Rabu, 12 Juli 2006

Perjalanan mencari jati diri (1) - Medina Al Munawarah


Pengantar.
Dengan kerendahan hati, mohon dimaafkan bahwa tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memamerkan ritual ibadah, tetapi lebih ditujukan untuk membuat catatan perjalanan saja.
Nilai spiritualnyapun rendah. Tidak akan ditemui ledakan emosi yang dalam saat memiliki kesempatan berdoa di Raudhah, melihat Kaabah ataupun mencium Hajar Aswad. Mungkin karena ini bukanlah perjalanan ibadah ke tanah Haram yang pertama. Yang tidak bisa hilang adalah rasa haru yang sangat mendalam dan menyebabkan airmata berlinang tak terasa, saat berjalan menuju makam Rasulullah untuk berziarah sambil mendengar cerita perjuangan beliau yang dibawakan oleh muthawwif serta saat memberikan salam untuknya.
Cerita ditulis di Jakarta, satu minggu setelah tiba kembali di tanah air dengan selamat. Semoga cerita ini bermanfaat bagi yang membacanya.


 Prolog.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia seringkali kehilangan jatidirinya. Demi suatu kehidupan sosial yang dikatakan “beradab” kita seringkali terperangkap dalam basa-basi yang lama kelamaan terasa membosankan dan melelahkan. Bukan saja dalam kehidupan bermasyarakat, terkadang terjadi juga dalam kehidupan rumahtangga. Ada banyak cara orang melepaskan topeng-topengnya. Berwisata ketempat-tempat sepi, bertualangan di rimba belantara bisa menjadi salah satu cara.


Sejak awal tahun 2006, kami sekeluarga sudah merencanakan melaksanakan ibadah umroh. Awalnya sekalian berlibur ke Istanbul, menyusuri jejak kejayaan masa kerajaan Ottoman di Turki. Sayangnya rencana tersebut terpaksa dibatalkan karena jadwalnya kurang sesuai dan Lulu agak takut. Bulan April 2006 yang lalu, saat melihat film Forces of Nature di teater IMAX – Keong Emas TMII, salah satu episodenya menceritakan tentang gempa bumi dahsyat yang diprediksi akan berulang lagi pada tahun 2007 di lokasi sekitar 10 km dari Istanbul (gempa terakhir terjadi tahun 1997 di Izmits). Ya sudahlah … akhirnya diputuskan hanya akan melaksanakan umroh saja.


Persiapanpun dilakukan, termasuk menjahit baju yang diperlukan selama beribadah. Maklum saja, perjalanan terakhir umroh sudah cukup lama, sehingga baju putihnya sudah tidak dapat lagi digunakan. Yang agak istimewa, mungkin karena kali ini saya berniat untuk merekam perjalanan umroh dalam bentuk jurnal (tulisan). Untuk mendukung rencana tersebut, buku, ballpen, digital camera, web-cam maupun camera-phone sebagai cadangan sudah disiapkan.


Perjalanan umroh regular kali ini akan memakan waktu 9 hari. Berangkat hari Senin 26 Juni 2006 jam 16.20 dengan pesawat Saudi Arabia SV-815 dan tiba di Jakarta hari Selasa 4 Juli 2006 jam 11.20. Hari senin, kami sudah mulai cuti kerja dan Lulu sudah dimintakan ijin dari sekolah. Menjelang berangkat, saya sudah ke sekolah menyelesaikan semua kewajiban terhutang agar tidak ada suatu hal yang mengganjal perjalanan. Usai dari sekolah Lulu, ternyata biro perjalanan menelpon ke rumah, mengabarkan bahwa perjalanan diundur menjadi jam 18.00. Namun demikian jamaah diharapkan sudah berkumpul di Bandara pada jam 16.00 wib. Jadi jam 14.00 kamipun berangkat ke Cengkareng. Maklum, lalu lintas Jakarta pada hari kerja super macet.


Jakarta – Cengkareng.
Tiba di Cengkareng dan menyerahkan koper kepada petugas, kami harus menunggu boarding pass dan ticket untuk bisa masuk airport. Ini khas perjalanan rombongan hehe…!! Sambil menunggu, ternyata di signboard tertulis bahwa penerbangan SV-815 delayed menjadi jam 19.00. Jadi sudah terlambat 2 jam 40 menit dari jadwal semula jam 16.20. Padahal pada tanggal 27 juni jam 5.35 waktu Saudi, kami sudah harus terbang ke Madina. Hitung-punya hitung, bila penerbangan on time (maksimal 10 jam), masih ada waktu yang cukup untuk transfer pesawat. Jadi hati masih tenang. Masih ada waktu cukup. Semoga petugas immigrasi di Jeddah tidak mengada-ada dan semua berjalan lancar.


