Kamis, 20 Maret 2014

Kehebohan PBB yang bukan Perserikatan Bangsa Bangsa di Jakarta.

Kalau tidak salah, pada bulan terakhir tahun 2013 wakil gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama berancang-ancang akan menaikkan NJOP atas tanah dan bangunan di Jakarta. Ada berbagai alasan yang mendasarinya, tentu. Salah satunya karena pada saat terjadi transaksi,harga pasar tanah di Jakarta memang sangat tinggi. Berkali lipat dari nilai jual objek pajak yang ditentukan oleh pemerintah.

Hampir satu tahun yang lalu, harga tanah di beberapa jalan di kawasan Kebayoran Baru sudah melambung hingga menyentuh nilai Rp.100.000.000,- Bayangkan betapa tidak berartinya nilai 100 juta bagi segelintir manusia super kaya di ibukota negara ini. Itupun masih diimbuhi ucapan ...
"Iya kalau ada yang pasokannya. Masalahnya, tidak ada yang menjual tanah di prime location nya Kebayoran Baru. Kalau ada, pasti langsung ditubruk", begitu cerita yang saya dengar dari salah satu "pemain" property yang sering membeli dan menyewakan rumah-rumah di bagian lokasi "super prestigeous" nya Kebayoran Baru.

Ok .... Anda mungkin hanya akan berkomentar bahwa itu hanya kabar berita saja, kan ...
Nah, pada tahun lalu juga saya melihat sebuah transaksi rumah di kawasan yang tadi saya sebut itu. Rumah mewah dengan luas tanah sekitar 350m2 dan bangunan bertingkat dua, katakanlah seluas 500m2 itu dijual dengan harga tidak kurang dari 35 miliar rupiah.

Mari kita berhitung. Kalau harga bangunan mewah itu kita nilai dengan 10juta/m2 saja maka harga bangunannya hanya 5 Milyar rupiah. Dengan demikian .... maka harga tanahnya adalah 30milyar dibagi 350m2 alias delapan puluh lima juta tujuh ratus lima belas ribu rupiah = Rp.85.715.000,- (harga pembulatan). Ini tentu belum termasuk BPHTB yang merupakan akronim dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta biaya-biaya lainnya seperti akta notaris dan pengurusan balik nama sertifikat.

Padahal .......... nilai jual objek pajak yang tertera mungkin hanya 1/20 nya saja atau sekitar 4-5juta/m2. Saya rasa kenyataan itulah yang menjadi salah satu dasar pertimbangan mengapa pemerintah DKI mengambil keputusan untuk menaikkan nilai jual objek pajak di wilayah Jakarta.
***

Kenapa masyarakat harus membayar pajak .....? Dalam satu talk show di radio, pakar keuangan Aidil Akbar menjelaskan bahwa PBB dikenakan kepada masyarakat pemilik tanah? Konon ada beberapa alasan.
Yang pertama, pemerintah memerlukan dana untuk menyelenggarakan pemerintahan yaitu membayar gaji pegawai negeri.
Keduanya untuk melaksanakan berbagai program pelayanan masyarakat dan meningkatkan fasilitas umum yang bisa dinikmati oleh masyarakat baik secara gratis seperti taman-taman umum, jalan raya tidak berbayar dan lainnya. 

Masyarakat kan selalu bergerak. tidak mungkin tinggal sepanjang waktu di area lahan miliknya. Nah begitu dia keluar rumah, ada bagian tanah yang dimiliki negara yang digunakannya secar gratis. Jadi, tentu ada baiknya ikut berpartisipasi membiayai kenikmatan yang diperolehnya dari penggunaan tanah/bangunan umum milik pemerintah. Begitu logika berpikirnya.
Penjelasan itu, terdengar sangat logis.

Masalahnya .....
Masyarakat sudah terlanjur tidak percaya dengan aparat pemerintah terutama aparat pajak yang korup. Citra PNS di mata masyarakat memang sudah terlanjur buruk. Bekerja tidak effisien, pelayanan buruk dan lain-lain. Bayangkan saja ... mengurus kartu tanda penduduk yang katanya gratis, tidak akan selesai pada waktunya kalau tidak ada "salam tempel".

