Selasa, 28 Juni 2016

Refleksi Patriotisme

Dalam cerita klasik Mahabharata
Menjelang perang Bharatayudha, Dewi Kunthi yang sangat takut kehilangan anak-anaknya, terutama Arjuna yang sangat dicintainya, menjadi sangat galau. Dia amat sangat mengetahui, bahwa di pihak lawan, Suyudana didukung habis-habisan oleh Adipati Karna dalam dendam yang sangat mendalam pada Arjuna, ksatria penengah Pandawa. Apalagi Karna memiliki senjata panah yang mampu terus memburu sasarannya dan hanya akan berhenti manakala panah tersebut telah mencapai sasaran. 
Karna "anak" kusir kerajaan Hastinapura bernama Adirata, sejatinya adalah anak sulung sang dewi, yang tak pernah diakuinya sejak lahir tentu saja tidak pernah mengetahui asal muasal kehadirannya di dunia dan bahwa dalam perang Bharatayudha tersebut dia harus berperang melawan saudara-saudara kandungnya sendiri. 

Demi kecintaannya pada Arjuna, diam-diam, Dewi Kunthi menemui Karna yang sedang bermeditasi setiap pagi di tepi sungai. Adipati Karna, setelah mendengar penjelasan Dewi Kunthi tentang jati dirinya, kemudian menolak permintaan ibunya untuk berpihak pada "adik-adik"nya Pandawa Lima dalam perang Bharatayudha.
"Ibu .... apabila salah satu dari kami harus tewas dalam perang ini, saya atau Arjuna, maka jumlah anakmu akan tetap 3, seperti yang engkau akui selama ini." 
Sambil berlinang airmata, Dewi Kunthi hanya bisa menghela nafas dalam-dalam. 

Entah apa yang berkecamuk dalam hati Karna. Marah atas kenyataan tersebut dan melampiaskannya dalam perang melawan Arjuna atau ..... Karna maju perang karena masih berpegang pada etika. Loyal kepada Kurawa, sebagai balasan atas kenyamanan dan tingginya martabat serta status adipati yang telah diterimanya. Selama hidupnya, Karna memang justru dimuliakan oleh Kurawa, sementara Pandawa selalu melecehkannya.

***
Bisma, ksatria utama Hastinapura, pasrah menghadapi Bharatayudha dan bersiap menerima takdir yang telah digariskan dan diketahuinya sejak dia masih sangat muda. Bisma akan tewas pada perang dahsyat padang Kurusetra di tangan ksatria wandu bernama Srikandi sebagai karma atas perlakuannya kepada Dewi Amba yang direngut dari kehormatannya sebagai calon mempelai seorang pangeran, setelah Bisma memenangi sayembara untuk menjadi calon suami dari 2 orang adiknya. 
Padahal, ke dua putri tersebut hanya akan "dipersembahkannya" kepada adiknya karena Bisma terikat sumpah pada ayahnya untuk tidak menikah seumur hidup. Perangnya di Bharatayudha mungkin tidak dilakukan dengan sepenuh hati. Rasa cintanya kepada Pandawa Lima memang sangat mendalam. Hanya tugas dan kewajiban sebagai ksatria utama yang membuatnya turun ke gelanggang Bharatayudha.
***
Sementara kecintaan prabu Salya kepada Pandawa telah menyebabkannya secara diam-diam membuat kereta perang yang dikusirinya untuk membawa Suyudana ke tengah padang Kurusetra melesak pada waktu yang telah sangat diperhitungkannya. Akibatnya, panah Suyudana melesat tak terkendali dan meleset dari sasarannya .... Suyudana tentu marah besar, karena Salya menelikung Suyudana, sang menantu justru pada waktu yang sangat "kritis". Salya merasa lega telah melepas kesal dan dendamnya. Selama peperangan tersebut, dia merasa telah "tertipu" oleh Kurawa, karena niat awalnya turut berperang semata-mata ingin membantu Pandawa Lima yang dicintainya. Status sebagai mertua Suyudanalah yang membuat dia "terpaksa" membela Hastinapura. Kesemuanya tentu dilakukan tidak dengan sepenuh hati.
***
Yudistira adalah putra sulung Dewi Kunthi dan tumbuh sebagai ksatria Pandawa dan maharaja Indraprasta yang dikenal sangat jujur. Namun dalam Bharatayudha, dia "terpaksa berbohong" tatkala balatentaranya porakporanda oleh gempuran Dorna. Kresna, yang titisan dewa Wishnu dan bertindak sebagai penasihat pihak Pandawa Lima dalam perang Bharatayudha lalu memberikan jalan untuk memenangi perang dan mengalahkan Dorna.
Maka digiringlah seekor gajah bernama Aswatama untuk dibunuh di hadapan Yudistira. Kemudian .... kabar kematian Aswatama disebarkan untuk kemudian bergema di seantero padang Kurusetra, hingga akhirnya terdengar oleh Dorna.
Dorna terkejut dan dia lalu mencari Yudistira yang sangat jujur untuk memperoleh kebenaran berita tersebut. Dorna percaya bahwa Yudistira tidak akan pernah melakukan kebohongan apalagi kepada mahaguru yang dihormatinya
"Benarkah Aswatama telah gugur...?", tanya Dorna ......
"Ya paman, Aswatama telah gugur....." jawab Yudistira. Kemudian dia melanjutkan ucapannya sambil berbisik "gajah Aswatama memang telah gugur". Dengan ucapan tersebut maka Yudistira merasa dia tetap melakukan dharmanya sebagai seorang yang jujur. Dorna langsung kehilangan gairah hidup. Untuk apalagi melanjutkan perang. Dia tidak lagi melontarkan panah-panah yang mampu memporakporandakan lawan, malah membiarkan lawan menghujaninya dengan panah hingga akhirnya Dorna tewas.
***
Beralih pada epos Ramayana ......
Akankah kita menjadi seorang Wibisana, adik terkecil Rahwana yang ganteng dan santun. "Demi membela sebuah kebenaran" yang diyakininya, Wibisana dengan senang hati menyeberang dan memberi beragam informasi penting kepada Rama agar pangeran Ayodhia tersebut bisa memenangi perang melawan kakak sulungnya dan menemukan kembali Shinta istrinya.

