Senin, 15 Juni 2015

SMA - GIS LAZUARDI Graduation Day


13 Juni 2015, tepat jam 07.00 kami meninggalkan rumah yang lokasinya hanya sekitar 1km dari batas wilayah DKI Jakarta untuk menuju gedung Graha Sucofindo di bilangan jalan raya Pasar Minggu - Jakarta Selatan. Itulah gedung yang, minimal selama anak kami bersekolah disana, digunakan sebagai tempat berlangsungnya acara Wisuda siswa SMA dan pembagian raport kelas X dan XI.
Ngomong2 ... sejak kapan ya, istilah pelepasan siswa SMA jadi dinamakan wisuda, seperti lulusan universitas?

Hampir jam 08.00 kami baru memasuki area parkir dan mendapatkan tempat yang cukup nyaman. Acara yang tercantum dalam undangan resmi sebetulnya baru akan berlangsung jam 08.30. Jadi masih ada waktu sekitar 45 menit menjelang acara. Datang terlalu pagi kali ini patut disyukuri ... 

Ada hikmahnya, mengantar anak yang hari itu diwisuda. Biasanya, saya selalu mendapat kesulitan untuk memperoleh parkir di area gedung Sucofindo dan hanya dengan susah payah,  akhirnya mendapat parkir di gedung-gedung yang berada di sekitarnya. Pernah juga diusir satpam yang tidak rela gedung yang dijaganya menjadi tempat penampungan parkir acara wisuda SMA - GIS Lazuardi. 

10 menit menjelang acara dimulai, siswa SMA dan FES Lazuardi mulai menghibur undangan dengan penampilan musik mereka, ada permainan gitar, perkusi, angklung dan lainnya. Acara utama wisuda siswa SMA Lazuardi yang dimulai tepat jam 08.30, standardlah .... Seperti acara wisuda dimana-mana ... Ada sambutan, tayangan prestasi sekolah, pembagian hadiah bukan saja buat siswa yang berprestasi akademis (nilai raport tertinggi) tetapi juga dalam kecakapan non akademis/social relationship dan akhirnya prosesi pemberian ijasah dan tanda kelulusan. Yang khusus dan khas sekolah di lingkungan Lazuardi, wisudawan/wisudawatinya selalu diberi bekal kitab Al Qur'an.

Seperti saat wisuda di tingkat SMP, saat salah satu orangtua siswa memberi sambutan mewakili orangtua siswa lainnya, terpikir sebuah nama yang cukup familiar di telinga;

"Sepertinya nama itu cukup familiar deh ..."
"Sering muncul di berita pagi tv, kasih komentar ....", begitu jawaban singkat suami sambil menyebutkan nama stasiun tv terkait.
Segera saja teringat bahwa saya sering berhubungan dengan group usaha tersebut, sehingga saya lalu mengirim pesan kepada seorang teman yang menjadi executive secretary di perusahaan yang menginduki stasiun tv tersebut:

"Hai bu ..... aku lagi hadir acara wisuda sekolah anakku. Ada pak K nih .... Dia lagi kasih sambutan mewakili orangtua siswa!"
"Pas banget tuh ...", sahutnya. Mungkin terkait dengan jabatan si bapak.
"Sayang rumahmu jauh ya ... Kalau dekat, bisa masukkan anak sekolah ke Lazuardi tuh ... Kan si bapak itu bisa jadi referensi tentang GIS Lazuardi"
"Aku nggak suka sama Lazuardi. Ada saudara pernah menyekolahkan anaknya disana dari SD s/d SMP, banyak cerita. Jadi ... rasanya nggak cocok denganku"
"Memang apa yang diceritakan tentang Lazuardi ...", tanyaku penasaran.
"Wah sudah lupa ..... sudah terlalu lama ...., tapi kami semua bilang ... ih .... kok gitu...!"
"Oh ... OK, gak apa... Alhamdulillah, aku nggak punya pengalaman buruk. Malah anakku nggak mau pindah dari Lazuardi saat kutawari masuk SMA swasta lainnya atau negeri."
"Sekolah juga cocok-cocokan sih .....", sahutnya.
"Betul ...... Semua orangtua tentu ingin yang terbaik buat anaknya. Sesuai dengan visinya masing-masing dan nggak ada yang salah tentang itu.." jawabku menutup pembicaraan melalui gadget.

