Rabu, 29 Oktober 2014

Hipokrisi masyarakat Indonesia


Sebagian besar masyarakat Indonesia hingga abad ke 21 ini ternyata masih sangat feodalis dan hipokrit. Senang memakai "topeng" tatkala tampil ke hadapan publik. Tapi ..... mungkin bukan hanya masyarakat Indonesia saja, masyarakat duniapun terhinggapi "penyakit" hipokrit. Itu sebabnya dikenal adanya manner dan etiket dalam pergaulan internasional.

Akan halnya di Indonesia, topeng-topeng ini berdampak pada beragam "kriteria" yang seakan "wajib" disematkan dan dilakukan oleh "pejabat publik" sosialita dan selebriti.
Lihat saja penampilan para pejabat maupun istri/keluarganya, para sosialita dan selebriti. Yang lelaki, harus terlihat gagah dan rapi. Berpakaian "mewah" kalau perlu pakai jas sambil memamerkan merek di bagian pergelangan tangan, memakai jam merek terkenal seharga ratusan juta bahkan hingga milyaran rupiah serta berkendaraan mewah. Punya hobi main golf atau mengendarai motor gede.
Sementara yang perempuan seperti merasa "wajib" mengecat warna rambut serta menyasak tinggi2 rambutnya hingga berbentuk seperti sarang burung dan karenanya harus memiliki "hair stylist" yang mengurusi rambutnya setiap hari. Padahal menyasak rambut, memakai foam untuk menjaga "sasakan" rambut malah akan merusak kesehatan rambut dan gatal. Sementara itu, wajah dipoles dengan make up tebal, atau melakukan minimal botox, kalau kebetulan tidak memiliki waktu atau keberanian melakukan operasi plastik agar kisut dan kerut wajah menghilang .... Pakaian harus rapih buatan perancang mode terkenal. Kalau bisa dari Paris atau Milan. Tas bermerek terkenal, baik dari dalam maupun luar negeri sama seperti bajunya .... dan memakai perhiasan berkilauan. Seringkali nggak jelas mau kerja, rekreasi atau pesta ... Ingat kan, saat pelantikan anggota legislatif yang baru lalu?
Dari sisi pendidikan, semua orang rasanya, minimal harus memiliki pendidikan S1 kalau bisa malah S2 atau S3/Doktor. Pokoknya ada deretan gelar akademis di depan maupun di belakang namanya, supaya terlihat intelek. Setelah itu harus memiliki gelar profesor. Apalagi kalau jabatan Menteri jadi incaran... Ini akan lebih dihargai. Lupa bahwa profesor itu bukan gelar akademis tapi profesi sebagai guru ... pengajar/pendidik. Maka ramailah para pejabat publik mengejar gelar-gelar akademis. Nggak peduli lagi apakah pendidikan lanjutan tersebut sesuai dengan minat/kebutuhan pekerjaan atau apakah universitas tempat memperoleh gelar tersebut memang terakreditasi atau universitas abal-abal.

Maka tatkala pejabat tidak memiliki pendidikan mumpuni, ramailah orang mencibir dan berkomentar negatif. Padahal manusia diciptakan Tuhan dengan beragam kemampuan. Bahasa kerennya multiple intelligent. Lihatlah .... betapa orang-orang sukses dalam bisnis di negara maju dan bahkan di Indonesia sendiri, banyak dari golongan "putus sekolah". Kenapa ....? Karena ternyata sekolah itu membelengu kreatifitas. Pendidikan mengajarkan terlalu banyak resiko. Segalanya dianalisa dari sudut pandang "negatif"nya dulu. Faktor resikonya. Sementara peluang yang menciptakan kreatifitas tanpa batas, seringkali dilupakan.
Belum lagi urusan asal-usul keluarga. Bobot - bibit - bebet. Seperti ada kasta dalam kehidupan sosial ... Anak pedagang "harus" jadi pedagang .... Nggak boleh jadi pejabat tinggi. Anak pejabat tinggi pasti dan pantasnya harus jadi pejabat tinggi lagi .... Padahal... ada banyak anak dari kalangan "atas" yang terjerumus pada perilaku buruk .... dan untuk mereka ada "maaf dan permakluman....". Tapi kalau orang-orang dari kalangan biasa berperilaku tidak sesuai dengan "topeng2 dan imaji" masyarakat, maka cacian dan cercaan ditebar .... Persis perilaku feodalistis.

Anak dokter biasanya akan "dipaksa" orangtuanya menjadi dokter pula, karena sang ortu  melihat hanya profesi dokterlah yang bisa menjamin kehidupan si anak kelak. Jadi alasan jadi dokter, bukan pengabdian. Kalau orangtuanya dulu kerja di bank, mati-matian pula dia akan menganjurkan si anak kerja di bank. Seakan tidak ada profesi lain yang menjanjikan hidup "mapan" selain kerja di bank.
Itu sebabnya ..... tatkala wajah ndeso memasuki istana, maka banyak orang yang belum rela ... karena sepertinya istana hanya diperuntukan "kalangan atas". Bukan untuk kalangan dan wajah ndeso ..... Manakala seorang perempuan berpendidikan "rendah", bertato, perokok dan nyeleneh diangkat menjadi pejabat tinggi negara, orang ramai mencaci. Sementara koruptor lalu lalang sambil tersenyum simpul melambaikan tangan tanpa malu. Sepertinya, kita ..... lebih menghargai kosmetika dan hipokrisi berseliweran di muka kita, di media cetak maupun layar kaca.

Sedih dan sangat ironi.
Padahal ....
Katanya, kita seringkali dianjurkan untuk "harus bermimpi setinggi langit..."
Meraih kehidupan yang lebih baik ...
Dan seharusnya semua wajib dan punya hak bermimpi yang sama...
Atau ....
Adakah perbedaan antara langit masyarakat kalangan atas dengan langitnya kalangan bawah...?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...