Rabu, 28 Agustus 2013

Life Style - Hedonisme a la masyarakat Indonesia

logo TWG Tea
Awal minggu lalu, setelah libur panjang Idul Fitri yang sangat melelahkan karena harus menggantikan hampir semua pekerjaan para asisten rumah yang sedang ambil cuti tahunan, big boss di kantor mendekati saya. Di tangannya ada tas kertas berwarna kuning, yang kelihatannya cukup eksklusif dengan label TWG tea. Di dalamnya ternyata ada satu dus yang lumayan berat terbungkus rapi dengan kertas juga berwarna kuning. Pita hitam berlogo twg tea, membingkai manis dus tersebut. Ini khas kemasan belanjaan dari berbagai benda yang dijual pada toko-toko eksklusif di seluruh dunia.

Tiba di rumah, seperti kebiasaan saya, pita dan kemasan kertas saya lepas dengan sangat hati-hati. Seperti kebanyakan benda eksklusif, bahkan perekatnyapun tidak menggunakan cello tape biasa tetapi dengan kertas berlabel mungil yang cantik. Di dalam bungkusan terdapat kotak berwarna navy blue ... juga terlihat sangat eksklusif berukir label TWG Tea berwarna perak, paduan warna cantik, yang cukup berat. Isinya ...... ada 3 buah, yaitu 1 pot berisi Jelly Tea, 1 pot isi gula (batu) dan kemasan dus berwarna biru cerah yang cantik dan di dalamnya berisi kaleng teh seberat 100gr. Juga berwarna biru dan tertulis disana French Earl Grey Tea.

French - France - Perancis, adalah negara yang terkenal dengan berbagai benda bercitarasa tinggi, terutama bila kita bicara tentang hasil pekerjaan tangan (artisanale)nya. Melihat kemasannya dan berbagai asesori yang menyertainya, saya sudah bisa membayangkan bahwa bingkisan tersebut pasti tidak akan murah harganya. Berapa? .... Entahlah .... Aucun ide ....

Penasaran .... saya memperhatikan kembali tas kertasnya ... Di situ tertera cabang-cabang TWG tea. Kesemuanya berlokasi di luar negeri dan ....., ini yang agak aneh .... sebagai penyandang label French tea, TWG tea justru berpusat di Singapore. Nah lo .... ? Ya sudahlah .... Singaporean memang ahli dagang. Sepertinya mereka benar-benar bertangan dingin, terutama untuk "mengelabui" sebagian masyarakat Indonesia yang "gila" dengan segala macam berlabel "luar".

Saat makan malam malam, salah satu pot saya ambil ... Jelly tea, dengan aroma citrus yang, menurut saya adalah citrus kimiawi atau minimal sudah terkontaminasi dengan bahan pengawet dan aroma kimia. Teksturnya lebih lembut dari Nutrijel, salah satu merek lokal. Hehe ... ketahuan banget masih selera lokal. Yang pasti, Jelly tea ini agak manis. Anak gadis saya ternyata suka banget dan dia segera menghabiskan satu pot Jelly tea tersebut.

"Apa tuh ...", tanya suami
"Oleh2 dari boss ... baru pulang dari Tasmania. Agak aneh ... libur ke Tasmania kok yang dibawa malah TWG tea asal Singapore",
Tapi saya ingat ..., si boss memang langganan SQ hampir untuk seluruh perjalanan pribadi ke luar negeri. Bisa jadi karena lupa beli oleh2 buat para krucil di kantor, sang nyonya, seperti biasa, membeli berbagai macam makanan di duty free di Changi. Begitu pikiran yang sangat praktis.
"Enak ma .... Ada di Jakarta nggak ya? Kalau ada, besok malam ke situ yuk...!" si gadis menimpali.
TWG Tea oleh2 boss
"Nggak ah .... Bisa tekor kalo tiap malam makan di luar terus ...! Selama kamu libur, tagihan kartu kredit meledak nih! "
"Sekali aja deh ... cuma pengen tahu aja kok...!", rayunya...
"Lihat gimana nanti aja...! Belum tentu ada di Jakarta. Atau .... semoga nggak ada cabang di Jakarta", sahut saya nggak yakin juga. Maklum .... apa sih yang nggak ada di Jakarta, dengan pola hidup hedonis sebagian penduduknya?

Penasaran, malam itu saya browsing, ingin tahu apa dan bagaimana TWG Tea dan apakah ada cabang di Jakarta. Ternyata .... ada di suatu Mall atau tepatnya Plaza. Baru 4 bulan beroperasi dan .... ternyata sudah banyak yang mengulasnya di blog masing-masing. Semua memuji eksklusifitas tempat, interior dan peralatannya.

Makanan atau kue-kuenya sih, konon, umumnya standard saja ... Dari ulasan di blog yang disertai foto-foto dan komentar2nya berikut kemasan oleh2 boss, saya sudah bisa menduga seberapa "murah" harga sepoci atau bahkan secangkir teh. Minimal sama atau bisa jadi lebih mahal dari kopi di Starbuck atau cafe/tea shop sejenis.

Penasaran dan untuk meredakan rengekan si gadis, jadi ... kami memutuskan untuk mencicipi TWG tea, dengan kesepakatan makan malam di rumah dulu. Makan malam di plaza/mall di malam minggu, sama saja dengan "bunuh diri" kelaparan atau harus mulai keluar dari rumah jam 17.00. Ribetlah .... mesti mikir dimana shalat maghrib, terus kalau kebetulan masjidnya jauh dari Mall/Plaza, kebayang susahnya dapat parkir di Mall/Plaza saat kami tiba. Sementara shalat di Mall/Plaza di Jakarta, belum tentu nyaman. Saya belum pernah menemukan Mall/Plaza yang menyediakan tempat shalat yang nyaman.

Dengan bekal hasil browsing, lokasi TWG tea, dengan sangat mudah kami temukan. Agak jengah juga rasanya saat melihat penampilan TWG Tea salon tersebut. Dari kejauhan terlihat betapa para pelayannya berpakaian dengan sangat rapi, sepatu pantofel hitam mengkilat. Tersadar tiba-tiba betapa kami berpenampilan sangat seadanya. Sangat berbeda jauh dengan penampilan para pelayan dan suasana di dalam yang terlihat.

Masuk ke ruangan, ternyata beberapa meja terisi penuh dan hanya 1 yang sedang dirapikan. Sambil menunggu meja disiapkan, saya mengedarkan mata... menyapu seluruh isi boutique alias toko tersebut. Ada ratusan "kaleng" kuning berisi TWG tea dengan berbagai ragam aroma, Kabarnya ada sekitar 300an aroma teh. Ini betul-betul teh, dalam arti bahwa yang diseduh adalah daun teh yang sudah diberi beragam macam aroma. Ratusan aroma itulah. Selain itu ada berbagai kaleng dengan berbagai design (exterior finishing) dan beragam warna termasuk juga beragam poci yang rupanya digunakan untuk menyajikan teh.

