Selasa, 29 Maret 2016

Pedagang Kue Semprong

kue semprong
Anak-anak jaman sekarang mungkin tidak ada yang tahu wujud asli jajanan sehari-hari yang dikenal sebagai kue semprong, walau dalam bentuk modern banyak dijual di toko swalayan dengan kemasan kaleng atau kotak karton dengan beragam varian bentuk dan diisi krem, biasanya coklat, mocca atau strawberry.

Makanan "kampung" yang asli, memang sudah jarang ditemukan atau dijajakan. Mungkin karena kemasannya yang sangat sederhana, apalagi kalau penjualnya kumuh, kurang menggugah selera walau harganya relatif murah. Saya tidak tahu apakah harga 12.000 rupiah sudah termasuk mahal untuk sekantong kue semprong berisi sekitar 30 buah. Kita sudah yang terlanjur lebih kenal dengan kue semprong modern  yang dinamai Rolls dalam kemasan modern dan beragam rasa dan tentunya dengan rasa yang lebih enak dan berkelas. Ada rasa dan kualitas.... tentu ada harga yang harus dibayar.

Beberapa tahun yang lalu, kami biasa membeli kue semprong di pelataran parkir, tepatnya di depan tangga masuk bagian samping Lotte Mart di bekas gedung d'best jalan RS Fatmawati. Pedagang yang kurus kering dengan wajah memelas, menawarkan dagangannya kepada orang yang lalu lalang, keluar masuk melalui tangga tersebut. Entah berapa banyak orang yang berminat membeli dagangannya, karena setiap kami belanja ke Lotte Mart tersebut, dagangannya masih bertumpuk di pikulannya. Padahal, hari sudah cukup larut. Hampir jam 21.00. Sedih rasanya melihat wajahnya yang memelas, berharap ada yang berminat membeli kue semprong yang dibawanya dari kawasan Cengkareng. Betapa berat perjuangannya mencari sesuap nasi untuk menghidupi keluarganya, yang konon ditinggalkannya di kampung.
 
kue semprong modern alias ROLLS

Sejak kami pindah menjauh dari wilayah jalan RS Fatmawati menuju wilayah perbatasan Jakarta Selatan, kami tentu saja tidak lagi berkunjung ke Lotte Mart di pertigaan jalan RS Fatmawati dan jalan Cipete Raya. Ada rasa sedih, tidak lagi bisa menjumpai pedagang kue semprong yang belakangan juga menjual rempeyek kacang dan rempeyek teri. Bukan karena senang melihat "kemiskinan dan kesusahan"nya dalam upaya mencari sesuap nasi .... tapi jujur harus diakui, ada rasa senang melihat wajah sumringahnya manakala melihat kami berkunjung ke pasar swalayan tersebut. Sepertinya, tergambar seraut asa di wajahnya. 

Sekarang, untuk sengaja berkunjung kesana, memang agak berat dan membuat malas. Selain lokasinya yang cukup jauh dari rumah (15km), proyek pembangunan MRT yang sedang dikerjakan di sepanjang jalan RS Fatmawati, membuat jalan tersebut sangat tidak nyaman dilalui. Selain sempit dan sangat macet, permukaan jalannya juga sangat tidak nyaman dilalui

Selama beberapa bulan ini, sambil pulang dari kantor, saya terkadang menyempatkan diri mampir di Total Buah Segar - jalan Ampera Raya untuk membeli buah-buahan dan ovomaltine yang disukai anak. Agak kaget juga melihat di depan pintu masuk, ada pedagang pikulan yang menjual kue semprong dan rempeyek. Sebagaimana rekannya yang saya temui di Lotte Mart ex d'best... dagangannya masih terlihat utuh menumpuk. Bagaimana tidak, di dalam Total Buah Segar, ada juga dijual rolls - kue semprong modern dan rempeyek kacang dan teri yang jauh lebih menggiurkan baik ditinjau dari rasa, kualitas dan kemasannya, walau tentu saja ada "harga" yang harus dibayar lebih. 


begini tampilan pikulannya
Wajah "kumuh" si pedagang tentu mengurangi nilai jual barang dagangannya. Ingin rasanya memberi tahu bahwa, dia salah memilih tempat berdagang. Seharusnya, mungkin lebih cocok berkeliling atau berdagang di halte atau terminal. Pengunjung Total, umumnya masyarakat dari golongan menengah ke atas yang biasanya mulai menilai segala sesuatunya dari tampilan dan rasa yang tercakup dalam kualitas. Tapi .... mana tega saya menyampaikannya? Bukannya membantu, malah "melarang"nya berjualan di tempat itu ... Wong yang punya toko nggak melarang, kok .....

