Selasa, 28 Februari 2006

Bang ALI …., Jakarta sungguh beruntung pernah dipimpin anda!

Pada akhir Januari 2006 yang lalu, dalam kolom album majalah mingguan Tempo, tertulis kabar pemberian penghargaan sebagai “Empu Kebudayaan Kota” kepada bang Ali, sebutan kepada letjen purnawirawan KKO (marinir) Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta Raya periode 1966 – 1977. Hanya itu, dan berita tersebut tidak terliput oleh media cetak nasional yang lain. Mungkin dianggap kurang menarik untuk diangkat sebagai berita.

Nama Ali Sadikin, bisa jadi, kurang akrab di telinga generasi MTV dan sebagian besar generasi internet Jakarta. Terutama mereka yang lahir sesudah tahun 1975. Tentu tidaklah mengherankan bila berita penganugerahan gelar Empu Kebudayaan Kota bagi Bang Ali, tidak menarik untuk diangkat oleh para wartawan muda yang tidak mengenalnya dengan baik. Namun begitu, nama bang Ali masih dan akan  tetap akrab di telinga dan hati sebagian besar anak muda/mahasiswa yang hidup dan besar di Jakarta pada periode tahun 1965 sampai dengan tahun 1980. Bahkan bagi mayoritas penduduk Jakarta saat itu, bang Ali adalah “idola”. Bukan karena kegantengannya, tetapi karena keberhasilannya dalam mengubah wajah kota Jakarta. Karenanya anugerah gelar “Empu Peradaban Kota”, walaupun sangat terlambat, amat sangat layak diberikan kepada bang Ali.

Ali Sadikin, putra Sunda kelahiran Sumedang, dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tanggal 28 April 1966 oleh Presiden Sukarno, di Istana Negara. Konon, alasan pengangkatan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jaya, karena bung Karno menganggap Jakarta perlu dipimpin oleh orang “koppig” (keras kepala) dan satu-satunya orang yang dianggap keras kepala adalah Mayjen KKO Ali Sadikin, yang saat itu menjabat sebagai Deputy Menko Ekuin, setelah sebelumnya menjabat sebagai Menteri Perhubungan Laut dalam Kabinet Dwikora.  Selain itu, bung Karno juga membutuhkan orang yang dapat mengimplementasikan impiannya akan ibukota Negara, sebagaimana ucapannya pada Ali Sadikin saat pelantikan, yaitu :”Saya sub-plant impian saya tentang Jakarta pada kalbumu. Biar nanti setelah kamu bukan gubernur, orang masih ngomong tentang kamu

Pengangkatan Ali Sadikin sebagai Gubernur oleh Bung Karno, diakuinya, sangat tidak menguntungkan. Bukan karena jabatan itu dianggapnya “turun pangkat”, tetapi karena posisi Bung Karno saat itu, pasca peristiwa G30S PKI, sudah berada di ujung tanduk. Mahasiswa sedang bergejolak keras, demonstrasi menuntut mundurnya bung Karno dan mengadili para menterinya merebak dimana-mana. Inflasi melambung tak terkendali. Jakarta nyaris menjadi kota terlantar. Tingkat kesejahteraan rakyat sangat rendah, sarana dan prasarana sangat minim. Kondisi ini diperparah dengan adanya dualisme kepemimpinan dan tarik menarik antar partai politik, sehingga terjadi saling curiga antar sesama aparat pemerintahan.

Pada saat menerima jabatan Gubernur, walaupun menyandang nama sebagai ibukota negara, kenyataannya, Bang Ali menerima beban mengurus sebuah “Big Village” yang dihuni 4,4 juta manusia dengan APBD sebesar 66 juta rupiah yang terdiri dari subsidi pusat 44 juta atau 66% dan pendapatan asli daerah hanya sebesar 22 juta atau 34% nya. Kondisi keuangan ini jelas tidak mencukupi untuk membangun Jakarta menjadi sebuah kota yang pantas menyandang predikat ibukota negara, sebagaimana yang diamanatkan bung Karno kepadanya dalam acara pelantikan. Apalagi ada batasan, pemerintah daerah sama sekali tidak diperkenankan mencari fasilitas pinjaman.

Namun, bang Ali memang memiliki visi yang jelas dan kuat mengenai Jakarta. Kesemuanya dituangkan dalam Masterplan Jakarta 20 tahun, walaupun pada kenyataannya terasa sulit dilaksanakan akibat minimnya APBD. Dalam upaya mencari pendanaan, tiba pada masa di mana Bang Ali mengetahui bahwa di Jakarta terdapat perjudian illegal, yang dilindungi oleh oknum pejabat/ABRI. Apalagi mereka (penyelenggara dan pelindungnya) menikmati hasil judi illegal tersebut tanpa membayar pajak. Bang Ali lalu meminta staffnya untuk meneliti peraturan mengenai perjudian, dan ditemukan bahwa UU warisan Kolonial yang masih berlaku, menetapkan bahwa Judi hanya ditujukan bagi etnis Cina, karena bagi mereka judi terkait dengan budaya “buang sial”. Berbekal dengan UU tersebut dan UU no.11 tahun 1957 tentang Pajak Daerah, bang Ali mulai membenahi perjudian yaitu melalui tindakan preventif maupun represif terhadap perjudian antara lain melokalisir judi ke lokasi tertentu di Jakarta, membangun sarana judi-kasino seperti Copacobana di Ancol, agar kesemuanya mudah dikontrol. Ia juga memberlakukan peraturan ketat bahwa hanya dari golongan etnis tertentu saja yang boleh memasuki tempat perjudian dan kemudian memanfaatkan pajak judi untuk membangun Ibukota Jakarta. Dengan demikian, hasil judi tidak lagi dinikmati dan memperkaya segelintir orang saja, tetapi bermanfaat dalam pembangunan kota seutuhnya.

Hasilnya memang luar biasa! APBD Jakarta meningkat pesat sehingga Bang Ali mampu merealisasikan impiannya dalam meningkatkan citra the big village menjadi ibukota Negara yang pantas disejajarkan dengan kota-kota lain di Asia. Bang Ali mulai membenahi Jakarta. Membangun begitu banyak sekolah, Gelanggang Remaja yang dapat menampung kegiatan remaja dan pelajar dalam bidang kesenian dan olah raga, termasuk berenang, di lima wilayah Jakarta. Membangun Student Center, yaitu Gelanggang Mahasiswa Sumantri Brodjonegoro di Kuningan yang saat ini dikenal sebagai Pasar Festival.