Jam 18.00 penumpang sudah mulai boarding … Pesawat fully booked dan 75% terisi oleh para TKI. Wah …. sudah mulai terbayang, kualitas penerbangan macam apa yang akan terjadi nanti. Sambil menunggu pesawat take off, buku dikeluarkan, mulai menulis pembukaan jurnal perjalanan. Ternyata pesawat baru take off pada jam 20.00 untuk transit di Singapore 1 jam, lalu disambung dengan perjalanan SingaporeRiyadh selama 8 jam dan Riyadh – Jeddah 1 jam. Jadi, secara teroritis  perjalanan akan memakan waktu total 12 jam, sejak take off dari Cengkareng. Cuma ada waktu 1,5 jam untuk transfer pesawat dari internasional ke penerbangan domestik Jeddah-Medina.


Terbang dengan TKI atau penerbangan dengan jamaah haji regular, hamper sama. Bisa dipastikan kita harus menahan diri ketika menggunakan toilet, karena biasanya cabin pesawat akan harum dengan bebauan berbagai minyak angin dan balsam, toilet pesawat menjadi amat sangat jorok. Lantai basah…., closet kadang tidak dibersihkan sehingga menimbulkan bau menyengat, kertas pembersih bekas pakai bertaburan disana-sini, kotoran bekas muntah menumpuk di atas wastafel. Duh ...., perjalanan panjang malam hari menjadi sangat menyiksa, karena keinginan buang air kecil akibat udara dingin di pesawat terpaksa ditahan. Kalau terpaksa menggunakan toilet maka harus masuk di toilet executive class (yang kadang-kadang dilarang oleh pramugari) atau terpaksa menahan rasa mual dan jijik saat menggunakan lavatory.


Tiba di Riyadh, hati sudah mulai deg-degan saat seluruh penumpang diminta turun ke ruang transit. Ini alamat buruk, bahwa pesawat tidak akan take off dalam waktu 1 jam. Betul saja.... pesawat ternyata delayed lagi. Tidak tanggung-tangung, 3 jam ….!!! Pupus sudah harapan untuk tiba di Medina hari selasa pagi. Sambil menunggu di airport Riyadh, setelah menunaikan shalat Subuh, saya putuskan untuk menulis lagi. Tapi ... astaghfirullah .... buku tulis yang saya yakin sudah dimasukkan ke dalam tas menjelang turun ke ruang transit, ternyata raib ... hilang tak berbekas. Duh .... mulai hati tercekat, mungkin Allah tidak meridhoi ibadah dicampur-campur dengan niat lain walaupun itu sekedar hanya untuk menulis kesan perjalanan saja. Bukan tidak mungkin, keterlambatan demi keterlambatan yang terjadi dalam penerbangan kali ini dan raibnya buku merupakan pertanda yang diberikanNya. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Sudahlah ... rencana menulis jurnal dibatalkan saja. Lebih baik dzikir di sepanjang perjalanan daripada menulis dan mengotori hati melihat kekurangan selama di perjalanan.


Pesawat SV815 akhirnya tiba di Jeddah airport sekitar jam 6.30. Dari 32 orang anggota rombongan kami, 9 orang (termasuk saya) tidak mungkin lagi mengejar penerbangan berikutnya ke Medina. Ini peak season, kalaupun dipaksakan, kami baru bisa terbang pada jam 18.45 itupun sebagioan masih waiting list. Apalagi, menunggu selama 12 jam di airport pasti sangat tidak menyenangkan. Setelah berembuk, terutama setelah penyelenggara meminta pendapat kami yang sudah mengetahui medan dan perjalanan ke Medina baik melalui darat maupun udara, akhirnya semua sepakat untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan minibus ke Medina dengan waktu antara 4 – 5 jam menempuh jarak +525km di tollway. Blessing in disguise, Haikal yang imut seperti boneka berwajah arab (kata suami), sang ustadz pembimbing ternyata ikut tertinggal pesawat. Jadi kami ber 12 berangkat dengan minibus ke Medina.