Semua terasa berkelas .... dan kesemuanya "diawasi" mungkin oleh store manager yang saya yakin dari penampilannya adalah pria berkewarganegaraan atau berasal dari Perancis. Penampilannya khas sekali dan mudah "terbaca" dari bentuk tubuh,  gesture, maupun caranya bicara walau saya hanya melihatnya dari jauh.

Dalam tradisi Perancis, yang disebut minuman teh adalah seduhan dengan bahan dasar daun teh baik black tea maupun green tea. Dengan rasa asli maupun yang sudah diberi aroma. Yang penting bahan dasarnya adalah daun teh, maka sah disebut teh. Sedangkan dedaunan lain yang diseduh dan sekarang lebih dikenal sebagai "herbal tea", disebutnya sebagai infusion. Berbeda dengan di Indonesia, semuanya disebut teh. Pembedanya, seduhan non daun teh disebut jamu atau herbal tea.


salah satu kemasan cookies eksklusif dari teman
Nah sambil menunggu itulah saya memperhatikan display kemasan teh dalam kaleng/dus warna-warni yang menutup hampir seluruh dinding boutique. Kesemuanya sangat cantik dan ditata dengan sangat  artistik. Perancis gitu loh....! Cuma ..... begitu lihat harga yang tertera ..... alamak .......!!! Harga 1 kaleng teh bisa menghabiskan jatah bensin saya selama 10 - 30 hari. Teh dalam kemasan 50 gram ternyata dihargai 350K dan beberapa jenis dalam kemasan 100 gram diberi label 750K. Jadi ... saat ditawari untuk membeli, saya "terpaksa" jawab masih ada satu dus di rumah. Ini betul .... nggak bohong, karena justru dari satu dus oleh2 boss itulah, saya "kenal" TWG Tea,

Sambil lalu, sempat saya tanyakan juga berapa harga 1 pot Jelly tea yang disukai anak saya itu. Jelly tea dalam kemasan sekitar 100 ml dan ternyata berlabel 80K. Haduh ...... terbayang deh, nutrijel yang walau kelembutan dan aromanya memang jauh berbeda tetapi harganya sangat jauh. Memang nggak bisa dibandingkan antara lokal dan "luar". Ini masalah gengsi dan eksklusifitas!!!

Karena memang sudah diniatkan untuk mencicipi TWG tea, maka rombongan sirkus mini ini tetap sabar menanti tempat duduk. Kemudian sempat kebingungan memilih aroma apa yang ingin dicicipi dari ratusan jenis teh beraroma yang ditawarkan dengan harga rata-rata sekitar di atas 40K per tea pot. Rasanya ingin mencoba seluruh aroma yang ada disitu.

Akhirnya ... setelah pusing bolak-balik kartu menu, saya memilih Creme Brulee tea ..., Namanya agak berbau Perancis. Jadi penasaran juga gimana rasanya. Saya lupa apa yang dipilih anak & suami. Untuk cemilannya, saya memilih paket 3 pcs muffin yang disajikan dengan whipped cream dan jelly tea sementara anak saya memilih green tea ice cream. Kalau nggak salah. Belakangan si gadis menyesal karena dia tidak menyatakan dengan jelas berapa scoops yang diinginkan sehingga hanya tersaji 1 scoop. Kami hanya menyantap makanan ringan karena hari sudah menunjukkan jam 21.00. Sudah lewat jam makan malam kami, yaitu jam 18.30.

Bagaimana dengan rasa TWG tea ... menurut saya, rasa tehnya sangat ringan. Sama sekali tidak terasa aroma dan rasa tehnya. Kalah dengan aromanya.

Sambil minum dan ngobrol, iseng juga saya lirik kiri-kanan memperhatikan pengunjung yang silih berganti memenuhi sedikit meja yang ada. Mungkin tidak lebih dari 8 meja. Kesemuanya manusia-manusia gaul yang chic .... Dari penampilannya, pasti semua dari golongan atas.

Iyalah ..... mana ada yang mau bayar ratusan K untuk sekedar minum teh dengan sedikit kue2 di tempat chic kalau bukan kalangan atas. Pantas jugalah kalau TWG Tea punya potensi menjadi tempat hang out eksklusif yang cepat atau lambat mengalahkan pamor Starbuck. Atau mungkin juga TWG Tea mengambil kelas yang lebih tinggi dari Starbuck. Selama 4 bulan mereka beroperasi saja, mereka sudah berani mengambil ancang-ancang untuk membuka satu lagi gerainya di salah satu Mall yang prestigious di Jakarta.


Kaleng warna-warni di rak atas itu seharga 15jt/pcs
Hari beranjak sangat cepat dan pada jam 22, kami memutuskan meninggalkan lokasi. Sambil memasukkan kartu hutang alias kartu kredit yang saya gunakan untuk membayar 3 pot teh beserta penganannya, iseng saya lemparkan pertanyaan kepada vendeur alias pelayan toko tentang kaleng teh warna-warni yang terpajang di sepanjang dinding gerai di bagian atas;
" Boleh tanya ... berapa harga kaleng teh yang di atas itu?"
"Lima belas bu .....", jawabnya singkat.
"Maksudnya....?"
"Lima belas juta rupiah..."
Gubraks........., sempat kaget dan terhenyak mendengar harga kaleng teh warna-warni yang cantik itu, tapi saya nggak mau kelihatan kaget ... alias sok jaga gengsi juga hehe....

"Kok mahal banget ya....?"
"Ya bu .... kaleng itu hand made dan di import langsung dari Perancis...!"
"Oh ...............".

Iya sih ...... seperti yang sempat saya katakan, Perancis memang sangat menghargai kerja manual. Design, komposisi warna selalu digarap dengan sangat teliti. Pengerjaannyapun sangat halus dan terasa sangat berkelas.... Tapi ..... "Kaleng krupuk" seharga 15 juta...? Walau dibuat dengan design khusus, hand made dan impor langsung dari Perancis....? Rasanya sangat tidak masuk akal dan sangat berlebihan.

Tapi .... ya sudahlah!!! Saya mungkin memang belum masuk golongan kelas atas, sehingga masih shock dengan hal-hal seperti itu.

Begitulah gaya hidup di kota besar Indonesia.... Hedonisme dengan kata kunci eksklusif ternyata menjadi jurus ampuh para pemasar alias pakar pemasaran untuk menaklukkan dan mendikte kaum OKB Indonesia.

