Senin, 10 Februari 2014

WISUDA Sarjana di Universitas Indonesia

Wisuda Sarjana, adalah waktu yang sangat ditunggu, bukan saja oleh semua anak muda yang baru saja menyelesaikan kuliahnya tetapi juga ditunggu oleh para orangtuanya .... oleh pacar dan mungkin juga calon mertua .... Walau belum tentu segera akan menikah, tetapi wisuda ternyata menjadi salah satu langkah penentu para pasangan kasmaran.

Sejujurnya .... saya tidak pernah merasakan greget suasana wisuda sarjana seperti apa yang dirasakan semua orang. Tidak merasakan luapan kegembiraan yang luar biasa untuk akhirnya berhasil menyelesaikan kuliah, kecuali "lepas beban berat" atas "kecelakaan" selama masa kuliah, sehingga saya harus menyelesaikan waktu kuliah yang amat sangat teramat panjang .... Walau diselingi cuti selama 4 tahun...., ternyata masa kuliah saya masih lebih pendek dari masa kuliah salah satu mantan menteri era Suharto yang berasal dari kampus yang sama hehe.... # ini salah satu cara pembenaran atas kesalahan diri.

Saya juga tidak sempat dan tidak memiliki kesempatan hadir saat anak sulung menyelesaikan kuliahnya baik pada strata 1 maupun 2. Semoga si anak tidak merasa kecewa ataupun bersedih karena tidak didampingi orangtuanya pada saat yang mungkin sangat berarti baginya. Anak itu terlalu mandiri dan kalaupun ada rasa "kehilangan" di hati orangtua karena kemandiriannya, tapi kami tetap bangga dan merasa sangat berarti memiliki anak seperti dia.
***

Awal bulan Februari dan akhir September setiap tahun, seperti biasa selama hampir 10 tahun ini, saya akan menerima beberapa undangan untuk hadir di acara wisuda. Tentu tidak selalu dihadiri, tergantung kepentingannya. Kalau ada keponakan yang di wisuda dan saya tidak sedang merasa malas untuk pergi, maka kami akan hadir bersama. Tetapi lebih sering suami saja yang hadir. Itupun kalau dia sedang tidak merasa malas untuk bermacet ria di sepanjang jalur Pasar Minggu - Kampus UI dan sebaliknya. 

Kadang-kadang, undangan itu digunakan teman yang membutuhkannya, karena kerabat yang ingin hadir melebihi jumlah undangan yang diperoleh wisudawan. Apalagi, undangan yang kami miliki itu memberikan kami kesempatan untuk hadir di ruang utama upacara. Di dalam Balairung Universitas Indonesia.

Kali ini, tiba-tiba saja saya merasa ingin membawa suasana kehidupan kampus kepada anak saya yang saat ini masih duduk di bangku kelas XI SMA. Tentu ada alasan tertentu mengapa keinginan tersebut timbul.

Dalam berbagai kesempatan bicara dengan si anak, seringkali dia bercerita, betapa teman-temannya ingin sekali berkunjung ke perpustakaan UI yang konon kabarnya terbesar di Indonesia dan hal ini akhirnya sudah beberapa kali dilakukan baik dari sekolah maupun secara individual. Sementara anak saya sendiri sama sekali tidak memperlihatkan rasa tertariknya untuk diajak mengunjungi dan mengikuti beberapa acara di kampus UI yang sejuk itu. Tentu bukan hadir di acara resmi, tetapi memang ada beberapa acara kekerabatan baik untuk staff pengajar maupun alumni yang memungkinkan anggota keluarga hadir. JAdi memang agak ironi. Sementara teman-temannya "iri" akan adanya kesempatan itu, anak saya malah acuh tak acuh.

