Rabu, 21 Mei 2014

Ecek-ecek jadi pengamat politik

Capres - cawapres 2014
Sejak awal, saya bukan pendukung Jokowi sebagai calon presiden RI, apalagi setelah deklarasi pasangan calon presiden Joko Widodo–Jusuf Kalla. Tapi juga bukan berarti saya mendukung Prabowo Subianto sebagai calon RI1, apalagi setelah dipasangkan dengan Hatta Rajasa. Wah ….. enggak banget deh ….!!! Saya hanya merasa sangat muak dengan cara berkampanye yang vulgar ...  terutama serangan pada Jokowi yang terjadi bahkan sejak Joko Widodo masuk ke dalam kancah pemilihan gubernur DKI Jakarta berhadapan gubernur incumbent Fauzie Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi Ramlie.

Sudah sejak semula, serangan kampanye hitam kepada Jokowi terasa sudah terlalu vulgar. Segala macam issue diketengahkan. Dari mulai soal asal–usul, kedaerahan, masalah agama yang dianutnya, tentu karena pasangan Joko WIdodo dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta adalah Basuki T Purnama yang beragama Kristen dan berasal dari etnis Cina, sampai hal–hal lain yang terasa sangat keterlaluan.

Usai terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta, ternyata cercaan masih tetap berlangsung. Masyarakat banyak dibuta-tulikan oleh black campaign. Banyak permainan kotor politisi busuk yang menguasai DPRD Jakarta terjadi untuk men down grading kinerja pasangan gubernur dan wakil gubernur yang mengusung slogan Jakarta Baru.

Rancangan APBD terhambat, upaya menertibkan dan merapikan kesemrawutan Jakarta dihadang. Bahkan segala masalah yang ada di DKI Jakarta ditimpakan pada Jokowi–Ahok, begitu nama pasangan ini disebut orang seolah mereka berdualah biang keladi dari segala keruwetan yang ada di DKI Jakarta. Padahal sebagai segelintir orang yang memiliki wawasan lebih baik dari kebanyakan rakyat seharusnya kita tahu bahwa berbagai masalah di DKI Jakarta adalah akumulasi dari berbagai masalah yang selama puluhan tahun sejak bang Ali Sadikin, gubernur legendaris itu lengser, tidak pernah terselesaikan atau mungkin tidak pernah diperhatikan dan diniatkan untuk diselesaikan.

Pasangan gubernur DKI Jakarta, Jokowi–Ahok baru mulai membenahi Jakarta. Hasilnya  …. Kalau kita mau jujur dan tidak membuta-tulikan hati–nurani, sudah mulai terasa. Dimulai dari pembenahan kawasan Tanah Abang yang banyak ditentang bahkan oleh salah satu pentolan di DPRD Jakarta yang …. eh …. ternyata, dia memang “jawara” yang hidup dari kutipan pada pedagang liar yang memenuhi dan membuat ruwet kawasan Tanah Abang.

Lalu pembenahan kawasan waduk Pluit di Jakarta Utara dan waduk Ria–rio di Jakarta Timur, pelapisan jalan raya, perbaikan kampung dengan membuat kampung deret dan saya yakin banyak lagi yang saya tidak bisa menuliskan karena saya memang bukan pengamat, apalagi berkepentingan atas prestasi kerja mereka kecuali sebagai penduduk DKI Jakarta yang memiliki akar nenek moyang etnis Betawi.

Paling tidak … saya merasa betul perubahan itu karena jalan dari depan rumah hingga ke kantor sejauh + 8 km sudah dilapisi aspal yang tebalnya bukan basa–basi. Padahal sudah 14 tahun saya tinggal di kawasan tersebut dan baru pada era Jokowi–Ahok inilah ada perbaikan jalan yang bukan sekedar tambal sulam setempat.

Tentu, tidak semua cerita sukses saja. Masalah kronis banjir dan kemacetan masih belum teratasi, apalagi dengan terbitnya kebijakan “tolol” pemerintah pusat berupa ijin penjualan low cost green car–LCGC yang sesungguhnya juga sudah sejak awal ditentang Jokowi-Ahok.

Sewajarnyalah bila kita berpikir jernih … banjir adalah masalah kronis yang sudah ada sejak jaman Belanda. Itu sebab bila kita mau berbesar hati memeriksa dokumentasi tata kota, maka kita bisa melihat betapa rancangan pembuatan “banjir kanal Barat dan Timur” sudah ada sejak dulu. Sejak jaman penjajahan Belanda! Begitu juga dengan berbagai sodetan untuk mengalirkan air hujan.

Pembangunan di Jakarta memang sangat tidak terkendali. Aturan tata kota terutama yang berkaitan dengan tata guna tanah dan koefisien dasar bangunan–KDB banyak dilanggar. Wilayah resapan air di wilayah Jakarta Selatan dengan KDB 20% ternyata, secara massif, dilanggar melalui kongkalikong antara masyarakat dengan pejabat/aparat pemerintah yang koruptif.

Jokowi RI1?
Rawa, situ, hutan kota, perkebunan, sawah dan lahan pertanian lainnya semua berubah jadi hunian dan komersial. Jadi wajar saja kalau banjir menjadi tidak terkendali karena permukaan tanah tidak lagi cukup mampu menyerap curahan hujan. Salahkah pasangan gubernur DKI Jakarta ini? Bagi sebagian orang ….. pasti akan menjawab YA … pasangan gubernur DKI tidak mampu menyelesaikan masalah kronis di Jakarta.