Sambil melangkah meninggalkan TWG tea boutique menuju tempat parkir, terbayang tambahan tagihan kartu kredit saya di bulan yang akan datang... Menyesalkah..? Nggaklah ... cuma dalam hati saya agak nggrendeng juga .... Saya ternyata seringkali jadi "korban" oleh-oleh dari boss dan nyonya saat mereka pulang dari perjalanan ke luar negeri ....

Selasa, 13 Agustus 2013

Ketika Allah berkehendak

Siang itu, kira-kira sekitar jam 15.00, ketika lamat-lamat kudengar suara adik lelaki saya bicara. Siang itu saya memang sengaja tidur di kamar anak gadis saya, sambil membaca seri ke 4 buku karangan Thomas Harris. Pembantu rumah masih istirahat di kampungnya.

"Tolong bukakan pintu untuk oom", pinta saya kepada anak gadis yang sedang browsing di kamarnya. Teringat bahwa pintu masuk ke rumah sudah saya kunci sebelum masuk kamar tadi. Tentu dia tidak bisa masuk rumah dan mengetuk pintu kamar saya yang letaknya bersebelahan dengan kamar anak saya.
"Sudah dibuka bapak", begitu sahutnya.
Saya kemudian bangun. Teringat bahwa saya menjanjikannya untuk memberi seperenam bagian opera cake untuknya.

Sambil berjalan menuju ruang makan, terdengar kehebohan di dapur. Asap menyeruak kelabu masuk ke ruang makan. Kaget, saya segera masuk ke dapur .... penuh asap, pengap namun tidak terlihat ada api sedikitpun. Di lantai dapur terlihat onggokan panci dan potongan segi empat yang hitam legam. Entah apa bentuk awalnya. Adik saya masih sibuk membuka lebar-lebar pintu dan jendela yang berhubungan dengan dapur. Berusaha menghilangkan asap yang memenuhi seluruh ruang dapur, gudang dan kamar PRT yang lokasinya saling berhubungan.

"Gila ..... tahu enggak, tadi aku lihat api berkobar besar... sudah menjilat-jilat ke atas! Untung dapur nggak terkunci. Mana tabung pemadam kebakaran kosong, lagi! Jadi aku ambil aja handuk2, kusiram pake air! Kita beruntung ....., api bisa padam!", begitu cerocosnya melihat saya masuk dapur.

Selain asap yang masih memenuhi dapur, gudang dan kamar PRT yang memang letaknya bersebelahan, praktis tak ada tanda-tanda bekas terbakar. Termasuk juga kitchen cabinet yang terbuat dari kayu, luput dari terjangan api. Mungkin masih terlindung oleh cooker hood.

Saya bingung, bengong .... nggak tahu lagi mesti bilang apa... Jam sudah menunjukkan kira2 jam 15.05.
"Aku tadi lagi di rumah sakit, habis antar Yuli. Trus kok perasaanku terasa enggak enak. Jadi langsung aja kutinggal dia dan cepat-cepat kesini. Aku kaget lihat api di dapur, gede banget...., sampe nggak sempat matiin mobil. Panik .... untung ada banyak handuk. Jadi api aku matiin pake handuk basah", lanjut cerita adikku.
"Kenapa sih....?", tanya suami kebingungan
"Nggak usah diomongin lagi", sahut saya, agak nervous, seraya meminta adik saya membuang semua bekas-bekas barang yang terbakar termasuk panci.

Masih dalam kondisi antara sadar dan tidak, saya hanya bisa mengucapkan ....
Alhamdulillah ....
Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Pelindung .....

Andai tak digerakkanNya hati dan perasaan adik lelaki saya itu, entah apa yang sudah terjadi dengan rumah peninggalan ibu saya ini. Mungkin sudah tinggal puing-puing hitam legam dan debu. Saya tidak bisa menafikan campur tangan Allah SWT, walau tidak melihat dengan sendiri seberapa besar api. Tapi .... melihat betapa sendok kayu sepanjang 30 cm hanya tinggal 10 cm serta talenan kayu sudah gosong menghitam dan sudah tinggal setengah ukuran semula, tentu seperti apa yang diceritakan adik saya, bahwa api memang sudah berkobar besar dan menjilat kesana-kemari. Ngeri membayangkannya, apalagi ... di bawah kompor, ada tabung gas.

Saya teringat, sekitar jam 13.00, adik lelaki saya datang ke rumah meminjam mobil suami untuk mengantar adik perempuan yang lain ke rumah sakit. Saat itu saya menawarkannya untuk membawa pulang sayur labu siam untuk makan siang di rumah, karena istrinyapun baru saja kembali dari dokter sehingga mungkin mereka belum sempat masak. Untuk itulah saya menghangatkan sayur tersebut.
"Ya ..., nanti aku ambil sesudah dari RS, sekalian ambil opera cake nya", begitu sahutnya

Entah mengapa, usai menutup pintu pagar, saya langsung menutup dapur, lalu membawa buku dan masuk ke kamar anak gadis saya. Sedikitpun tak teringat bahwa saya sedang dan masih memanaskan sayur di dapur. Bila dihitung waktu, saat adik saya meninggalkan rumah hingga saat saya terbangun, maka ada jeda 2 jam. Jadi selama itulah kompor menyala tanpa seorangpun melihat dan menyadarinya.

Tentu saja tidak ada satu orangpun yang tahu ... Suami sedang tidur di kamarnya, anak saya sejak pagi asyik browsing di kamar. Lha ... saya yang menyalakan kompor saja sama sekali tidak ingat. Bagaimana lagi dengan orang lain?  Pantas saja kalau isi panci kering-kerontang dan panci menjadi luar biasa panasnya sehingga mampu membakar sendok kayu serta talenan kayu yang menutupinya

Sungguh ...... saya shocked berat dengan kejadian ini. Ini adalah kejadian ke 3, lupa mematikan kompor gas dan seharusnya tidak boleh terjadi lagi kebodohan ini. Saya tidak boleh lagi berdalih faktor umur menyebabkan saya menjadi pelupa, tetapi harus lebih berhati-hati. Tidak boleh lagi meninggalkan kompor menyala untuk melakukan hal lain sambil menunggu mendidihnya air atau masakan.  Multitasking tidak boleh dilakukan saat memasak, kecuali area kerjanya masih di dapur juga.

Sungguhpun kita percaya bahwa Allah SWT Maha Pelindung umatNya, tapi sebaiknya kitapun berusaha untuk selalu berhati-hati. Wa Allahu alam

Minggu, 11 Agustus 2013

Ikhlasnya "orang kecil"

Para akhli demografi membedakan strata sosial masyarakat, minimal ada 3. Golongan Atas, golongan Menengah ... yang ini biasanya masih dibagi 2, yaitu golongan menengah Atas dan golongan menengah (saja). Yang terakhir adalah golongan berpenghasilan rendah. Definisinya pasti berdasarkan besarnya penghasilan mereka.