Kenyamanan orang berjalan kaki sama sekali tidak ada. Jalan raya di Jakarta masih banyak yang tidak dilengkapi dengan saluran. Keindahan kota hanya milik jalan protokol dan lokasi-lokasi premium saja. Di wilayah bagian kota lainnya kekumuhan dan ketidak teraturan amat sangat terasa. Tidak terjamah oleh perbaikan apapun. Apakah karena pemukiman tersebut dihuni oleh masyarakat golongan berpenghasilan rendah yang seyogyanya dibebaskan dari pembayaran pajak bumi dan bangunan sehingga pemerintah tidak merasa berkewajiban memperhatikan wilayah tersebut. Ibaratnya ada uang (bayar pajak) ...... kita disayang .... tidak ada uang (tidak bayar pajak). Tentu bukan itu maksudnya .... karena pemerintah harus memperlakukan rakyatnya dengan adil. Tapi ..... saat kita bicara soal adil ... maka, hal itu menjadi sangat relatif.

Di kantor ... saya seringkali berdebat soal keadilan terutama kalau kita bicara soal tunjangan/fasilitas. Keadilan memang tidak bisa diartikan bahwa setiap karyawan mendapat fasilitas, tunjangan dan kenyamanan yang sama. Kalau semua mendapatkan yang sama, maka itu menjadi sangat tidak adil. Bagaimana mungkin .... orang yang dalam pekerjaan harus "menghasilkan" uang dan keuntungan bagi perusahaan agar perusahaan berjalan dengan lancar dan berkembang diberi fasilitas, tunjangan dan kenyamanan yang sama dengan mereka yang tugas dan tanggung jawabnya hanya membersihkan ruang kerja dan menyediakan minuman. 

Jenis fasilitasnya bisa jadi sama.... tetapi standarnya berbeda terutama dalam kualitas. Dari sini, akan terlihat bahwa walau semua mendapat tunjangan/jenis fasilitas yang sama tetapi nilai uang yang diterimanya berbeda karena "dasar/standar" perhitungannya berbeda sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.

Nah kembali pada soal Pajak Bumi dan Bangunan, memang sangat bisa dimengerti kalau daerah yang tertata baik, nyaman dan terutama yang berada di pusat kota/komersial dikenakan pajak yang lebih tinggi. Masalahnya ..... apakah penduduk yang tinggal di daerah tersebut mampu untuk membayar pajak sesuai dengan nilai yang ditetapkan pemerintah. Tidak semua mereka yang tinggal di wilayah prestisius itu adalah orang-orang kaya yang berlebihan uang. Banyak dari mereka adalah keluarga pensiunan atau jandanya yang memiliki rumah tersebut saat kawasan terkait masih berupa "lokasi tempat jin buang anak". Pada saat tidak ada orang yang mau tinggal di daerah tersebut. Perkembangan kotalah yang menjadikan lokasi tempat jin buang anak itu menjadi lokasi premium. Tentu sangatlah tidak adil kalau para pensiunan atau jandanya harus menyingkir entah kemana hanya karena tidak mampu membayar pajak rumah yang ditinggalinya. Bukan salah mereka kalau pada akhirnya mereka tidak mampu membayar pajak.

Saya sendiri cukup kaget saat menerima lembar tagihan PBB rumah ibu saya tahun ini. Secara total, PBB yang harus dibayar meningkat 50%, Yang tidak kalah mengagetkan ... NJOP sebidang tanah yang saya miliki naik lebih dari 200% dari NJOP awal.

Memang, setahu saya, ada mekanisme permintaan keringanan pajak yang bisa diajukan masyarakat yang merasa tidak mampu. Itulah yang biasa dilakukan oleh almarhum ibu saya selama masa hidupnya. Masalahnya .... sosialisasi tentang adanya mekanisme pengurangan pajak memang sangat kurang, sehingga masyarakat cenderung mengambil langkah protes langsung "TIDAK MEMBAYAR PBB". Padahal .... keringanan itu memang harus dimintakan dan andaikan masyarakat tahu, maka orang yang betul-betul tidak mampu tentu akan melakukan prosedur ini. Direktorat Pajak atau Dinas Pendapatan (asli) Daerah alias Dispenda yang menangani PBB harus rajin mensosialisaikan prosedur pengajuan keringanan pajak ini. Jangan karena "dikejar" setoran .... karena konon ada persentase biaya pungut yang bisa dperoleh ... maka hak orang yang tidak mampu membayar PBB atau pajak apapun juga diabaikan.