"Tinggal dimana pak...", tanya saya sambil menimang bungkusan untuk membeli kue semprong dan rempeyeknya. Siapa yang mau memakannya di rumah, itu nomor dua. Selain ngeri dengan "gosip" penggunaan kantong plastik untuk membuat renyah gorengan, kami memang sudah mengurangi memakan makanan gorengan. Yang penting ... beli dulu dagangannya ... Biar si pedagang memiliki harapan, hehe ...
"Di Cikarang bu ...", jawabnya
"Hah .....? Jauh banget ... Naik apa kesini...?"
"Iya bu ... apa boleh buat, nanti pulang naik angkot.."

Waduh ...... entah jam berapa dia akan tiba di rumah nanti. Entah kapan juga dia akan meninggalkan lokasi tempatnya berdagang. Saat saya meninggalkan lokasi, jarum jam baru menunjukkan angka 19.30. Dagangannya masih banyak. Terbayang betapa jauh dan macetnya jalan menuju Cikarang ... Naik angkutan umum pula... Mungkin masih butuh waktu sekitar 3 jam untuk tiba di rumah......



Kamis, 17 Maret 2016

Kuliah Umum Presiden Joko Widodo pada tanggal 11 Maret 2016, di Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah

Dear all,
saya mendapat kiriman transkripsi Kuliah Umum RI1 di UNS beberapa waktu yang lalu yang menurut saya sangat menarik untuk disimak, supaya kita mengerti betul jalan pikiran RI1 di balik kegaduhan yang sangat kerap berlangsung.
Tentu dengan disertai harapan agar kita mengerti dan bisa mendukung niat RI1 untuk menjadikan Indonesia menjadi negara "yang ditakuti" ditinjau dari sektor ekonomi.
Kita tentu bisa.... mengapa tidak?
Salam .....

***

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja
Yang saya hormati Bapak Rektor UNS beserta seluruh civitas akademika dan keluarga besar UNS
Yang saya hormati Gubernur Jawa Tengah, seluruh wali kota, bupati, gubernur yang hadir, pimpinan dan anggota dewan DPR, DPRD
Hadirin Bapak Ibu sekalian yang berbahagia.

Alhamdulilah saya sudah jadi kakek. Saya kaget, perasaan saya, saya masih muda, apapun saya syukuri.

Hari ini saya akan berbicara yang berkaitan dengan persaingan. Kalau UNS, pada lustrum kali ini mengangkat internasionalisasi UNS berbasis budaya nasional, saya kira apa yang saya sampaikan juga berkaitan dengan itu, berkaitan dengan persaingan global, berkaitan dengan keterbukaan, berkaitan dengan kompetisi.

Bapak Ibu sekalian yang saya hormati,
Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, hari ke hari, sekarang kita dihadapkan pada yang namanya kompetisi, yang namanya persaingan. Tidak hanya kota dengan kota, provinsi dengan provinsi, individu dengan individu, tetapi juga sekarang sudah masuk kepada persaingan negara dengan negara.

Kalau kita lihat di gambar (slide menunjukkan gambar para pemimpin ASEAN) ini kepala negara, kepala pemerintahan di ASEAN, setiap bertemu pasti bergandengan tangan seperti yang ada di gambar, bergandengan tangan. Tetapi di dalam pikiran saya, mereka adalah pesaing-pesaing kita, kita berkompetisi dengan mereka. Iya, karena kita juga rebutan dengan mereka untuk arus modal masuk, arus investasi masuk, arus uang masuk ke negara mereka, rebutan dengan kita menawarkan fasilitas-fasilitas, menawarkan insentif-insentif.

Itulah persaingan dan sudah tidak bisa kita tolak lagi, tidak bisa kita bilang nanti dulu, sudah tidak bisa. Inilah keterbukaan yang akan terus kita hadapi, bukan hanya di Masyarakat Ekonomi ASEAN, mau tidak mau sebentar lagi kita dihadapkan pada blok-blok perdagangan yang kalau kita tidak siapkan SDM-SDM kita, akan ditinggal kita oleh yang namanya kompetisi dan persaingan itu.

Ada FTA (Free Trade Agreement) EU (Uni Eropa), ada RCEP bloknya Cina, ada TPP bloknya Amerika. Sudah ngeblok, ngeblok, ngeblok, kita ikut atau tidak? Kalau bilang tidak mau ikut, RCEP gak mau ikut, FTA-nya EU gak mau ikut, TPP-nya bloknya Amerika. Apa yang terjadi? Begitu barang kita kirim ke sana dikenai pajak 20%. Begitu kita kirim produk ke negara sana, kita kena pajak 15%. Artinya apa? Barang kita gak mungkin bisa bersaing dengan negara lain, karena negara lain nol (pajak) yang ikut, yang tidak kena 20%. Oleh sebab itu, sekali lagi semuanya harus dikalkulasi. Ikut, untungnya apa? Tidak ikut, ruginya apa? Ini kompetisi.

