Senin, 27 Oktober 2014

siswa, sekolah dan orangtua

Hari Sabtu 25 Oktober 2014, bertepatan dengan libur tahun baru Hijriah, saya terpaksa membatalkan acara keluar kota untuk menghadiri resepsi pernikahan staff kantor. Pembagian raport tengah semester yang semula dijadwalkan pada hari Jum'at, diundur menjadi Sabtu. Apa boleh buat ..., mengambil raport sekolah jauh lebih penting, apalagi si anak sudah duduk di kelas XII.

Kami tiba di sekolah, jam 08.20. tempat parkir di area sekolah sudah relatif penuh. Beruntung masih ada tempat di depan kantin. Jadi .... nggak perlu jalan terlalu jauh. Ini kebiasaan dari kebanyakan orang Indonesia..., malas jalan hehe....... Daftar dan ambil nomor untuk pengambilan raport, lalu masuk aula untuk bincang-bincang dan tanya jawab dengan direktur sekolah dan kepala sekolah. Acara ini biasanya diawali dengan paparan direktur sekolah mengenai kegiatan sekolah, kondisi anak-anak, hubungan orangtua dengan sekolah dan banyak lagi.

Ibu Al .... sang Direktur Sekolah memang "cerewet" dalam banyak hal, terutama dalam menjaga "perilaku anak muridnya". Anak-anak remaja ini pasti jengkel banget dengan kecerewetan ibu Al .... Bahkan tidak bisa dipungkiri sebagian orangtua juga tidak terlalu suka dengan ketatnya aturan sekolah. Contohnya saja kebijakan sekolah untuk melarang siswa membawa smartphone ke sekolah. Jadi siswa sekolah ini hanya diperkenankan menggunakan telpon genggam standard yang fungsinya hanya untuk menelpon dan mengirim sms saja. Cameraphone...? No way... Apalagi smartphone.

Jadi ... sebagaimana apa yang dikatakan ibu Al, banyak siswa dan orangtua yang merasa "terjebak" memasukkan anaknya bersekolah di SMA di bilangan Sawangan ini. Rasanya ... begitu juga kami ....
***
Perkenalan kami dengan sekolah yang menamakan diri Global Islamic School ini dimulai beberapa bulan sebelum anak kami (yang sekarang sudah duduk di kelas XII ... Jadi tepat 6 tahun yang lalu) duduk di kelas 6 SD. Si anak, sebagaimana kakaknya dulu, memang tidak kami masukkan ke sekolah negeri. Alasannya cukup sederhana ... si anak keberatan masuk sekolah jam 06.30 sementara kami orangtua yang kebetulan keduanya bekerja, ingin agar hari Sabtu bisa dimanfaatkan untuk kegiatan bersama, setelah 5 hari kerja relatif tidak memiliki waktu yang nyaman untuk bercengkerama.

Ada banyak sekolah swasta - SMP yang saat itu kami jadikan alternatif pilihan, walau dengan beberapa catatan. Yang terutama tidak kami rekomendasikan adalah sekolah-sekolah yang baik orangtua maupun murid-muridnya memiliki kecenderungan hedonisme/borjuis. 

Pilihan utama kami adalah sekolah yang mau menghargai kemampuan anak, bukan sekedar dari nilai akademis tetapi penghargaan sekolah pada bidang non akademis. Memang ada banyak sekolah-sekolah yang menproklamirkan diri sebagai sekolah sebagaimana yang kami inginkan. Tapi ..... biaya sekolahnya itu lho .... extraordinary expensive dan pada akhirnya kami bisa terjebak pada perilaku borjuis. 

Sekolah bagus tetapi "murah" memang sukar ditemukan, apalagi semua sekolah "ideal" itu umumnya sekolah swasta dan pasti identik sekolah mahal. Mahal atau tidak, tentu relatif ... tapi kalau sekolahnya sudah menawarkan olahraga seperti berkuda...., rasanya ini juga terlalu berlebihan.