Jangan terlalu naif juga berasumsi bahwa pemerintah seharusnya tidak semena-mena mengenakan pajak terutama PBB karena terlena dengan jargon ..... 
"tanah ... tanah gue, kok masih harus bayar pajak...? 
atau pendapat lain yang mengatakan bahwa
"bumi dan tanah ini milik Allah ... jadi pemerintah tidak berhak memungut pajak semena-mena"

Sekali lagi ... untuk prinsip keadilan ... pajak "tinggi" yang dikenakan untuk wilayah tertentu apapun yang diatur oleh pemerintah dan untuk tujuan jalannya roda pemerintahan serta pemeliharaan, perbaikan dan penambahan sarana/prasarana kota tidak bisa dielakkan. Penduduk wilayah kota yang mampu, yang memiliki uang berlebih memang wajar dan wajib membayar PBB yang tinggi dan bagi mereka yang tidak mampu membayarnya .... ajukan keberatan dengan cara yang benar.

Pemerintah - dalam hal ini Dispenda tentu harus dengan "legowo" memberikan keringanan untuk mereka yang bisa membuktikan diri tidak mampu tanpa harus mempersulit mereka.
***

Saya kemudian teringat kejadian lebih dari 30 tahun yang lalu. Saat itu ... pada suatu siang, saya mendapat surat ancaman harus segera membayar pajak. Semacam PBB atas satu unit apartemen sederhana seluas 49m2 yang kami sewa. Ancaman tersebut masih saya ingat betul bahwa bila dalam waktu 1 minggu kami belum juga melunasi PBB, maka petugas pajak akan menyita "barang berharga" yang ada di dalam apartemen kami.

Sebagai orang asing dinegeri 4 musim itu, surat berbau ancaman tersebut tentu membuat kami merasa sangat tidak nyaman. Bayangan buruk dideportasi karena melakukan pelanggaran peraturan pemerintah setempat sangat menghantui. Saat itu, sebetulnya kami sudah menulis surat permohonan penghapusan pajak. Bukan sekedar keringanan pajak, tetapi langsung saja permintaan penghapusan pajak. Dasar permintaan tersebut rasanya cukup valid karena penghasilan satu-satunya yang kami peroleh adalah beasiwa yang nilainya hanya sekitar 50% dari nilai upah terendah yang berlaku. Kongkritnya, nilai beasiswanya hanya 50% UMR. Itu sebabnya kami bersikeras tidak membayar PBB, sampai kami mendapat jawaban atas surat permohonan yang kami ajukan melalui pos tercatat.

Sayangnya .... "ancaman" datang lebih dahulu dan membuyarkan ketenangan hidup kami. Maka keesokan hari, demi ketenangan hidup, terpaksa kami mengirim cek senilai PBB yang harus dibayar. Apa boleh buat .....

Hari berlalu, sedih dan sedikit kecewa karena permintaan kami tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Berbagai dugaan buruk berkecamuk. Bahwa pemerintah negara yang memiliki semboyan liberte - egalite - fraternite itu ternyata tidak memperlakukan sama pada penduduk negerinya. Ada perbedaan perlakuan antara warganegaranya dengan warga negara asing. Tapi, andaipun benar begitu ... seharusnya dan sewajarnya kami akan memakluminya.

Hingga .... seperti biasa, suatu siang sepulang belanja di sebuah toko milik seorang yang berasal dari Vietnam sekitar 2 minggu setelah saya mengirimkan cek pembayaran PBB, saya kembali menerima surat "cinta" dari kantor pajak. Gemetar dan tidak sabar untuk membukanya.... Ancaman apalagi yang akan kami terima...?

Saya segera naik lift menuju lantai 14, lantai dimana apartemen tempat kami tinggal berada.  Tidak sabar, saya segera menyobek sampul surat ..... dan isinya adalah .......
........ selembar cek, yang besarnya sama dengan nilai cek yang kami kirimkan sebagai pembayaran PBB. Tidak ada potongan apapun dan tanpa prosedur yang berbelit. Semua dilakukan melalui surat-menyurat ... tanpa ada verifikasi berlebihan atas kondisi keuangan dan atau apartemen tempat kami tinggal. Mereka sangat percaya pada akurasi dokumen yang kami kirimkan ....

Kalaupun ada kekurangan .... itu adalah karena kami menunggu terlalu lama sehingga harus mengalami "tekanan/ancaman" walau hanya melalui surat saja ....

