Selasa, 24 April 2012

catatan kecil dari STUDY BANDING


Hampir sekitar satu bulan yang lalu, usai makan siang Big boss mencari saya. Tumben …..!!! Di kantor, saya tidak termasuk daftar “cari” sehari-hari kecuali kalau beliau sedang “berunding” dan ada dokumen yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Yang pertama dicari, pasti sekretarisnya. Lalu IN. Maklum saja, urusan yang saya pegang biasanya hanya “calon proyek”. Kalau sudah jadi proyek, sudah pasti pekerjaannya “dilungsurin” ke orang lain. Jadi, pekerjaan saya lebih banyak mengarah pada investasi dan masalah legal. Kelayakan proyek, Memorandum of Understanding dan perjanjian-perjanjian jadi makanan sehari-hari. Jadi, memang agak luar biasa kalau pada siang hari itu saya dicari. Nyarinya juga, heboh banget… seperti ada urusan penting.

Masih sambil berbicara di telpon, yang kemudian saya tahu beliau sedang bicara dengan managing director sebuah travel bureau langganannya, yang biasa menangani convention atau perjalanan-perjalanannya ke luar negeri, terutama untuk perjalanan yang agak rumit, beliau bertanya:

“Kota-kota satelit baru yang ada di sekitar Paris, apa saja?”
“Wah … rasanya sudah nggak ada lagi yang baru. Sudah jadi semua, pak!”
“Paling tidak … yang masih layak dikunjungi….!”
“Hm ……, Evry … boleh juga, atau La Defense dan Marne la Vallee.”, jawab saya sekenanya. Paling tidak 3 banlieu[1] itulah yang ada di kepala saya.

Evry masuk ke dalam daftar isi kepala saya, karena saya punya buku terbitan tahun 1980 berjudul “Evry, creer une centre ville[2]yang diterbitkan oleh municipalite[3] Evry itu sendiri.

La Defense, yang terletak di barat Paris, ada dalam ingatan karena daerah ini terkenal dengan bangunan la Grande Arche de la Defense. Kalau nggak salah sebuah perkantoran, tiruan l”Arc de Triomphe dalam bentuk modern. Jujur saja, saya sendiri belum pernah mengunjungi La Defense selama 4 tahun tinggal di Stains, banlieu noir de Paris[4]

Selalu saja ada halangan untuk melihat bangunan tersebut. Mungkin karena La Defense merupakan wilayah kota modern, sehingga bagi saya, tidak terlalu menarik dikunjungi. Apalagi bila dibandingkan dengan keindahan bangunan, jembatan, patung dan berbagai peninggalan kuno yang ada di segala penjuru kota Paris.

Marne la Vallee, terletak di wilayah timur Paris dan dapat dicapai hanya dalam hitungan 20 menit saja dengan RER – reseau express regional[5]. Belakangan ini Marne la Vallee ramai dikunjungi dan menjadi salah satu tujuan wisata di Region Parisienne sejak dibangun Euro – Disneyland hampir dua dekade yang lalu. Anak, suami disertai dengan mertua saya, pernah mengunjunginya pada tahun 1993, saat suami kebetulan bertugas ke UK dan kami “menjemputnya” pulang. Saya sendiri, saat itu, memilih untuk menggelandang di Paris sendirian. Mencari  pesanan berbagai merek parfum yang dititipi oleh keluarga dekat.di La Fayette dan au Printemps[6] yang terletak di Bd Haussman dan sepatu Bally “bon marche[7] di rue Rivoli yang letaknya tidak jauh dari Musee du Louvre.

“Nanti saya browsing tentang ke 3 kota tersebut. Saya kirim kemana datanya…?”
“Fax saja ke H …. Biar nanti dia yang urus selebihnya.”
“OK …. Saya kirim segera. Minimal supaya ada sedikit  gambaran tentang kota/wilayah tersebut. Jadi nggak buta sama sekali”

*****

Kamis minggu lalu, big boss muncul lagi ke kantor setelah tiga hari absen. Beliau memang hanya muncul di kantor setiap hari Jum’at dan menghabiskan sepenuh hari kerja tersebut di kantor untuk koordinasi atau menerima tamu-tamu bisnisnya. Hari lainnya biasa dihabiskan di Senayan dan sepanjang minggu, hanya muncul di kantor di saat luang dan waktunya sama sekali unpredictable.

Rupanya, minggu terakhir bulan Juli hingga pertengahan Agustus adalah masa reses parlemen jadi anggota dewan yang terhormat berlibur dari masa-masa sidang yang lumayan ketat. Acara reses biasanya diisi untuk mengunjungi daerah pemilihan atau binaannya untuk mendengarkan aspirasi para konstituen. Begitu resminya. Ada juga yang mengisinya dengan kunjungan kerja atau study banding. Study banding ini jadi incaran terutama karena tujuan tempat studynya adalah negara-negara maju.

