Rabu, 19 Desember 2007

Pendidikan untuk apa dan untuk siapa?

“Bu …. Kenapa saya nggak boleh ikut ibu? Saya kan punya hak untuk memilih! Apa hak ibu melarang saya?”

Saya merasa sangat kaget mendengar suara itu. Suara anak perempuan berusia sekitar 18 tahun yang sama sekali belum pernah saya kenal. Anak itu baru tamat sekolah Aliyah di kampungnya, Cihampelas – Cililin kabupaten Bandung. Saya hanya tahu namanya. Ende ... begitu nama panggilan di rumah. Dia keponakannya Dedeh, pembantu rumah tangga kami.

Bapaknya, kakak Dedeh. Lelaki tertua di keluarga yang berprofesi sebagai tukang dagang keliling. Dari mulai menjual kasur, telur bebek dan kerupuk, semua sudah dijalaninya. Meninggalkan kampungnya di Cililin selama satu atau dua minggu menyusuri berbagai kota kecamatan di sekitar Bandung bahkan hingga Karawang. Namun hasil perjalanan jauhnya tidak seberapa. Tidak cukup untuk menghidupi empat orang anaknya. Apalagi untuk menyekolahkannya. Ende mungkin akan jadi satu-satunya anak yang sempat mengenyam pendidikan hingga Aliyah – setara SMA. Beruntung karena ada yang membiayai sekolahnya.

Kehidupan rumah tangga orangtuanya, khas kehidupan keluarga petani atau pedagang kecil di pelosok Indonesia. Masyarakat sekitarnya, tidak memiliki buying power yang cukup kuat untuk menggerakkan roda ekonomi. Akhirnya masyarakat hanya dihadapkan pada kesukaran kehidupan yang mengakibatkan kemiskinan, tidak memiliki akses yang cukup kepada pendidikan dan kesehatan. Namun, mereka produktif menghasilkan anak.

Ibunya sudah seringkali mengancam meninggalkan si bapak untuk pergi mengais rejeki di negeri orang. Menjadi TKW di timur tengah sebagaimana sebagian penduduk kampungnya. Bahkan suatu saat si ibu berhasil memaksa si bapak meminjam uang kepada Dedeh sebanyak 2 juta rupiah untuk biaya ”calo TKW”. Namun begitu uang berada di tangan, si ibu merasa gamang dan membatalkan niatnya. Uang pinjaman tidak dikembalikan, malah raib digunakan membeli berbagai kebutuhan rumah tangga. Hingga kini, entah bagaimana nasib hutangnya tersebut. Saya sudah mengingatkan Dedeh sejak awal :
”Saat kamu ulurkan uang kepada keluargamu, ikhlaskan bahwa uang itu akan hilang. Kalau keluargamu sanggup melunasinya, maka itu adalah rejeki Allah SWT. Dengan demikian kamu tidak akan merasa sakit hati bila keluargamu tidak mengembalikan uang itu.”

Beberapa waktu yang lalu, Dedeh bicara bahwa entah apa penyebabnya, Ende ingin ke Jakarta, ikut di rumah kami. Kalau mungkin bekerja di rumah walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga. Kepada Dedeh, saya sampaikan keberatan. Ende sudah sekolah hingga di Aliyah, bukan untuk menjadi pembantu rumah tangga. Dia diharapkan menjadi kebanggaan keluarganya. Mungkin penolakan itu sudah disampaikan Dedeh kepadanya. Itu sebabnya dia meluapkan kemarahannya saat tahu saya sendiri yang mengangkat telponnya di suatu sore.

”Kamu memang punya hak memilih tapi pilihanmu tidak selamanya benar. Pilihan kamu untuk menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta setelah menyelesaikan Aliyah, menurut saya bukan pilihan yang tepat.”
”Kenapa tidak? Apa ibu lupa kalau bi Dedeh juga tamatan SMA di Cililin? Tapi kenapa dia boleh kerja di tempat ibu sedangkan saya tidak boleh?”

Duh ... anak sekarang!!! Pinter ngomong... nggak ada basa-basinya sama orang tua. Apalagi pada saya, orang yang sebenarnya tidak dikenalnya kecuali status saya sebagai majikan bibinya.