Rabu, 19 Maret 2014

Musuh Bersama Partai Politik Indonesia di tahun 2014

Hari ini, Rabu 19 Maret 2014, saya baca berita di harian Republika bahwa Pendiri Pusat Data Bersatu - PDB, Didik J Rachbini yang profesor itu menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi meninggalkan banyak masalah di Jakarta. Pendapat ini dilontarkan dalam diskusi "Nasib Jakarta pasca Jokowi", dan pendapat/kesimpulan itu diambil dari data riset yang dilakukan PDB pada bulan Oktober 2013.

3 masalah besar yang ditinggalkan Jokowi bila yang bersangkutan terpilih menjadi presiden Republik Indonesia ke 7 pada pemilihan presiden 2014 yang akan datang antara lain macet, banjir dan pengangguran. Menurut saya, pendapat Ini bisa dikategorikan sebagai penyesatan opini yang luar biasa. 

Siapapun tahu bahwa kemacetan Jakarta sudah terjadi sejak lama. Itu sebabnya pada akhir pemerintahan Sutiyoso, dia membangun jaringan bus Trans Jakarta koridor 1 Blok M - Kota dan angkutan air dari Manggarai menyusuri kali sepanjang jalan sultan Agugung hingga di samping gedung BNI. Pada masa pemerintahan Fauzi Bowo, pembangunan koridor Trans Jakartapun dilanjutkan berikut dengan rencana pembangunan Monorail yang sampai sekarang masih berupa kerangka terbengkelai. Walaupun kemudian angkutan air menjadi tidak jelas kelanjutannya. 


Akan halnya MRT yang sejak lama didengungkan dan bahkan sudah ada dalam Rencana Umum Tata Ruang - RUTR Jakarta 65-85 tak kunjung dibangun, justru mulai dilakukan pembangunannya awal tahun 2014 ini. Pada masa pemerintahan Jokowi-Ahok. Jangan dilupakan pula bahwa pada saat Jokowi-Ahok mulai membenahi transportasi Jakarta dengan "segudang" rencana, pemerintah pusat melalui Departemen Perindustrian malah memberi ijin bagi pemasaran low cost green car - LCGC yang lantas memicu pertumbuhan luar biasa atas penjualan mobil "murah" tersebut. 


Bagaimana mungkin menimpakan kemacetan akibat peningkatan laju penjualan mobil kepada gubernur kepala daerah. Bahwa ada kelambanan pertumbuhan infrastruktur kota, itu pasti. Tapi dalam upaya mengurangi kemacetan Jakarta, selain harus membangun jaringan transportasi massal juga harus dibarengi dengan kebijakan nasional mengenai transportasi umum. Untuk kota besar patut diingat sekali lagi .... harus dibangun jaringan transportasi massal...... bukan infrastruktur untuk kendaraan pribadi berupa jalan raya/jalan layang baik berbayar atau tidak.

Berkenaan dengan banjir, mungkin perlu diingatkan lagi bahwa pembangunan besar-besaran pada akhir 80 sampai dengan sebelum masa krisis moneter, dimana pertumbuhan property di Indonesia sangat tinggi menyebabkan peraturan bahwa kawasan Puncak (Bopunjur) yang seharusnya dikelola sebagai wilayah penyangga hujan, berubah total dan malah dipenuhi dengan pembangunan kawasan villa/perumahan demi yang namanya pertumbuhan ekonomi atau kongkalikong antara pejabat dengan pengusaha. Belum lagi perkembangan tidak terkendali di seluruh wilayah Jakarta. Wilayah Jakarta Selatan yang seharusnya merupakan wilayah pemukiman "hijau", yaitu wilayah pemukiman yang sekaligus merupakan wilayah penyangga air hujan dengan koefisien dasar bangunan - KDB hanya 20%, sudah semrawut. 


Jakarta Selatan tumbuh menjadi wilayah pemukiman "elite" dan mahal. Berbagai kluster perumahan yang menamakan diri sebagai townhouse dengan luas kavling di bawah 150 meter menjamur bahkan hingga ke wilayah perkampungan dengan lebar jalan hanya 4-5 meter saja. Hal ini tentu memperkecil

area resapan air hujan karena kavling kecil seluas di bawah 150m tidak mungkin dibangun hanya dengan KDB 20%. Kluster-kluster ini tentunya menjadi beban buat pemerintah, karena dengan kecilnya luas "pengembangan" lahan, maka si pengembang yang pada umumnnya menyiasatinya dengan memakai nama pribadi menjadi terbebas dari kewajiban penyediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Kalau sudah begini ... tentu ada yang tidak beres pada instansi pemberi ijin. Penyimpangan pembangunan fisik seperti ini sudah berlangsung jauh sebelum Jokowi - Ahok menduduki jabatan tertinggi di DKI Jakarta.