Kemudian kalau kita melihat, sebenarnya tantangan ke depan, visi jauh ke depan itu akan seperti apa sih kita ini? Kita lihat masalah pertambahan penduduk dunia. Coba kita lihat pada tahun 2043, jumlah penduduk dunia akan 12,3 miliar. Meningkat drastis dua kali, apa yang akan terjadi pada tahun-tahun itu, yang harus kita persiapkan dari sekarang. Pada saat itu orang akan rebutan, dunia akan rebutan dua hal.

Yang pertama, energi pasti rebutan. Yang kedua, masalah pangan pasti rebutan. Akan rebutan dua hal itu dan keuntungan kompetitif kita adalah kita mempunyai itu. Kita mempunyai energi fosil, kita punya. Energi yang baru terbarukan, kita juga mempunyai. Pangan kita punya tetapi belum dikelola baik, energi kita juga punya tapi belum dikelola dengan baik. Sehingga memerlukan sebuah strategi besar negara ini, strategi besar ekonomi, strategi besar politik global, strategi besar pemikiran-pemikiran ke depan. Lima puluh tahun yang akan datang, 100 tahun yang akan datang, 1000 tahun yang akan datang harus dihitung dari sekarang dan harus dipersiapkan dari sekarang. Kalau jumlah penduduk sudah lipat dua, rebutannya hanya dua nantinya sekali lagi pangan dan energi, dan kita memiliki potensi dan kekuatan itu.

Pada saat saya ke Merauke tapi bukan di kotanya, masih dua jam dari Merauke. Saya melihat hamparan datar, luas, ada air, 4,2 juta hektar. Setelah saya hitung-hitung, kalau itu ditanami padi semuanya, itu sudah lebih dari produksi nasional kita sekarang. Kalau dikelola dengan manajemen yang baik, dikelola dengan cara-cara pertanian modern itu sudah lebih dari produksi nasional kita yang kurang lebih sekarang ini diatas 70 juta ton. Di sana saya hitung kurang lebih bisa mencapai 100-110 juta ton, hanya satu kabupaten. Padahal di situ kanan kirinya ada empat kabupaten yang memiliki kurang lebih hal yang sama.

Inilah kekuatan ke depan kita, energi kita semuanya punya, yang fosil, minyak, gas, kita ada semuanya. Batu bara kita punya semuanya. Hanya sekali lagi, kesempatan itu sering hilang karena strategi manajeman ekonomi kita, tidak kita rancang secara baik. Angin kita ada, yang terbarukan geothermal, matahari, yang tanaman kita ada semuanya, sawit bisa jadi biofuel, biodiesel, semuanya ada, semuanya. Ini hanya masalah manajemen, masalah pengelolaan.

Inilah saya kira tantangan kita ke depan dan harus kita persiapkan dari sekarang. Perguruan tinggi semestinya juga menyesuaikan itu, apa tantangan ke depan dan apa yang harus disiapkan oleh SDM-SDM perguruan tinggi, konsentrasi kita kemana? Ini harus ditentukan dari sekarang.

Oleh sebab itu, dalam persaingan, kembali kepada persaingan, yang kita perlukan adalah semua hal yang berkaitan dengan produktifitas, semua hal yang berkaitan dengan kecepatan, semua hal yang berkaitan dengan etos kerja, semua hal yang berkaitan dengan efisiensi. Kita harus punya hal-hal itu yang kita harus siapkan SDM ke depan karena persaingan nantinya bukan hanya persaingan barang dan jasa saja, tapi persaingan individu, SDM kita dengan SDM negara lain karena sudah ndak bisa kita cegah. Arus dokter masuk, arus profesional yang lain masuk, kita masuk ke sana tapi sewaktu juga mereka bisa masuk ke sini.

Tapi sekali lagi jangan takut dan jangan kuatir dengan itu, karena juga kepala negara yang lain, presiden, perdana menteri yang lain di lingkup ASEAN, bisik-bisik ke saya.

“Pak, kami takut, kami kuatir nanti orang Indonesia yang jumlahnya 252 juta itu akan masuk semuanya ke negara kita.”

Artinya apa? Negara-negara sekitar kita takut semua dengan kita. Jadi saya titip, kita jangan takut. Wong orang lain takut kok, presiden negara lain takut, kalau perlu kita takut-takuti supaya makin takut.

Janganlah kita, aduh saya kalau mendengar komentar terutama di media sosial, itu yang harus kita benahi. Budaya-budaya etos kerja, budaya-budaya berpikir positif, positive thinking, budaya-budaya optimisme, ini yang harus kita bangun. Sehingga negara lain melihat kita betul-betul, bukan hanya takut tapi ngeri dulu karena mereka ngomong sendiri.

