Selasa, 11 September 2012

Cara Baru PENIPUAN

Siang tadi, sekitar jam 11an, telponku bergetar. Ada sms dari nomor +628991341846, masuk .... Isinya begini...:

TANPA MENGURANGI RASA HORMAT, SAYA IBU EVA SUDAH MELIHAT RUMAH DAN MERASA COCOK. UNTUK NEGO MOHON HUBUNGI SUAMI SAYA NO. 085210892865, PAK DRS ARSLAN. TKS

Itu kira-kira nih... karena smsnya sudah dihapus. Tapi memang ditulis dengan huruf besar semua. Kurang sopan ...!

Ini jelas upaya penipuan. Mengapa ....? Sangat jelas orang tersebut tidak pernah melihat rumahku. Sama mustahilnya dia bisa tahu nomor telponku. Andaikan dia tahu nomor telponku, karena memang aku pernah mengiklankan rumah tinggalku, tetap saja mudah ditebak bahwa ini upaya penipuan.

Bagaimana mungkin dia melihat rumahku.... lha alamat rumah yang mau dijual saja tidak dicantumkan. Jadi dia harus menelponku dulu untuk mengetahui rumah dimaksud. Sudah begitu ... kok gampang saja .... ? Beli rumah kan nggak seperti beli kacang goreng.... Lihat, lalu tanpa banyak tanya, langsung nego harga... 

Ada banyak masalah yang biasanya dipertanyakan oleh pembeli serius sebelum mencapai kata sepakat. Sebut saja salah satunya.... bahwa sebelum bernegosiasi harga, calon pembeli biasanya berkunjung berulang kali ke rumah yang diincarnya. Dia juga akan membawa "seisi rumah"nya agar seluruh stake holder memberikan kata sepakat atas rencana membeli rumah yang diidamkan tersebut ..... 

Halah, mau nipu tapi kurang canggih ....

Tapi .... mengingat pada bulan Ramadhan yang baru lalu, rumahku tiba-tiba diserbu 4 orang, di antaranya ada 1 orang perempuan makelar tradisional, maka aku menduga-duga, siapa tahu salah satu makelar tersebut berhasil mendapatkan pembeli, walau saat itu kukatakan bahwa rumah yang kutempati tidak akan dijual dalam waktu dekat.

Atas nama rasa penasaran, kubalas sms tersebut :
.... Maaf, saya tidak mengerti maksud anda! Rumah apa dan dimana? Dengan siapa anda kontak untuk melihat rumah saya? ....

Sms ku itu rupanya langsung terjun ke laut ... Tidak berjawab hingga sore hari. Jadi memang jelas ini adalah usaha penipuan.

Rasa iseng, ingin mengetahui usaha penipuan ini, sore hari dalam perjalanan pulang ke rumah, dengan menggunakan telpon genggam yang lain, kucoba menghubungi nomor telpon pengirim sms. Tidak berjawab, kecuali jawaban dari provider telpon, yang menyatakan bahwa telpon dimaksud tidak dapat dihubungi atau tidak dalam jangkauan.

Masih dengan telpon genggam yang sama, kuhubungi nomor telpon "sang suami". Setelah beberapa kali dering telpon, maka diangkat jugalah telponku :

"Maaf..., saya bicara dengan siapa...?", tanyaku
"Saya, drs Arslan..., maaf dengan siapa saya bicara?". Begitu jawabnya. 
Hm .... rupanya betul, nama sebagaimana yang dicantumkan dalam sms yang aku terima siang tadi. Kusebut nama kecilku dengan memplesetkan huruf pertama.
"Maaf pak... saya melihat ada missed call di handphone saya .... ada masalah apa ya?", pancingku. Padahal sungguh mati, nggak ada missed call ke telpon genggamku. Kalaupun ada, maka seharusnya bukanlah ke nomor telpon yang kugunakan saat itu.
"Oh ... iya, soal rumah bu...!", sambarnya segera.
Hm .... ketahuan bohongnya .....