Mungkin karena tahun ini, dia sudah duduk di kelas XI dan berbagai masalah mengenai universitas, fakultas dan program study sudah mulai ramai dijadikan topik pembicaraan siswa sebagai persiapan mereka kelak, maka topik yang sama sudah mulai muncul dalam beberapa kesempatan makan bersama yang hanya ada di setiap akhir minggu saja. Itu sebabnya pada saat saya lontarkan maksud untuk mengajaknya hadir pada acara wisuda sarjana, dia segera menyambutnya. Tentu ajakan tersebut saya sampaikan setelah beberapa hari sebelumnya melakukan konfirmasi kehadiran. 
***
Sudah beberapa tahun, karena terjadi peningkatan jumlah wisudawan yang luar biasa serta adanya berbagai jenjang kependidikan, maka acara wisuda sarjana UI dilakukan 2 kali dalam satu hari yang pasti sangat melelahkan bagi pejabat UI yang terlibat langsung serta seluruh pendukung acara. Belum lagi acara gladi resik yang biasanya diselenggarakan sehari sebelumnya.

Biasanya, wisuda Sarjana strata 1 - S1 dan  program diploma diselenggarakan pada pagi hari dan wisuda jenjang S2 - S3, program profesi diselenggarakan pada siang hari. Seingat saya, acara wisuda yang diselenggarakan pada pagi hari di bulan Februari selalu dibarengi dengan acara Dies Natalis sementara wisuda yang diselenggarakan pada bulan September dibarengi dengan penerimaan mahasiswa baru yang pasti gegap gempita. Ada nuansa berbeda dari ke dua kesempatan tersebut. Rasanya ... acara yang dibarengi dengan penyambutan mahasiswa baru lebih meriah, karena kebanggaan menjadi mahasiswa baru begitu kental mewarnai seluruh rangkaian acara.
***

Hari itu .... Sabtu 8 Februari 2014, kami berangkat dari rumah sekitar jam 12.45 - usai makan siang dan shalat dhuhur, Mestinya, cukup waktu untuk mengejar acara yang dimulai tepat jam 14.30 dengan ketentuan wajib hadir 30 menit sebelumnya. Waktu tempuh dari rumah ke kampus UI, biasanya hanya 45 menit. Itu sudah memperhitungkan kemacetan. Ternyata .... kemacetan siang itu sangat luar biasa. Bukan karena adanya kemacetan akibat lalu lintas keluar-masuk kampus UI, tetapi karena adanya beberapa genangan air. Maka ...  kami baru memasuki gedung PAU pada jam 14.10 ... 


Sebetulnya masih ada waktu 20 menit sebelum acara dimulai. Tetapi .... gedung PAU, yang biasanya ramai, sudah relatif kosong. Penghuninya sudah bersiap, berdiri dan berbaris rapi untuk mengikuti upacara di koridor antara gedung PAU denga Balairung tempat penyelenggaraan acara Wisuda Sarjana. Agak, salah tingkah juga melihat keadaan ini. Beruntung ada petugas acara, mungkin yang bertugas untuk membimbing undangan memasuki ruang acara. Dialah yang mengantar kami memasuki Balairung dan mencarikan tempat duduk. Alhamdulillah......

Duduk di ruang utama upacara, tentu merupakan suatu keberuntungan yang tidak semua orang bisa memilikinya. Itu pula yang menghadirkan getar dan nuansa yang sangat berbeda selama mengikuti acara tersebut.

***

Tepat jam 14.30, Rektor dan pejabat universitas dan Fakultas disertai dengan para guru besar memasuki Balairung UI dengan diiringi lagu Godeamus Igitur yang dibawakan oleh orkestra dan paduan suara UI .... Lirih namun penuh hikmat ....., lalu upacara "standar" dimulai ....., yaitu dari seremoni menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, mengheningkan cipta, doa, pembacaan lulusan dan lain-lain. Standar dan buat saya, cenderung menjemukan .... biasalah... sesuatu yang rutin dan standar, akan cenderung menjemukan terutama bagi yang seringkali menghadiri acara serupa.