“Bayangkan, Pak, kalau separuh dari penduduk Indonesia masuk ke negara kita (negara mereka), bagaimana kita bisa bersaing?”

Mereka takut loh, jangan dipikir mereka tidak takut dengan kita. Oleh sebab itu, yang diperlukan adalah bagaimana kita ini membenahi hal-hal yang kurang dan dalam waktu yang secepat-cepatnya. Sekali lagi ini persaingan, ini kecepatan.

Tadi tertulis di situ dwelling time, hal-hal seperti itu. Ini masalah bongkar muat saja di pelabuhan yang saya ngamuk betul di situ, tapi tidak kelihatan wartawan. Saya masukkan ke dalam ruangan, betul-betul saya marah betul.

Bongkar muat di pelabuhan, di Singapura hanya 1 hari, di Malaysia hanya 2 hari, kita masih 6-7 hari saat itu, saat itu waktu saya masuk Tanjung Priok. Saya datang ke sana tapi memang 3 hari sebelumnya mereka tahu, saya akan ke sana, disiapkan monitor-monitor, dijelaskan tentang invoice, packing list harus seperti. Saya sampaikan, saya hidup ngurusin ekspor impor di pelabuhan itu 24 tahun, gak usah terangin.

Saya tanya sampai saya ulang tiga kali, ini yang gak bener siapa? Bea Cukai atau Pelindo-nya atau Kementerian Perdagangan atau Kementerian Pertanian, karena terlibat di situ banyak sekali ternyata. Gak dijawab, malah jawabnya bolak balik ke invoice, packing list PT. Apa, gak usah diterangin itu. Pertanyaan saya, siapa yang selama ini paling lambat? Gak dijawab-jawab kemudian saya masukkan ruangan, saya marahin habis. Dan ada satu menteri dengan terpaksa saya copot, saya ganti gara-gara dwelling time. Karena 6 biilan saya beri waktu, saya minta turun, gak turun sama sekali.

Tapi saat ini sudah masuk Januari ke 4,7 sekarang sudah masuk antara 3 dan 4 (hari), turun terus sudah. Kita harapkan, saya targetkan bulan depan sudah masuk pada posisi angka 3. Kalau angka 3 sudah mendekati 2 boleh lah, 7-6 hari ngurus kayak gitu. Biaya setelah saya hitung-hitung, biaya yang hilang hampir 740 triliun karena ketidakefisienan seperti itu. Ini masalah kecepatan, hanya masalah kecepatan. Tapi saya yakin tahun ini pasti, 3 (hari) itu Insya Allah akan kita dapatkan dengan cara apapun, apa ganti menterinya lagi atau yang lain.

Yang ke dua, ini juga kecepatan. Saya sudah tekankan, saya dapat banyak masukan lagi di daerah, dari daerah baik di kabupaten, kota, provinsi, sama masalah perizinan. Sehari setelah dilantik yang saya urus itu.

Saya datang ke BKPM, ini masalah penanaman modal. Saya tanya ke sana, bagaimana izin di sini? Saya tanya ke pemohon kan. Bisa 6 bulan, 8 bulan, bisa setahun. Saya sudah mikir ini pasti tergantung, kalau 6 bulan berapa, kalau 8 bulan berapa, kalau setahun berpa. Sudahlah ngerti, itu makanan sehari-hari sebelum saya masuk ke pemerintahan, ngertilah sudah.

Saya perintah saat itu semua kementerian yang ada izin-izin masukkan ke satu pintu di BKPM, ada 21 kementerian harusnya masuk ke sana. Saya tunggu 3 bulan masih separuh. Ini kan mendelegasikan kewenangan kepada BKPM, saya ngerti kenapa pada sulit, karena di situ ada ‘kue’-nya. Bapak Ibu tahu ya ‘kue’ ya? Karena ada ‘kue’ ya, gak mau. Tapi begitu saya sudah ngomong, tidak ada tawar menawar lagi, saya beri waktu. Akhirnya 21 menyerahkan ke sana kewenangannya.

Tiga bulan setelah itu, saya cek lagi masih seminggu dua minggu kalau izin, tapi kan sebelumnya bulan menjadi seminggu dua minggu. Saya sampaikan, saya gak mau, kenapa masih seminggu dua minggu?

“Pak, memang sudah diserahkan ke sini tapi tanda tangan masih di kementerian.”

Ini akal-akalan saja ini. Saya sampaikan kepada menteri, diserahkan total ke BKPM. Saya sampaikan kepada Kepala BKPM, saya minta tidak minggu lagi. Saya gak mau hari, tidak mau minggu, ngurus izin jam. Ini jamannya computerized, jamannya IT.  Saya pernah coba yang ngurus SIUP TDP, SIUP itu apa sih, hanya ada 6. Nama perusahaan, nama pemilik, alamat, modal usaha, jenis usaha, hanya gitu-gitu.

