Selasa, 01 April 2014

I LOVE YOU son .......

Saya memiliki sepasang anak; lelaki dan perempuan. Namun saya lebih sering mengatakan bahwa saya memiliki 2 (dua) orang anak tunggal. Tentu banyak yang bertanya, mengapa demikian.

usia 1 tahun
Anak saya yang pertama, lahir pada jaman kami masih hidup dalam keprihatinan. Jauh dari sanak saudara, terpencil dalam belantara lautan kosmopolitan. Saat itu, kami tinggal di kota dan bahkan di apartemen berlantai 15 dimana berbagai bangsa, bahasa dengan berbagai warna kulit bertempat tinggal. Parahnya …. kota kecil tempat tinggal kami juga lebih dikenal sebagai kantung pemukiman immigrant berkulit hitam walaupun penduduk lokal (warganegara setempat) juga tak kurang banyaknya. Kota kecil yang berjarak hanya beberapa kilometer di utara Paris ini sebetulnya jauh lebih bersih daripada kawasan tempat tinggal kami sekarang. 

Le Clos Saint Lazare …. itu nama lingkungan apartemen atau lebih tepat disebut HLM (habitation a loyer modere–setara dengan rusunawa alias rumah susun sewa sederhana di Indonesia), cukup bersih dan tertata baik, kecuali kalau kita sudah masuk ke dalam bangunannya. Kesenjangan sosial ekonomi dan gaya hidup antara penduduk asli dengan para imigran kelas bawah (buruh) pasti berdampak pada cara kita memandang dan menerapkan kebersihan. Suara musik yang menggelegar tidak pandang waktu dari unit penghuni berkulit hitam, membuang sampah rumah tangga tidak pada tempatnya membuat koridor yang menghubungkan lift lobby ke unit–unit apartemen berbau busuk. Tapi …. Itulah bangunan tempat tinggal kami kala itu. Tempat dimana apartemen yang disediakan organisasi yang mengurus para penerima beasiswa dari pemerintah negeri tersebut berada.

Semula, kami pikir, kekumuhan itu terjadi karena bangunan tempat kami tinggal adalah bangunan umum. Maksudnya, penduduk apartemen tidak semata-mata dari kalangan keluarga mahasiswa, tetapi juga dihuni dan disewa oleh masyarakat umum, golongan berpenghasilan rendah. Ternyata …. Kondisi unit apartemen yang khusus disediakan untuk mahasiswa dan keluarganya yang sebagian besar adalah mahasiswa asingpun tidak jauh berbeda. Kesimpulannya … kesenjangan ekonomi dari negara asal mahasiswa para penghuninya menjadi salah satu sebab.

Kembali pada kelahiran anak pertama saya itu, selain memang banyak kenangan baik suka maupun duka yang menyertainya, namun sebetulnya banyak  sekali hikmah dan berkah dibaliknya yang sekarang menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan…. Yang menyiratkan ketegaran perjuangan anak manusia.

Kelahiran itu juga terjadi pada masa bom masih kerap meledak di ibukota Negara tempat kami tinggal. Hampir setiap minggu …. Saat Libanon baru mulai bergejolak. Saat perjuangan suku Kurdi masih menghangat. Di sana ..... l’hopital Saint Denis, 8 April 1983 jam 23.45, jauh dari keluarga besar ......
***

Sementara anak kedua lahir 15 tahun kemudian, saat kehidupan kami sudah sedikit lebih mapan. Sama–sama lahir di kota kecil yang berada di pinggiran ibukota Negara. Hanya …. mungkin gengsinya yang berbeda. Si kakak lahir di pinggiran ibukota Negara Perancis sementara si adik lahir di kota pinggiran ibukota Negara Indonesia. Itu sebab si adik selalu menggerutu atas perbedaan kota kelahirannya. Apa boleh buatlah …. Allah SWT mentakdirkan demikian bagi kelahiran dua anak kami.
***

Nah ….. kali ini saya ingin cerita tentang masa kecil si sulung. Pada saat umurnya menginjak bulan ke 15, kami kembali ke Jakarta. Buat saya, itulah kali pertama menginjakkan kaki kembali ke bumi Pertiwi setelah meninggalkannya 4 tahun sebelumnya. Kalau dulu saya berangkat sendiri, maka kali ini kembali ke rumah, boyongan bertiga. 