Adakah yang salah dengan studi banding? Sebetulnya sih … nggak ada yang salah, kalau dilaksanakan dengan maksud dan tujuan yang jelas dan hasilnya terukur dan bermanfaat bagi kelancaran pekerjaan kita. Atau minimal bisa menambah wawasan. 

Saya sendiri termasuk orang yang mendukung “studi banding” dalam berbagai bidang, walaupun itu hanya dilakukan sebagai “kamuflase” dari perjalanan wisata. Lho … kok bisa, ya…? Iya dong … kalau kita memang “pengamat” yang baik, maka segala yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari, pasti akan memberikan pengalaman yang berguna untuk “mengatur langkah” baik dalam perilaku, melaksanakan pekerjaan dan memberikan ide-ide baru yang segar dalam menyelesaikan pekerjaan, yang sekiranya sesuai dengan perjalanan dan pengalaman yang ada.

Dulu, jaman masih kuliah, studi lapangan seperti ini jadi penunjang kuliah dan tugas-tugas perencanaan arsitektur dan perkotaan. Coba bayangkan, bagaimana kita akan mampu “merancang” sebuah fasilitas transportasi modern lengkap dengan berbagai perangkat pendudkungnya seperti monorail, subway/metro dan lain-lain kalau kita sama sekali belum pernah mengalami dan merasakan “naik” moda transportasi tersebut.

Bagaimana kita mampu mendeskripsikan seluruhnya, bila sumbernya hanya berupa gambar, film atau textbook semata. Mengalaminya sendiri akan membawa nuansa yang berbeda dan kita akan semakin menjiwai apa yang akan kita deskripsi dan lakukan. Begitu banyak elemen-elemen kehidupan modern yang perlu kita rasakan sebelum kita menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Mungkin, yang jadi masalah adalah waktu kunjungan para anggota dewan tersebut. Bagaimana study banding itu, dalam arti bahwa para pelakunya harus berinteraksi dengan para pembuat kebijakan di Negara/kota yang dikunjunginya, bisa terlaksana dengan baik bila kunjungan itu dilakukan di tengah musim panas. Dimana semua orang di belahan utara khatulistiwa sedang menikmati liburan panjang musim panas. Tapi, tidak juga bisa disalahkan, karena hanya pada masa reses itu pulalah, para anggota dewan memiliki waktu yang luang. Apalagi, ada budget yang sudah dianggarkan untuk maksud tersebut dan kalau tidak digunakan, akan hangus.

Jadi, begitulah … minggu pertama bulan agustus 2007, ada sekitar 50 orang anggota salah satu komisi di parlemen yang melakukan perjalanan studi banding ke Paris untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Nice, Monaco, mount Tiltlis selama hampir 2 minggu. Sang ketua rombongan sangat piawai “mengawal” misi perjalanan tersebut dan mampu meyakinkan duta besar RI yang dikunjungi mereka, sehingga sang dubes hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, tanda mengerti bahwa misi perjalanan tersebut memang sangat masuk akal walaupun bagi orang awam, terkesan hanya perjalanan wisata semata.

Big boss,  hanya mengikuti perjalanan tersebut hingga Paris saja, ikut melakukan courtesy visit ke kedutaan besar RI yang terletak di 49, rue cortambert Paris 16eme. Salah satu kawasan bergengsi di Paris. Mungkin beliau juga bergabung dengan rombongan, sekedar jalan-jalan sedikit di sepanjang Champs Elysees yang terkenal itu. Bagi beliau yang pengusaha, perjalanan ke luar negeri tentu bukan suatu hal yang aneh lagi.

“Kok nggak ikutan ke Nice dan Monaco sih, pak?”
“Nggak,lah … mati berdiri saya, kalo mesti ngikutin mereka jalan-jalan. Banyak kerjaan yang masih harus dilakukan di Jakarta”
“Ke Monaco, apa yang dicari…? Memang mau main judi?”
“Hehehe… biar anggota dewan yang bersih dan perduli itu tahu bahwa hasil judi kalau dikelola dengan baik, bisa dimanfaatkan buat pembangunan.”
“Lho … mereka ikut juga…?”
“Hahaha ….”

Begitulah… dalam diam, anggota dewan yang terhormat melewatkan masa resesnya dengan cara masing-masing. Setelah… 3 hari absen dari kantor, big boss muncul dan langsung ikut shareholder’s meeting di hari Kamis pagi. Seolah tidak terpengaruh oleh jetlag, sepanjang hari itu, beliau sudah disibukkan dengan berbagai acara hingga malam. Saya sendiri mendapat oleh-oleh cantik, yang diberikan pada keesokan harinya.Sebuah dompet bermerek LANCEL berwarna hitam … Asli dari Paris. Lumayan …..!!!