"Rumah .....? Maaf ... rumah yang mana dan dimana, pak...?"
"Hm .... anu, rumah ibu itu...!"
"Iya ... tapi yang mana dan dimana....?"
Klik ..... hubungan telpon terputus ....
Pasti si bapak mulai merasa bahwa upaya penipuannya ketahuan...

Penasaran, kutelpon kembali orang itu ....
"Maaf pak terputus...! Jadi apa maksud bapak...?"
"Anu bu... rumah ibu itu...!"
"Rumah .... ? Rumah apa dan dimana...?
"ya itu .... rumahnya...!"
"iya pak .... tapi rumah apa dan dimana lokasinya...?"
"Anu bu ... saya  .... (nggak jelas dia ngomong apa ...), anu... developernya....!"
"Maksudnya ...?"
"Begini bu ..., nanti saya telpon ibu lagi ya..", mungkin si bapak bingung mau ngomong apa atau bisa jadi takut ketahuan bohongnya.

Telpon langsung dimatikan .... dan tentu, tidak pernah ada telpon atau sms masuk lagi ke telpon genggamku dari nomor yang sama.

Tiba di rumah, sambil lalu kuceritakan sms dan telpon tadi ke asisten rumahku. Di luar dugaanku, neng asisten malah bilang begini...:
"Waduh bu .... sms begituan sih sering banget masuk ke hp saya ....! Malah ada yang bilang gini ... maaf bu, rumahnya jangan dilepas sama yang lain ya... Ibu hubungi suami saya buat nego ya! ini nomornya ....!
Kaget juga aku dengar cerita sang asisten.
"Bayangin aja bu ... boro2 rumah ..... duit aja nggak punya....Itu mah jelas mau nipu ....!!!"

Hahaha ......... lucu memang gaya orang mau nipu. Tapi, sekaligus prihatin juga dengan berbagai cara penipuan yang akhir-akhir ini merebak melalui sms. Ini dampak teknologi yang dijalankan oleh dan untuk tujuan negatif.

Sedih ..., karena negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ... yang syiar agamanya begitu "hebat" dan dipujikan banyak negara tetangga... tetapi moralitas sebagian masyarakatnya mengalami degradasi.

Tapi ... memang Indonesia penuh dengan ironi. Bayangkan saja ... jilbab yang sejatinya digunakan oleh perempuan yang dengan penuh ketakwaan , ingin menjalankan kewajiban agamanya, malah dijadikan seolah-olah menjadi "pakaian wajib" bagi perempuan beragama Islam kala harus berhubungan dengan aparat hukum.

Lihat saja... Cut Tari dan Luna Maya saat berkunjung ke Polda dalam kasus Ariel - Peter Pan. Atau Malinda Dee, yang menggasak dana nasabah Citibank, Nunun Nurbaeti dan banyak lagi ... Padahal siapapun tahu bahwa mereka semuanya bukanlah orang-orang yang menggunakan jilbab sebagai pakaian keseharian ...

Dan yang paling menyedihkan lagi ... perempuan-perempuan berjilbabpun tidak pula menjaga perilakunya ... Beberapa pelaku korupsi yang tertangkap adalah mereka yang berjilbab dalam keseharian.

Jadi .... kalau mereka yang "taat" pada ajaran agama saja tidak "amanah" ..., mungkin mwnjadi wajar juga kalau segala bentuk dan cara untuk mencari uang/nafkah dilakukan, termasuk tipu menipu melalui sms.

Negara ini memang sedang mengalami degradasi etika dan moral...






Senin, 10 September 2012

Rasa Kehilangan itu ....


Setiap manusia, pasti pernah merasa kehilangan, entah berupa kehilangan barang, uang atau kehilangan orang–orang yang dicintai. Kehilangan kekasih, suami atau istri, anak atau orangtua .. dan kesemuanya pasti menimbulkan kesedihan….

Kehilangan pacar …. Itu “sudah biasa”, apalagi saat remaja. Kehilangan suami atau istri …? Sepertinya di abad ke 21 ini sudah semakin sering terjadi. Kehilangan suami atau istri karena salah satu meninggal dunia atau… karena perpisahan… Tegasnya bercerai karena masing–masing sudah merasa tidak ada kecocokan lagi.