”Kondisinya beda! Bi Dedeh janda. Punya tanggungan anak yang harus dibiayai sekolah. Kalau dia kerja di pabrik, gajinya belum tentu cukup untuk biaya hidupnya. Coba hitung... berapa biaya kontrakan+listrik, biaya makannya, transport. Belum lagi biaya sekolah Ayuni. Gaji di pabrik nggak akan cukup. Biar saja dia kerja jadi pembantu. Paling tidak, dia nggak mesti keluar uang untuk tempat tinggal, makan, transport. Sekolah dan makanan Ayuni juga terjamin. Sebagian besar gajinya masih bisa ditabung. Hal yang tidak mungkin terjadi kalau dia kerja di pabrik. Sementara kamu masih muda ...., Belum apa – apa, kok sudah putus asa?!”
”Nggak ada kerja di kampung ... emak marah-marah terus setiap hari...”
”Coba kamu tulis surat ke kakak kamu yang baru nikah itu... Siapa tahu dia atau suaminya bisa nolong kamu cari kerja di Batam sana. Sekalian cari pengalaman.”
”Ya sudah.... kalau ibu nggak mau nolong saya....” sahutnya ketus. Jelas terdengar nada kesal dalam suaranya.
*****

Nasib Ende, mungkin sama dengan nasib beribu-ribu bahkan berjuta-juta generasi muda Indonesia yang berada di pedesaan. Usai menamatkan pendidikan apakah itu di tingkat SLTP ataupun SLTA, mereka tidak tahu lagi akan kemana nasib membawa. Pendidikan mereka yang relatif tinggi untuk ukuran desa dan kemampuan ekonomi orangtuanya menjadi beban tambahan bagi mereka.

Pendidikan di pelosok desa di Indonesia sekarang tidak ubahnya dengan pendidikan di kota besar. Hanya ada sekolah umum yang kurang membekali keterampilan kerja. Seolah mereka semua disiapkan untuk menjadi sarjana. Tidak ada lagi sekolah-sekolah keterampilan semacam SKKP/SKKA[1], ST/STM[2], SGO[3], SPG[4], PGA[5], SGTK[6], SPMA[7] dan lain-lain. Semua sudah seragam menjadi SMP/SMA atau SMK yang pamornya kurang menarik dibandingkan dulu. Padahal tidak semua anak memiliki kemampuan akademis yang tinggi. Kalaupun ada, kondisi ekonomi orangtuanya tidak cukup mampu untuk mendukungnya masuk pendidikan di universitas yang relatif cukup panjang.

Di masa awal orde baru, menjadi siswa sekolah kejuruan sama gengsinya dengan menjadi siswa sekolah umum. Sekolah-sekolah kejuruan seperti yang disebutkan di atas banyak bertebaran. Di kota–kota kabupaten Tatar Parahyangan yang subur selalu ditemukan SPMA untuk menyiapkan anak-anak muda untuk terjun di dunia pertanian.

Namun jaman sudah berganti, sekarang anak muda ”dituntut” untuk menjadi sarjana. Seolah–olah hanya gelar sarjanalah yang mampu mengubah nasib menjadi lebih baik. Bukan spirit untuk belajar kepada kearifan alam dan pengembangan dirinya. Akibatnya, anak-anak lebih suka masuk ke sekolah umum SMP/SMA agar bisa meneruskan pendidikan ke jenjang universitas, karena lulusan sekolah kejuruan mempunyai kewajiban bekerja terlebih dulu selama minimal 2 tahun sebelum masuk universitas.

Kondisi ini diperparah dengan daya tampung universitas negeri/swasta yang berkualitas yang sangat terbatas dan mahal pula biaya pendidikannya. Akhirnya hanya Universitas - universitas ”cap dua kendi”[8] atau universitas ruko yang mampu dimasuki. Kualitas.... itu soal lain. Yang penting.... ada gelar sarjana di tangan.

Gelar sarjana dari Universitas cap dua kendi, Universitas Ruko ataupun hanya sekedar ijasah SMA nyatanya hanya menambah jumlah pengangguran berpendidikan. Anak-anak desa yang hanya mampu menamatkan SMA sangat merasa malu terjun ke sawah karena merasa sudah ”berpendidikan”. Apalagi yang sempat mengenyam jenjang pendidikan universitas. Bukan saja sekedar malu akan sindiran tetangga tetapi juga dibebani oleh ”kewajiban” dari orangtua untuk memperoleh kerja dan penghasilan yang mampu mengangkat harkat dan martabat keluarga.