Coba saya mau coba dengan yang ada di meja front (depan). Di oba, saya hitung dua menit. Ini kok masih minggu, masih bulan ngurus kayak gitu. Kenapa ini dua menit, jadinya kok masih minggu? Kenapa, saya tanya langsung? Saya memang senang ke daerah, ke lapangan karena saya ingin ngerti detil hal-hal seperti itu. Saya ingin ngerti mikro tapi saya juga ingin ngerti makronya, saya ingin nguasai itu. Apa jawabnya? Kenapa ini dua menit? Tapi tadi saya tanya pemohon bisa seminggu-dua minggu.

“Iya, Pak. Kalau di saya dua menit bisa, tapi yang di lantai 3, yang di atas itu yang lama.”

“Loh? Siapa yang di atas itu?”

“Yang tanda tangan, Pak, Pak Kepala.”

Ini ternyata yang tanda tangan malah dua minggu, tanda tangan satu detik kan rampung.

Hal-hal seperti yang kita akan kalah dalam kompetisi kalau tidak dihilangkan. Saya sudah minta bupati, wali kota, semuanya harus ngikutin hal-hal seperti itu. Kalau kita ingin memenangkan kompetisi. Kalau tidak, kita ditinggal oleh negara lain. Pilihannya hanya itu, menang atau kita ditinggal. Kalau saya, saya ingin menang dan saya harapkan seluruh rakyat juga ingin negara kita menang.

Kecepatan, pelayanan, kemudian apa lagi yang tidak efisien? Itu yang akan terus kita lakukan, yang lama, yang tidak efisien, yang menyebabkan kartelisasi, yang menyebabkan oligopoli, semuanya harus hilang.

Petral ini juga sama. Bapak Ibu tahu Petral ya? Beli minyak, beli minyak kita kan beli bisa yang G to G langsung, pemerintah ke pemerintah jelas lebih murah. Ini kenapa lewat orang yang ke tiga, yang di tengah? Sudah bertahun-tahun gak bisa hilang, saya sudah perintah ke menteri. Bubarkan itu, bekukan, bubar! Menterinya tanya saya lagi, “Pak, Bapak serius?”

Sudah diperintah, dibubarkan, bubarkan! Karena menteri kerjanya masih ragu-ragu. Kalau dua kali tanya, baru, ditegasin itu baru ya bubar sekarang. Ini yang menyebabkan ketidakefisienan tapi banyak yang gak seneng, saya tahu banyak sekali. Karena di sini bukan puluhan triliun lagi, hmm..ngerti saya.

Jadi untuk memperkuat daya saing pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang fundamental, pengalihan subsidi yang konsumtif kepada yang produktif. Coba setiap tahun kita dulu kehilangan 300 triliun untuk subsidi, yang disubsidi siapa?  Yang disubsidi siapa? Saya cek di data 82% itu yang disubsidi ternyata yang punya mobil, Bapak Ibu Saudara-saudara semuanya dapat subsidi coba. Terus yang di desa dapat apa? Yang nelayan, yang usaha mikro kecil-kecil dapat apa?

Oleh sebab itu, perubahan itu harus dilakukan, termasuk pembubaran Petral, politik anggaran yang selama ini kita konsentrasi dan fokus pada infrastruktur, pada pendidikan dan kesehatan. Kemudian pembangunan yang tidak Java-centris tetapi Indonesia-centris itu yang akan terus kita lakukan. Kemudian hilirisasi, industrialisasi, gak bisa lagi kita kirim ke luar sekarang mentahan (raw material). Gak, harus diolah di sini. Karena nilai tambah itu harus berada di Indonesia.

Juga infrastruktur kita, karena dua menurut saya yang sangat penting. Selain tadi, masalah aturan-aturan, kecepatan, pelayanan, infrastruktur menjadi sangat penting sekali. Percuma kita melayani cepat tetapi begitu masuk ke pelabuhan-pelabuhannya terlalu kecil, kapal besar gak bisa masuk, sehingga yang dibangun harus pelabuhan. Ini di Kuala Tanjung sudah mulai tahun kemarin, Makassar New Port sudah mulai tahun ini, di Sorong akan kita mulai. Sudah, gak ada pilihan-pilihan. Konektivitas hubungan antar provinsi antar pulau karena kita harus sadar kita mempunyai 17.000 pulau.