[1] Kota satelit
[2] Evry, menciptakan sebuah pusat kota
[3] Ketatakotaan
[4] Kota satelit hitam, karena mayoritas penduduknya berasal dari Negara-negara Afrika yang berkulit hitam
[5] Jaringan kereta api regional yang melayani wilayah Paris dengan kota-kota satelit sekitarnya yang biasa disebut dengan Region Parisienne
[6] Salah satu department store terkenal di Perancis. Sebelum krisis tahun 1997 sempat berniat masuk ke Indonesia dan membuka gerai di Ratu Plaza. Tapi kemudian batal.
[7] Murah meriah

Selasa, 03 April 2012

FRUSTASI JAKARTA

Wacana untuk memindahkan fungsi ibukota Negara dari Jakarta ke tempat lain selalu timbul tenggelam. Tapi, hampir dipastikan kalau pejabat pemerintahan DKI Jakarta akan ramai – ramai menolak dengan alasan pemindahan ibukota tidak akan mengurangi kemacetan dan banjir.

Alasan ini memang masuk akal dan betul sekali pemindahan fungsi ibukota Negara tidak akan menyelesaikan problematika Jakarta yang sudah carut marut. Masalah mendasarnya adalah pertumbuhan Jakarta sudah melewati daya dukung wilayahnya dilihat dari berbagai segi.

Lihat saja dari jumlah penduduk, kalau saja semua orang yang bekerja di Jakarta harus bertempat tinggal juga di Jakarta, maka kepadatan kota menjadi sangat tinggi. Jumlah rumah yang dibutuhkan pasti tidak akan bisa ditampung dalam wilayah Jakarta yang cuma secuil. Itu sebabnya perumahan melebar ke pinggiran/wilayah Jabodetabek. Sudah begitupun, fasilitas kota (air – listrik – sanitasi kota, pembuangan sampah), transportasi dll untuk mendapatkan kualitas hidup yang layak tetap belum bisa terpenuhi dan menurut saya tidak akan pernah terpenuhi dalam 1 – 2 dekade lagi.


Saat saya kembali masuk dan bertempat tinggal di Jakarta 12 tahun yang lalu, jarak 8km dari rumah ke kantor, masih dapat ditempuh dalam waktu 20 menit saja - pada saat peak hours. Sekarang......? Yup ..... 8km masih bisa ditempuh dalam waktu, tapi....... itu hanya bisa terjadi antara jam 00.00 - 05.30 saja. Lewat dari waktu itu .... tak kurang dari 1 jam. Bahkan seringkali saya harus menempuhnya lebih dari 2 jama kala terjadi paduan antara hujan, banjir, peak hours dan sudah pasti akibatnya kemacetan yang luar biasa...
Kalau memang fungsi Jakarta sebagai ibu kota Negara, secara politis untuk kepentingan warga/pemerintah daerah dan lain - lain yang mengecap berbagai privilege sebagai bagian dari “orang pusat” enggan ditanggalkan, kenapa tidak memindahkan saja fungsi Jakarta sebagai Pelabuhan utama (Tg Priok) ke wilayah lain. Sebut saja misalnya Batam atau Makasar dijadikan Pelabuhan Utama di Indonesia. Dengan demikian minimal arus lalu lintas dan segala keribetan kegiatan pelabuhan tidak menumpuk di Jakarta dan Jakarta hanya ditujukan sebagai kota pelayanan jasa (keuangan – IT – perdagangan dll). Kan banyak contohnya seperti Perancis dengan kota pelabuhan Marseille, yang letaknya jauh di selatan Paris. Belanda yang beribukota di Den Haag dengan Rotterdam sebagai pelabuhan utama, Jerman yang beribukota di Berlin dengan Hamburg sebagai pelabuhan utamanya.

Kita berharap karenanya, pelayaran domestik akan berkembang dan hidup (kan katanya nenek moyangku orang pelaut…), ada gairah untuk kemajuan di wilayah lain dan industri yang «memberatkan» pulau Jawa akan pindah mendekati «pusat» ekonomi baru.

Ya… sekedar unek2 dari orang yang frustasi karena kemarin sore saya harus menempuh 2 jam untuk jarak 8 km saja…. dan saat mau keluar lagi membeli roti untuk sarapan pagi, saya dihadang kemacetan hanya berjarak 100 meter dari rumah. Untung ...., masih bisa memutar kendaraan, kembali ke rumah...! 


Jakarta.... oh Jakarta...... 
salam

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...