Pendidikan tinggi mencerabut mereka dari akar lingkungannya. Sehingga mereka merasa tidak ada lagi tempat tinggal di desa. Mereka seolah-oleh diwajibkan merantau ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan sesuai dengan ijasah yang dimilikinya. Sementara itu, kotapun bukanlah tempat yang ramah bagi orang–orang yang hanya memiliki kemampuan atau semangat pas–pasan. Ada anak–anak kota yang memiliki kemampuan jauh lebih baik dari kemampuan sebagian besar anak desa. Tentu tak mudah untuk dikalahkan dalam kancah persaingan mencari peluang kerja.

Tidak banyak anak desa yang serba kekurangan memiliki semangat juang yang tinggi seperti Andrea Hirata[9]. Juga tidak banyak guru yang mampu membina anak-anak yang serba kekurangan itu seperti ibu guru Muslimah, guru Andrea semasa duduk di bangku SD Muhammadiyah - Belitong. Karena mereka memang tidak dididik tentang spirit untuk mengenali kemampuan diri dan lingkungannya untuk kemudian mengembangkannya. Tetapi mereka hanya menerima pendidikan yang disamakan dengan kebutuhan pendidikan anak-anak kota.

Jadi... untuk siapa dan bagaimana pendidikan itu sebenarnya?




[1] Sekolah Kesejahteraan Keluarga tingkat Pertama/ Sekolah Kesejahteraan Keluarga tingkat Atas
[2] Sekolah Teknik/Sekolah Teknik Menengah
[3] Sekolah Guru Olahraga
[4] Sekolah Pendidikan Guru
[5] Pendidikan Guru Agama
[6] Sekolah Guru Taman Kanak-kanak
[7] Sekolah Pertanian Menengah Atas
[8] Ini istilah yang selalu digunakan Budi – guru bahasa Perancis di CCF untuk menyatakan sekolah yang tidak berkualitas.
[9] Baca buku Laskar Pelangi – Sang Pemimpi – Edensor.  

Senin, 17 Desember 2007

Melepaskan jabatan

“Kami bagai anak ayam kehilangan induk. Sejak pak Daniel keluar, tidak ada lagi yang mengayomi, mengarahkan pekerjaan dan terlebih lagi memecahkan masalah yang kami hadapi di lapangan. Proyek ini tidak dikelola dengan sungguh-sungguh. Setiap keputusan bisa berubah seketika, seenaknya. Tidak ada yang bisa djadikan pegangan”

Kalimat panjang itu begitu saja keluar dari mulutnya saat menemani saya makan siang yang sudah sangat terlambat, di kantor.

Ada ibu yang membantu. Tentu beliau bisa diajak diskusi mengenai berbagai masalah lapangan”
“Mestinya begitu. Tapi pada kenyataannya, beliau selalu berusaha menghindar dari tanggung jawab” sergahnya sinis.
“Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Jangan selalu melihat dari sisi negatif terus. Kalau beliau kamu anggap selalu menghindar dari tanggung jawab. Kenapa tidak kamu ambil alih tanggung jawab itu? Bukankah jabatanmu memungkinkan untuk itu?”, balas saya.

“Bukankah, sudah saya katakan bahwa saya tidak sanggup? Kondisi lapangan sangat tidak kondusif. Mbak tentu ingat peristiwa pembebasan tanah itu”.
“Tidak sanggup, atau tidak mau? Jangan mencari kambing hitam. Pembebasan tanah itu bagi saya sudah selesai. Tanah itu bahkan sekarang sudah diolah dan akan segera masuk pasar”.
“Tapi, saya tidak bisa melupakannya”

“Kamu ini gimana sih? Wewenang ada pada kamu. Pemegang saham memuji kecerdasan kamu. Pemegang saham sudah memberikan kepercayaan untuk mengelola proyek, tapi kamu selalu berdalih macam-macam. Alih–alih memanfaatkan dengan baik kesempatan itu, kamu malah merusak dengan bayang-bayang masa lalu. Nggak salah kalau direksi menilai kamu seperti kanak-kanak!. Kamu sadar, nggak sih kalau kamu akan kehilangan banyak kesempatan karenanya!”
“Saya usul, gimana kalau mbak masuk ke perusahaan lagi”.
”Untuk apa...?”
”Supaya kami punya tempat untuk berbagi, bertukar pikiran dan banyak hal lagi...”