Wilayah pemukiman mulai ditata dengan menyertakan partisipasi swasta, yang sekarang dikenal sebagai real estate di wilayah Taman Solo – Cempaka Putih, Tanah Mas di bilangan Rawamangun, Kemang dan banyak lagi. Kawasan industripun tak luput dari perhatiannya dengan dibangunnya Jakarta Insdustrial Estate Pulogadung - JIEP.  Disamping itu, Bang Ali juga membentuk berbagai perusahaan daerah (BUMD) untuk membangun dan merenovasi pasar-pasar tradisional yang becek dan kumuh, membangun Pasar yang sampai saat ini dikenal sebagai Proyek Senen, lalu kawasan wisata Ancol. Begitu pula dengan pembangunan terminal-terminal bus dan shelter penghentian bus kota. Bukan hanya dalam bidang perekonomian dan remaja, Bang Ali juga memindahkan kebun binatang dari lokasi semula di tengah perumahan elite Cikini ke Ragunan yang teduh dan asri, sedangkan lokasi bekas kebun binatang tersebut di bangun sebuah pusat kesenian Taman Ismail Marzuki – TIM lengkap dengan Planetarium yang hingga saat ini, lebih dari 30 tahun kemudian, masih merupakan planetarium satu-satunya di Indonesia. Bukan hanya memperhatikan hunian kalangan menengah ke atas, kampung-kampung kumuh mulai dibenahi dengan program perbaikan kampung yang dikenal dengan nama MHT, yang diambil dari nama pahlawan asal Betawi, Muhamad Husni Thamrin.

Perhatian bang Ali tidak melulu tertuju pada hal-hal yang bersifat materialistis saja, tetapi juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan karakter manusia dan perlindungan hak masyarakat, antara lain pendirian Lembaga Bantuan Hukum, Kamar Dagang Indonesia, Lembaga Konsumen, OSIS, Karang Taruna, Puskesmas, yang kemudian menjadi contoh dan dikembangkan ke seluruh Indonesia.

Selain Taman Ismail Marzuki, kalangan seniman film dilengkapi dengan pembangunan komplek Pusat Perfilman di Kuningan, revitalisasi Gedung Kesenian di Kawasan Pasar Baru, pemanfaatan berbagai gedung kuno di Jakarta menjadi museum dan pembentukan Dewan Kesenian Jakarta, Pekan Raya Jakarta yang dulu dikenal sebagai Jakarta Fair, Taman Rekreasi Senayan dan banyak hal lain menjadi karya nyata seorang Ali Sadikin. Sarana transportasi kotapun tidak luput dari perhatiannya, termasuk Mass Rapid Transport – MRT walaupun masih dalam bentuk perencanaan (master plan) yang hingga saat ini sayangnya belum sempat terealisir. Bahkan realisasi pembangunan Taman Mini Indonesia Indahpun tak luput dari campur tangan bang Ali.

Masyarakat Jakarta juga, tentu masih ingat bahwa ulang tahun Jakarta tanggal 22 Juni adalah waktu yang ditunggu khalayak ramai. Inilah arena pesta rakyat kolosal sepanjang malam yang diselenggarakan di sepanjang jalan MH Thamrin. Pesta rakyat yang dikenal dengan nama malam muda-mudi, tempat kaum marginal menikmati hiburan gratis setahun sekali.

Bang Ali memang fenomenal. Sebagai Gubernur, beliau memang sangat keras dan tegas. Pada jaman itu, masyarakat Jakarta tidak heran membaca berita bahwa sang Gubernur, dengan entengnya menampar supir bus yang dipergokinya ugal-ugalan. Bang Ali juga rajin menggusur rakyat untuk menjalankan program perbaikan kampung dan pembuatan jalan. Kesemuanya dilakukan tanpa ganti rugi kepada rakyat. Bukan karena bang Ali tidak peduli pada kerugian rakyat yang tanahnya digunakan untuk proyek pelebaran jalan atau perbaikan kampung, tetapi itulah bentuk kepercayaan dan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya. Ini membuktikan bahwa kekerasan bang Ali tidak menjadikannya jauh dari rakyat yang dipimpin. Bang Ali mampu membuktikan bahwa semua yang dilakukannya, semata-mata untuk kemajuan kota Jakarta dan rakyatnya percaya penuh, karena ada hasil yang jelas terasa.

Bang Ali memang tidak dapat selalu diidentikkan dengan keberhasilan. Peraturan yang ditetapkan tentang larangan becak, dirasa menekan bagi rakyat kecil. Namun kesemuanya bukanlah dikarenakan beliau tidak “berpihak” kepada rakyat kecil, tetapi karena dalam pandangan bang Ali, becak merupakan bentuk eksploitasi manusia atas manusia lainnya. Apalagi, bang Ali juga memberikan alternatif kendaraan pengganti, yaitu helicak – becak bermotor. Kebijakan Jakarta sebagai kota tertutup yang ditetapkannya juga dimaksudkan agar pemerintah daerah terpacu untuk mencontoh keberhasilan Jakarta dalam membangun daerahnya. Agar dapat memberi lapangan kerja pada rakyatnya sehingga mereka tidak perlu berbondong-bondong mengadu nasib ke Jakarta.

Bang Ali menyelesaikan jabatannya pada tahun 1977 setelah 2 kali masa jabatan yang penuh warna. Banyak yang menangisi kepergiannya. Menangisi “kepergian bapaknya” … pemimpin yang dicintai seluruh rakyat. Selama berbulan-bulan kolom surat pembaca koran ibukota dipenuhi dengan luapan emosi kesedihan dan penyesalan berbagai lapisan masyarakat yang ditinggalkan bang Ali.

Bang Ali memang salah seorang pemimpin kharismatik yang dimiliki Indonesia, yang mampu membuktikan karya nyatanya dalam membangun Jakarta. Saat ditinggalkan Bang Ali, APBD Jakarta telah meningkat ratusan kali menjadi 116 milyar dimana 75% nya merupakan penerimaan asli daerah. Tentu tidak mengherankan bila Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, yang dipimpin Dipo Alam, berani memakai kaus bertuliskan “why not the best” kala menerima kunjungan bang Ali ke kampus Salemba. Bahkan dia, tanpa ragu mengusung nama bang Ali sebagai calon pemimpin bangsa Indonesia, dan mengenakan kaus bertuliskan “ Bang Ali for President” dalam berbagai kesempatan.