Pembicaraan itu merupakan kali kedua, saya mendengar cerita atau tanggapan yang kurang enak tentang GIS Lazuardi. Penyebabnya selalu tidak jelas karena penyanggahnya selalu tidak mau memberikan cerita yang sebenarnya. Ada apa dengan GIS Lazuardi dan apa masalah yang dihadapi oleh anak/siswa terkait sehingga orangtuanya mendapat kesan buruk terhadap sekolah ini. Yang pasti... secara perlahan cerita dan berita buruk ini menyebar, minimal di kalangan keluarga atau teman.


deretan civitas academica
Hal yang sangat berbeda, terjadi pada kami. "Setengah mati" kami meminta anak agar mau bersekolah di Jakarta saja, di lokasi yang berada dalam jangkauan jarak perjalanan kami ke kantor, dibandingkan dengan bersekolah di SMA Gis Lazuardi yang lokasinya berada di wilayah antah berantah Sawangan itu ... 

Kami sebut kampus SMA GIS Lazuardi sebagai wilayah antah berantah karena kalau tidak karena anak kami mati-matian hanya mau masuk ke SMA tersebut, mungkin wilayah Sawangan (termasuk daerah Parung Bingung) tidak akan pernah kami kunjungi hingga saat ini. 

Upaya keras anak kami untuk tetap bersekolah di GIS Lazuardi setelah menamatkan SMP di GIS Lazuardi Jakarta yang selalu disebut siswanya dengan singkatan keren mereka LAZTA, dan perdebatan panjang itu berbuah kompromi. Dia bersedia tinggal di asrama sekolah selama menempuh SMA sebagaimana yang kami persyaratkan dan karenanya rute jalan Pangkalan Jati - Bukit Cinere - jalan Raya Limo - Parung Bingung - SMA Lazuardi Sawangan, kami jalani setiap minggu sore saat mengantarnya kembali ke asrama, setelah sebelumnya pada hari Jum'at sore, anak dijemput bapaknya, sambil pulang dari tempatnya mengajar.
***

Menanggapi komentar teman tadi, dan berkenaan dengan acara pelepasan siswa SMA Lazuardi, kali ini, ingin saya berbagi sedikit tentang Lazuardi , yang mungkin sedikit berbeda dengan apa yang pernah didengar kawan saya itu, namun saya yakin dirasakan oleh sebagian besar orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya di sekolah tersebut.

Lazuardi yang Global Islamic School ini sebetulnya mulai masuk "radar" pengamatan saya, saat anak saya menyelesaikan TKnya. Jadi sudah 12 tahun yang lalu, sudah ada keinginan untuk menyekolahkannya di Lazuardi. Namun lokasinya yang berada di jalan Garuda Ujung - Cinere, betul-betul di luar jangkauan kami untuk mencapainya. Kami sama sekali tidak memiliki gambaran di belahan mana Jakarta letak sekolah itu. Pertimbangan lainnya adalah bahwa selain lokasi tersebut terlalu jauh dari tempat tinggal kami atau ada sekitar 10km. Walau lalu lintas belum sepadat saat ini, namun membangunkan anak umur 5,5 tahun yang dengan terkantuk-kantuk harus menempuh perjalanan ke sekolah tentu akan menjadi beban berat. Belum lagi urusan antar jemputnya. Kami tidak memiliki supir dan merasa agak kurang nyaman bila si Anak harus ikut antar jemput. Entah jam berapa dia di jemput di pagi hari dan jam berapa pula dia akan tiba di rumah usai sekolah. Tentu kesemuanya akan sangat melelahkan buat si anak. Maka .... saat SD, si anak dimasukkan di sekolah berbasis Islam yang lokasinya hanya memerlukan waktu 10 menit ke sekolah.


Tamat SD, barulah kami kembali mencari Lazuardi dan kebetulan menemukan lokasi di bilangan jalan Margasatwa, yang sebelumnya saya ketahui digunakan untuk TK Madania. AKhirnya niat memasukkannya ke SMP Lazuardi Jakarta tercapai. Si anak dengan senang hati bisa menerima, karena dia juga tidak mau masuk sekolah terlalu pagi. Di samping itu, kami juga sangat terkesan dengan paparan pak Haidar Bagir tentang mengapa dia mendirikan sekolah ini, yang diceritakannya pada acara penyambutan siswa baru.

Ada banyak pandangan pak Haidar Bagir yang dapat kami sepakati, walau dalam perjalanannya tidak semua kebijakan sekolah dapat kami pahami terutama kalau ada kebijakan sekolah yang terlalu menekankan prestasi akademis dengan "menggojlok" anak-anak dengan persiapan UN mati-matian atau minimal setengah mati .... hehe ... Menurut saya, itu tidak sesuai dengan visinya pak Haidar .... Atau, mungkin saya yang gagal paham ...