“Itu bisa dilakukan kapan saja. Tinggal telpon... Tidak harus dengan cara kembali masuk ke proyek. Balik lagi…..? Gila aja….! Itu namanya kemunduran buat perusahaan. Urusan saya sekarang sudah di luar property. Saya menangani hal yang baru. Saya berada di lingkungan baru, berinteraksi dengan orang-orang baru. Ini sangat menyenangkan walaupun pusing karena harus banyak belajar hal baru. Jadi tidak ada alasan yang valid untuk kembali lagi”
“Tapi, tenaga dan pikiran mbak masih banyak manfaatnya di proyek”.
“Sekarang, secara tidak langsung, saya masih terlibat, kok. Walau tidak seintens dulu”.
“Tapi, kami masih butuh orang lain di lapangan. Minimal bisa jadi penyeimbang”.
“Bisa orang lain …. Atau bagaimana dengan kamu sendiri? Kalau saya masuk lagi, itu namanya menutup kesempatan bagi yang lain untuk maju. Harusnya ada penyegaran. Setiap waktu, ada pelakunya sendiri. Jadi ada pergerakan sesuai dengan waktunya. Orang-orang muda sekarang jauh lebih pintar dan agresif. Mereka penuh dengan ide-ide segar dan kreatif. Itu yang harus dikembangkan. Bukan malah menempatkan orang-orang tua yang sudah bulukan dan karatan. Nggak akan maju, kita!”
“Tapi … pengalamannya belum cukup…!”

“Pengalaman tidak akan pernah kita peroleh kalau tidak ada orang yang mau memberikan kesempatan kepada kita. Nah, kamu punya kesempatan itu. Makanya, ambil dong kesempatan itu! Kamu masih muda … kalau tidak mengambil dan memanfaatkan dengan baik kesempatan itu, kamu akan rugi besar kelak! Nanti saat kamu sadar, sudah terlambat. Kamu nggak jadi apa-apa karena ada banyak kesempatan yang dibiarkan tersia-sia. Sementara untuk [pindah kerja di tempat lain, kamu akan kalah bersaing dengan orang muda, karena track record kamu tidak menunjukkan kemajuan. Sudahlah.... jangan sekali-kali meminta orang lain untuk memegang suatu jabatan. Raih kesempatan itu. Untuk kemajuan semua dan terutama untuk dirimu sendiri!”
*****

Dialog di atas cuma sekelumit obrolan di waktu makan siang. Obrolan omong kosong atau serius, tergantung dari sudut pandang setiap orang. Soal sumber daya manusia selalu asyik dibicarakan. Apalagi kalau sudah urusan untuk “menempatkan dan memberi kepercayaan” kepada seseorang pada suatu posisi.

Bagi saya, memanfaatkan kesempatan dan sekaligus memberikan kesempatan bagi orang lain untuk meraih posisi lebih tinggi agar mendapat pengalaman baru, merupakan dua hal yang saling terkait. Kita selalu “was-was” kala harus melepaskan jabatan untuk memberikan kesempatan kepada orang lain yang lebih muda (atau subordinate) meraih posisi lebih tinggi. Apalagi kalau itu berarti mengambil alih jabatan kita. Alasannya klasik.… Belum berpengalaman.

Itu sebabnya, kalau kita melihat iklan lowongan kerja, biasanya ditulis persyaratan … Pengalaman sekian tahun, untuk jabatan yang sama dst … Jarang ada pemberi kerja yang membuka lowongan bagi orang yang tidak berpengalaman. Kalau begitu terus …. Bagaimana kita bisa memperoleh kesempatan untuk memiliki pengalaman?

Tidak itu saja … saat ada staff yang mengundurkan diri, selalu ada usaha untuk mempertahankannya terutama kalau staff tersebut adalah orang yang “pandai”. Padahal, itulah hukum alam. Orang yang pandai akan selalu mencari kesempatan untuk memperluas dan memperkaya kemampuannya. Dia tidak akan pernah merasa betah di suatu tempat, kalau keinginan untuk memperluas dan memperkaya kemampuan tidak terpenuhi.