Rasanya, “anak–anak muda” sekarang sangat mudah bilang sudah nggak ada kecocokan lagi untuk pembenaran perceraian. Atau …. Mereka bilang visi dan misinya sudah nggak sama lagi ….!!! Padahal … perubahan visi itu sesuatu yang pasti terjadi… Kenapa …? Karena masing–masing individu berkembang sesuai dengan lingkungan dimana dia bergaul, terutama pada pasangan yang keduanya bekerja. Sehingga kebutuhan akan sarana sosialisasi, topik pembicaraan, penampilan dan lain–lainpun akan berubah sesuai dengan perkembangan karir dan tempat gaulnya.

Kesibukanpun bertambah …, ada pekerjaan yang semakin berat bebannya seiring dengan kenaikan posisi. Ada anak–anak yang semakin besar, yang perlu diperhatikan, bukan saja perhatian soal pendidikan, perkembangan dan pergaulannya, tetapi juga kebutuhan materi bagi anak–anak baik berupa kecukupan materi untuk hidup sehari–hari maupun untuk pendidikannya. Umur pasanganpun bertambah, sehingga pasti akan ada perubahan cara berpikir, perubahan selera dan sebagainya.

Maka… berharap sebuah pasangan tetap pada visi–misi yang sama seperti saat mau menikah dulu, adalah suatu hal yang mustahil. Segalanya harus disesuaikan dengan perubahan umur, kehidupam, karir dan sebagainya, agar ikatan pernikahan tetap berjalan seiring. Kalau salah satu berubah sementara pasangannya “ngotot” bertahan pada visi–misi yang awal sekali … ditanggung deh, bakal ribut terus…

Waks ….. ngelantur lagi ….!!! Padahal yang mau ditulis bukan “kehilangan” pasangan. Tapi rasa kehilangan orang tua akan anak–anaknya.

Tahu gak …., kapan pertama kali aku merasa “kehilangan yang sangat besar” dalam kehidupanku? Ini terjadi pada tahun 1986, tepatnya bulan Januari.

Hari itu, setelah selama satu bulan sebelumnya bersiap–siap mencari sekolah yang mau menerimanya, maka kuantar anak lelakiku ke sekolah. Umurnya belum lagi genap 3 tahun. Umur yang dipersyaratkan untuk bisa diterima di play group (TK A) saat itu. Maka kukatakan pada sekolah dan guru kelasnya, bahwa anakku itu dititipkan saja supaya dia bisa bersosialisasi dengan anak sebayanya. Di rumah… terlalu banyak orang dewasa yang “menggaulinya” (hihihi … istilahnya nggak enak banget ya…?).

Aku masih tinggal menumpang di rumah orangtua. Belum mampu beli rumah karena suami baru saja menyelesaikan studi dan kembali ke Indonesia. Di rumah orangtuaku tentu masih ada adik–adikku yang belum menikah, ada nenek dan 2 orang adik ibuku yang tinggal bersama orangtuaku. Anakku itu cucu pertama di keluargaku… Jadi bayangkan bagaimana hebohnya seisi rumah “ikut campur” mengurusi anakku. Dia nyaris tidak pernah ada di kamarku, karena selalu ada saja tangan–tangan yang dengan sangat ringan dan rela hati mengasuhnya. Bahkan … setiap week end, anakku sudah di booked orangtuaku. Kalau tidak dibawa mancing di kolam ikan di berbagai kota seputar Jabodetabek dan kadang hingga ke Cikampek … Merekapun seringkali pergi ke Bandung. Maka saat anakku ribut ingin sekolah, maka kuiyakan saja maunya.

Aku membayangkan… seperti biasanya anak – anak yang baru masuk ke sekolah, maka anakku itu “pasti” akan menangis minta ditunggui di sekolah, minimal selama 1 minggu pertama.