Seperti yang sudah diceritakan, usai menamatkan SMP di sekolah yang konon menjadi salah satu dari 2 SMP di Jakarta yang dipujikan Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta sebagai SMP yang JUJUR dalam pelaksanaan Ujian Nasional, anak kami melanjutkan SMA di GIS Lazuardi Sawangan.

Apa yang menyebabkan anak kami begitu "cinta" dengan sekolah Lazuardi? Jujur saja .... saya tidak tahu, karena seringkali dia juga "ngomel" dengan ketatnya peraturan sekolah, kelelahannya mengikuti kegiatan sekolah yang baru bisa diredam kalau ibunya sudah menjelaskan panjang lebar mengenai sebab-sebab sekolah menerapkan aturan ketat kepada anak-anak, terutama tentu yang berkaitan dengan akidah. Di samping itu, kami juga mengingatkannya bahwa pilihannya untuk tetap bersekolah di Lazuardi juga karena dia tidak mau terjerumus pada perilaku hedonistis anak muda sebagaimana yang didengar dan diketahuinya dari teman-temannya semasa dia duduk di bangku SD, yang masih sering berhubungan atau terhubung dengannya melalui social media.

Ada beberapa hal positif berkenaan dengan kemandirian dan tanggung jawab anak terhadap kegiatan sekolah. Kegiatan-kegiatan in field camp di pedesaan, field trip yang cukup edukatif maupun kegiatan extra kurikulum. Namun kegiatan tersebut, di luar in field camp, biasa juga dilakukan oleh sekolah lainnya. Yang membedakan, mungkin perubahan perilaku anak, seperti yang selalu diceritakan ibu Alwiyah, sang direktur sekolah .... Beberapa bulan menjelang Ujian Nasional, tanpa paksaan anak secara disiplin belajar sendiri, membeli buku-buku soal hingga seringkali justru kami orangtuanya yang "memaksanya" berhenti belajar. Tidak ingin anak menjadi stress menghadapi ujian. 

Memang, dengan mengikuti apa yang kami terapkan pada kakaknya yang terpaut usia 15 tahun dengannya, kami "menjauhkan" anak-anak dari kegiatan les atau bimbingan belajar. Belajar di sekolah, bila siswa memperhatikan dengan baik, ditambah dengan tugas yang diterima, sudah lebih dari cukup. Apa guna guru sekolah mengajar dengan penuh dedikasi, bila anak masih membutuhkan bimbingan belajar di luar jam sekolah. Bagi kami, hal itu seperti melecehkan kemampuan guru dalam mengajar dan membimbing anak-anak. 

Kami juga seringkali merasa terharu saat kami menjenguknya di kamar, pada saat hampir tengah malam menjelang tidur, melihatnya membaca al Qur'an, bangun dan shalat tahajjud menjelang shalat subuh. Apalagi sekarang setelah kami pindah rumah dekat mesjid, si anak hampir selalu melaksanakan shalat di masjid, begitu pula pada saat subuh. Ini tentu karena kebiasaan "ketat" di asrama yang akhirnya menjadi "kebiasaan" anak. 

Terakhir yang juga tak kalah mengharukan, tanpa mengikuti les bahasa Inggris sedikitpun, dia berhasil melalui test TOEFL dengan nilai 523 ... seperti kakaknya dulu yang berhasil mendapat nilai IELTS 7,5 hanya dengan 1 kali test, padahal mereka berdua sama sekali tidak pernah ikut les bahasa. Puncaknya ... tentu keberhasilannya untuk mendapatkan nilai akademis terbaik ke 2 di kelasnya. Ini menjadi kejutan tersendiri, karena menjadi capaian yang sangat tinggi dibandingkan dengan capaiannya saat duduk di kelas X dan XI.

Segala keberhasilan  anak baik secara akademis maupun kedisiplinannya menjalankan kegiatan ibadah, tentu tidak lepas dari pendidikan yang diterimanya di sekolah.... di SMA - GIS Lazuardi. Walau ... tentu tidak seluruhnya sempurna atau memenuhi kriteria ideal. Masih banyak yang kurang karena ada beragam visi orangtua tentang pendidikan anak-anaknya... dan mungkin tidak banyak orangtua atau siswa yang menerima visi pendidikan a la Lazuardi, namun bagi kami, pilihan anak kami untuk melanjutkan sekolah di SMA GIS Lazuardi - Sawangan layak kami syukuri.
Alhamdulillah ....

Mungkin ini adalah tulisan terakhir tentang GIS Lazuardi...
Semoga sekolah ini berkembang dengan baik sebagaimana tagline yang tertulis pada back drop acara wisuda tanggal 13 Juni 2015 yang lalu
BUILD YOUR FUTURE WITH ISLAMIC CHARACTER

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...