Saya bukan ahli demografi dan nggak terlalu memperhatikannya. Menurut saya, untuk kondisi kehidupan di Indonesia, penggolongan masyarakat berdasarkan penghasilan tidak mencerminkan kondisi rielnya. Yang saya ingat dan pernah baca di Tempo, orang yang membelanjakan USD 2 per hari atau sekitar Rp.550.000,- per bulan per orang sudah termasuk golongan menengah, walaupun golongan ini masih cukup rentan untuk "jatuh" ke golongan bawah/rendah alias miskin.

Coba deh perhatikan ... kalau 1 keluarga terdiri dari 4 orang, artinya mereka membelanjakan atau mengeluarkan biaya Rp.2.200.000,-/keluarga/bulan untuk seluruh kebutuhan hidupnya. Ini persis sebesar UMR yang pada awal tahun 2012 yang lalu dituntut buruh dan akhirnya disetujui pemerintah. Coba lihat, apakah kehidupan para buruh sudah sangat layak dan mereka sudah mampu mencukupi kebutuhan sandang pangannya secara layak. Lalu ... apakah ini juga berarti bahwa mereka yang membelanjakan kebutuhan rumah tangganya sebesar Rp.3.000.000,- per bulan per keluarga sudah termasuk golongan menengah?

Apapun dan bagaimanapun definisi mengenai golongan/strata sosial masyarakat, saya hanya ingin bercerita soal hubungan dan komunikasi dengan mereka, di luar petugas kantor (office boy, satpam, kurir dan supir) yang secara jujur harus diakui sangat terbatas.
***

Kehidupan sosial saya memang tidak terlalu banyak bersentuhan dengan masyarakat golongan bawah. Walau kami tinggal di kawasan/lingkungan perumahan rakyat, yang bukan berbentuk town house atau real estate, tetapi, masyarakat "asli" Betawi di lingkungan kami memang sudah agak "minggir". Berpindah tinggal di gang-gang di belakang rumah besar di sepanjang jalan setelah tanah-tanahnya yang luas di tepi jalan berpindah tangan kepada para pendatang. Masyarakat Betawi yang tidak memiliki tanah lagi akhirnya pindah ke pinggiran Jakarta seperti Meruyung atau Limo. Jadi, tidak terlihat lagi interaksi antara penduduk asli dengan pendatang seperti kami. Namun mereka tetap kompak di lingkungannya, yang terlihat dengan adanya rombongan ibu2 berseragam pengajian atau kegiatan-kegiatan sosial khas "kampung" lainnya. Yang pasti, kepengurusan RT/RW di lingkungan tempat tinggal kami tetap di tangan penduduk asli...

Kontak dan komunikasi yang rutin terjadi dengan masyarakat "kebanyakan" adalah dengan 2 orang petugas parkir  Pondok Labu, penjual majalah/tabloid yang ke tiganya tidak saya ketahui namanya. Lalu ada bang Manan, Naih dan Yadi penjual sayur langganan, Aceng, yang bukan Aceng Fikri mantan bupati Garut peleceh perempuan, dengan bapaknya. Yang ini adalah penjual buah. Lalu ada mbak Ati yang dikejar-kejar majikannya untuk dinikahi dan si uda keduanya adalah bekerja di kios penjahit dan obras/neci. Kesemua orang yang saya sebut tadi berada di kawasan pasar Pondok Labu.

Di Lotte Wholesale Ciputat, ada banyak "fans" saya hehehe ...... Itu istilah yang diberikan suami saya kepada para petugas pengumpul trolley yang sangat ringan tangan membantu kami membawakan trolley belanjaan dan memindahkannya ke dalam mobil. Lucu juga kalau diingat, seringkali isi trolley yang tidak seberapa itu dilayani sekaligus oleh dua orang petugas.

Beberapa tahun yang lalu, kami juga sering makan malam, berupa nasi goreng Joger, kalau tidak salah di depan RS Setia Mitra, atau makan soto ayam di halaman kantor pos, masih di Jalan RS Fatmawati. Belakangan ini sudah agak jarang dilakukan karena macet di ruas jalan RS Fatmawati membuat kami agak malas keluar rumah.


Terakhir, ada pedagang kue semprong di Lotte Mart jalan RS Fatmawati, yang bekas kompleks Golden Trully/D'best. Setiap kali kami bertemu, rasanya miris sekali melihat tumpukan dagangannya yang masih penuh. Entah kenapa dia masih tetap setia berdagang kue semprong. Padahal ..... sudah jarang orang yang suka dengan makanan itu. Jangankan remaja ..., orangtua saja, sudah jarang yang membeli. Mereka tentu lebih suka jajanan semacam roti, donut atau fried chicken.

Mereka semua adalah orang-orang kecil dengan segala keunikan sifat, karakter dan penampilan. Saya patut mengagumi keuletan mereka mencari sesuap nasi, termasuk juga "driving force" nya untuk bertahan hidup di tengah belantara kehidupan yang keras di Jakarta. Mengumpulkan seribu demi seribu keuntungan dari setiap dagangannya. Rasanya... mereka jauh lebih bermartabat daripada para pengemis dan bahkan koruptor sekalipun.
***

Ramadhan kali ini, bagai berkah buat saya. Masih di tengah bulan Ramadhan, sepulang kantor, PRT di rumah lapor ...
"Bu ...., tadi Naih datang, bawa dodol, tape ketan hitam dan uli". katanya. Naih adalah asistennya bang Manan si tukang sayur. Dia sudah seringkali ke rumah membawakan pisang tanduk dari pekarangan rumah bang Manan.

Alhamdulillah ........., tape ketan dan uli adalah makanan khas Betawi yang saya kenal sejak kecil dulu dan menjadi salah satu makanan tradisional kesukaan saya. Tape ketan dan uli mengingatkan saya kepada almarhumah nenek saya dari pihak bapak, yang saya panggil mamah. Perempuan Menak asal Sunda, konon dari Warung Kondang - Cianjur, menikah dengan kakek saya yang Betawi itu. Setiap pertengahan bulan Ramadhan dulu, beliau selalu membuat penganan khas Betawi seperti Tape ketan+uli, geplak dan kue satu, disamping kue-kue kering yang disebut kue semprit, nastar, kastengel bahkan kue lapis legit dengan peralatan dan oven yang sangat sederhana. Persediaan untuk sajian lebaran.

"Masya Allah ......."
Kaget betul saya melihat kiriman Naih itu. 1 bungkus besar uli, ditambah dengan 2 buah dodol berukuran diameter 20cm dan 1 stoples tape ketan hitam. Keesokan harinya ... tetangga di ujung jalan masuk rumah saya, mengirimkan penganan. Keluarga Betawi itu, juga mengirim tape ketan + uli, buras dan dodol.