Masa jabatan bang Ali memang sudah berlalu hampir 30 tahun yang lalu. Jadi tidak mengherankan bila generasi sekarang tidak mengenal beliau. Apalagi, ada kecenderungan “character assassination” yang dilakukan penguasa negeri ini terhadap bang Ali. Berbagai kebijakan bang Ali yang seharusnya bersifat sustainable, seperti yang tercantum dalam Master Plan Jakarta 1985 dijungkirbalikkan sehingga Jakarta berkembang tak terkendali lagi, sesudahnya.

Jakarta sekarang memang sudah berubah banyak. Berbagai fasilitas modern yang layak menghiasi ibukota Negara sudah memadati Jakarta. Apartemen, hotel bertaraf internasional, perkantoran shopping mall mewah bertaburan di seluruh pelosok Jakarta. Mobil mewah berseliweran setiap hari, memeriahkan jejeran kemacetan kota. Tapi tengoklah semuanya …… Adakah semua fasilitas tersebut ditujukan sebagai fasilitas umum dan sosial yang dapat dinikmati bagi masyarakat banyak? Tidak …… Sayang sekali, harus diulangi bahwa seluruh fasilitas yang ada saat ini tidak lagi menjadi fasilitas umum dan sosial yang terbuka bagi masyarakat luas, tetapi merupakan fasilitas sosial - komersial bagi segelintir masyarakat kelas atas. 

Gelanggang Mahasiswa Sumantri Brodjonegoro di Kuningan yang pada jamannya sangat dibanggakan mahasiswa, kini telah berubah menjadi fasilitas komersial yang dikuasai swasta. Bahkan pusat perfilman “Usmar Ismail”, gedung wanita “Nyi Ageng Serang” yang berada di sebelahnya, nyaris kumuh dan mungkin hanya dapat dikenang saja keberadaannya. Belum lagi gelanggang remaja di seluruh wilayah Jakarta, komplek Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan dan lainnya . Kesemuanya merana dan kumuh karena salah urus. Jangankan menambah fasilitas umum dan sosial  bagi masyarakat, memelihara yang sudah dibangun oleh bang Ali – pun, kita tak mampu. Bahkan ada kecenderungan untuk meniadakannya dan “menjual” aset-aset pemerintah daerah ke tangan para pengusaha. Ini tentu sangat merisaukan bagi semua yang pernah merasakan masa-masa keemasan pemerintahan Ali Sadikin.

Judi, sejak jaman bang Ali memang sudah diharamkan. Bang Ali tahu akan hal itu. Bedanya, bang Ali mampu memanfaatkan dan mengendalikannya untuk pembangunan kota. Sekarang … judi masih tetap haram dan …. tetap ada. Namun, kita, nampaknya lebih suka dengan hal-hal yang bersifat munafik. Berpura-pura melarang dan menganggap judi tidak ada di Jakarta. Kemudian, Judi dikemas dengan nama lain "undian atau sumbangan" sehingga masyarakat terutama golongan berpenghasilan rendah "dipaksa" berjudi dengan dalih menjadi dermawan. Ini tentu sangat berbeda dengan kasino yang hanya menyentuh segelintir orang yang memang memiliki budaya "berjudi". 

Semua orang juga tahu sama tahu akan hal itu, karena seperti kata bang Ali, Judi tidak akan pernah dapat diberantas. Kini, judi kembali illegal seperti jaman sebelum pemerintahan bang Ali, dan hasil judipun kembali hanya dinikmati oleh segelintir oknum.

Mengingat semua hasil karya nyata bang Ali selama beliau menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, memang pantaslah bila beliau diangkat sebagai Empu Peradaban Kota, melengkapi berbagai penghargaan yang pernah diterimanya, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Bang Ali …. Jakarta sungguh beruntung pernah dipimpin oleh anda!!!
 Jakarta, 26 februari 2006

Rabu, 15 Februari 2006

Harta - godaan bagi manusia.


Pertemuan silaturahmi keluarga besar almarhum bapak yang setiap tahun dilaksanakan di rumah, baru saja usai. Ruang keluarga tempat acara doa dan makan siang bersama baru saja selesai dirapikan dan ditata sebagaimana semula. Kami, enam bersaudara beserta suami/istri masing-masing, memang selalu menyempatkan diri untuk hadir pada acara ini, karena inilah satu-satunya kesempatan untuk berinteraksi dengan keluarga bapak yang asli Betawi.

Kesibukan penghuni Jakarta memang membuat kami tidak sempat bersilaturahmi. Apalagi, bapak adalah “anak tunggal”. Seluruh kakak-kakaknya meninggal dunia sebelum sempat menikah. Ini menyebabkan kami tidak memiliki sepupu langsung dari pihaknya. Pada garis generasiku, hanya ada anak-anak dari sepupu bapakku. Hubungan kami dengan mereka, relatif “agak jauh”. Apalagi, selama kurun waktu 1965 – 1983, kami sekeluarga menjadi “nomaden” mengikuti kepindahan tugas Bapak ke berbagai kota di Jawa Barat dan Sumatera. Jadi lengkaplah sudah alasan untuk membenarkan kerenggangan hubungan persaudaraan ini. Itu sebabnya, acara silaturahmi yang biasanya diadakan pada bulan Desember menjadi satu-satunya kesempatan untuk bertemu, walaupun masih terasa kurang effektif.
*****

Siang itu, saat kami sedang bercengkerama di teras belakang rumah ibu, sambil beristirahat, dia memanggil kami berenam, masuk ke kamarnya. Panggilan ini agak serius, karena diembel-embeli dengan perkataan “hanya anak-anak” tanpa suami atau istri masing-masing. Sambil berjalan menuju kamarnya, kami saling berpandangan. Bertanya-tanya dalam hati....., ada apa gerangan?

Setelah menutup rapat pintu kamar, sesuai permintaannya, kami berenam duduk di tempat tidur mengelilinginya. Tanpa basa-basi seperti biasanya dan juga seperti kebiasaan para perempuan Minang yang sangat “diktator”, beliau meminta kami mendengarkan “petuah dan pesan” yang berkaitan dengan “harta kekayaan”nya, yang suatu waktu nanti, mau atau tidak mau akan diwariskan kepada kami, ke enam anak-anaknya. Walaupun nilainya relatif tidak besar dan jenisnya tidak banyak, kalau tidak berhati-hati, tentu bisa menjadi pemicu keributan antar saudara. Aku ingat sekali, ada dua hal utama yang menjadi topik pembicaraan kala itu, yaitu mengenai perhiasan dan rumah.

