggal serta sanak keluarga yang membutuhkan. Sebagian lagi dikirim ke lembaga amil zakat terpercaya. Semoga niat baik itu menjadi berkah bagi semuanya... pemberi maupun penerimanya.

Memang, TIDAK ADA SEORANGpun yang bisa mewajibkan orang lain melaksanakan kewajiban agamanya, kecuali dirinya sendiri yang mewajibkannya. Apalagi karena negara kita tidak berdasarkan agama Islam. Kalau membayar ZAKAT menjadi kewajiban umat Islam yang ditetapkan oleh pemerintah, kenapa SHALAT dan ber HAJI, tidak juga diwajibkan pelaksanaannya? Bukankah dalam rukun Islam, Shalat - Puasa - Zakat dan berhaji berkedudukan sama? Lagi pula perintah-perintah yang sifatnya keagamaan itu mutlak urusan si manusia dengan sang KHALIK? Bukan urusan antar manusia? Mereka yang mengimani keberadaanNya, tentu dengan ikhlas dan ridho akan menjalankan segala perintahNya.
***


Muncul juga wacana agar zakat bisa dijadikan faktor pengurang pajak pribadi dengan syarat 
zakat harus disalurkan ke lembaga-lembaga yang ditunjuk pemerintah. 

Entah apa dasarnya, karena kalau menurut saya sih, zakat dan pajak itu berbeda. Yang satu urusan pemerintah berkenaan dengan "layanan" yang kita, sebagai rakyat, terima. dan karenanya ada sanksi kalau kita lalai membayar pajak. Tapi kalau zakat, siapa yang akan memberi sanksi? Mungkin ada sanksi kalau kita tidak membayar zakat di negara-negara yang menerapkan Islam sebagai dasar bernegara. Tapi kalau di Indonesia, pemerintah tidak punya hak memberikan sanksi kalau kita lalai membayar zakat. Kalau soal pahala atau dosa ....? Wah ... itu sih, nggak ada satu orangpun yang tahu.... Orang yang terlihat rajin beribadah atau mengeluarkan zakat dengan nominal yang besarnya luar biasa, belum tentu mendapat pahala yang besar juga. Lagipula ... apa sih pahala itu .... Abstrak deh .... Nggak jelas banget! Lagi pula, menjalankan ibadah aja kok, pake itung-itungan sih...?

Lagi pula, kalau kita memang beriman kepada Allah SWT, dijalankan saja perintahNya... nggak usah itung-itungan tentang pahala yang akan diterima. Ustadz boleh bilang kalau kita menunaikan ZIS di bulan Ramadhan... maka pahalanya berlipat-ganda. Itu sebabnya orang ramai mengeluarkan zakat mal yang niatnya untuk membantu kaum dhuafa, di bulan Ramadhan. Padahal.... kebutuhan kaum dhuafa kan bukan hanya untuk pengeluaran satu bulan itu saja. Masih ada 11 bulan lainnya .... Masa, yang 11 bulan itu mereka harus kelaparan?

Kalau soal pahala sih, bukan ustadz yang menentukan kalau ibadah di bulan Ramadhan memiliki pahala berlipat ganda. Mungkin benar ada hadis yang meriwayatkan hal tersebut ... tapi, bukankah pahala itu datangnya dari Allah...? Maka... kalau kita meyakini hal itu.... tidak ada satu orangpun yang bisa memberi bocoran besaran pahala yang akan kita terima dari amal ibadah manusia. Karena hanya Allah SWT semata yang mengetahuinya ..... Wallahu'alam

Tapi... ini cuma omong kosong orang awam lho... jangan dimasukin ke hati ya, kalau nggak setuju...!

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...