Kemudian infrastruktur yang lain, kayak jalan tol, jangan di Jawa saja donk. Di luar Jawa juga sangat penting, karena ini sekali lagi, kecepatan mobilitas barang, mobilitas manusia. Ini di Trans Sumatera, ini sudah seperti gambar ini (gambar jalan tol Trans Sumatera) meskipun baru kecil sekali yang jadi. Tapi yang penting buat saya, dimulai, masalah diselesaikan kalau ada, tapi dimulai dan di luar Jawa.

Biasanya kalau Presiden itu ground breaking, sudah, iya kan? Tapi memang seharusnya seperti itu, tapi saya nggak. Setelah ground breaking, dia bulan saya cek lagi, empat bulan saya cek lagi. Saya ke tol Trans Sumatera ini sudah lima kali, semua yang besar-besar pasti akan saya kontrol. Saya cek, saya kontrol, saya cek, saya cek, saya cek lagi pasti, saya pastikan. Saya ingin melakukan ini agar yang bekerja di bawah itu betul-betul, pertama semangat, yang ke dua merasa bahwa dia bekerja diawasi. Kadang-kadang juga ada yang ngerasa-ngerasa, ini Presiden kok setiap hari ke sini? Biar, gak apa-apa.

Bandara kecil-kecil, yang di Rembele. di Bener Meriah, di Sorong, ingin sekali dikonektivitas. Saya ngerti, begitu saya cek di Trans Sulawesi, kereta api ini transportasi yang paling murah, darat itu yang paling murah ya kereta api. Ini sudah direncakankan 30 tahun yang lalu, tol Trans Sumatera juga katanya sudah 35 tahun yang lalu sudah direncanakan, direncanakan.

Kalau saya gak berfikir panjang-panjang. Sudah putuskan, jalan, putuskan jalan. Kenapa seperti itu? Infrastruktur itu semakin diundur akan semakin mahal, saya berikan contoh MRT di Jakarta. Pembebasan lahan ada 100 juta, 150 juta, 200 juta coba per meter. Coba itu dibangun 25 tahun yang lalu, paling hanya masih sejuta lima juta, itu baru pembebasan lahan, belum harga keretanya, sudah lipat.

Jalan-jalan desa juga perlu karena komoditas produk itu dimulai dari desa. Oleh sebab itu, dana desa tahun kemarin 21 triliun, tahun ini 47 triliun. Kenapa ini penting? Karena desa itu adalah dimulainya produk-produk itu berangkat, entah yang namanya beras, entah yang namanya palawija, yang namanya holtikultura semuanya asalnya dari situ. Kalau jalannya gak baik, bagaimana mobil bisa datang di desa itu? Produk-produk bagaimana bisa dikirim ke kota kalau jalannya seperti yang ada di seberang sana (menunjuk gambar jembatan yang rusak), kalau jalannya seperti itu. Padahal hanya delapan bulan bisa dibangun seperti yang sebelah kanan (gambar jembatan baru). Kita sudah bangun ini, saya coba saja ke Menteri PU, dicoba saja satu provinsi saja jembatan kecil-kecil coba yang bergelantungan seperti itu dibangun semuanya.

Di Banten, kemarin dibangun berapa? Sepuluh, tapi setelah ini akan dibangun lebih banyak karena saya mau ngecek dulu harganya berapa. Saya itu paling cerewet masalah harga. Cek dulu, bener, oke jalan. Kalau saya ke lapangan, ini kalau saya cek 5 kali. Pak Menteri PU pasti 10 kali, iya donk. Kalau presidennya 5 kali, menterinya pasti 10 kali, dua kali lipat ini pasti. Nanti dirjen-nya pasti ngecek ke bawahnya 20 kali, nanti bawahnya lagi direktur atau apa pasti 40 kali, pasti seperti itu. Ini manajemen kontrol ya seperti itu. Manajemen itu apa sih, merencanakan, mengorganisasi, melaksanakan dan mengontrol, mengawasi. Hanya itu.

Kemudian masuk tadi ke masalah pangan. Bagaimana kita bisa menanam, menanam, menanam kalau air tidak disediakan? Sehingga memang kita gila-gilaan, saya sudah sampaikan ke menteri sudah bangun setelah lihat lapangan semuanya 49 waduk dalam 5 tahun ini. Tahun kemarin 13, tahun ini 8, tahun depan lagi tambah, tambah, tambah. Karena kuncinya di situ, pangan.

Sekali lagi, energi dan pangan. Konsentrasi untuk memenangkan pertarungan global itu hanya dua itu. Orang nanti kalau kita sudah betul-betul butuh bendungan semuanya ada. Suatu saat, saya gak tahu tahun berapa, orang akan bisa datang, kepala pemerintahan/kepala negara, “Pak Presiden, mohon kami bisa dikirim dari Indonesia beras sekian juta ton.”