“Papi dan mami sudah sepakat sejak awal, bahwa seluruh perhiasan perempuan, hanya akan diwariskan kepada anak perempuan saja dan tidak kepada menantu perempuan. Apalagi, kalian anak lelaki sudah mendapatkan bagian 2 kali lebih besar dari anak perempuan dalam pembagian warisan saat papi meninggal beberapa tahun yang lalu”. Ujarnya membuka pembicaraan di siang hari itu.

Kami anak perempuannya saling berpandangan, merasa tidak enak dengan saudara-saudara lelaki. Harus diakui, 3 anak perempuannya, memiliki kemampuan materi yang lebih baik daripada ke 3 saudara lelaki kami. Jadi keputusan seperti itu tentu dikhawatirkan membuat kecil hati saudara-saudara lelaki kami. Mungkin ada rasa diperlakukan tidak adil oleh ibunya. Siapa tahu terselip juga keinginan agar istri-istri mereka, masing-masing mendapatkan satu set perhiasan Tapi, tidak ada seorangpun yang berani bicara, apalagi melihat gelagat ibu yang tidak ingin perkataannya dibantah.

“Khusus untuk rumah ini …. Tidak diperkenankan untuk dijual, tetapi dapat dihuni oleh anak-anak perempuan dan nantinya diwariskan hanya kepada cucu perempuan dari anak perempuan juga”, lanjutnya lagi.

Aku agak tersentak mendengar “keputusannya”. Ini khas keputusan “adat Minang”. Perempuan mewarisi harta ibunya, sementara lelaki tidak mendapat warisan apapun dari keluarganya. Mengherankan sekali … ibuku yang dalam berbagai kesempatan, seperti dalam pernikahan adik-adik maupun anak-anaknya, selalu menolak menggunakan “adat Minang”, ternyata dalam pembagian “harta”, mengadopsi adat Minang yang menurutku jelas-jelas bertentangan dengan Hukum Pewarisan dalam Al Qur’an. Kalau saja rumah yang “diperbincangkan” itu adalah “milik sendiri” yang diperolehnya dari hasil bekerja atau warisan dari orangtuanya, maka keinginannya untuk meng”hibah”kan hanya kepada keturunannya yang perempuan, masih bisa diterima akal. Tetapi semua anak-anaknya mengetahui dengan jelas bahwa rumah itu dibangun dari hasil kerja bapak kami. Tentu semua anak-anaknya kelak memiliki hak yang “sama” dalam pewarisan rumah dan ibuku tidak dapat meng”klaim” rumah itu dan mewasiatkan “seenaknya”.

“Tidak, mam …. Ini bertentangan dengan hukum pewarisan Islam. Rumah ini adalah hasil pencarian papi selama hidup, jadi tidak bisa diperlakukan seperti itu …” Tak tahan juga untuk tidak membantah penyataan ibuku.
“Ini permintaan orang tua .. jangan membantah” Ibuku berkeras. Salah satu adik perempuan mencolek tanganku, memberikan tanda untuk tidak berbantahan dengan ibuku.

Entah apa yang ada di kepala ibuku, hingga dia membicarakan hal tersebut. Kalau mau jujur,  keputusan tersebut, tentu sangat menguntungkanku. Dari keenam anaknya, beliau memiliki 2 orang cucu perempuan, satu dariku dan satu dari adik lelakiku. Dengan demikian, sangat jelas bahwa yang berhak atas rumah tersebut, berdasarkan keinginannya, adalah anak perempuanku. Tapi, pada kenyataan, pernyataan ibu sungguh sangat menyulitkan posisiku, apalagi “wasiat lisan” itu dikatakannya saat aku baru saja menjual rumah untuk tinggal bergabung dengannya. Tentu, saja ada kekhawatiran bila di antara adikku berprasangka buruk mengenai kepindahanku tersebut. Khawatir timbul dugaan bahwa ”wasiat” ibuku sudah diatur untuk kepentinganku. Selain itu, keputusan tersebut sangat bertentangan dengan Hukum Waris Islam. Aku hanya bisa menghela napas panjang.

Kalaupun mau dilakukan pembagian sesuai dengan keinginannya, maka pembagian itu harus dilakukan pada saat beliau masih hidup dengan status hibah, namun tidak sebagai wasiat. Untuk melindungi hak para ahli waris, Islam membatasi hanya 1/3 hari harta yang dapat diberikan dalam bentuk wasiat di luar ketentuan hak waris.

Entah bagaimana sebenarnya pembagian waris yang dilaksanakan berdasarkan ”Hukum Adat Minang”. Walaupun ibuku berasal dari Minang, kami anak-anaknya sama sekali tidak mengenal adat-istiadat Minang. Bahkan bercakap-cakap dalam bahasa Minangpun, tidak bisa. Yang terlihat selama ini, ibuku sebisa-bisanya selalu menghindar untuk bersentuhan dengan urusan adat tersebut. Seorang teman kantor bercerita bahwa suaminya sama sekali tidak mendapatkan harta warisan dari keluarganya, karena seluruhnya jatuh kepada saudara-saudara perempuannya.

Ini tentu mengherankan. Bukankah dalam adat istiadat Minang dikenal petatah-petitih ”Adat bersendikan Syara’ – Syara’ bersendikan Kitabullah” atau lazim dikenal sebagai ”Adat bersendikan Agama – Agama bersendikan Kitabullah (Al Qur’an). Apalagi, selain masyarakat Aceh, orang Minang dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat. Tentu menjadi pertanyaan besar, mengapa dalam hal hak waris, masyarakat Minang tidak mengikuti hukum pewarisan Islam, tetapi lebih memegang teguh hukum adat. Padahal ditinjau dari sisi apapun juga, kedudukan Al Qur’an sebagai kumpulan dari wahyu Allah SWT untuk mengatur peri kehidupan manusia di dunia, jelas lebih tinggi daripada adat istiadat yang buatan manusia. Mengapa.....? Entahlah ....pertanyaan seperti ini, pasti hanya akan mendapat jawaban ”kamu sudah tidak lagi menjunjung adat istiadat .... indak baradaiek”.