Andai jumlah penganan itu terkirim secukupnya saja, saya tentu dengan senang hati menghabiskannya. Tapi ....., akumulasi jumlah penganan khas Betawi itu sungguh luar biasa banyaknya. Terpaksa sebagian saya tawarkan kepada adik-adik saya yang mau membawanya ke rumah masing-masing. Begitu juga kepada PRT yang mau mudik. Saya sisakan secukupnya saja untuk disantap. Bukan tidak menghargai pemberian orang, tapi saya pikir, begitu lebih baik daripada mubazir.

Lain halnya dengan bang Manan. Hari Minggu 4 Agustus 2013 adalah hari terakhir saya belanja ke pasar Pondok Labu. Kepada bang Manan, saya memesan 10 papan petai dan 3kg kacang panjang untuk sayur pendamping ketupat lebaran, agar di antar pada hari Rabu pagi. Saya belum membayarnya, karena bang Manan sendiri belum tahu berapa harga sayuran tersebut. Biasanya mendekati Lebaran, harga bisa naik tak terkendali. Jadi kesepakatannya adalah ...., saya akan membayar saat sayur diantar ke rumah.

Rabu pagi, saya terlambat bangun. Kacang panjang pesanan saya ternyata sedang dipotong-potong adik ipar di dapur. Kepada Yudi, tukang kebun yang sedang bersiap-siap pulang kampung, saya tanyakan hal tersebut.
"Siapa yang antar sayur tadi, jam berapa?"
"Sekitar jam delapan bu ... Bang Naih yang antar!", sahutnya
"Kenapa nggak bangunin saya?"
"Kata bang Naih ..., sayur ini cuma disuruh antar ke rumah ibu aja ....bang Manan nggak ngasih harganya...!"

Halah ....... saya betul-betul kehilangan kata-kata mendengar jawaban Yudi.
Cepat saya ambil telpon genggam, Di situ ada nomor telpon bang Manan yang diberikannya beberapa minggu yang lalu. Saya tekan nomornya ...ada nada sambung, tapi tak diangkat. Berulang kali nomor tersebut di redialed tapi tetap tak diangkat. Padahal, saat nomor itu saya peroleh, sudah ditest dulu supaya tidak salah sambung.
Telpon bang Manan tidak diangkat dan memang tidak pernah diangkat. Dikirimi sms pun tak pernah dijawab. Ini sudah yang kedua kali saya menghubunginya melalui telpon dan selalu tidak diangkat.

Dan ...... inilah peristiwa paling konyol saat lebaran....... saya berhutang, entah berapa besarnya, kepada bang Manan untuk harga 3kg kacang panjang dan 10 papan petai yang kemudian menjadi sepanci sayur pelengkap ketupat lebaran.

Minal Aidin wal Faidzin
Taqobalallahu minna wa minkum
Selamat Idul Fitri 1434H

Sabtu, 10 Agustus 2013

Ketika PRT pulang kampung untuk berlebaran

Pembantu Rumah Tangga alias PRT di rumah saya, alhamdulillah sangat kooperatif. Dia mau memundurkan jadwal pulang kampungnya sesuai dengan jadwal libur lebaran kantor saya. Begitu juga dengan jadwal kembalinya ke Jakarta, yaitu sehari sebelum saya mulai masuk kantor. Dengan demikian, saat saya harus meninggalkan rumah untuk bekerja, praktis dia sudah bisa mengambil alih pekerjaan rmuah.

Tahun ini, dia minta ijin untuk kembali ke Jakarta agak lambat, karena dia ingin bertemu dengan kakaknya yang sudah beberapa tahun ini tinggal di Batam, mengikuti anak/menantunya yang sudah lebih dulu tinggal disana. Saya, mau tak mau mengijinkannya. Apalagi, si anak yang juga tinggal bersama kami, baru akan masuk sekolah pada hari Senin 19 Agustus 2013. Jadi ada alasan kuat bagi mereka untuk kembali, paling lambat Minggu 18 Agustus.

Ya sudahlah .... setahun sekali mereka beristirahat .... menjadi dirinya sendiri setelah 50 minggu lainnya bekerja hampir tiada henti dengan ruang lingkup antara dapur dan tempat cuci-jemur dan seminggu sekali menemani saya ke pasar.

Maka, untuk mengantisipasi keperluan lebaran, biasanya dia sudah menyiapkan piring - sendok, pyrex, gelas, mangkok dan kawan-kawannya untuk tamu selama lebaran. Dia sudah tahu persis, bahwa rumah kediaman saya, yang nota bene rumah peninggalan orangtua adalah tempat singgah, mudik dan pastinya tempat menginap 2 keluarga adik saya yang bermukim di Bandung. Mereka, biasanya akan tinggal di Jakarta antara 3 - 4 malam. Dua atau tiga malam sebelum D-day dan kembali ke Bandung pada tanggal 2 atau 3 Syawal.

Selain itu ...., sudah 2 kali lebaran ini, sejak ibu mertua saya meninggal dunia, kediaman kami seakan mengambil alih tempat pertemuan keluarga besar suami pada hari lebaran, 1 Syawal yang biasanya diselenggarakan di rumah ibu mertua.

Jadi .... 1 Syawal di tempat kami memang jadi sangat heboh. Siang hari dipenuhi keluarga besar suami yang paling tidak ada 10 pasang adik/kakak suami saya, termasuk kami sekeluarga ditambah sebagian keponakan-keponakan suami. Sekarang ditambah lagi dengan istri/suaminya  masing-masing serta beberapa anak mereka yang menjadi "cucu" alias generasi ke 4, dihitung dari generasi ibu/bapak mertua. Untungnya ... ada tradisi potluck sehingga kami hanya menyediakan ketupat+sayur kacang panjang+opor ayam ditambah dengan apa yang sempat saya sediakan.

Malam hari, setelah shalat maghrib, giliran adik-adik saya yang berkumpul di rumah. Yang ini, lebih sedikit jumlahnya. Tahun ini hanya hadir 5 pasang suami-istri ditambah dengan 12 anak saja. Menu makannya standar saja .... rendang Padang, wajib ada. Selain sebagai sajian saat lebaran, dulu ibu saya selalu membekali anak2nya minimal 20 potong rendang yang setara dengan 1 kg daging mentah. Tradisi ini "terpaksa" saya lanjutkan juga, dengan harapan semoga rendang itu menjadi pengikat dan pengingat kehadiran almarhumah ibu kami karena rendang bisa dikatakan makanan kebangsaan keluarga kami. Masakan khas yang berasal dari ranah kelahiran dan negeri asal muasal nenek moyang ibu saya. Apalagi sajian ini memang hanya hadir saat lebaran saja.


