Kamis, 17 Juli 2014

Antara Zakat dan Pajak Pribadi

Setiap tahun ... menjelang dan selama bulan Ramadhan, ramai bertebaran spanduk di jalan, iklan di media cetak maupun layar kaca, mengajak umat Islam menunaikan kewajibannya mengeluarkan zakatnya terutama Zakat atas harta kekayaannya, apakah itu dari emas perhiasan yang dimilikinya, pertambahan nilai kekayaan (uangnya) dan bahkan dari hasil pertanian/ternaknya. Bahkan belakangan ini, ajakan menunaikan "kewajiban" berzakat diimbuhi ajakan untuk "pesan rumah di surga", yang menurut saya, sangat berlebihan dan cenderung membodohi masyarakat.

Mengapa ajakan zakat selalu ramai dikumandangakn di bulan Ramadhan? 
Konon karena ustadz dan khatib dalam khotbah selama bulan Ramadhan selalu ramai mengingatkan bahwa pahala atas segala "kebaikan" dan ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan akan "diganjar" pahala yang berlipat ganda. Padahal, kalau mengacu pada adanya zakat atas hasil pertanian/ternak, menurut saya zakat sebaiknya, kalau tidak boleh dikatakan "wajib", selayaknya dikeluarkan saat terjadinya transaksi. Misalnya kalau zakat hasil pertanian, tentu dikeluarkan/dihitung saat terjadinya panen. Kalau zakat hasil ternak kalau binatang ternaknya akan dijual. Jadi seketika ....

Kalau menunggu waktu 1 tahun, nanti uang hasil penjualan hasil pertanian/ternaknya habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi ... masih ada yang ingat nggak ya, kalau hasil pertanian/ternak juga wajib diperhitungkan zakatnya? Saya sih cuma tiba-tiba saja teringat dengan pelajaran agama Islam bab Zakat saat di SMP dulu. Semoga mereka yang memiliki ternak dan sawah/kebun/ladang ingat bahwa mereka wajib mengeluarkan zakatnya atas hasil yang diperoleh.


Memang, kenapa ya harus menunggu 1 tahun dulu?. Bukankah kalau kita mensegerakan segala amal dan perbuatan baik, maka itu akan jadi lebih baik buat kita?. Hati-hati lho, seringkali kalau kita menunda hingga 1 tahun, kemudian terasa betapa besarnya zakat yang "sudah jatuh tempo" sementara kebutuhan menjelang lebaran meningkat anak, istri/suami ingin beli baju lebaran yang baru ... para assisten di rumah wajib diberi sangu pulang plus segala macam extranya --> THR, kue-kue, baju lebaran, ongkos perjalanan. Belum lagi extra makanan yang "seolah menjadi wajib" tersedia di atas meja makan saat Lebaran ...  Padahal, tamu juga merasa bosan melihat hidangan yang hampir seragam dari satu rumah ke rumah yang lain ... Ada lagi biaya perjalanan pulang kampung yang harus dipersiapkan termasuk juga oleh-oleh "sekedarnya" yang harus dibawa pulang, bagi mereka yang terbiasa merayakan Idul Fitri di kampung halaman tempat orangtua/sanak saudara berada.

Nah ... kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin terjadi "peperangan" baik di dalam batin kita sendiri atau dengan anggota keluarga lainnya. Maka kemudian kita "merasa ada ganjalan" akan kewajiban mengeluarkan zakat? Semoga saja tidak, karena wajarnya, kita patut bersyukur kalau kita memiliki keluasan rejeki sehingga segala pernak-pernik yang mengiringi datangnya bulan Ramadhan itu bisa terpenuhi dengan baik dan bahkan masih mampu menyisihkan untuk membantu saudara dan tetangga yang hidup dalam kekurangan
***


Belakangan ini juga marak imbauan baik di email, Facebook, twitter yang mengajak untuk TIDAK LAGI mengirim zakat ke lembaga-lembaga pengelola ZIS professional namun dianggap sebagian orang, komersial. Kita diimbau untuk kembali menyalurkan ZIS ke mesjid-mesjid, panti asuhan dan kaum dhuafa dimana kita berada, atau menyalurkannya kepada keluarga dekat yang memang membutuhkannya.

Adakah yang salah dengan lembaga pengelola ZIS? Rasanya secara konsep, tidak ada yang salah. Potensi dana ZIS yang luar biasa besarnya bila dikelola dengan baik dan benar serta disalurkan melalui program pemberdayaan masyarakat yang terpantau dan terpadu, secara berangsur diharapkan bisa menghapus atau minimal mengurangi kemiskinan.