Terhadap ”pesan” ibu, aku sudah menyatakan kepada semua adik-adikku bahwa bila saatnya tiba nanti, maka dalam waktu maksimal 1 tahun, maka rumah peninggalan ini harus segera dijual kepada siapapun peminatnya dan hasil penjualannya dibagi sesuai dengan hukum waris Islam. Syukur bila di antara kami ada yang mampu membeli/memilikinya. Bila tidak, maka semua harus rela melepaskannya kepada orang lain dengan harga yang layak. Mengapa harus menunggu waktu selama 1 tahun terlebih dahulu? Tentu karena aku harus punya waktu yang cukup untuk membangun rumah dan menjual rumah bukanlah hal yang mudah. Melanggar wasiat Ibu? Tanpa mengurangi rasa hormat pada ibu yang mengandung dan melahirkan, rasanya kita harus mendahulukan hukum waris berdasarkan Al Qur’an dibandingkan dengan wasiat ibu kita (manusia). Semoga tidak ada yang menghambat pelaksanaan ini semua.

Lebak bulus 14 Februari 2006

Senin, 06 Februari 2006

Memahami hak waris dengan ikhlas.


Kesehatan mertua perempuanku, berusia hampir 84 tahun, sejak mengalami patah tulang paha awal Januari 2006 ini, terlihat kurang stabil. Selama masa perawatan pasca operasi di rumah sakit, beliau seringkali berhalusinasi (mungkin) berjumpa dan bercengkerama dengan 3 orang kakak perempuannya, kesemuanya sudah meninggal dunia. Mereka seperti berbicara, kadang bertengkar dalam bahasa Belanda. Kadang pula, beliau seperti sedang dikunjungi oleh almarhum suaminya yang sudah meninggal dunia hampir 15 tahun yang lalu. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan keluarga besar anak-anaknya.

Beberapa bulan sebelumnya, dalam keluarga suami, timbul wacana yang agak sensitif, yaitu ingin membicarakan “harta waris” ibu, agar tidak menimbulkan pertentangan di kemudian hari. Timbulnya wacana ini memang agak mengejutkan, karena membicarakan masalah waris, sementara yang bersangkutan masih hidup, bagi sebagian besar masyarakat Indonesia adalah hal yang tabu. Apalagi mayoritas keluarga besar suami bukanlah orang-orang yang kekurangan, walaupun tidak berlebihan sekali. Tetapi kita, tentu tidak boleh berburuk sangka mengenai hal ini. Pembicaraan mengenai warisan, belum tentu dimaksudkan untuk “membagi-bagi” warisan, tetapi lebih kepada menginventarisir berbagai masalah yang mungkin timbul mengenai hak pewarisan tersebut. Apalagi, di kalangan “terdidik”, ada keengganan untuk menerapkan hukum pewarisan Islam karena dinilai “merugikan” perempuan. Jadi, selain menginventarisi “jumlah harta kekayaan”, juga ditujukan untuk membahas mengenai “bagaimana cara membagi harta waris yang adil bagi semuanya”.

Membagi harta waris yang adil bagi semua, ini adalah masalah yang sangat sensitif bagi manusia, terutama bagi perempuan Islam yang “hanya memperoleh ½ dari hak para anak lelaki”. Hal ini dipicu oleh keadaan bahwa dalam kehidupan sehari-hari; umumnya seorang anak perempuan “lebih memberi perhatian kepada orang tua” dibandingkan dengan anak lelaki yang “lebih dikuasai oleh istri dan anak-anaknya sendiri” dibandingkan dengan perhatiannya kepada orang tua. Belum lagi ketentuan yang menyatakan bahwa apabila seorang lelaki (suami) meninggal dunia dan mereka tidak memiliki anak lelaki (kandung), maka sebagian hartanya akan kembali kepada keluarga almarhum (orangtua serta kakak-adiknya). Kalaupun mereka memiliki anak lelaki, maka hak istri yang ditinggal mati hanya hak 1/8 saja Ketentuan ini tentu dirasa sangat merugikan istri dan anak perempuan yang ditinggalkan almarhum.

Pada era dimana perempuan juga bekerja, bukan sekedar untuk mengaktualisasi diri dimana seluruh penghasilannya menjadi “milik pribadi perempuan”, tetapi pekerjaan yang dijalaninya betul-betul karena kebutuhan hidup dan penghasilan perempuan digunakan sepenuhnya untuk menopang ekonomi keluarga, maka aturan Islam mengenai hak waris bisa dirasa sangat tidak adil bagi perempuan.

Bagaimana Islam menetapkan hak waris bagi yang ditinggal mati?
Dalam An Nisa ayat 11 dan 12, Allah SWT berfirman bahwa :
[4:11] Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan272; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua273, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

272: Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat ayat 34 surat An Nisaa).
273: Lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

[4:12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)274. (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun

274: Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti : a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka. b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

Masuknya orang tua dan saudara-saudara almarhum sebagai pewaris, dalam kasus seorang lelaki menikah (tidak punya anak atau hanya mempunyai anak perempuan saja) seperti yang dicantumkan dalam surat An Nisa ayat  11 – 12 di atas, seringkali dirasakan sangat tidak adil bagi istri (dan anak perempuan) yang ditinggal. Lalu mengapa Allah menetapkan pembagian yang demikian?

Lelaki dalam Islam mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang lebih berat dari perempuan. Dia, sewaktu menikah berkewajiban memberikan mahar kepada calon istrinya dan kemudian, sebagai kepala keluarga dan imam dalam rumah tangga, berkewajiban memberikan nafkah bagi anak istrinya. Sementara perempuan tidak memiliki kewajiban tersebut. Sebagai istri, perempuan tidak berkewajiban mencari nafkah, karena kewajiban suamilah untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Kalaupun dia memiliki nafkah sendiri maka dia dapat menyimpannya untuk keperluan pribadi. Begitu juga saat perempuan menerima warisan, maka perempuan dapat menyimpannya untuk kepentingan pribadi, tanpa ada berkewajiban untuk menyerahkannya untuk keperluan keluarga. Berbeda dengan lelaki, dia wajib memenuhi kebutuhan keluarga dari penghasilannya termasuk juga harta yang diterimanya dari warisan.

Lebih jauh lagi, tatkala seorang (anak) lelaki kehilangan ayahnya, maka tanggung jawab ayah beralih ke tangannya; termasuk di dalamnya melindungi ibunya dan menjadi wali bagi kakak-adik perempuannya saat menikah. Kewajiban –kewajiban ini merupakan salah satu alasan mengapa hak waris (anak) lelaki lebih besar daripada (anak) perempuan.
*****

Beberapa tahun yang lalu, seorang teman bercerita dan mengeluh panjang lebar mengenai kasus perebutan harta warisan peninggalan orangtuanya. Dia (perempuan) adalah anak tunggal, yang ibunya telah meninggal dunia beberapa tahun sebelum ayahnya meninggal dunia. Saat ayahnya meninggal dunia, maka (menurut ceritanya), keluarga ayahnya yaitu oom dan tantenya serentak mengambil sertifikat tanah milik almarhum sekaligus menguasai beberapa rumah dan villa keluarga tersebut. Si anak tentu tidak bisa menerima kondisi itu dan melakukan perlawanan secara lisan untuk kemudian setelah upaya lisan tersebut tidak berhasil, maka ia, akhirnya melalui jalur hukum.