Usai, acara standar seremonial, penyanyi-penyanyi "jawara" dari berbagai fakultas menyanyikan lagu pop pilihan. Rupanya dari generasi Aning Katamsi ... sekarang sudah banyak bermunculan mahasiswa dan mahasiswi pemilik suara emas yang apik. Merekalah yang menggantikan para seniornya menyanyikan beberapa lagu  pop yang terasa anggun karena diiringi orkestra.


Usai upacara wisuda, acara bagi undangan dilanjutkan dengan resepsi di ruang PAU sementara para wisudawan biasanya memiliki acara lanjutan yang mereka rancang sendiri dan pasti sangat heboh. Dari mulai membuat foto standar dengan keluarga dan pacar, Umumnya dengan latar gedung rektorat UI atau mungkin sekarang ditambah dengan gedung perpustakaan pusat. Yang terakhir biasanya di gerbang masuk kampus dimana terletak tulisan besar UNIVERSITAS INDONESIA. Kapan lagi orangtua bisa berkunjung ke kampus tempat anak-anaknya kuliah, bukan?

Semoga, generasi muda Indonesia yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di salah satu kampus termegah di Indonesia, pada universitas penyandang nama negara, mampu membawa Indonesia menuju kemandirian di berbagai bidang dan melepaskan bangsa dan negara ini dari belitan neokolonialisme dan praktek KKN kelak.

Sabtu, 01 Februari 2014

Bukan rasis atau sara

Hari ini 1 Februari 2014. Hari ke 2 di tahun kuda menurut penanggalan Cina. Kemarin malam, pas tahun baru, kami sempat keluar rumah. Tepatnya ke PIM untuk memanfaatkan waktu kebersamaan keluarga. Mumpung anak gadis kami ada di rumah, yaitu setiap akhir minggu. Jadi kami memanfaatkannya untuk makan malam di luar rumah dalam suasana yang sedikit berbeda. Bukan saja suasana ruang tetapi juga menu makanannya.

Tulisan ini tentu bukan untuk menulis apa yan kami makan, yang kebetulan juga menu masakan Cina di salah satu resto Cina halal. Minimal menurut tulisan di dindingnya ... no pork & no lard. Atau juga bukan untuk mengulas hiasan yang tergantung di PIM terutama di PIM2 yang semuanya bernuansa merah. Saya hanya ingin menulis tentang lafal atau pengucapan kata dalam suatu bahasa.
***

Sudah beberapa waktu ini saya baru menyadari bahwa di radio atau televisi, kata CINA ternyata tidak diucapkan dengan suara "cina" dengan ucapan bahasa Indonesia tetapi diucapkan "caina" (China) dalam lafal bahasa Inggris. Semula, hanya satu atau beberapa penyiar televisi saja, yaitu di salah satu stasiun tv berita. Tetapi ..... lama kelamaan, ternyata semua penyiar televisi dan bahkan penyiar radio tidak lagi menyebut Cina dengan lafal bahasa Indonesia, tetapi China dengan lafal bahasa Inggris, yaitu "caina".

Andai saja lafal menurut bahasa Inggris itu diucapkan ketika membawakan berita berbahasa Inggris, saya masih bisa memakluminya. Tetapi .... tampaknya, saat ini ucapan kata Cina dengan lafal Inggris sudah menjadi lafal standar pemberitaan. Saya tidak tahu apakah di stasiun televisi itu ada orang/editor yang bertugas melatih dan mengkoreksi pelafalan setiap kata dalam berbagai bahasa agar pengucapannya sesuai dengan bahasa yang dibawakan penyiar tersebut. Kalau ada .... bagaimana dia bisa meloloskan pengucapan kata yang bertentangan dengan kaidah pengucapan dalam bahasa Indonesia.