Namun "kecurigaan" atas tingkat "keamanahan" dari lembaga tersebut masih melekat. Kalau mau jujur, jarang ada yang percaya dengan lembaga amil zakat yang dibentuk pemerintah, apalagi pengumpulannya dilakukan dengan cara "setengah memaksa". Pengurus RT/RW dibebani kewajiban untuk menarik zakat dari warganya .... Mungkin mereka lupa bahwa walaupun zakat merupakan salah satu ibadah wajib, tetapi sebagaimana menjalankan shalat, puasa, berhaji ..., tidak ada seorangpun yang bisa menghukum kita, kalau kita lalai menjalankannya, kecuali iman kitalah yang membuat kita mau melakukannya.

Sekarang, memang ada lembaga-lembaga penerima dan penyalur zakat yang bisa dipercaya. Sebut saja salah satunya adalah Yayasan Dompet Dhuafa yang bertujuan agar zakat bisa tersalurkan untuk program-program pemberdayaan masyarakat. Mengapa tidak ... kalau itu bisa mengubah nasib kaum dhuafa dari kaum penerima zakat menjadi, kelak, kaum pemberi zakat. Jadi ... kalau menurut saya sih, .... zakat yang ingin dikeluarkan, dibagi dua saja... sebagian untuk kalangan dekat, yaitu mesjid dan kaum dhuafa di sekitar tempat tinggal serta sanak keluarga yang membutuhkan. Sebagian lagi dikirim ke lembaga amil zakat terpercaya. Semoga niat baik itu menjadi berkah bagi semuanya... pemberi maupun penerimanya.



Memang, TIDAK ADA SEORANGpun yang bisa mewajibkan orang lain melaksanakan kewajiban agamanya, kecuali dirinya sendiri yang mewajibkannya. Apalagi karena negara kita tidak berdasarkan agama Islam. Kalau membayar ZAKAT menjadi kewajiban umat Islam yang ditetapkan oleh pemerintah, kenapa SHALAT dan ber HAJI, tidak juga diwajibkan pelaksanaannya? Bukankah dalam rukun Islam, Shalat - Puasa - Zakat dan berhaji berkedudukan sama? Lagi pula perintah-perintah yang sifatnya keagamaan itu mutlak urusan si manusia dengan sang KHALIK? Bukan urusan antar manusia? Mereka yang mengimani keberadaanNya, tentu dengan ikhlas dan ridho akan menjalankan segala perintahNya.
***

Muncul juga wacana agar zakat bisa dijadikan faktor pengurang pajak pribadi dengan syarat
zakat harus disalurkan ke lembaga-lembaga yang ditunjuk pemerintah.

Entah apa dasarnya, karena kalau menurut saya sih, zakat dan pajak itu berbeda. Yang satu urusan pemerintah berkenaan dengan "layanan" yang kita, sebagai rakyat, terima dan rasanya dalam kehidupan sehari-hari dan karenanya ada sanksi kalau kita lalai membayar pajak. Tapi kalau zakat, siapa yang akan memberi sanksi? Mungkin ada sanksi kalau kita tidak membayar zakat di negara-negara yang menerapkan Islam sebagai dasar bernegara. Tapi kalau di Indonesia, pemerintah tidak punya hak memberikan sanksi kalau kita lalai membayar zakat. Kalau soal pahala atau dosa ....? Wah ... itu sih, nggak ada satu orangpun yang tahu.... Orang yang terlihat rajin beribadah atau mengeluarkan zakat dengan nominal yang besarnya luar biasa, belum tentu mendapat pahala yang besar juga. Lagipula ... apa sih pahala itu .... Abstrak deh .... Cuma Allah SWT yang tahu persis bagaimana pahala manusia itu diperhitungkan. Jadi, memang dalam urusan pahala, nggak jelas banget! Lagi pula, menjalankan ibadah aja kok, pake itung-itungan sih...?


Kalau kita memang beriman kepada Allah SWT, jalankan saja perintahNya... Nggak usah itung-itungan tentang pahala yang akan diterima. Ustadz boleh bilang kalau kita menunaikan ZIS di bulan Ramadhan... maka pahalanya berlipat-ganda. Itu sebabnya orang ramai mengeluarkan zakat mal yang niatnya untuk membantu kaum dhuafa, di bulan Ramadhan. Padahal.... kebutuhan kaum dhuafa kan bukan hanya untuk pengeluaran satu bulan itu saja. Masih ada 11 bulan lainnya .... Masa, yang 11 bulan itu mereka harus kelaparan?

Kalau soal pahala sih, bukan ustadz yang menentukan kalau ibadah di bulan Ramadhan memiliki pahala berlipat ganda. Mungkin benar ada hadis yang meriwayatkan hal tersebut ... tapi, bukankah pahala itu datang dari perhitungan Allah...? 

Maka... kalau kita meyakini hal itu.... tidak ada satu orangpun yang bisa memberi bocoran besaran pahala yang akan kita terima dari amal ibadah manusia. Karena hanya Allah SWT semata yang mengetahuinya ..... Wallahu'alam

Tapi... ini cuma omong kosong orang awam lho... jangan dimasukin ke hati ya, kalau nggak setuju...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...