Sejak saat itu, dimulailah babak pertengkaran antar keluarga, oom dan tante di satu kubu versus keponakan. Tidak ada satupun yang rela mengalah. Sang keponakan merasa punya hak penuh atas harta peninggalan orang tua sementara oom dan tante merasa berhak karena berdasarkan Al Qur’an, sebagian harta peninggalan seorang lelaki yang hanya memiliki anak perempuan akan jatuh kepada saudara-saudara sekandungnya, sebagaimana tercantum dalam ayat berikut :

[4:176] Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah)387. Katakanlah : "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu) : jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
387: Kalalah ialah : seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak.

Kasus perebutan harta warisan ini tentu sangat menyedihkan, karena pihak yang berseteru adalah orang-orang yang hidup berkecukupan. Mereka rela kehilangan tali silaturahim di antara keluarga demi harta warisan. Entah bagaimana akhir cerita perseteruan itu, yang pasti pengacara merekalah yang beruntung mendapat harta warisan tersebut dalam bentuk Jasa Konsultasi Hukum

Manusia terkadang lebih dikuasai oleh hawa nafsu dibandingkan dengan akal sehatnya. Lebih memikirkan hak daripada kewajiban, apalagi bila sudah bersinggungan dengan harta. Tentu tidak salah, bila Allah SWT berfirman bahwa :

[18:46] Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.

[57:20] Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

[65:3] Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
*****

Pembagian Hak Waris berdasarkan Al Qur’an, sungguh merupakan ujian besar bagi para muslimah akan keimanannya kepada Allah SWT yang Maha Mengetahui. Peran aktif muslimah dalam menegakkan “periuk nasi” harus disikapi dengan amat bijak agar tidak menimbulkan sikap “persamaan” dalam segala hal, karena sesungguhnya Allah SWT telah memberikan berbagai keringanan dan kemudahan bagi muslimah, dan bahkan “kemanjaan” dalam menempuh kehidupan ini.

Karenanya tentu, tidak jangan ada keraguan lagi bagi kaum perempuan untuk menerima dengan ikhlas pembagian harta waris sebagaimana yang telah digariskan dalam Al Qur’an. Bukan besarnya harta waris yang kita terima yang dipentingkan, tetapi berkah dan rahmat Allah SWT yang menyertai harta dan rejeki kitalah yang lebih penting untuk selalu kita syukuri.

Manusia memang cenderung untuk mempertahankan “hak” namun seringkali mengabaikan “kewajiban” yang menyertai dan melekat pada “hak-hak”nya tersebut. Jangan lupa, bahwa segala sesuatu di dunia ini selalu berimbang. Ada yang baik, tentu ada yang buruk, ada hitam dan ada pula putih, maka ada hak, tentu ada pula kewajiban. Maka menjadi kewajiban kitalah untuk menghayati dan mengamalkan agar semua “hak dan kewajiban” antara lelaki dan perempuan, suami dan istri, anak dan orang tua, berjalan seimbang sesuai dengan apa yang diperintahkanNya. Wallahu’alam.

Ayo, kita sembuhkan diri sendiri …. !!!


Beberapa hari yang lalu, lelah karena acara akhir pekan yang bertubi-tubi, saya merasakan kerongkongan mulai panas dan gatal. Sementara sekujur badan mulai terasa pegal-pegal. Ini adalah gejala awal serangan influensa. Sadar dengan tanda-tanda serangan flu, malam sepulang kantor, saya meminta bantuan di rumah untuk meng ”kop” sekujur punggung dengan cupping apparatus, sambil dipijat-urut. Kop adalah pengobatan tradisional cina. Namun, bisa juga dengan kerikan ... tapi saya kurang suka, karena menyakiti tubuh. Pada akhir ritual kop+pijat+urut, kemudian seluruh badan dilumuri dengan balsam hangat dan kemudian segelas besar rebusan jahe ditambah dengan perasan 2 buah jeruk nipis, hangat-hangat terhidang untuk diminum sampai habis. Usai pijat, baca doa memohon kesembuhan, lalu diteruskan dengan tidur sepuas hati ... Langsung hingga pagi hari dan siap masuk kantor kembali.

Namun rupanya sang virus masih betah dalam tubuh. Keesokan harinya .... gatal dan panas kerongkongan memang sudah menghilang, namun timbul cairan bening dari hidung yang tidak dapat berhenti disertai bersin tak berkeputusan. Pilek menyerang walaupun batuk urung datang dan badan masih terasa pegal. Hari ke dua, masih sepulang kantor ... ritual yang sama, diulangi .......

Hari ke tiga, badan masih terasa pegal .... namun, Alhamdulillah ... seluruh penyakit sudah hilang ... pergi dari tubuh. Tuntas sudah....., tanpa sebutir obat-obatan, kecuali 3 gelas besar rebusan jahe dicampur jeruk nipis, diminum selama 3 hari berturut-turut. Tidak percaya....????
*****

Musim penghujan di Indonesia, yaitu sejak mulai bulan Oktober hingga Maret atau April setiap tahun, konon identik dengan munculnya berbagai penyakit. Mulai dari batuk + pilek, diare hingga demam berdarah dengue. Belum lagi pandemi yang melanda negeri ini, yaitu flu burung yang tidak kunjung hilang. Semuanya tentu berpulang kepada kondisi alam yang buruk, yaitu hujan terus menerus, ditambah dengan sanitasi yang jelek serta lingkungan hidup semakin rusak. Konon, hujan jaman sekarang tidak lagi seperti jaman dahulu, dimana air hujan seringkali digunakan orang untuk konsumsi sehari-hari. Hujan saat ini, terutama yang turun di kota-kota besar, tidak lagi menurunkan air yang jernih seperti dahulu kala, tetapi air sudah agak menghitam, membawa sejumlah polutan yang terkandung di udara dan mengubah air hujan menjadi bersifat asam.

Penyakit langganan yang seringkali diidap orang selama musim penghujan adalah batuk dan pilek. Influensa, bahasa kerennya. Tidak salah bila di setiap musim penghujan berbagai produk obat batuk dan pilek menjadi primadona jualan di berbagai media iklan televisi, menyaingi keramaian gossip kehidupan para selebriti.