Jelasnya ....... kalau penyiar sedang membawakan acara berbahasa Indonesia, maka seluruh ucapan bahasanya harus sesuai dengan kaidah ucapan/lafal bahasa Indonesia. Begitu pula kalau sedang berbahasa Inggris, Cina, Arab, Perancis atau bahasa lainnya. Tentu pengucapannyapun harus sesuai dengan kaidah pengucapan bahasa terkait. Karena, apabila kita salah mengucapkannya maka para penutur bahasa tersebut tidak akan mengerti apa yang diucapkan/diberitakan.

Berkenaan dengan kata Cina, saya ingat sekali bahwa saat saya kecil dulu, saya selalu dilarang oleh orangtua menyebut kata Cina kepada tetangga, kenalan atau siapapun yang berasal dari etnis Cina. Saya selalu dianjurkan untuk membahasakannya dengan kata Tionghoa. Saya memang tidak terlalu mengerti dan tidak juga mempertanyakan sebabnya. Cukup dipatuhi saja, namun saya menduga bahwa penyebutan kata Cina itu selalu dilakukan orang saat marah atau dengan nada menghina, terutama pada awal tahun pemerintahan era Suharto. Mungkin itu sebabnya, orangtua saya melarang penggunaan kata Cina untuk penyebutan teman, tetangga, kenalanan atau siapapun yang berasal dari etnis/suku bangsa Cina.

Saya sendiri merasakan suka duka, dampak dari kata Cina tersebut.
Konon .... nenek dari kakek saya, jadi saya adalah keturunan ke 5nya; adalah perempuan Cina totok yang masih memiliki kaki pendek yang terbelenggu oleh sepatu besi (?), sebagai bentuk tradisi Cina jaman dahulu kala. Perempuan yang konon kabarnya anak dari penguasa klenteng (sekarang) di kawasan Ancol ini menikah dengan lelaki keturunan Jerman yang memiliki nama keluarga Muller. Dari pernikahan 2 orang berbeda bangsa itu, beranak pinak, dimana anak-anaknya, yang berjumlah 3 orang, kebetulan berjenis kelamin perempuan semua, keseluruhannya menikah dengan lelaki Indonesia asli. Mereka konon menyebar di 3 wilayah pulau Jawa. Jawa bagian barat yaitu di Jakarta berbaur dengan masyarakat Betawi sehingga keturunannya merasa dan tentunya mengaku sebagai etnis Betawi..... Lalu yang di Jawa Tengah beranak-pinak di kawasan Rembang serta di Jawa Timur, menyebar dari Malang. Mereka yang beranak pinak di Jawa Tengah dan Jawa Timur tentu lekat dengan budaya Jawa.

Akibat dari leluhur Cina tersebut atau mungkin sayangnya .... ternyata ada gen kuat dari perempuan Cina tersebut yang menurun pada saya dan bahkan kepada anak perempuan saya ........, walau anak perempuan saya memiliki kulit sawo matang, yaitu .... saya dan anak perempuan saya bermata sipit. Padahal .... adik saya lainnya ada yang berkulit sawo matang. Kalaupun ada yang berkulit "putih", maka matanya tidaklah sipit, sehingga mereka "lolos" dari olok-olok sebagai orang Cina.

Bayangkan  .... kalau anak saya saja, pada abad ke 21 ini, era dimana diskriminasi terhadap etnis Cina sudah dihapuskan oleh Gus Dur saat menjabat presiden, sering diledek teman2nya sebagai Cino Ireng ... apalagi saya yang memiliki kulit agak kuning ... Orang bilang kulit saya "putih" dan bermata sipit. Kloplah kalau disangka sebagai perempuan Cina.
***

Ibu saya cerita, saat saya kecil dulu, kalau saya dibawa ke pasar untuk belanja, maka encik penjual telur selalu menghadiahkan saya sebutir telur. Untuk si amoy .... begitu katanya untuk menyebut nama saya. 