Akan bisa berbondong-bondong seperti itu karena jumlah penduduk sudah lipat dua kali, akan ada kejadian seperti itu. Ini yang harus kita persiapkan, mulai dari irigasi kecil  itu harus diurus. Gak tahu berapa puluh tahun irigasi kecil kita ini. Kita suruh cek kemarin 52% rusak total, rusak berat.

Dan terakhir, saya ingin mendorong UNS untuk juga konsentrasi menembangkan riset serta hilirisasi yang kompetitif, untuk menjawab keperluan-keperluan tadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pasar yang ada. Ini harus menyesuaikan, perguruan tinggi mestinya menyesuaikan itu. Kalau kebutuhan pasar, kebutuhan masyarakatnya di pangan mestinya heavy-nya agak ke sana, energi heavy-nya juga ke sana.

Saya minta riset-riset yang memperkuat inovasi, yang memperkuat competitiveness, daya saing itu terus dilakukan. Perguruan tinggi juga perlu mengembangkan tema-tema riset yang strategis, tidak hanya kita riset untuk kita sendiri tapi betul-betul tematis dan arahnya, goal-nya, ke mana itu harus kepentingan masyarakat, kebutuhan masyarakat dan bisa dipakai oleh pasar baik industri, baik manufaktur, dan juga sisi pertanian, sisi nelayan. Proyek-proyek nasional yang berbasis riset, yang UNS juga sudah melakukan di bidang mobil listrik, sepeda motor listrik, saya kira harus terus dikembangkan.

UNS sebagai universitas yang berkembang menuju kelas dunia harus aktif dan juga mempersiapkan diri menjadi perguruan tinggi yang mandiri dan menjadikan UNS tidak kalah dengan universitas-universitas lain di dunia dan nantinya menjadi kebanggan kita, menjadi kebanggaaan Indonesia. Standar-standar intenasional karena sekali lagi kompetisi ini tidak hanya kota dengan kota, tidak hanya negara dengan negara, tapi univesitas di sini dengan universitas di negara yang lain, saya kira ini yang harus menjadi standar-standar kita.

Saya memberikan penghargaan, memberikan apresiasi kepada UNS yang telah diterima kehadirannya sebagai kampus yang peduli pada rakyat, kepada wong cilik khususnya yang fokus pada pemberdayaan UMKM, yang saya lihat dari dulu konsistensi UNS dalam pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah yang mengakar dalam masyarakat dan saya kira ini bisa diangkat dalam forum-forum nasional maupun global.

Pada saat ini, UNS juga memiliki pusat studi UMKM dan prodi S2, S3 mengenai pemberdayaan mayarakat, dengan bidang konsentrasi salah satunya adalah pemberdayaan UMKM, ini memang harus fokus, harus tematis. Maka UNS juga harus hadir di ujung-ujung pelayanan pendidikan dengan tri darma perguruan tingginya dengan mengedepankan kepentingan rakyat.

Demikian yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini, selama dies natalis ke-47 dan lustrum ke-8 kepada selurtuh keluarga besar UNS. Selamat bekerja, selamat berkarya. Terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

=========================
Eko Sulistyo, Wahyu Susilo, Wiharti Ade Permana, Ronggo [d[truncated by WhatsApp]

Kamis, 10 Maret 2016

KANTONG PLASTIK dan KEBIJAKAN SETENGAH HATI

Kekhawatiran besar akan dampak lingkungan karena penggunaan kantong plastik yang sangat berlebihan di Indonesia serta perilaku membuang sampah yang tidak terkendali dan sembarangan pada sebagian besar masyarakan, maka terhitung tanggal 21 Februari 2016 yang lalu, pemerintah Indonesia melalui kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memberlakukan uji coba ketentuan kantong plastik berbayar di 22 kota di Indonesia. Ketentuan ini, sepertinya hanya berlaku di supermarket hingga hypermarket, toko-toko terkemuka yang berada di mall dan pertokoan modern lainnya. Tidak secara menyeluruh.

Sudah lebih dari 2 minggu sejak aturan tersebut diujicobakan, perilaku masyarakat belum berubah. Masyarakat masih cenderung membayar kantong plastik yang disediakan toko dibandingkan membawa kantong belanja sendiri. Bisa jadi, salah satu penyebab keengganan masyarakat beralih dari kantong plastik adalah karena harga yang dikenakan untuk setiap kantong plastik terlalu murah, hanya Rp.200,- per lembar walau ada beberapa toko yang menerapkan harga Rp.500,- per lembar untuk kantong plastik dengan ukuran yang lebih besar. Akibatnya pembeli lebih memilih tetap memakai kantong plastik dari toko dibandingkan membawa tempat sendiri.