Pada tahun 60an dan awal tahun 70an, media iklan belumlah seramai saat ini. Koran dan majalah masih dapat dihitung dengan ke dua jari tangan. Televisipun masih didominasi oleh siaran pemerintah melalui TVRI, yang walaupun masih diijinkan beriklan, belumlah seramai sekarang. Maklum barang yang dijajakan belum beragam dan persainganpun tidak seketat sekarang. Pada tahun 60 an, satu-satunya obat ”cespleng” untuk menyembuhkan batuk, pilek dan masuk angin adalah ”puyer bintang tujuh” atau Naspro, yang ... pahitnya bukan kepalang. Maklum ... bubuk puyer bintang tujuh harus dikonsumsi langsung, karena kapsul mungkin belum diproduksi dan dikenal orang. 

Entah apakah saat ini ke dua obat tersebut masih diproduksi dan dikonsumsi orang. Namun demikian, guna menghindari rasa pahit terutama bagi anak-anak, masyarakat masih lebih suka menggunakan obat tradisional. Yang paling sering digunakan adalah rebusan segenggam daun saga dengan gula batu, rebusan jahe dengan gula merah atau larutan jeruk nipis dengan kecap manis. Bila penderita flu, terutama anak-anak, disertai dengan demam, maka untuk menurunkan demam, cukup kerikan dengan bawang merah dicampur minyak kelapa. Obat-obatan tradisional ini dipercaya tidak memiliki efek samping, walaupun daya penyembuhnya relatif lebih rendah. Namun ... karena jaman itu obat-obatan kimia belum banyak digunakan orang, dan virus influensapun masih virus ”jinak” maka penyembuhan melalui obat-obatan tradisional ini cukup manjur dan dipercaya masyarakat. Murah, mudah didapat dan aman.

Kini, jaman sudah berubah. Segala macam obat-obatan sudah dengan mudahnya diperoleh. Kita sudah tidak dapat lagi membedakan mana obat-obatan yang dapat dikonsumsi sebagai pertolongan pertama dan mana jenis obat-obatan yang hanya bisa dikonsumsi atas petunjuk dokter. Penggunaan obat-obatan tanpa aturan yang jelas ini mengakibatkan adanya perubahan tingkat imunitas manusia terhadap penyakit. Kemudian, hal ini mungkin mengakibatkan terjadi mutasi genetik dari bakteri/virus sehingga mereka menjadi lebih ganas dari bakteri/virus sejenis generasi sebelumnya.

Lalu, bagaimana kiat kita menghadapi serangan langganan batuk dan pilek di musim penghujan ini? Back to nature !!! Ini kalau kita percaya kepada alam. Batuk dan pilek umumnya menyerang manusia yang tubuhnya tidak dalam kondisi prima. Kondisi tidak prima dapat disebabkan oleh kelelahan yang luar biasa, kurang tidur atau kurang mendapat asupan makanan dan gizi yang memadai untuk membentengi tubuh dari serangan bakteri/virus yang sebenarnya setiap saat mengisi ruang udara di sekitar manusia. Kalau kita menyadari sebab-sebab timbulnya serangan batuk dan pilek, maka penyembuhannya cukup sederhana; kembalikan tubuh kita ke dalam kondisi yang prima …. Istirahat yang cukup dan makan makanan yang segar dan bergizi.
*****

Ayo coba dong ..... murah meriah, ... tanpa effek samping .....
Back to nature ...
Biarkan alam bekerja....
Jangan jejali tubuh kita dengan racun-racun kimiawi ...
Biarkan tubuh menyembuhkan diri sendiri ......
Karena ... begitulah keseimbangan alam ......

Lebak bulus, 28 januari 2006




Jumat, 03 Februari 2006

Bacang Ayam (atau Daging)


Description:
Makanan yang berasal dari etnis Cina ini sebetulnya mirip dengan arem2 nya orang Jawa. Bedanya cuma cara bungkus+ pembungkusnya dan isinya.

Ingredients:
Bacang :
1 kg beras (atau ketan putih) yang bagus
air
garam
60 - 90 lembar daun bambu yang lebar dan panjang
1 gulung benang kasur atau tali rafia untuk mengikat.

Isi :
1/2 kg daging ayam/sapi giling
100 gr jamur shitake segar, iris kecil2
2 batang daun bawang iris halus
2 sd makan saus tiram
2 sd makan kecap manis
1 sd teh merica halus
1 bungkus bubuk kaldu (royco/sejenis)
2 - 3 siung bawang putih cincang
3 - 5 butir bawang merah cincang
1 sd teh minyak wijen
2 sd makan minyak goreng

Directions:
1. Membuat beras aron. jerang air, lalu masukkan beras yang sudah dicuci bersih dan tambahkan garam supaya beras agak gurih. Batas air kira2 1 1/4 buku jari tengah, supaya beras nantinya lebih lunak. Biarkan air terserap oleh beras. Matikan kompor, tunggu hingga beras menjadi hangat.
2. Sementara itu, panaskan minyak goreng, masukkan bawang merah+putih, aduk hingga harum lalu masukkan saus tiram, aduk rata.
3. Masukkan daging ayang, jamur yang sudah diiris, aduk hingga jamur dan daging berubah warna.
4. Masukkan seluruh bumbu (merica, kecap, bubuk kaldu dll), rasakan bumbunya dan tambahkan yang dirasa kurang.
5. Masak hingga semua bahan matang, matikan kompor tunggu hingga adonan isi menjadi hangat.
6. Ambil dua lembar daun bambu, buat seperti corong, isikan dengan beras aron, 1 sendok makan daging lalu tutup dengan beras aron lagi.
7 Lipat daun bambu hingga membentuk segi tiga, lalu ikat dengan benang kasur.
8. Kukus bacang selama minimal 1 jam (setelah airnya mendidih).
Catatan :
Untuk membersihkan bulu halus pada daun bambu, Masak air hingga mendidih, lalu masukkan daun bambu hingga terendam air mendidih seluruhnya. Tunggu hingga air menjadi hangat. Ambil 2 lembar daun bambu, hadapkan bagian yang berbulu lalu digosok-gosokkan keduanya hingga bulu halus hilang. Lakukan pada seluruh daun lalu bilas daun bambu dengan air mengalir untuk membersihkan bulu2 yang masih tertinggal.

Rabu, 01 Februari 2006

BACANG pertamaku …..