Maka .... setelah berdiskusi panjang lebar di meja makan, kami memutuskan untuk memilih sekolah (Global Islamic School) di bilangan Margasatwa ini. Sebetulnya, sekolah ini sudah masuk "radar" untuk kami pilih sebagai tempat pendidikan anak kedua kami sejak si anak masuk pendidikan SD. Namun lokasi sekolah (SD) di Cinere terlalu jauh, 12km dari rumah, menyebabkan kami mengurungkan niat tersebut. Baru pada jenjang SMP itulah kami masukkan anak ke sekolah yang sebelumnya, lokasi tersebut kami ketahui sebagai sekolah tingkat TK/SD dengan label lain.

Pendek kata .... 3 tahun di SMP berlalu dengan baik, tanpa halangan. Tentu kami merasa tidak aneh dan sama sekali tidak keberatan bila si anak ingin meneruskan SMA yang sama. Apalagi, saat acara perpisahan sekolah, kepala sekolah menyebutkan bahwa SMP tersebut mendapat peringkat akreditasi tertinggi se Jakarta Selatan dan menjadi salah satu dari 2 SMP di Jakarta Selatan yang meluluskan siswanya tanpa kecurangan sedikitpun. Prestasi ini tentu sangat membanggakan dan mengharukan. Bukan saja buat sekolah, tapi juga buat orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya disana. 

Seperti 3 tahun sebelumnya, usai ujian tengah semester pertama di kelas IX, kami mulai mendiskusikan ke sekolah mana si anak melanjutkan SMA nya. Tentu lengkap dengan beragam alternatif sekolah swasta yang kami anggap baik.  Seingat saya, ada 4 sekolah yang kami rekomendasikan. 2 SMA berada sekitar 500m - 1km dari kantor. Harapannya adalah agar si anak bisa berangkat dan pulang bersama ibunya. Terkontrol kegiatannya... begitulah mau si orangtua. 2 sekolah lagi justru berada sekitar 2 km dari rumah. Bisa dijangkau dengan kendaraan umum.

"Nggak mau ... aku nggak mau masuk sekolah itu...!", sahutnya saat kami menyodorkan nama 2 sekolah yang berada tidak terlalu jauh dari kantor saya.
'Kenapa...? Kan bisa berangkat sama2 setiap hari...", saya membujuk si anak agar masuk ke sekolah yang memiliki label sama dengan sekolah kakaknya dulu
"Kalau nggak mau sekolah itu ... Sekolah Islam itu aja deh... Kan ada teman SDmu dulu, di sana...!"
"Nggak ....!"
"Lho .....??? Ya sudah..... yang dekat rumah aja deh, kalau begitu... Pilih salah satu... Sekolah A atau sekolah B!"
"Nggak dua-duanya..."
"Kenapa ....?"
"Kan mama sudah bilang, sekolah A itu sekolah borju... gimana sih...?"
Hehe .... si emak lupa, kalau 3 tahun yang sebelumnya memang tidak merekomendasikan sekolah itu.

"Ya sudah .... yang B aja deh....!"
"Nggak .... nggak dan nggak ....!"
"Adooooh ..... kenapa sih...."
"Ma ...aku gak suka sama anak2nya..."
"Hm .... sok tahu! Gaul aja enggak, mau sok menilai siswa sekolah lain lagi..!"
"Aku kan diceritain teman2 ...., anak2nya tuh ma... suka foto2an sexy dan norak ... terus di upload... Emang mama mau anaknya masuk ke sekolah yang begitu...? Nggak deh....!"

"Jadi, kamu maunya kemana ...?"
"Ya ke sekolah yang sama....", sahutnya merujuk sama sekolah dengan label yang sama dengan SMPnya.
"Masya Allah .... jauh banget ......!!! Nggak sanggup, aku kalau harus antar jemput kesana tiap hari. Sudah uzur nih. Kamu juga nanti akan terlalu cape dan stress...! Cari yang dekat aja deh...!"
"Nggak ....!"
"Ampun deh .... kaya nggak ada sekolah lain aja..."
"Biarin ...."