Pembangunan di Indonesia pada umumnya tidak pernah dilakukan secara terpadu tetapi hanya dilakukan pada satu bidang, yaitu pembangunan fisik. Kita melupakan bahwa pengelolaan, penjagaan dan mempertahankan keseimbangan lingkungan dengan tetap mempertahankan lahan hijau entah secara mikro (perkotaan) ataupun secara makro dalam tata ruang nasional juga merupakan pilar pembangunan. Bahwa kerusakan alam yang kemudian berakibat kepada makin seringnya terjadi musibah alam berupa banjir, longsor dan sebagainya adalah akibat ketidakmampuan kita menjaga dan mempertahankan keseimbangan lingkungan. Pola pikir bahwa pembangunan adalah menambah sarana, prasarana dan bangunan secara fisik namun mengabaikan dan tidak mempedulikan keseimbangan lingkungan secara makro.

Begitu juga dengan masalah pengangguran di Jakarta.....

Rasanya amat sangat lucu menimpakan semua kesalahan dan berbagai masalah aktual di Jakarta kepada Jokowi. Siapapun tahu bahwa Jokowi - Ahok baru 1,5 tahun menduduki jabatan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta dan selama itu sudah banyak pembenahan yang dilakukannya. Itupun dengan banyak gangguan dan hambatan bukan saja oleh masyarakat yang "kenyamanan dan peruntungannya" terganggu. Gangguan itu bahkan dilakukan oleh segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai wakil rakyat di DPRD dan mengatasnamakan kepentingan rakyat secara membabi-buta.

Lha .... apakah prestasi gubernur sebelumnya memang lebih spektakuler daripada apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi - Ahok sehingga mereka seolah tidak berdosa atas kesemrawutan yang ada di Jakarta? Atau apakah "kerusakan" yang ada di Jakarta dan perusakan selanjutnya hanya terjadi pada 1,5 masa pemerintahan Jokowi-Ahok?

Saya bukan pendukung Jokowi tapi saya sebal betul kalau ada orang pintar bergelar profesor pula memberikan opini menyesatkan dan membodohi rakyat.... Apalagi pendapat ini dilontarkan setelah Joko Widodo ditunjuk partainya sebagai calon presiden RI pada pemilihan raya yang akan datang.

Nuansa pesanan, kampanye hitam dan pembunuhan karakter Joko Widodo terlalu nyata untuk diabaikan dan ironinya hal ini dilakukan oleh "orang pintar"

Jumat, 14 Maret 2014

BUNTU dan karenanya jadi buta segalanya

Sepertinya, bulan Maret ini menjadi bulan yang membuat pikiran saya menjadi buntu. Kebuntuan itu menyebabkan saya tidak mampu menuangkan apapun dalam bentuk tulisan walau berbagai peristiwa datang menyapa aktifitas keseharian untuk kemudian seharusnya pergi dengan membawa kesan mendalam yang layak dituliskan.

Sepertinya, aktifitas mendesain untuk kemudian membangun rumah dengan hanya mengandalkan tukang kepercayaan menyita hampir seluruh waktu luang di malam hari, usai bekerja. Ternyata masih banyak gambar-gambar detil yang harus diselesaikan dalam waktu yang hanya tersedia maksimal 2 jam setiap malam. Apalagi ... sebagai orangtua, kemampuan mengadopsi perangkat canggih untuk menggambar sama sekali tidak saya miliki. Maklum selama masa kerja profesional, hanya 5 tahun pertama saja saya bekerja sebagai arsitek  dan masa itu, perangkat/software autocad belum dikenal orang. Selebihnya walau bidang kerja saya masih bersinggungan dengan dunia arsitektur, namun saya sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan gambar menggambar kecuali mengevaluasi gambar yang diajukan konsultan.

Upaya menuangkan ide dan keinginan pribadi dalam sebentuk rumah tinggal pribadi, kelak akan saya tuliskan dalam suatu cerita sendiri. Kali ini saya hanya akan mentautkan cerita saat dengan tulisan di blog "tetangga" .... tanpa ijin .... maaf buat pemilik blog, tapi saya yakin yang bersangkutan tidak akan berkeberatan sama sekali. Inshaa Allah

https://koestoer.wordpress.com/2014/03/13/buta-mata-buta-warna-dan-buta-hati/

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...