Begitulah … pada suatu pagi di bulan Januari 1986, kuantar si anak ke TK Duyung, di bilangan Rawamangun.  Akupun sudah bersiap–siap untuk menungguinya di sekolah dan kebetulan kami datang sedikit terlambat, tepat saat anak terakhir menaiki tangga menuju kelas. Beruntung guru kelasnya yang sangat ramah dan lembut, menjemputnya di pintu pagar sekolah dan si anak dengan riang gembira langsung menyambut tangan si guru sambil melihatku dan bilang…: dah mama……!!!”, maka tubuh mungilnya langsung hilang berlarian naik tangga menuju kelas.

Dan aku …. Ibunya bengong … kaget melihat dia berlari meninggalkan ibunya tanpa beban ... tanpa ada rasa takut kehilangan ibunya…. Malah ibunya yang terhenyak …. Ada rasa nyeri di hati… Ada rasa kehilangan … rasa hilang karena tidak diperlukan oleh si anak yang umurnyapun belum genap 3 tahun. Perasaan tidak dibutuhkan lagi kehadirannya oleh anak yang dicintai.

Peristiwa yang sama terjadi 16 tahun kemudian, saat dia berumur 19 tahun dan baru menyelesaikan ujian semester 4. Program internasional yang diambilnya memang mengharuskan mahasiswa menempuh 1 tahun terakhir studinya atau semester 7 dan 8 di Australia. Tapi anakku ingin segera pindah dan menyelesaikan 4 semester di Australia. Beruntung IPK dan IELTS nya memenuhi syarat, sehingga keinginannya pindah dan menempuh 4 semester di Australia bisa terpenuhi.

Segalanya sudah diselesaikan. Pembayaran uang kuliah semester 5, sewa apartemen selama 1 semesterpun sudah diselesaikan. Tinggal menentukan tanggal keberangkatan setelah visanya sedikit terhambat karena ternyata paru-parunya ada bercak, yang setelah diperiksa lebih lanjut ternyata bekas memar kecelakaan saat main sepak bola.

Maka kutanyakan, apakah aku atau bapaknya perlu mendampinginya, minimal pada 1–2 minggu pertama di Australia? Jawabnya …?
“Kalau mama atau papa ikut, apakah kalian bisa membantu menyelesaikan masalah di Australia…?”
“Entahlah … bisa ya, mungkin juga tidak… Tapi minimal bila ada kesulitan, ada orang lain/keluarga yang mendampingimu..”
“Ah… kalau begitu …, nggak usah deh … biar kuselesaikan sendiri… Toh disana sudah ada teman–temanku.”

Begitulah …, akhirnya aku hanya bisa mengantarnya hingga bandara saja dan melepaskannya pergi sendiri. Melepasnya untuk keluar dari rumah dan hidup dan menghadapi hari–hari pertamanya di negara orang. Berada jauh dari keluarga … walau seperti yang dikatakannya … ada temannya di sana. Bahkan teman mainnya sejak masa di SMA dulu.

masjid SMA Lazuardi
10 tahun berlalu ... walau masih sering didera rasa kangen, toh hidup tetap berjalan sebagaimana seharusnya. 

2 bulan yang lalu, menjelang bulan Ramadhan, aku harus “melepaskan” kembali anakku yang ke 2, “pergi” dari rumah. Pilihannya untuk melanjutkan SMA mengharuskannya memilih untuk tinggal di asrama. aku ... ibunya "terpaksa" merelakannya. Bukan sekedar supaya anak manja itu bisa hidup lebih mandiri dan bertanggungjawab. Tetapi juga karena lokasi sekolahnya yang cukup jauh. Minimal 90 menit di pagi dan sore hari untuk mencapai lokasi sekolah dari tempat tinggal kami. Sementara sekolahnya menganut full day school dimana jam belajarnya dimulai dari jam 07.30 hingga jam 16.00. Bahkan 2 hari dalam seminggu, sekolah akan berakhir hingga jam 17.15. Bayangkan betapa melelahkannya kalau dia harus berangkat dari rumah setiap hari. Belum lagi kalau tidak ada yang bisa menjemputnya pulang dari sekolah.