Inipun bukan perjalanan menyenangkan, restroom yang tersedia di rest area sepanjang tollway sudah dipastikan sangat jorok, walaupun air berlimpah. Entah budaya orang Arab atau budaya para penggunanya yang datang dari berbagai negara seluruh penjuru dunia yang jorok. Padahal, bukankah kejorokan sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang menomorsatukan kebersihan?


Medina al Munawarah – Saudi Arabia.
Tiba di Medina, selasa 27 Juni menjelang maghrib, kami masih harus menunggu kamar dibersihkan. Maklum peak season. Jangan berharap mendapat welcome drink dari hotel. Kalau beruntung, kita masih bisa ikut ambil minum di restotan tempat makan para jamaah disediakan.


Setelah mendapat kunci kamar 419 hotel Dallah Taiba dan masuk kamar, kami berencana membersihkan diri sebelum berangkat menunaikan shalat Maghrib di Nabawi. Tapi, lagi-lagi “kecelakaan terjadi”. Salah satu koper tidak dapat dibuka! Padahal sungguh mati, kode kuncinya adalah komposisi angka yang sangat mudah diingat. Sebelum berangkatpun sudah dicoba berulang kali untuk memastikan bahwa komposisi itu sudah benar.


Entah pertanda apa lagi. Introspeksi diri lagi …. Istighfar lagi…, mungkin masih ada prasangka buruk yang tidak disadari masih tersimpan dalam hati. Mungkin hati saya masih penuh caci-maki atas berbagai keterlambatan perjalanan ini. Istighfar ... istighfar ... istighfar ... Perjalanan ke tanah Haram ini, bagi saya memang membawa nuansa tertentu. Terlalu banyak hal-hal di luar nalar yang menimpa dan hanya kepasrahanlah yang menjadi obat penawarnya. Tanpa mandi, kami bertiga terpaksa bergegas ke masjid Nabawi untuk shalat Maghrib dan disambung dengan Isya. Usai shalat dan makan malam, terpaksa kunci koper dirusak agar bisa mengambil baju ganti.


Rabu 28 juni 2006, usai shalat subuh dan sarapan pagi, peserta diajak ziarah ke makam Rasulullah SAW dan makam para syuhada di Baqi. Sambil berjalan, Haikal bercerita banyak tentang Rasulullah SAW. Sungguhpun cerita tersebut sudah didengar berulang kali, namun rasa haru yang sangat mendalam selalu menyergap hati. Tanpa terasa airmata berlinang … tanpa dapat dibendung. Mungkin jamaah lain merasa heran, mengapa kami yang notabene sudah berulang kali mengunjungi Medina, justru tidak dapat menahan airmata. Tapi biarlah … masing-masing jamaah mengalami pengalaman spiritual yang berbeda yang tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun.


Ziarah ke makam Rasulullah SAW hanya dapat dilakukan dari jarak jauh. Usai mengucap salam, salawat, doa bagi Rasulullah SAW, salam dan doa bagi sahabat Abubakar Ash Shiddiq dan Umar Ibn Khattab  serta para syuhada di makan Baqi, para perempuan dipersilakan untuk masuk Raudhah. Pagi hari adalah waktu yang diperuntukkan bagi perempuan untuk memasuki Raudhah dan sayangnya akses dari Raudhah ke makam Rasululullah SAW tertutup sehingga kami tidak dapat mendekati rumah Rasul. Raudhah, sedang di renovasi.


Usai shalat sunnah di Raudhah dan berdoa, saya meluangkan waktu sejenak untuk shalat Tasbih di Nabawi sebelum kembali ke hotel. Shalat Tasbih seperti ini terasa sukar dilakukan di Jakarta, apalagi di tengah kesibukan duniawi yang mendera. Jadi kesempatan langka di tanah Haram rasanya sayang untuk dilewatkan begitu saja.


Masa libur sekolah ini dipergunakan juga oleh para selebriti untuk berumroh dan membuat heboh ruang makan karena banyaknya orang yang berebut berfoto bersama. Tercatat adalah rombongan sinetron Kiamat Sudah Dekat (Deddy Mizwar cs), Doyok cs, Didi Petet. Semuanya terlihat dengan keluarga. Ada selebriti yang terlihat tekun dan rendah hati saat beribadah. Namun ada juga yang masih sukar melepaskan diri dari predikat selebriti. Biarlah, hanya Allah SWT yang mengetahui apa-apa yang ada di dalam hati mereka.

Kamis, 06 Juli 2006

Ibadah dan kemajuan teknologi.