Dulu ... saat ibu saya masih ada, beliaulah yang memasak rendang dengan dibantu PRT kami. Saya, lagi-lagi beruntung memiliki PRT yang cekatan dan cepat menangkap cara memasak hampir seluruh masakan tradisional Indonesia. Jadi setelah ibu saya meninggal dunia, dia dengan ringan tangan mengajukan diri untuk membuat rendang dengan cita rasa yang hampir sama dengan buatan ibu saya. Maka .......... anak gadis saya protes ..., seharusnya saya juga yang mewarisi kepandaian membuat rendang.

Niat itu sempat terbersit dalam hati, yaitu saat ibu saya mulai sering mendapat gangguan dari komplikasi diabetesnya. Sayang ... niat itu belum sempat terlaksana hingga ibu saya meninggal dunia persis di hari terakhir bulan Sya'ban dua tahun lalu. Ada saja alasan untuk menunda-nunda pekerjaan itu. Alasan utamanya tentu karena membuat rendang walau sederhana caranya, tapi memakan waktu yang panjang untuk memasak hingga menghasilkan rendang berwarna hitam tanpa menghancurkan dagingnya serta, tentunya, tenaga yang besar untuk mengaduk masakan/daging agar tidak gosong dengan berbagai tips dan trick agar daging tidak hancur.

Jadi saya memang harus mengucap syukur, bahwasanya PRT kami cukup cekatan mewarisi kepandaian membuat rendang, bahkan tanpa campur tangan saya sekalipun, kecuali tentunya campur tangan dalam membeli bahan mentahnya saja dan tahun ini .... saya bertekad harus mampu membuat rendang asli Padang sebagaimana yang dicontohkan ibu saya.

Berkenaan dengan rendang ini pula, kemarin saat salah satu ipar suami saya yang berasal dari Semarang berkenan membawakan rendang buatannya. Karenanya rendang dari dapur saya, tidak disajikan di atas meja. Bukan pelit ... tapi tentu dengan niat untuk menghargai masakannya yang tentu sudah dibuatnya dengan sangat hati-hati untuk mendekati rendang yang sesungguhnya. Selain itu agar tidak terjadi "persaingan" antar masakan sejenis.

Tapi .... memang masakan harus diinterpretasikan dan dimasak dengan cara dan dicicipi sebelumnya oleh orang yang mengetahui dengan persis selera dan original taste nya. Maka .... walau sama-sama dinamakan rendang ....., maka dengan mengucapkan permintaan maaf kepada kakak yang sudah bersusah payah memasaknya, rendangnya terpaksa disebut "rendang Jawa". Rendang yang dimasak dengan interpretasi selera kuliner Jawa.


buah rendang
Sempat saya tanya pada suami, apa bedanya dengan rendang buatan PRT kami yang berasal dari Cimahi, tapi sudah "dididik" ibu saya untuk memasak/membuat rendang dengan warna, kepekatan dan taste asli Padang. Ini komentarnya ...:
"Rendang Jawa banget .... manis dan ada rasa kayumanis"
Tapi ..... suami juga menambahkan bahwa rendang buatnya identik dengan buah rendang. Mungkin sekarang sudah menjadi buah langka. Seingat saya. buah rendang bentuknya bulat berdiameter 1cm bergetah. Pohonnya berdaun kecil agak kemerahan. Ini ingatan masa kecil saya
Warnanyapun agak berbeda .... kalau buatan PRT kami, warnanya coklat pekat dengan bumbu yang sarat/pekat dari santan kering, tampa tambahan bubuk kelapa sangrai yang sering ditambahkan orang untuk mempersingkat waktu masak tetapi tetap menghasilkan bumbu yang banyak.

Gila ...... kok ceritanya nglantur ke rendang ya....?

Nah ..... apa yang terjadi saat PRT pulang kampung untuk berlebaran? Yang sudah sangat pasti ... H -2 menjelang lebaran, saya harus membuat selongsong ketupat. Ngrepotin diri banget ya? Hehe .... iya ngrepotin diri sendiri karena di pasar sesungguhnya sudah ada selongsong siap pakai. Tapi .... saya kurang suka bentuknya karena agak gendut bagian bawahnya sehingga merepotkan saat membuat potongan ketupat yang besarnya konsisten. Saya lebih suka bentuk ketupat Padang yang bentuknya "belah ketupat sempurna" dengan ketebakan yang konsisten sehingga saat dibelah dan dipotong menghasilkan potongan ketupat yang konsisten besarnya.

H -1, pagi hari saya mulai mengisi selongsong ketupat dan memasaknya. Biasanya ketupat baru akan selesai dimasak dan diangkat, sesuai "pakem dan ajaran" ibu saya, setelah 8 jam dimasak, dihitung sejak airnye mendidih pertama kali. Kacang panjang untuk sayur ketupat, masih menurut pakem dan ajaran ibu saya, harus diiris tipis setebal 1mm saja. Nah .... urusan iris-mengiris kacang panjang dan petai, saya serahkan pada ipar atau adik saya, bila dia sudah tiba di Jakarta. Rempela ayam, biasanya sudah direbus PRT sebelum dia pulang kampung, jadi tinggal diiris tipis saja. Bumbu sudah beli siap pakai di pasar, dilabeli pula oleh PRT, sehingga memudahkan saya untuk menggunakannya.

Malam hari, usai buka puasa dan makan malam, tugas selanjutnya adalah membuat sayur kacang panjang dan opor ayam. Urusan mengangkat ketupat, bisa diserahkan kepada adik-adik lelaki yang kesemuanya cukup ringan tangan membantu pekerjaan rumah.

Kehebohan biasanya terjadi saat ada kekurangan peralatan dapur atau sayuran/bumbu. Maklum saja .... walau sudah disiapkan sesuai kebutuhan, selalu ada hal tak terduga. Maka ..... bingunglah sang nyonya rumah .... Namanya saja nyonya rumah .... "pemilik" rumah, di atas kertas ..... de jure .... tapi pada kenyataannya, dalam praktek dan de facto .... ternyata sang nyonya rumah KO saat PRT mudik. Dia tidak tahu dimana "spare" piring, sendok, gelas dan peralatan lainnya berada. Dimana bumbu ini-itu tersimpan ..... Bahkan sama sekali tidak tahu stop kontak mana untuk lampu ruang luar atau pompa air, sehingga kehebohan selalu dan pasti terjadi. Teriakan air mandi dari keran tidak mengalir karena ternyata air dalam tabung cadangan kosong karena kesalahan mematikan stop kontak lampu/pompa kerap terjadi.

Maklum saja ... penghuni rumah bertambah minimal 8 orang dari Bandung. Belum lagi keponakan lainnya yang tinggal di Jakartapun ikut bergabung menginap di rumah. Jadi suasana makin kacau balau.