Di sisi lain, keluarnya seorang staff mengharuskan perusahaan untuk mencari staff baru. Jadi akan ada orang baru yang lebih segar. Ada perputaran ada pergerakan dari kondisi yang statis. Diharapkan, orang baru yang lebih muda dan lebih pandai bisa membawa angin segar di perusahaan. Ada ide-ide dan kreatifitas baru dalam pekerjaan. Orang baru juga diharapkan memacu semangat staff lama yang sudah loyo karena rutinitas untuk bangkit kembali dan “bersaing” secara sehat untuk kembali meraih prestasi.

Sayangnya, jarang ada orang yang dengan senang hati “melepaskan” jabatan untuk memberikan kesempatan kepada anak muda. Kalaupun ada pergantian, maka para pengganti selalu diambil dari “kalangan sendiri” yang memenuhi kriteria “berpengalaman”. Bukan diambil dari kalangan orang-orang muda yang masih penuh vitalitas. Dua-duanya punya segudang alasan. Yang “tua” berkata ….”Reagan aja, jadi presiden pada umur 70an. Tua kan bukan berarti tidak mampu berprestasi”. Sementara yang muda merasa “tidak enak hati” karena “merasa belum berpengalaman”. Atau walaupun di dalam hati merasa mampu dan mau, tetapi malu-malu kucing, nggak enak hati kepada seniornya. Jadi mesti didorong-dorong. Jadi... yang senior harusnya sadar. Sudah waktunya memberi kesempatan pada orang muda agar kaderisasi berjalan baik.

Masalah pergantian orang pada suatu jabatan/posisi, bukan pada usia atau pengalaman. Tetapi yang terpenting adalah semangat untuk memberikan kesempatan kepada orang muda. Semangat untuk melakukan kaderisasi yang terarah. Jangan sampai seperti yang terjadi di Indonesia ini. Lihatlah …. Orde telah berubah. Dari Orde Baru menjadi Reformasi. Tapi tengoklah …. Sebagian besar politikus elite yang menguasai negara ini masih “muka lama”. Tidak banyak muka baru yang menonjol. Padahal hampir 10 tahun reformasi berjalan. Mahasiswa pelaku demonstrasi yang mampu menjatuhkan Suharto di tahun 1998 yang lalu, tentu sudah menjadi sarjana. Mereka sekarang, minimal, sudah bekerja selama lima hingga 9 tahun. Kalau di perusahaan, mereka sudah masuk pada golongan staff senior. Beberapa di antaranya malah sudah menjadi anggota DPR, tapi kiprah mereka tidaklah segarang saat tahun 1998. Entah karena memang tidak diberi kesempatan oleh senior ..., karena larut dengan ”permainan gaya lama”. Berbagai alasan bisa dikemukakan.

Entah salah siapa sehingga kondisi inilah yang sebenarnya terjadi di banyak perusahaan atau organisasi. Kaderisasi berjalan mandek. Entah karena orangtua enggan melepaskan kekuasaannya karena konon kekuasaan (power) itu bagi segelintir orang, sangat mengasyikkan. Atau karena anak muda “malu-malu” atau memang tidak diberi kesempatan karena angkatan tua enggan mundur.

Atau apakah generasi tua memang tidak mampu atau lebih tepat tidak mau melakukan kaderisasi. Atau … apa karena orang-orang muda tidak mampu meraih prestasi yang menjadikannya dipercaya orang tua. Padahal… sungguh mati, saya percaya sekali bahwa anak-anak muda Indonesia saat ini jauh lebih pandai dari generasi sebelumnya. Mungkin para senior yang harus mengubah paradigmanya. Mengantar dan memberikan kesempatan kepada para yunior untuk maju serta melihat mereka sukses adalah kesuksesan dari kita semua.

Lebak bulus 16 desember 2007 jam 20.45

Rabu, 05 Desember 2007

Berbagi Pengalaman


Ini sekedar berbagi pengalaman, semoga bermanfaat bagi ibu2 muda yang sedang hamil dan akan melahirkan. Semoga bermanfaat.