“Bu …  bacangnya berantakan….”
Suara Dedeh mengalun keras, membangunkan syaraf otak kesadaranku yang sudah nyaris hilang ditelan lelah dan kantuk. Waduh …, gimana nih? Ini kecelakaan yang maha dahsyat ! Hari Jum’at kemarin, aku sudah sesumbar di kantor. Week end aku akan membuat bacang sendiri di rumah dan hasilnya akan kubawa ke kantor pada hari Senin untuk dimakan oleh seisi kantor.

“Berapa banyak yang rusak?”
“Belum dihitung …., tapi yang utuh masih lumayan banyak kok …. Masih ada sekitar 50an”.
Wah … lumayan juga . Masih bisa dibawa ke kantor, hari Senin, termasuk untuk dibagi-bagi dengan orang-orang di rumah dan sebagian lagi untuk keponakan-keponakanku.
*****

Keinginan untuk membuat bacang, penganan khas cina, mirip lontong isi berbentuk segi 4 terpuntir yang dibungkus daun bamboo, itu muncul secara tiba-tiba saja. Minggu lalu, saat melintas di pelataran parkir kantor, entah mengapa, terpandang daun-daun bamboo kuning yang menjurai. Cukup besar dan lebar untuk dijadikan pembungkus bacang. Padahal …. sungguh mati, pokok bamboo kuning itu sudah hampir 10 tahun tegak berdiri di halaman kantor, tanpa terpikir sedikitpun untuk dimanfaatkan sebagai pembungkus bacang. Mungkin situasinya memang sedang mendukung. 

Hari Minggu kemarin adalah tahun baru Cina … Imlek. Jadi selain tulisan gong xi fat cay terpampang di mana-mana, mungkin aura Imlek meruah kemana-mana dan mempengaruhi suasana hatiku. Apalagi ditambah dengan kondisi keuangan yang sedang moncer … maklum, baru terima gaji. Ditambah lagi, memang sudah ada rencana untuk belanja rutin bulanan ke Makro. Jadi dengan enteng, rencana dibuat …. Bikin bacang ayam … Nggak tanggung-tanggung … dua jenis sekaligus.. Bacang beras dan bacang ketan …. Lagaknya seperti yang sudah mahir membuat bacang.

Beberapa bulan sebelumnya, Jetty, teman kursus di CCF Wijaya, pernah cerita tentang kebiasaannya membuat bacang yang kini sudah mulai meluntur karena sulitnya menemukan daun bamboo yang besar di daerah tempat tinggalnya di Bintaro Jaya. Sejak saat itu, memang sudah terbersit keinginan untuk mencoba membuat bacang sendiri. Tapi keinginan itu tidak terlalu serius, karena bacang memang bukan salah satu makanan favoritku. Tapi begitulah, mungkin karena dalam suasana menjelang Imlek, maka tiba-tiba muncul keinginan yang tak tertahankan untuk membuat bacang.

Hari Kamis pagi, begitu tiba di kantor, kusampaikan order kepada pak Utjen … untuk mengambil daun bamboo yang besar sebanyak 150 lembar … Kira-kira cukup untuk sekitar 50 - 60 buah bacang. Begitu rencanaku. Jum’at sore hari, sambil menenteng tas kresek berisi daun bamboo, otakku sudah berputar membayangkan bagaimana cara membungkus bacang. Aku juga sama sekali tidak memiliki bayangan bagaimana cara menghilangkan bulu halus di sekujur daun bamboo yang bisa menimbulkan rasa gatal. Ah … tanya Jetty saja besok sabtu di ccf. Beres!!

Usai belanja di Makro pada hari minggu dan shalat dhuhur, aku mulai mencuci beras dan ketan. Menumis daging ayam giling campur jamur untuk isinya. Dandang besar untuk memasak sudah disiapkan, diisi air dan ditaruh di atas kompor. Bagaimana sebetulnya membuat bacang yang baik dan benar …..??? Sungguh mati … aku nggak tahu. Belum pernah baca resepnya. Cuma bermodal logika saja …. Bacang adalah sejenis arem-arem (lontong isi – jawa). Cuma pembungkus dan adonan isinya saja yang agak berbeda. Tentu cara membuatnya tidak jauh berbeda. Jadi membuat bacang ini, betul-betul modal nekat, termasuk di dalamnya mengingat-ingat lilitan daun bamboo kala membuka bacang yang sering kubeli di Carrefour lebak bulus.

Ternyata …… membentuk bacang yang mulus dengan daun bamboo sepanjang rata-rata 25 cm itu bukan hal yang mudah. Berkali-kali acara bungkus membungkus diulang untuk mendapatkan bentuk bacang yang bagus. Wadaw….. kalo tahu susah begini, lebih baik beli yang sudah jadi di Carrefour. Nggak keluar tenaga dan “effort” yang besar … Bentuknya bagus dan ditanggung (belum tentu) enak…. Ini untuk menghibur diri. Tapi, bagaimana dengan beras dan ketan yang sudah di “aron” dan tumisan daging ayam yang sudah menunggu untuk dikerjakan dan dirapikan.

Duh …., terpaksalah berjibaku dengan dibantu Dedeh dan ibuku, mereka-reka bentuk bacang agar mirip dengan yang biasa di jual orang … Walhasil, target untuk makan malam dengan bacang terpaksa diubah … Bacangnya belum matang ……

Begitulah akhirnya, bacang-bacang eksperimen pertamaku …. Bentuknya tidak terlalu mulus. Hanya ada beberapa saja yang bagus bentuknya. Konon, kata suami, bacang eksperimen itu sudah agak “mirip” dengan yang biasa disantapnya. Dia , yang biasa rewel soal “rasa”, sudah menikmatinya dengan tenang tanpa komentar “pedas” yang biasa tercetus kalau menemukan rasa yang kurang pas …. Nggak tanggung-tanggung … 3 buah bacang ludes disantap tengah malam itu sepulang dari latihan bersama the Professor’s band. Sekalian sahur katanya, Kalau nggak makan dengan benar, nanti puasa hari seninnya bermasalah …. Pusing dan masuk angin.

Teman-teman kantor, kelihatannya cukup puas menikmati sarapan pagi bacang-bacang yang kubawa. Entah memang karena rasanya cukup enak… atau mereka sungkan untuk berkomentar akan bentuk bacang tidak semulus seperti yang dibayangkan. Ada guyonan di kantor … yang gratis “pasti” enak. Tapi biar saja….. Kalau tidak membuatnya sendiri, kita tidak akan pernah tahu bahwa membungkus bacang itu ternyata SULIT … bo’ ……!!!!

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...