Jadi .....
Dimanakah kita berada dalam kehidupan riel saat ini ...?
Akan menjadi seperti Karna, Bisma, Salya, Yudistira?
atau ...
Wibisana ...?
Kumbakarna ...?

Rabu, 01 Juni 2016

MATAKU SIPIT

Aku terlahir dengan bentuk mata kecil, yang biasa disebut sipit. Persis seperti bentuk mata orang-orang Asia Timur, seperti Cina, Vietnam, Korea dan Jepang. Padahal ..... dari 6 orang anak yang terlahir dari rahim ibuku, hanya aku sendiri yang memiliki mata sipit. Ditambah lagi dengan warna kulitku yang cenderung kuning, atau orang bilang kulitku lebih "putih" dibandingkan adik-adikku .... maka lengkaplah sudah. Melihat penampilanku secara utuh, kebanyakan orang akan menyangka bahwa aku adalah bukan warga pribumi, alias keturunan Cina. Yang sedikit lebih "sopan", akan bilang " wah .... aku pikir, kamu orang Manado ..."
***

Aku terlahir dari bapak yang konon berasal dari etnis Betawi (kakekku) dan Sunda (nenekku konon dari Cianjur, tapi sudah lama tinggal di Jakarta). Sementara ibuku berasal dari Sumatera Barat, etnis Minang. Kakekku konon dari Padangpanjang tetapi berdarah Pakistan sementara nenekku dari Batusangkar. Dari garis keturunan ibuku, seharusnya aku memiliki warna kulit sawo matang. Seperti warna kulit opa dan oma. Begitu juga warna kulit ibuku. Warna kulit "kuning" terang ini memang mengambil warna kulit bapakku. Apa boleh buat .... gen Cina dari garis keturunan bapakku ternyata sangat kuat mengalir di tubuhku. 

Bapakku memang keturunan ke 4 dari perempuan Cina yang menikah dengan lelaki Jerman yang beranak-pinak di Jakarta (Betawi), lalu di Rembang dan Malang.   Kami tinggal di suatu perkampungan Betawi di bilangan Jakarta Timur. Saat itu, suasana pergaulan masyarakatnya masih guyub. Halaman rumah dan bahkan beberapa di antaranya, pintu utama rumah masih terbuka lebar. Di dinding muka rumah, setiap orang masih dengan senang hati memasang namanya. Berbeda dengan sekarang, identitas penghuni rumah cenderung disembunyikan untuk mengurangi dan menghindari tindakan yang tidak diinginkan dari orang-orang yang berniat buruk. 

Walau mayoritas penduduknya berasal dari etnis Betawi, di gang lingkungan tempat tinggal kami ada juga beberapa keluarga Sunda, Jawa dan beberapa keluarga Cina. Satu keluarga Cina membuka warung kebutuhan sehari-hari, tempat hampir seluruh tetangga berbelanja keperluan yang terlupa saat belanja ke pasar. Babah Cina ini hidup berbaur masyarakat setempat, begitu juga dengan anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Bahkan cucu-cucunya selalu bermain dengan kami, penduduk asli Betawi. Dari penampilan sehari-hari, kondisi ekonominya tidak banyak berbeda dengan kebanyakan orang kampung. 