Tahun 1983 yang lalu, saat saya hamil pertama di suatu negara Eropa, tetangga saya, orang Indonesia juga, hamil anak yang ke 3 dan kami selalu berdiskusi tentang kehamilan.

Teman saya itu selalu menggerutu, bahwa dokter di Eropa sama sekali tidak memberi perhatian yang baik atas kehamilannya. Alasannya karena dokter tidak memberikan vitamin untuk menambah kesehatan ibu dan jabang bayinya. Sementara di Indonesia, setiap pulang dari pemeriksaan kehamilan, dia akan membawa sekantung besar vitamin yang harus dikonsumsi setiap hari. Kala pemeriksaan berikutnya, saya menanyakan hal yang sama pada dokter (perempuan), dengan bijak dia mengatakan... bahwa vitamin banyak terdapat pada apa yang kita makan... Jadi jangan membuang uang untuk suatu hal yang tidak pada tempatnya.

Sayur, buah2an, daging, ikan dan lain2. Kalau kita bisa memperoleh yang alamiah, mengapa harus yang buatan. Kita harus percaya, yang alamiah, bila dikonsumsi cukup dan dengan cara pengolahan yang benar, akan jauh lebih baik dari bahan-bahan sintetis/kimiawi. Lalu beliau menjelaskan tips/tricks mengatur menu dan cara pengolahan makanan yang baik.

Tiba saat melahirkan, dengan sabar para perawat melayani kebutuhan saya dan menanyakan apakah saya ingin memberikan ASI exclussive atau memerlukan susu formula untuk bayi. Pagi hari setelah melahirkan (saya melahirkan jam 23.45), perawat yang bertugas memberikan satu butir tablet khusus untuk memperlancar ASI, dan sejak saat itu saya dimintakan untuk menyusui anak (kamar bayi selalu terletak di antara 2 kamar rawat yang dibatasi kaca, sehingga ibu bisa langsung melihat dan merawat bayinya) setiap bayi membutuhkan. Perawat sama sekali tidak memberikan susu formula kepada bayi saya. Seperti biasanya ibu baru melahirkan (secara normal), saya mengalami kesulitan untuk menyusui bayi, apalagi selama 2 hari buah dada membengkak (karena produksi ASI berlebih, tapi tidak keluar dengan sempurna). Dengan penuh kesabaran, perawat mengkompres, memijat dan banyak hal lain untuk membantu agar bayi dapat menyusui langsung dari ibunya. Kadang perawat memijat buah dada saat saya menyusui. Begitu telatennya mereka.

Ini berbeda sekali saat saya melahirkan anak ke dua di Indonesia.
Begitu saya melahirkan (caesar), saya sudah wanti2 bilang sama perawat dan dokter anak, bahwa saya ingin menyusui bayi secara eksklusif. Dengan harapan, tentunya, mereka akan memberikan catatan permintaan tersebut pada kartu ibu/anak. Yang terjadi adalah, bayi saya menolak disusui, karena sudah kenyang oleh susu formula. Saat saya protes, perawat dan dokter hanya menyatakan bahwa saya perlu banyak istrirahat dan bayi saya perlu tambahan susu formula karena produksi ASI saya belum keluar secara maksimal.

Alih-alih membantu agar produksi ASI meningkat, mereka malah berupaya keras agar bayi saya mengkonsumsi susu formula. Akhirnya, setelah berdebat keras, dokter anak dengan muka masam mengijinkan saya membawa bayi ke kamar selama masa rawat di RS. Dan setelah kejadian tersebut dokter anak tidak lagi menjenguk bayi saya.

Saya sungguh tidak perduli, bahwa dokter anak tersebut tidak lagi menengok anak. Hanya saja, saya tidak habis pikir, bagaimana etika sebagai dokter. Seharusnya dia tahu bahwa ASI adalah hak bayi dan dia bertugas untuk membantu sekuat tenaga agar bayi mendapat yang terbaik (ASI) terutama di awal kehidupannya. Alih2 melakukan hal tersebut, dokter anak malah bertindak (maaf) seolah-olah sebagai supplier makanan (dalam hal ini susu formula) bayi. Tindakan ini sungguh membodohi masyarakat dan menurut saya sangat merugikan kita semua. terutama merugikan hak anak2 (bayi) Indonesia.