D-day .... kehebohan pasti terjadi .... Untung ada ipar yang paling kecil rajin membantu di dapur untuk mencuci piring-piring menggunung saat keluarga suami berkumpul. Walau dilengkapi juga dengan piring/gelas plastik untuk makanan potluck dan minuman gelas/kotak, tetapi piring untuk makanan utama tetap menggunakan piring asli. Nggak tega rasanya membiarkan tamu makan dengan piring kertas atau styrofoam. Terasa kurang sopan dan tidak menghargai tamu.

Lebaran kali ini saya tidak membuat ketupat terlalu banyak. Targetnya, ketupat harus habis pada D-day. Kalaupun tersisa, cukuplah untuk dimakan hingga waktu makan siang di hari ke 2. Nggak sehat dan sangat membosankan kalau berhari-hari kita memakan masakan yang sama.

Hari ke 2 lebaran, saya harus mulai mencuci pakaian. Kalau tidak ... entah berapa tinggi tumpukan pakaian yang harus dicuci .... Harus mulai membagi waktu untuk memasak sekedarnya, menyirami tanaman di halaman rumah, memberi makan ikan .... mensetrika pakaian, yang buat saya adalah pekerjaan yang paling menyebalkan.

PRT saya ini memang pandai. Bukan karena dia memang pandai memasak dan mengurus rumah, tetapi memang dari segi pendidikannya. Dia lulusan SMA di kampungnya. Pernah bekerja sebagai tenaga administratif di salah satu pabrik di kawasan Cimareme. Hanya nasiblah yang akhirnya membawanya bekerja menjadi PRT. Semoga anaknya yang sekarang masih bersekolah di SMK Grafika Jakarta kelak mampu mengangkat derajat ibunya ke tempat yang layak.
***

Mempekerjakan pembantu sementara bagi saya tidak menjadi solusi. Bukan karena biayanya yang juga relatif tinggi, tetapi saya memang tidak suka ada orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Dengan adanya berbagai konspirasi antara oknum PRT dengan komplotan perampok, saya tidak ingin membuka peluang tersebut.

Di samping alasan tersebut, bisalah dianggap bahwa bekerja saat PRT mudik merupakan kesempatan untuk lebih banyak bergerak, menguras tenaga dan keringat sehingga kelebihan makanan yang disantap pada saat merayakan Idul Fitri cepat larut dan tidak menyebabkan kegemukan.

Alasan lainnya adalah dengan kita mengerjakan pekerjaan tersebut, sekaligus merupakan ajang untuk mendidik anak-anak agar mereka lebih menghargai pekerjaan rumah tangga. Menghargai jerih lelah para PRT sehingga kita mampu dan mau menghargai mereka sebagaimana layaknya kita ingin diperlakukan oleh perusahaan/instansi tempat kita bekerja. Itu teorinya .....

Tapi prakteknya ...... Alamak .... pusing tujuh keliling. Badan rasanya pegal-pegal dan tulang belulang terasa seperti mau rontok... Betul-betul harus tabah sampai akhir .... Mungkin memang begitulah apa yang dirasakan oleh para PRT. Tabah sampai akhir....

Maka ..... nikmati saja suasana hari-hari tanpa pembantu .... dan kita akan bisa merasakannya



فَبِأَيِّ آلَاء رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? 

Jumat, 09 Agustus 2013

Ballada PRT

arus mudik lebaran
Mudik lebaran merupakan ritual tahunan yang ditunggu banyak orang. Entah kapan dimulai, peristiwa pulang kampung saat lebaran menjadi peristiwa luar biasa yang membuat heboh seantero negeri. Bukan saja membuat heboh para pejabat di sektor transportasi untuk membawa mereka kembali ke masing-masing kampung halamannya, terutama di wilayah Jawa Tengah dan Timur, tetapi juga menyangkut persiapan sarana jalan raya hingga materi berupa sandang pangan yang akan dibawa mudik, baik bagi para pemudik itu sendiri maupun berupa buah tangan bagi keluarga, kerabat dan tetangga di kampung halaman.

Kalau dulu mudik hanya dikenal bagi para perantau yang berasal dari Jawa, maka sekarang para perantau Minang atau wilayah lainnya yang bekerja di pulau Jawapun ikut "mudik" ke kampung halamannya walau dengan istilah lain. Misalnya "pulang basamo" bagi perantau Minang.

Mudik .... entah sejak kapan pulang ke kampung halaman pada saat lebaran diberi label mudik dan melahirkan istilah/kosa kata pemudik ke dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Seingat saya .... atau terkaan saya, mudik berasal dari kata "udik" dalam perbendaharaan bahasa Betawi yang berarti kampung.

Jadi, saat saya kecil dulu ..., saya lebih mengenal kata udik untuk menyebut sesuatu yang berbau kampung dan kalau boleh terus terang, nuansanya lebih kepada "ejekan/cemooh". Misalnya mengatakan "orang udik", buat mereka yang berasal dari wilayah di luar Jakarta, seperti misalnya Cibinong, Cibarusah dll  untuk menyebut asal muasal orang yang berasal dari perkampungan di pinggiran Jakarta atau bagi orang yang penampilan/perilakunya agak kampungan/norak.

Sekarang, kata udik sudah bertransformasi menjadi mudik sebagai kata kerja, yang berarti pulang ke kampung. Orangnya disebut pemudik. Sedangkan kata dasar "udik" sebagai padanan "kampung" sudah jarang digunakan. Nah .... saat-saat lebaran inilah kata mudik digunakan dengan intensitas yang sangat tinggi.
***

PRT di rumah saya berasal dari wilayah Cililin-Cimahi, sudah bekerja hampir 12 tahun. Sejak anaknya baru masuk SD hingga sekarang duduk di kelas XII, SMK Grafika jurusan broadcasting, kalo nggak salah. Saat naik ke kelas XII yang baru lalu ini, dia memperoleh ranking 1 di kelasnya. Gaya kan.....? Hehe ..... Semoga si anak, kelak menjadi kebanggaan ibunya dan mampu mengangkat derajat kehidupan si ibu.

Pembantu saya ini sebetulnya lulusan SMA di kampungnya dulu. Sebelum terdampar di rumah saya, pengalaman kerjanya juga lumayan banyak. Pernah jadi staff administrasi di suatu pabrik di wilayah Cimareme-Bandung. Pernikahannya yang gagal menyebabkan dia terpaksa keluar dari pabrik setelah suaminya yang notabene teman kerjanya itu menghilang begitu saja setelah anak mereka lahir.