Sebetulnya, saya sama sekali tidak menyadari bahwa mata sipit saya itu bermasalah. Masa sekolah saya yang selalu berpindah-pindah mulai TK-SD ibu Su, Muhamadiyah Jakarta, lalu ke Daya Susila - Garut dan seterusnya hingga akhirnya lulus dari SMA Fons Vitae Jakarta saya lalui tanpa sekalipun merasa adanya perbedaan etnis dengan teman sekolah lainnya karena bentuk mata sipit. Masalah tersebut justru baru timbul saat saya masuk kuliah. 

Ketika itu, saat posma alias pekan orientasi mahasiswa, saya ingat betul ... sempat diinterogasi oleh salah seorang kakak senior. Dia menanyakan asal-usul saya. Untuk meyakinkan bahwa saya ... mahasiswa baru bermata sipit ini bukan berasal dari etnis Cina, tetapi betul-betul lahir dari pasangan bapak beretnis Betawi-Sunda dan ibu dari Sumatera Barat seperti pengakuannya.

Mungkin saya beruntung, ada salah satu senior yang sudah kenal keluarga saya. Tapi .... sebagai akibatnya, selama posma tersebut saya "disuruh" menempelkan celotape pada kelopak mata agar mata saya menjadi sedikit lebih bulat. Tidak terlihat sipit. Lama setelah itu suami saya yang saat itu berstatus pacar, sempat bercerita bahwa dia juga ditanyai beberapa temannya...
"Kok pacaran sama perempuan Cina sih ....?"
Lho .... apakah salah....?

Ketidaknyamanan menjadi orang yang dianggap mengaku Indonesia tetapi memiliki wajah seperti perempuan Cina, tidak berhenti sampai disitu. Terus berlanjut ketika akhirnya saya masuk ke dunia kerja. Memang ada enaknya, karena saya menjadi mudah diterima di kalangan etnis Cina tetapi .... saya sungguh merasa sangat lelah justru tatkala masuk ke lingkungan masyarakat berkulit sawo matang karena seringkali harus menjawab berbagai ragam pertanyaan untuk mengkonfirmasi asal usul keluarga. Rasanya sungguh sangat menyakitkan..... Adakah yang salah dengan saya? 

Baru setelah saya memakai jilbab, maka pertanyaan tersebut, hilang. Atau bahkan sangat mungkin, sekarang ini ada yang menganggap saya sebagai muallaf... dan kalau benar, alangkah ironinya hidup saya....

Eits.... kembali ke topik awal ....
***

Kini ...., entah sejak kapan, pengucapan Tionghoa malah sudah sangat jarang terdengar. Kita sudah terbiasa mendengar kata Cina di mana saja. Konon, menurut mas Saptono, senior saya di masa kuliah dulu, penyebutan Cina atau China merupakan imbauan pemerintah Cina kepada pers di seluruh dunia untuk menggantikan kata Tiongkok

Sebagai orang yang mengalami sendiri berbagai suka duka berkenaan dengan etnis Cina. Pernah mendapat berbagai penolakan dan perlakuan rasisme di negara yang memiliki semboyan liberte, egalite & fraternite, sesungguhnya saya berusaha untuk tidak melihat dan memperlakukan siapapun berdasarkan warna kulit atau asal muasalnya. Saya merasakan betul sakitnya menerima perlakuan rasis.

Jadi kalau saya menyoal tentang Cina atau China (dengan lafal Inggris), bukan karena unsur rasisme tetapi hanya sekedar lontaran pertanyaan .... Mengapa kita harus melafalkan Cina dengan lafal bahasa Inggris dalam pemberitaan bahasa Indonesia.

Para pakar bahasa Indonesia ... editor/korektor bahasa di stasiun televisi dan radio ... ayo dong, koreksi pengucapan para penyiarnya. Kalau sedang berbahasa Indonesia ..., ucapkanlah segala sesuatunya dalam lafal dan kaidah bahasa Indonesia. 

Kita perlu bangga dengan bahasa persatuan ini... Kalau buka kita yang merawatnya dengan menggunakannya dengan baik dan benar ... siapa lagi dong?

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...