Rupanya, para ibu harus bersikap kritis dan tahu apa yang menjadi hak-hak baik bagi si ibu maupun bayi yang baru dilahirknannya. Kalau tidak, secara tidak disadari kita akan masuk kepada jeratan industri makanan bayi.

Semoga pengalaman ini, bisa menjadi masukan bagi ibu-ibu muda yang berniat memberikan ASI exclussive bagi bayinya nanti.

salam.


Senin, 12 November 2007

Mendadak donor darah

Kalau ada suatu perbuatan yang tidak pernah terbayangkan akan dikerjakan pada saat usia sudah menjelang maghrib, maka itu adalah menjadi donor darah. Padahal, karya tulis yang saya buat saat duduk di bangku kelas 3 SMA yang menjadi prasyarat ujian akhir, juga berkaitan dengan darah à judulnya Peredaran Darah Manusia. Karya tulis yang kemudian menjadi salah satu karya tulis terbaik dari kelas IPA.

Sejak awal saya memang tidak suka melihat darah. Warnanya mencekam, apalagi baunya sangat tidak sedap. Amis...!!! Betul-betul sangat tidak menyenangkan. Apalagi kemudian, ada trauma yang berhubungan dengan darah selama bertahun-tahun akibat perdarahan yang saya alami selama hampir 7 tahun. Padahal, sebagai perempuan, darah menjadi bagian keseharian. Minimal, dia hadir satu minggu dalam setiap bulan kecuali saat hamil atau sudah memasuki periode menopause. Tetapi begitulah yang terjadi, seolah tanpa sadar, malam itu,saat mendengar berita bahwa adik saya membutuhkan darah menjelang operasi tumor, saya spontan mengajukan diri menjadi donor darah. Tanpa rencana, tanpa persiapan.

Saat itu, sabtu sore 6 oktober 2007 adik ipar saya menelpon menceritakan kondisi adik yang kurang baik dan memberitahu kebutuhan darah untuk ditransfusi pada hari minggu sebagai persiapan operasi. Spontan saja, saya jawab bahwa saya bersedia untuk menjadi donor. Sama sekali tidak terbayangkan, bahwa untuk memperoleh 1.500cc darah, ternyata membutuhkan minimal 6 orang donor. Entah darimana harus mengumpulkan orang sebanyak itu.

Usai berbuka puasa, saya berangkat ke PMI Kramat via RSCM menjemput adik ipar. Sendiri, karena suami sedang itikaf di At Tin – Taman Mini. Jalan di akhir pekan itu ternyata cukup macet. Butuh waktu 90 menit dari lebak bulus ke RSCM. Pakai salah, lagi. Saya membayangkan PMI masih berlokasi tidak jauh dari jalan Paseban. Ternyata, PMI sudah pindah ke sebrang apotik Titi Murni walaupun masih sama-sama di jalan Kramat Raya.

PMI, seperti biasa sangat ramai dengan calon donor. Sumpek dan kacau balau. Orang yang baru pertama kali berurusan dengan darah, pasti bingung kemana harus mencari informasi bagaimana prosedur permintaan darah atau untuk menjadi donor. Kami hanya melihat ada satu counter di sebelah kiri pintu masuk yang dilayani oleh dua orang perempuan yang dipenuhi manusia. Entah apa yang dikerubungi oleh manusia-manusia tersebut.

Saya masuk ke ruang tunggu, yang belakangan saya tahu ruang tersebut diperuntukkan untuk calon donor yang sudah lolos screening dan hanya menunggu panggilan untuk diambil darahnya saja. Adik ipar saya menyodorkan formulir donor yang sudah diisinya dan tinggal ditandatangani saja.  Sekitar jam 21.00 keluarganya berdatangan untuk mendonorkan darahnya. Kami, akhirnya berenam yang bermaksud mendonorkan sedikit darah, sabar menunggu. Ipar saya harus “menjaga” tumpukan formulir yang sudah dimasukkan ke counter depan, karena kalau tidak, aka nada banyak orang yang menyelipkan uang kepada petugas agar lebih cepat dilayani. Counter itu sendiri merupakan saringan pertama untuk memperoleh data golongan darah dan kadar Hb dari calon donor.