Maka .... demi si bayi, kala itu, dia sempat merantau ke Surabaya, bekerja di restoran sambil mengasuh bayinya. Tentu bukan hal yang mudah bekerja sambil membawa bayi apalagi jauh dari keluarga. Itu pula yang menyebabkan hingga akhirnya dia memutuskan kembali ke kampungnya. Petualangan kerjanya di Jakarta bermula dari ajakan supir ibu saya, tetangganya di Cililin, untuk bekerja di rumah ibu. Kala itu, saya sudah hampir 2 tahun menetap dan tinggal kembali, menemani ibu di rumahnya. Memanfaatkan lokasi rumah yang berada tepat di tengah antara lokasi kantor suami dan kantor saya. Lagipula ... pengalaman kurang menyenangkan dengan pembantu rumah saat tinggal di Bekasi, merupakan salah satu pertimbangan yang membuat saya pindah ke rumah ibu.

Sang PRT, yang dipanggil Ddh, sangat cekatan dan sangat bisa dipercaya. Minimal hingga saat ini saya menganggapnya sangat bisa dipercaya. Saya selalu bilang padanya .... kalau uang atau harta saya dicuri, InSha Allah tidak akan membuat saya jatuh miskin secara tiba-tiba. Tetapi juga tidak akan membuat si pencuri kaya raya. Tentu tergantung dari sebesar apa harta curiannya, tetapi kekayaan hasil curian tidak akan pernah langgeng. Satu hal yang pasti ............, harta itu tidak berkah atau membawa keberkahan bagi diri dan keluarganya. Maka ..., akan sia-sialah segala ibadah yang dilakukannya sepanjang hayat.

Saat dia mulai bekerja di rumah, masih ada satu orang PRT lainnya yang berasal dari Jawa Tengah. Entah kenapa, selalu saja ada konflik diam-diam antara pembantu asal Jawa yang berpenampilan sangat lemah lembut ini dengan rekan kerjanya. Begitu juga dengan Ddh. Sejak dia mulai masuk, selalu saja ada pengaduan-pengaduan yang masuk tentang rekan kerjanya. Kesal karena pengaduan tak digubris, dia membuat ulah dengan sering-sering pulang kampung tanpa kejelasan berapa lama dia tinggal di kampung. Hingga suatu saat, setelah 1 bulan pulang kampung untuk berlebaran dengan janji hanya pulang selama 2 minggu saja, dia menelpon dari Solo. mengabarkan belum bisa kembali ke Jakarta dan entah apakah akan kembali ke Jakarta lagi. Saya dimintanya untuk mencari pengganti saja.

Konyolnya .... selang 1 minggu setelah saya mendapat pengganti, sang putri Solo tiba-tiba muncul di rumah ingin kembali bekerja. Saat itu hanya ada ibu saya dan Ddh di rumah. Konon kabarnya, begitu tahu di rumah sudah ada pengganti, maka murkalah si putri Solo yang biasanya lemah lembut itu dan mencaci-maki Ddh sebagai penyebab dia tidak bisa bekerja kembali. Padahal saya mencari ganti 1 bulan setelah dia menelpon, memberitahukan tidak pasti kapan kembali dimana saya sudah diminta untuk mencari ganti saja.

Dengan Ddh dan kemudian dia didampingi adiknya yang juga ikut bekerja di rumah, hampir segala urusan di rumah, ditanganinya dengan cukup baik. Beberapa bulan kemudian .... anaknya yang semula ditinggal di Cililin, saya minta dibawa saja ke Jakarta. Alasannya sederhana saja .... supaya dia bekerja dengan tenang sambil mengasuh anaknya yang saat itu berumur 5 tahun dan sudah masuk SD.

Di kampung, keluarga kakaknya, tempat dimana si anak dititipkan juga bukanlah keluarga mampu. Apa yang dikirim ke kampung untuk anaknya, pada kenyataannya digunakan untuk tambahan biaya rumah tangga keluarga si kakak. Jadi memang sangat tidak mengherankan bila saat si anak datang ke Jakarta untuk pertama kali, penampilannya sangat memprihatinkan. Khas anak kampung yang tidak terurus. Kurus kering dan dekil..... Alhamdulillah, sekarang si anak tumbuh jadi remaja yang sehat dan kelihatannya cukup gaul/aktif di sekolahnya. Tidak terlihat rendah diri karena ibunya hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga saja.

Ddh ini cukup cekatan untuk pekerjaan rumah. Pandai masak terutama masakan tradisional. Kreatif untuk coba-coba masakan yang dilihatnya di acara masak memasak di TV. Saya paling suka minta dibuatkan karedok .... Karedok buatannya luar biasa enak.... Betul-betul karedok dengan cita rasa Sunda yang kental. Jarang saya temukan karedok seenak buatannya, termasuk karedok di rumah makan Sunda manapun yang pernah saya cicipi.

Bekerja rumahan, walau dengan 1 anak remaja yang masih bersekolah di SMK, ternyata membuat hidupnya lebih lumayan dibandingkan dengan anggota keluarganya yang lain, terutama yang masih tinggal di kampung. Hal ini menjadi ironi tersendiri .... Ddh menjadi tumpuan harapan kakak/adiknya saat mereka kekurangan dana, apapun bentuk kekurangannya. Entah untuk keperluan anak sekolah, sogokan saat anak mau bekerja di pabrik, anak menikah dan bahkan saat lebaran. Satu persatu adik-kakaknya bergantian menelpon .... Mengingatkan agar dia tidak lupa membelikan pakaian buat keponakan-keponakannya ,,,,,, karena para orangtuanya belum sempat dan belum punya uang untuk membeli baju lebaran anak-anaknya. Mengingatkannya jangan sampai terlambat tiba di kampung, karena ketupat dan lauk-pauknya belum terbeli, menunggu kehadirannya untuk berbelanja ke pasar. Tentu bukan hanya sekedar menemani sang kakak berbelanja. Tetapi yang lebih penting lagi adalah kelengkapan isi dompet Ddh.

Sampai saat ini, dengan semampunya, tetap diusahakannya membeli dan memenuhi hampir seluruh permintaan adik-kakaknya. Padahal mereka, adik-kakak perempuannya, semua memiliki suami yang seharusnya berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Miris ......, tapi begitulah kehidupannya, karena bahkan kakak lelakinyapun seringkali meminta bantuan keuangan. Beberapa kali sering saya ganggu dia .... bahwa dia memiliki piutang pada adik-kakaknya dengan nominal yang cukup besar yang entah kapan bisa kembali ke rekening tabungannya.

Saya hanya bisa mengingatkan dia ..... "Jangan biasakan memberi pinjaman kepada keluarga, karena cepat atau lambat pinjaman tersebut akan menjadi bahan pertengkaran antar keluarga. Kalau mau membantu keluarga, bantulah semampunya. Betul-betul dalam bentuk bantuan yang ikhlas. Bukan pinjaman. Dengan demikian bila uang itu tidak dikembalikan, maka kita tidak akan pernah merasa kehilangan. Wa Allahu alam



BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...