Kemajuan teknologi komunikasi memang luar biasa pesatnya. Saat wireless/mobile telephone masuk ke Indonesia sekitar 20 tahun yang lalu, bentuknya betul-betul sangat tidak menarik. Handset nya masih seperti fixed telephone dilengkapi dengan batere seperti accu mobil. Jadi cukup besar dan tidak mungkin dibawa kesana-kemari sehingga lebih banyak digunakan sebagai telpon yang diletakkan di dalam mobil. Harganyapun sangat mahal. Kira-kira lima belas juta rupiah atau setara dengan usd 23.000 pada saat itu (kurs sekitar Rp.650,-). Fungsinya pun betul-betul masih sangat sederhana. Tidak jauh dengan fixed telephone yang ada di rumah. Pemiliknya tentu saja hanya orang-orang kaya dan karenanya antena wireless telephone berbasis CDMA tersebut akan menghiasi atap mobil-mobil mewah mereka. Saat itu, mobile telephone merupakan status symbol tersendiri pemiliknya

Era palm telephone berbasis GSM di Indonesia mungkin dimulai pada awal tahun 90 an. Jangan bayangkan bentuknya sekecil dan seindah handphone sekarang. Rata-rata ukurannya sebesar ukuran Nokia-9300 dengan feature yang sangat sederhana. Berfungsi sebagai telpon saja. Short message service – sms pun baru bisa dilakukan oleh telkomsel. Indosat belum belum bisa melayani sms. Pemilik handphone, lagi-lagi masih sangat terbatas dan kesemuanya berbasis abonemen. Belum lagi ada layanan pra bayar.

Penggunaan kartu prabayar, lagi-lagi dimulai oleh Telkomsel dengan meluncurkan kartu simpati (local), kalau tidak salah, pertama kali di Batam. Kiat ini tentu saja dilakukan untuk meraih pangsa pasar yang lebih luas lagi. Belakangan, seluruh provider memiliki 2 jenis SIM card yaitu prabayar dan pasca bayar.

Era tahun 2000 an, penggunaan mobile telephone - handphone atau singkatnya disebut HP sudah sangat meluas. Feature handsetnya sudah sangat luas. Dari yang sangat sederhana hingga berfungsi sebagai PDA, communicator, camera/videophone dan walkman. Perputaran model dan feature sedemikian cepatnya. Tua muda, kaya miskin kesemuanya tergila-gila oleh kecanggihan alat komunikasi yang satu ini.

Menggunakan pesawat telpon tentu memerlukan etika agar alat komunikasi ini dapat digunakan dengan baik dan benar serta tidak mengganggu orang lain. Seringkali kita diingatkan untuk tidak menyalakan HP saat rapat, beribadah maupun dalam perjalanan (saat menyetir mobil). Termasuk juga kala berada di dalam pesawat terbang. Signal HP dikhawatirkan mengganggu system komunikasi dan navigasi pesawat.

Sayangnya tidak banyak orang mau mematuhinya sehingga seringkali rapat kita terganggu karena ada panggilan telpon yang masuk. Kekhusu’an ibadah kita terusik oleh dering panggilan HP yang masuk berulang kali. Mungkin si penelpon lupa bahwa dia melakukan panggilan pada jam-jam kita melaksanakan shalat

Sementara itu, tidak jarang pemilik telpon, tanpa rasa malu ataupun bersalah, menjawab panggilan tersebut di dalam masjid. Bahkan ada orang yang tidak sungkan untuk bertelpon ria saat melakukan tawaf dan sai. Bayangkan, saat kita menjadi tamu Allah SWT di Baitullah, masih juga mendahulukan kepentingan duniawi (menjawab dan berbicara di telpon) dibandingkan dengan khusu’ melaksanakan dan meneladani ritual agama yang telah dijalankan oleh para nabi sejak jaman nabi Ibrahim AS. Atau kita merasa lebih mulia dari tuan rumah (Allah SWT), sehingga sang Tuan Rumah kita abaikan demi panggilan umat manusia lainnya di seberang sana? Astaghfirullah ……

Kalau sudah begini, bagaimana mungkin, kita yang masih lebih tergoda pada nafsu keduniawian memperoleh hidayah Allah SWT. Bagaimana mungkin, kita yang masih mengabaikan Tuan Rumah, bahkan di rumahnya sendiri (Baitullah) dengan menjawab telpon sambil bertawaf/sai masih berharap pahala dari Allah SWT atas tawaf dan sai yang kita lakukan? Semoga Allah SWT mengampuni mereka yang khilaf.Wa Allahu Alam ….

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...