Masalah lain yang menjadi pertanyaan besar adalah kemana uang hasil penjualan plastik itu disalurkan? Bukankan kantong plastik, berapapun jumlah yang digunakan oleh konsumen, sudah diperhitungkan harganya ke dalam barang yang dijual atau menjadi bagian dari biaya operasional. Apakah itu berarti bahwa peritel "menangguk keuntungan" atas hasil penjualan plastik tersebut, yang sebelumnya menjadi biaya? Atau diserahkan kepada pemerintah untuk membangun instalasi pengolahan sampah plastik? Hingga saat ini, tidak ada satupun instansi yang bertanggung jawab atau bersedia memberikan jawaban atas kelanjutan dari kebijakan pengurangan penggunaaan kantong plastik. 


Jika pemerintah atau peritel tidak punya kebijakan penggunaan dana tersebut untuk kegiatan lingkungan, itu berarti konsumen menyumbang alias memberi keuntungan tambahan bagi peritel. Kalau begitu, apa maksud surat edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membatasi penggunaan plastik yang dianggap merusak lingkungan itu? Sepertinya, inilah kebijakan setengah hati dan tidak tuntas dipikirkan. Atau.... kebijakan ini diberlakukan terburu-buru untuk memperingati suatu perayaan berkenaan dengan lingkungan hidup? Toh baru uji coba .... Jadi masih bisa direvisi ....

Niat mengurangi sampah plastik rasanya harus dilakukan dengan tuntas. Betul-betul harus ZERO PLASTIK. Bukan kantong plastik berbayar, berapapun harganya. Pemerintah harus ingat, bahwa diluar dari kantong kresek yang digunakan konsumen untuk membawa barang belanjaannya, peritel dan toko-toko modern lainnya masih menggunakan plastik untuk membungkus barang dagangannya supaya rapih. Lihat saja buku-buku di toko, semua terbungkus plastik, makanan, buah-2an seperti anggur selalu terbungkus tidak saja oleh plastik yang dikenal dengan sebutan sebagai plastic wrap tetapi juga dialasi oleh styrofoam. Jadi tujuan untuk membatasi penggunaan plastik agaknya belum tercapai. Mengurangi jumlahnya saja, masih sangat berat.

Memberlakukan kantong plastik berbayar hanya akan membuat masyarakat memilih membawa kantong belanja sendiri dibandingkan membeli. Percaya deh ... kalau hanya berharga sampai dengan Rp.1.000,- per lembarpun, masih banyak anggota masyarakat yang mau membayarnya daripada membawa kantong atau tas belanja dari rumah. Kalau pemerintah mau konsekuen dengan kebijakan pengurangan pengunaan kantong plastik, berlakukan saja ZERO PLASTIC. 


Kalaupun peritel mau memberikan pelayanan lebih, karena toh harga plastik sebetulnya sudah masuk dalam biaya operasional, terapkan saja keharusan memberikan kantong kertas. Kalau barang belanjaannya berat... sediakan kantong kain blacu berbayar dengan segala ukuran. Harganya pasti lebih mahal.... Dengan penggunaan kantong plastik pasti akan berkurang, konsumen tidak terlalu dirugikan karena toh kantongnya bisa dipakai berulangkali, sekaligus memutus syak wasangka atas penggunaan dana yang terkumpul peritel atas penjualan kantong plastik.

Selanjutnya, berlakukan juga bahwa pembungkus sayur2an wajib menggunakan kertas. Di negara-negara maju, hal ini sudah umum berlaku. Kalau di Indonesia, semua pedagang dimanapun mereka berjualan. Dari kelas atas hingga kelas pinggir jalan, penggunaan kantong plastik seakan menjadi suatu kebiasaan, kalau tidak bisa dikatakan sebagai suatu keharusan. Di negara maju, pembungkus (terutama) makanan yang dijajakan pedagang kecil selalu menggunakan kantong kertas polos/bergambar berwarna coklat. Mereka sangat jarang memberikan kita barang yang dibeli dalam kantong kresek, kecuali kalau kita membeli dalam jumlah besar.

Alangkah baiknya bila peritel mengalokasikan dana pembelian kantong plastik tersebut menjadi subsidi bagi kantong kain yang lebih ramah lingkungan.agar harganya menjadi tidak terlalu mahal.

Upaya menuju zero plastik pasti masih sangat panjang dan berliku. Jadi, untuk kelas masyarakat menengah dan konsumen supermarket hingga hypermarket, tujuannya bukan hanya plastik berbayar, tetapi sudah harus NOL PLASTIK. Kalaupun mau berbayar .... BAYARLAH KANTONG KAIN BLACU. Dengan kebijakan inipun pengurangan plastik belum akan optimum, karena masih banyak sektor perdagangan kelas bawah yang menggunakan plastik kualitas rendah dan menggunakannya secara serampangan.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...