Aduh duh .... pusing juga untuk memenuhi permintaan itu, walau dalam hati terselip rasa syukur yang sangat besar bahwa penolakan anak kami masuk sekolah yang kami usulkan adalah karena alasan moralitas. Dia tidak suka dengan perilaku siswa-siswa sekolah tersebut.

"Ok ... kalau hanya sekolah itu yang jadi pilihan, apa boleh buat, tapi dengan satu syarat!"
"Apa ..."
"Harus mau masuk asrama. Bukan karena kami membuang anak karena tidak memenuhi permintaan untuk sekolah di Jakarta, tapi ini demi keamanan dan kenyamanan semua. Pertama, jarak rumah ke sekolah cukup jauh. Minimal 2-3 jam terbuang setiap hari untuk perjalanan pergi dan pulang. Ini pasti melelahkan, apalagi kalau ada PR. Kamu pasti gak bisa belajar lagi begitu sampe rumah. Kemudian kalau bapak tidak bisa menjemput ke sekolah berarti ada kesulitan besar, bagaimana kamu pulang ke rumah. Kami sama sekali tidak mau kamu naik taxi/angkutan umum di sore/menjelang malam, apalagi sendiri. Nggak ada cerita deh! Jadi kalau tetap mau masuk sekolah itu, tidak ada pilihan lain kecuali masuk asrama!"
"OK .... siapa takut...?", tantangnya....


Begitulah kejadian 3 tahun yang lalu, sebelum dia mengikuti test masuk SMA, berhasil diterima, masuk asrama dan bersekolah hingga sekarang duduk di kelas XII. Tidak terasa 3 tahun begitu cepat berlalu.

Tentu tidak mudah menjalaninya baik bagi orang tua maupun si anak. Pada bulan-bulan pertama, kami mengalami kesulitan membujuknya kembali ke asrama. Dia merasa terbuang ketika kami memintanya bersiap kembali ke asrama .... Memang ada rasa sedih melihatnya begitu tertekan harus kembali ke asrama. Apalagi, anak kami yang 2 orang itu relatif hidup seperti 2 anak tunggal. Hidup "sendiri" pada masanya, mendapat perhatian penuh dari ke dua orangtuanya pada saat kecil hingga masa remaja. Sehingga kamipun relatif merasa kehilangan dengan absennya keberadaan anak di rumah. Tapi anak manja ini memang harus konsisten dengan pilihannya. Dia harus memegang teguh dan konsekuen dengan pilihan sekolahnya.

Kami mungkin sedikit beruntung, bahwa dibandingkan dengan kakak lelakinya, si gadis lebih terbuka. Jadi kami relatif bisa memantau kegiatan, masalah-masalah yang dihadapinya, baik masalah di sekolah maupun masalah pribadi. Tentu pada koridor yang ingin dia ceritakan kepada kami, orangtuanya.
***

"Ibu/bapak jangan terkejut kalau sekolah menerapkan kebijakan sidak ke kelas seperti yang baru2 ini kami lakukan di kelas X" sayup-sayup terdengar suara ibu Al menceritakan tentang kegiatan sidak ponsel siswa, hingga grup diskusi orangtua yang berisi "keberatan" atas sidak yang dilakukan guru-guru karena dianggap melanggar privasi siswa.

Tenang bu Al .... saya juga melakukan inspeksi isi sms/wa/bbm di smartphone anak saya, begitu dia meninggalkan smartphonenya saat kembali ke asrama. Dengan demikian kami bisa mengetahui apa saja isi pembicaraan si anak dengan teman2nya. Jadi sidak ponsel di sekolah, juga kami lakukan kok ...