Jadi, setiap work days atau sejak minggu sore hingga jum’at sore, rumah kami, sekarang, menjadi sepi. Kami hidup berdua lagi … from zero to zero… Masih beruntung, siswa yang orangtuanya tinggal di Jabodetabek, wajib pulang ke rumah orangtuanya setiap jum’at sore dan kembali ke asrama minggu sore. Sehingga kami bisa bertemu ... setelah selama 5 hari putus komunikasi.

Berbeda dengan si kakak yang dengan “gagah berani” meninggalkan rumah dan orangtuanya… maka si adik manja ini selalu ogah–ogahan pada saat harus kembali ke asrama. Hal ini tentu lain dampaknya pada perasaanku …, karena aku tahu… kehadiranku masih sangat “dibutuhkan”. Apakah hal ini terjadi karena perbedaan kelamin antara si kakak dan adik sehingga kemandiriannyapun menjadi sangat berbeda? Karena rasa keterikatan anak lelaki kepada keluarga berbeda dengan rasa keterikatan anak perempuan kepada keluarganya…?

Lepas dari itu semua…. Setiap minggu sore, usai mengantarnya kembali ke asrama, rasa kehilangan itu tetap ada … Ada sesuatu yang hilang …. Celoteh–celotehnya tentang kejadian di sekolah, pelajaran, kelakuan teman-teman sekelasnya atau bahkan tentang cowo–cowo keren yang ditaksirnya…

Ah rupanya… menjadi ibu atau orangtua juga harus belajar menerima rasa kehilangan…. Karena… cepat atau lambat, hal itu akan terjadi dan pasti terjadi…

Selasa, 04 September 2012

Ketika "tangan" Allah turut campur ..........


Pembicaraannya sebetulnya biasa-biasa saja .... Pembicaraan informal, saat survey lokasi tanah yang akan diambil alih dan dikembangkan menjadi suatu area pemukiman baru. Nun.... jauh di timur ibukota Jakarta.

Pemukiman atau lebih sempit lagi perumahan memang merupakan masalah pelik di Indonesia. Daya beli masyarakat yang semakin menurun, ketiadaan sumber pendanaan jangka panjang bai bagi pengembang maupun pembeli, membuat target pemenuhan kebutuhan rumah di Indonesia tidak pernah tuntas.

Bila pada dekade tahun 1980an, masyarakat masih dapat "mencicipi" rumah murah dengan type bangunan yang sangat memadai sesuai dengan standard kelayakan hunian serta berdiri di atas areal tanah yang relatif luas. Bukan itu saja... peminat rumahpun masih pula mendapat kredit pemilikan rumah melalui bank tabungan negara dengan jangka panjang dan bunga sangat murah, Hanya 6% pertahun (add on). Pilihanpun banyak .... akan lebih murah lagi bila mau bersabar menunggu dan antri saat Perum Perumnas menjajakan dagangannya

Saat ini ...... cerita manis itu tinggal cerita kenangan saja. Rumah layak dan nyaman semisal type 70m2 bangunan dengan tanah seluas 250m2  hanya tinggal angan-angan. Standar kelayakan bangunanpun menurun. Sekedar berteduh saja. Bila awalnya disebut Rumah Sederhana, untuk membedakannya dengan rumah kelas real estate, maka kemudian berumah menjadi Rumah Sangat Sederhana yang kemudian diperhalus menjadi Rumah Sederhana Sehat. Mungkin sudah tidak tega lagi mencari sebutan yang enak di telinga serta tidak merendahkan pembelinya, untuk rumah dengan standar kenyamanan dan kelayakan yang semakin rendah.

oupsss........ kok malah ngelantur bahas masalah perumahan ya?
Ayo.... balik ke topik awal...

Jadi, ... saat itu, kami sedang melakukan survey lokasi untuk pengembangan perumahan lanjutan setelah lokasi awal hanya tinggal tidak lebih dari 5 unit saja dan sebagian karyawannya juga sudah "dirumahkan" sementara.