Hanya satu keluarga Cina kaya yang tinggal tepat di sebelah rumah kami. Mereka keluarga yang kaya raya, pemilik pabrik permen. Memiliki beberapa mobil, bukan saja truk-truk pengangkut permen tetapi juga sedan. Tidak itu saja.... pada tahun awal dekade 1960an, sebelum meletusnya peristiwa G30S, keluarga ini sudah mampu menyekolahkan anak-anaknya ke Singapore. Mungkin juga mereka memiliki rumah di Singapore. 

Dengan kami, hubungannya cukup baik. Mungkin karena rumah kami tepat berada di sebelah pabrik yang merangkap rumahnya. Saat tahun baru Imlek, kami selalu mengunjunginya. Senang sekali bertamu ke rumahnya menyantap kue keranjang dan taart yang pada jaman itu cukup langka dan tentunya tak ketinggalan angpau. Sementara saat lebaran, mereka tidak lupa mengirim permen2 hasil produksi pabrik walau mereka tidak pernah mengunjungi rumah kami. 

Agak jauh dari rumah kami, sekitar 500 meter, ada juga beberapa toko kelontong dan depot es yang dimiliki tauke Cina. Pendeknya, kehidupan di lingkungan tempat tinggal kami saat itu amat damai. Berbagai etnis berbaur dengan baik. Sama sekali tidak terbersit adanya keributan antar etnis. Kalaupun ada, biasanya tawuran antara kamp Ambon dengan gang Berland yang legendaris.

Almarhum ibuku sering cerita, konon, kalau beliau mengajakku ke pasar Paal Meriam berbelanja kebutuhan pangan setiap pagi, penjual telur yang kebetulan dari etnis Cina, selalu menghadiahi 1 butir telur extra untukku. Untuk si amoy .... begitu selalu yang dikatakan. Mungkin karena melihat mataku yang sipit itu. 

Entah mengapa .... dari 6 orang anak kedua orangtuaku, hanya si sulung inilah yang memiliki mata sipit. Adik-adikku memiliki mata besar dan bulat walaupun mereka memiliki warna kulit kuning. Namun demikian, dua adikku memiliki warna kulit gelap seperti warna kulit opa yang konon berdarah "Keling" dan oma yang berasal dari Sumatera daratan.
***
Usai peristiwa G30S, kami sekeluarga hijrah ke Garut dan tinggal disana sekitar 3 tahun. Lalu pindah ke Karawang dan Jambi untuk masing-masing sekitar 3 tahunan dan baru pada tahun 1974 kembali ke Jakarta. Selama di "perantauan" ini aku tak pernah merasakan adanya perlakuan berbeda dari siapaun juga karena mata sipit ini. Jadi kehidupan berjalan dan mengalir begitu saja, tanpa masalah. Tentu bukan tanpa masalah sama sekali.... ada pertengkaran antar teman, iri - dengki antar remaja, yang walaupun terasa menyebalkan dan menyakitkan, tapi tak pernah kuambil pusing karenanya.

"Kamu cina ya...?"
Pertanyaan yang mengagetkan muncul dari mulut seorang senior saat aku menjalani masa perkenalan mahasiswa baru.
"Nggak ...., bukan...", sahutku
"Kalau begitu...., mulai besok pakai selotip untuk membesarkan kelopak matamu yang sipit itu!!!" perintahnya.

Agak merasa aneh dengan pertanyaan dan pernyataan tersebut ... tapi mana berani, mahasiswa baru membantah seniornya? Maka kujalani saja perintah tersebut. Belakangan baru aku tahu, bahwa ternyata lolosnya lebih dari 10% mahasiswa baru yang berasal dari etnis Cina dipermasalahkan oleh senat mahasiswa fakultas. Sang senior yang memerintahkan untuk menggunakan selotip pada kelopak mata, rupanya mendapat konfirmasi dari salah satu senior di jurusanku, yang kebetulan sudah kenal karena kebetulan dia kost di rumah salah satu temanku, orang Minang. Jadi sang senior tahu persis bahwa kedua orangtuaku bukan non pribumi. Walau ada rasa sakit atas kenyataan ini, kelak baru kusadari bahwa mulai saat itulah .... yaitu pada masa dewasa, "mata sipit" seringkali menjadi masalah buatku baik dalam pergaulan dan dalam pekerjaan.

Sedih ....? Tentu ......, di negara sendiri,aku seringkali merasa terkucil dan dikucilkan dari lingkungan pribumi, terutama pada saat awal perkenalan, hanya karena mataku sipit, seperti orang-orang keturunan Cina...

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...