Sebagai cucu pertama di keluarga saya, si sulung tentu dimanja seisi rumah. Kala itu, di keluarga, baru saya saja yang menikah Belum selesai kuliah pula ...... Praktis seluruh perhatian ke dua orangtua dan adik–adik saya tercurah pada si mungil yang lucu itu. Wajah mungilnya memang menggemaskan dan sebagai anak kecil yang biasanya selalu “gratilan” … alias tidak bisa melihat benda tergeletak di atas meja, maka si sulung ini termasuk anak yang apik. Dia kurang tertarik untuk “merusak” benda - benda di atas meja, tetapi lebih “terpelajar”. Lebih suka mengganggu bapaknya yang sedang bekerja di depan monitor komputer. Jadilah dia akan selalu meminta duduk di pangkuan si bapak untuk menekan-nekan key–pad. Tentu saja si bapak memperkenalkan huruf–huruf dan angka yang tertera. Perkembangan nalarnya jauh lebih cepat daripada umurnya.

Setiap kami keluar rumah, sambil lalu, kami juga memperkenalkan setiap benda yang ada di sepanjang perjalanan. Apakah itu jenis dan merek mobil, huruf – huruf pada baliho begitu juga dengan patung penghias kota.
 Jadi ... belum masuk sekolah, dia sudah mengenal huruf walaupun belum hafal seluruh abjad.

Suatu kali, saat berjalan-jalan, kami lewat kawasan Kwitang ... Kami memperkenalkan Patung pak Tani yang ada di depan hotel Aryaduta. Sebetulnya, patung itu bukanlah patung petani, tetapi patung angkatan ke 5. Pada era pra 1965, ada wacana untuk mempersenjatai rakyat sebagai bagian dari angkatan bersenjata, Karena pada waktu itu Indonesia sudah memiliki 4 angkatan, yaitu Angkatan Darat–Laut–Udara dan Kepolisian, maka rakyat yang dipersenjatai itu disebut angkatan ke 5. Rakyat diwujudkan dalam bentuk lelaki dengan caping bambu yang menjadi cirri khas petani. Itu pula sebabnya patung angkatan ke 5 tersebut lebih dikenal sebagai patung pak Tani.

saat usia 3 tahun
Nah … kembali pada topik …. 

“Nah di depan itu…… patung pak tani…!”
Si sulung mengangguk–anggukkan kepalanya… tanda mengerti. kami lalu mengambil jalan Cut Mutia dan jalan HOS Cokroaminoto.

Sambil pulang menuju tempat kediaman kami saat itu, Rawamangun, kami melewati depan gedung Bappenas dimana, saat itu masih ada patung seorang ibu dengan 4 orang anak–anaknya di setiap sudut. Si sulung langsung berteriak senang....
"Mama ... mama ... itu ada bu Atung dan anak Atung ya....?"

Saya bingung sebentar ...
“Oh ….. itu patung ibu Kartini …. (eh apa betul itu nama patungnya ya?)” sahut saya membetulkan.
“Bukan mama …… itu bu Atung dan anak Atung …….!!!”, sahutnya lagi …
“Iya ….. iya …. Bu Atung dan anak Atung ….” Jawab saya sambil menahan tawa ...
Antara lucu, gemas tapi sekaligus kagum dengan kejelian nalarnya
Rupanya si anak mengasosiasikan patung (pak tani), patung dengan wujud lelaki tua menjadi pak Atung ... sehingga patung perempuan dengan pakaian khas ibu Indonesia berkain kebaya disebut bu Atung dan patung ke empat anak–anak yang mengelilingi patung ibu menjadi anak–anak Atung...



Ganti si anak yang bingung melihat ibunya tertawa, dan tetap tidak bisa menerima penjelasan bahwa patung adalah nama benda. Bukan sebutan atau panggilan seorang bapak bernama Atung sehingga layak dipanggil pak Atung.
***
Kejadian ini memang sudah lama sekali .. Saya ceritakan kembali untuk menghormati dan mengingat kembali si sulung yang kini tinggal jauh dan akan berulang tahun ke 31 tanggal 8 April 2014 yang akan datang.


You are always in my heart, son …. I love you…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...