Mereka lupa bahwa proses perusakan alam yang berjalan massif selama puluhan tahun, begitu juga dengan kesalahan kebijakan transportasi tidak akan bisa diselesaikan dengan segera. Butuh waktu yang cukup panjang bukan saja dari pemerintah daerah saja tetapi juga harus didukung selain oleh pemerintah pusat yang turut membebani kinerja DKI Jakarta dengan tugas sekaligus sebagai ibukota Negara, juga oleh seluruh masyarakat Jakarta dari berbagai lapisan sosial itu sendiri.

Kuncinya .... patuh pada aturan tata kota !!! Ada berbagai peraturan daerah dan banyak hal harus dipatuhi guna tercapainya tujuan memperbaiki kualitas kehidupan di Jakarta.  

Kalau perusakan ini sudah terjadi sejak berakhirnya masa jabatan bang Ali Sadikin pada tahun 1977, berarti sudah berjalan selama 37 tahun. Maka wajar saja kalau hasil perbaikannya belum terlihat karena pasangan gubernur DKI ini baru memerintah selama + 19 bulan saja.

Gaya kepemimpinan Jokowi yang menjungkirbalikan gaya komunikasi dan penampilan pejabat pemerintah membuat Jokowi menjadi “media darling” sekaligus menjadi sasaran empuk lawan politik yang sepertinya melihat Jokowi sebagai ancaman bagi ambisi berkuasa segelintir elit politik negeri ini. Penetapan Joko WIdodo sebagai calon presiden RI dari PDIP memang semakin membuat runyam sosok Joko Widodo. Penampilan “lugu” dan merakyat yang didukung dengan wajah “ndeso” …., wajah rakyat kebanyakan, ternyata semakin membuat runyam.

Ada pendapat pragmatis bila Jokowi terpilih jadi RI1 pada pemilihan presiden bulan Juli 2014 yang akan datang, maka koordinasi penyelesaian masalah DKI-pusat menjadi lebih mudah sehingga perbaikan kualitas hidup di Jakarta akan lebih lancar. Benarkah begitu…? Kita lihat saja karena ini memang baru asumsi ...
***

Semangatnya masih tinggi
Lalu …., bagaimana dengan Prabowo Subianto?
Konon … andai Prabowo menjadi presiden RI ke 9, maka TNI–RI akan memasuki babak baru yang "aneh bin ajaib". Akan tercatat dalam sejarahnya serta mungkin hanya satu-satunya di dunia. Bisa masuk MURI atau bahkan Guinness book of record, yaitu ······ TNI akan "diperintah" oleh Presiden RI sebagai panglima tertinggi TNI yang adalah jenderal yang sudah dipecat.

Itu sebabnya dalam berbagai kesempatan Agum Gumelar berulangkali meminta Prabowo Subianto untuk mengingat sejarah

Prabowo Subianto yang kita tahu adalah anak kandung Sumitro Djojohadikusumo, dan cucu Margono Djojohadikusumo. Keduanya, bapak dan kakeknya adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam tatanan perekonomian Indonesia pada jamannya. Prabowo Subianto kemudian menikah dengan salah satu anak penguasa negeri ini. Tentu saja, kehidupan Prabowo sangat nyaman. Jauh dari perih penderitaan hidup yang diderita rakyat jelata.
Saya sangat menghargai keluarga Prabowo Subianto. Sebagai orang yang lahir dari keluarga terpandang di kalangan intelektual, tumbuh dan besar di luar negeri, Prabowo Subianto tentu sudah biasa bergaul dengan kalangan atas. Kalangan “terhormat” di berbagai bidang. Para pengusaha, kalangan militer dalam dan luar negeri, diplomat dari berbagai negara asing dan sebagainya. Ditunjang dengan kemampuannya berbicara dalam berbagai bahasa asing serta lingkungan pergaulannya ini akan menjadi modal kuat bagi Prabowo Subianto untuk membawa Indonesia masuk dalam kancah pergaulan diplomasi internasional dengan penuh percaya diri. Kita sama tahulah ... bahwa kebanyakan orang Indonesia, langsung menjadi "bisu" saat harus berbicara, berdiplomasi, bernegosiasi apalagi harus berdebat dengan bule....
***

keren ya, dulu, waktu masih jadi jendral
Melihat profil kedua calon presiden Indonesia 2014, kita seperti diajak melihat persaingan dan pertarungan antara seorang ksatria melawan seorang dari golongan sudra. Perlawanan rakyat jelata melawan kaum intelektual. Antara golongan orang kota dan intelek, yang diwakili oleh Prabowo Subianto yang sudah terbiasa bergaul di kalangan masyarakat kelas atas melawan Joko Widodo  yang "cuma" anak pengusaha mebel "kampungan" yang lekat dengan kesulitan hidup rakyat.

Sayangnya, politik Indonesia pada era demokrasi saat ini, sudah mengarah pada pembodohan rakyat. Pemilihan umum kini sarat dengan praktek Money politic. Bahkan penguasa Negara memanfaatkan kekuasaannya “menjarah” APBN untuk digunakan sebagai alat money politic berbalut program pemerintah untuk meredam turunnya pendapatan rakyat akibat kenaikan BBM.

Gara–gara money politic ini pula, maka ongkos pribadi untuk pencalonan diri sebagai calon legislatif maupun eksekutif menjadi sangat tinggi. Maka tidak mengherankan kalau korupsi mejadi semakin massif dan merata demi “mengembalikan” modal yang sudah dikeluarkan.

Kampanye pemilihan juga semakin vulgar dan membabi buta. Etika dan sopan santun sudah semakin hilang. Caci maki semakin kerap dilakukan dan diumbar. Sayang sekali hal ini juga dilakukan oleh orang–orang yang relatif berpendidikan tinggi. 

Kalau sudah begini, siapa yg akan anda pilih...?

Tentu yang sesuai dengan hati nurani dan harapan2 yg kita inginkan
Jangan ikut-ikutan ....

Vote for new era Indonesia 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...