Bu Al masih melanjutkan banyak cerita tentang beragam kenakalan dan perilaku kebablasan siswa yang .... sungguh mati bikin hati saya "mencelos" .... Ngeri membayangkan kalau hal itu terjadi.Saya teringat beberapa kali pembicaraan kami di rumah;
"Aku sebel ma ...., teman-teman juga ternyata sama aja tuh .... Ada juga yang suka macam2", keluhnya suatu hari...
Atau di hari lain .... si anak juga mengeluh...
"Sebel ah... guru-guru rese banget.... kepo deh ..."
"Eits... gak boleh menduga yang buruk .... gimana kamu tahu mereka kepo?"
"Ye ..., mereka tuh canggih-canggih urusan sadap menyadap isi sms... Bayangin aja, masa aku pernah disangka bawa hp ,,, padahal mama tahu kan, hpku kan pasti ditinggal di mobil, kalo aku balik ke asrama...."
"Ya bilang aja ke gurunya... kalau perlu minta konfirmasi ke mama. Jangan dibikin susah lah...! Kamu mesti inget deh ... perilaku remaja itu dimana aja, sama. Maunya bebas ... nggak mau dilarang dan selalu merasa benar. Merasa terlalu dikekang... Kamu beruntung, sekolah/ibu dan bapak guru punya komitmen kuat menjaga anak muridnya supaya tidak tergelincir. Jadi buka karena kepo... Sebetulnya guru-guru itu ketakutan anak muridnya tergelincir ...Di dunia, itu jadi tanggung jawab mereka kepada orangtua dan masyarakat. Nah... nanti di akhirat diminta pertanggungjawaban juga lagi ...! Kasihan kan? Jadi beruntung kamu sekolah disitu ... Kalau gurunya cuek, nah seperti sekolah B itulah jadinya" 
***
Malam minggu setelah penerimaan raport tengah semester itu, kami keluar rumah untuk makan malam. Sebetulnya si anak menerima undangan peringatan ulang tahun ke 17 dari salah satu teman sekolahnya yang diselenggarakan di sebuah hotel di bilangan Depok. Sempat juga kami tawarkan si anak untuk hadir...

"Emang mama mau antar ke sana? "
"Kalau kamu mau hadir, boleh aja kami drop, nanti dijemput lagi"
"Mama nggak konsisten ih ...!
Eits ..... kaget juga dengar komentarnya ...
"Maksudnya...?"
"Dulu mama bilang nggak boleh hadir acara ulang tahun di hotel...!"
"Sebetulnya, bukan nggak boleh hadir acaranya. Boleh aja sih, karena kamu kan mesti gaul juga, asal tahu batas dan tahu waktu. Hidup juga nggak bisa steril banget. Ini yang jadi dilema buat orangtua."
"Ya sudah .... aku kan sudah mutusin gak hadir..."
"Ya ...., asal tahu aja, yang dilarang bukan acara ulang tahunnya. Tapi perayaan berlebihan apalagi diselenggarakan di hotel. Rasanya kurang pantas deh buat siswa sekolah..."

Ihwal perayaan ulang tahun secara berlebihan di hotel, pernah juga disinggung oleh bu Al, pada pertemuan, mungkin tahun yang lalu. Namun ternyata, walau hanya satu atau dua orang saja, tetapi masih selalu ada saja yang merayakan ulang tahun ke 17 anaknya secara berlebihan.
*** Pendidikan anak termasuk memilih tempat pendidikan anak yang kita anggap baik, rasanya tidak serta merta melepaskan seluruh tanggung jawab pendidikan anak terutamadalam hal moralitas kepada sekolah. Apalagi untuk pendidikan anak remaja yang penuh gejolak. Harus ada kesatuan visi dan misi dan tujuan pendidikan itu antara sekolah dan orangtua. 

Seperti yang disampaikan ibu Al ... sekolah tidak bisa dijadikan "musuh" tetapi harus jadi mitra dalam mendidik anak. Orangtua harus percaya bahwa sekolah memberlakukan beragam peraturan untuk kebaikan si anak. Kalau visi, misi dan tujuan pendidikannya dan sekolah dianggap kurang sesuai dengan gaya hidup keluarga siswa, mungkin orangtua tersebut telah salah memilih sekolah buat anak-anaknya.

Wallahu alam 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...