Lokasi sudah ditemukan, sudah disepakati harga dan malah sudah diselesaikan pembayarannya kepada masyarakat. Tinggal lagi penyelesaian masalah klasik yaitu pembayaran kepada RCTI alias Rombongan Calo Tanah Indonesia ... ini istilah yang diperkenalkan salah satu rekan dari Malang yang menjabat sebagai direksi perusahaan tersebut. Yang lainnya adalah biaya "hengki-pengki” pejabat pembuat akta tanah....

Gila juga tuh .... sudah dapat fee resmi ... eh... masih rakus juga minta tambahan bagian dengan berbagai macam dalih. Muak banget lihat wajah mereka, yang tanpa merasa malu atau bersalah, sudah menyusahkan dan merepotkan orang lain. Menurutku ... hal itu sudah menyalahgunakan wewenang dan tugasnya .... Tapi, ya sudahlah.... ! Biar aja nggak berkah kalau hidup dan makan dari harta dan kekayaan yang diperoleh dengan mempersulit orang lain.
***

Pembukaan proyek baru setelah proyek lama ditutup tentu ada prosesnya. Proses tutup proyek dengan segala perhitungan laba/rugi. Setelah itu, galibnya proyek... kalau untuk tentu ada pembagian bonus keuntungan dan tutup proyek. Nah bagian ini menjadi bagian yang ditunggu-tunggu awak proyek.

Setelah perhitungan untung rugi, penyisihan untuk pengembangan proyek baru dan pembagian bonus/deviden, kemudian dilanjutkan pembukaan "buku baru" proyek. Dengan kelak, jelas terlihat berapa biaya investasi dan keuntungannya.

Selama proyek berlangsung, setiap tahun biasanya pada bulan April atau Mei, akan diadakan RUPS dimana pengurus perusahaan dimana proyek bernaung melaporkan kondisi proyek kepada pemegang saham. Ini juga merupakan saat yang ditunggu, terutama untuk proyek yang sudah membukukan keuntungan karena usai RUPS, biasanya secara terbatas para pemegang saham akan menetapkan pembagian bonus keuntungan bagi staff dan karyawan proyek. Begitulah kebiasaan prosedur proyek yang ada di lingkungan perusahaan tempatku bekerja. Minimal…. Begtulah yang selalu terjadi dengan proyek yang berada di wilayah Jabodetabek.

Memang …, terasa agak luar biasa dan baru belakangan aku sadar bahwa setelah terjadi “huru-hara” beberapa tahun yang lalu dan mengakibatkan perubahan manajemen besar-besaran di proyek wilayah timur itu, rutinitas Raker dan RUPS tidak pernah lagi dilaksanakan. Aku, karena memang tidak masuk dalam jajaran manajemen proyek (manapun … hehehe …. Enak jadi pengamat dan komentator aja!), jadi tidak terlalu memperhatikan kondisi itu walau tetap mengikuti perkembangannya. Kalau tidak ada raker dan RUPS, maka berarti neraca perusahaan dan laba/rugi tidak atau belum disahkan. Kalau nggak ada perhitungan laba/rugi, akibatnya …. Sudah pasti bisa ditebak…. Tidak ada bonus proyek… its so simple …. Jadi yang ada di proyek, tentunya sadar dan harus sadar konsekuensinya.

Nah berkenaan dengan menyusun “buku baru” itulah perlu ditentukan besar modal dan pinjaman internal. Membicarakan proyek baru, maka mau tidak mau, proyek lama yang sudah habis, harus ditutup dulu. Kalau proyek sudah ditutup, sebetulnya…. Ada keuntungan buat pengelolanya, yaitu …… ada perhitungan laba/rugi yang berkelanjutan dengan “turunnya” bonus. Selama proyek nggak ditutup, maka semuanya tidak akan pernah diperhitungkan…

Sayangnya, rekan2 di timur, entah karena pencatatan keuangannya yang belum selesai …., atau karena ewuh–pakewuh untuk “menuntut” hak  bonus keuntungan, padahal sekaligus juga menjalankan kewajiban melaporkan hasil kerja kepada pemegang saham, jadi tidak pernah melakukan Raker/RUPS. Ternyata …, laporan keuangan selama 3 tahun belakangan termasuk laporan tutup proyek, sudah sejak jauh–jauh hari selesai. Rasa ewuh pakewuh mendahului “ dawuh orang pusat” untuk menyelenggarakan RUPS lah yang menyebabkan Neraca dan Laba/Rugi tidak pernah disahkan.

Ketika ada kesempatan bertemu dengan pemegang saham, sempat terlontar rencana RUPS tutup proyek dan pelaporan pekerjaan pembangunan annex hotel untuk sekaligus buka proyek baru. Berbarengna dengan hal tersebut ada pula pekerjaan penting lainnya yang tidak bisa ditinggalkan sehingga semua orang terkonsentrasi pada hal ini. Mempertimbangkan kondisi tersebut, maka RUPS diancang–ancang akan diselenggarakan pada awal Oktober 2012 yang akan datang.

Pada suatu pagi di hari Jum’at … big boss masuk ruangan, sambil lalu tanya ini itu, Kusampaikan juga berbagai kondisi lapangan termasuk rencana RUPS pada awal Oktober tersebut.

Agak siang, terjadi kehebohan karena rekanku yang mejabat sebagai direksi perusahaan sibuk mengatur jadwal rapat koordinasi seluruh proyek di timur dengan “hanya” memanggil internal auditor ke Jakarta, yang sebetulnya sedang sangat sibuk. Dan ….. rapat dengan pemilik perusahaan itu hanya menyisakan waktu 2 hari saja untuk mempersiapkan segalanya. Hal itu pasti mengacaukan segala penyelesaian pekerjaan yang disusun rekanku itu … dan aku merasa sangat bersalah pada temanku karena, pemilik perusahaan jelas menyatakan bahwa keputusan tersebut diambil setelah berbicara denganku …. Padahal, yang kujelaskan adalah rencana untuk menyelenggarakan RUPS pada awal Oktober 2012 serta materinya.

Begitulah…. singkat cerita selama 2 hari, 10 hari menjelang hari Raya Idul Fitri rapat maraton diselingi dengan buka puasa bersama yang terpaksa diadakan untuk mengakomodasikan peserta rapat yang beragama Islam. Walaupun lelah …., aku yakin rekan yang dating dari timur tentu gembira bahwa, laporan keuangan termasuk Neraca dan Laba/Rugi dari beberapa proyek bisa diterima pemilik perusahaan termasuk “laporan tutup proyek”. Pemilik perusahaan juga menyetujui pembagian keuntungan dan ini berarti ada bonus yang dapat dicairkan.

Hari berlalu tanpa terasa …. Shaum Ramadhan yang kali ini dilalui dalam terik matahari dan cuaca kemarau memang sangat menguras tenaga …. Hingga di pagi hari saat libur lebaran sudah dimulai …. Aku menerima pesan di blackberry dari suatu kota di timur pulau Jawa, yang memberitahukan bahwa temanku baru saja usai menjadi sinterklas yang membagikan bonus ….., disertai ucapan terima kasih atas bantuanku….

Bantuan …? Ah terlalu berlebihan kalau disebutkan bahwa semuanya terjadi atas bantuanku. Semua terjadi karena adanya campur tangan Allah ……

Bayangkan … sudah sejak beberapa bulan yang lalu kusampaikan adanya “kebutuhan” untuk tutup proyek dan hal itu belum mendapat tanggapan yang memadai karena adanya perbedaan persepsi. Sampai pada pertengahan bulan Ramadhan itupun, yang kusampaikan hanyalah rencana untuk mengadakan RUPS pengesahan tutup proyek pada awal Oktober 2012.

Maka hanya atas kuasa Allah SWT lah yang membalikkan hati nurani pemilik perusahaan sehingga rapat tersebut dapat digelar secara kilat dengan hasil yang sangat menyenangkan.

Begitu indahnya Ramadhan …………

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...