Sekitar jam 23.00, saya baru mendapat giliran untuk di screen kadar Hb dan golongan darah. Alhamdulillah, baik hasilnya. Kadar Hb saya 14,6, cukup tinggi dibandingkan dengan syarat minimum kadar Hb yang dipersyaratkan untuk menjadi donor, yaitu 12,5.

Usai saringan pertama, lalu menunggu kembali untuk diperiksa tekanan darah. Sayang, malam itu hanya 2 orang saja yang bisa lolos saringan. 3 perempuan tidak lolos screening. Dua di antaranya karena sedang menstruasi sedangkan satu lagi karena kadar Hb nya tidak memenuhi syarat. Sedangkan satu orang lelaki gagal menjadi donor walaupun prasyarat Hb memenuhi. Konon, dia masih mengkonsumsi antibiotic untuk menyembuhkan influenza, sehingga tidak diijinkan untuk menjadi donor .

Pada jam 23.45, kami masuk ruang donor untuk diambil darahnya. Cukup singkat, hanya 10 menit saja. Jujur saja, saya tidak berani melihat saat jarum ditusukkan pada lengan kiri saya, maupun aliran darah yang mengalir masuk ke dalam kantung. Warnanya yang merah pekat itu membuat saya mual. Untung saja semua berjalan dengan baik, Dari keduanya diambil masing – masing 350cc. Konon katanya, darah tersebut kemudian akan diproses lagi selama 12 jam sehingga hanya 500cc darah saja yang akan bisa diperoleh.

Usai mencuci tangan, saya langsung menuju tempat parkir mobil. Meminum teh hangat bermadu yang sudah disiapkan dari rumah dan sepotong roti. Malam itu, saya pulang sendiri dan tiba di rumah sekitar jam 00.45. Beruntung sekali, walau baru sekali itu mendonorkan darah, semua berjalan baik-baik.

Kebutuhan darah memang belum tercukupi pada malam itu. Untunglah, hari minggu 7 Oktober 2007, diperoleh bantuan lagi sehingga kebutuhan darah sebanyak 1500cc pun tercukupi. Alhamdulillah.
*****

Entah bagaimana kebijakan penyediaan darah serta manajemen donor darah yang dilakukan oleh PMI maupun rumah sakit. Yang jelas, seperti di banyak kesempatan di tempat-tempat umum,, budaya antri, menghormati hak-hak orang lain dalam pelayanan public sama sekali terabaikan. Bisik-bisik untuk memberikan “sekedar uang lelah” bagi petugas penerima agar lebih cepat dilayani dengan menempatkan formulir di “jalur cepat”, mewarnai rangkaian proses menjadi donor darah.

Petugas melayani dengan sikap yang jauh dari keramahan. Ditambah lagi dengan gerombolan calon donor yang memenuhi meja kerjanya. Lengkaplah sudah alasan untuk membenarkan terjadinya kesemrawutan pelayanan public. Entah sampai kapan kita mampu membenahi pelayanan public.

Reedit 14 Oktober 2007, lebak bulus jam 10.20

Kamis, 01 November 2007

Be a smart patient.

Menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani tentu menjadi dambaan semua orang. Itu sebabnya berbagai cara untuk menjadi sehat ditempuh. Ada yang melakukannya dengan cara sederhana dan mendasar yaitu mengatur pola makan dan berolah raga dan ada juga yang menempuh cara instant dan konsumtif dengan mengkonsumsi food supplement. Semua sah-sah saja untuk dilakukan, tergantung dengan selera, waktu yang tersedia dan tentunya juga dana pendukung.

Menjadi sehat, bisa murah, bisa juga menjadi mahal dan bahkan sangat mahal, tergantung bagaimana kita melihatnya. Kalau mau cara yang murah, cukup dengan mengkonsumsi makanan, sayur dan buah segar produk lokal sebagai sumber serat, tahu tempe sebagai sumber protein nabati. Lalu dilengkapi dengan olah raga berupa jalan cepat ataupun lari. Tidak perlu modal besar, cukup dengan setelan pakaian dan sepatu olahraga.

Atau, kalau mau sedikit bergengsi, menjadi anggota klub olah raga di hotel-hotel, mall atau di komplek perumahan menengah ke atas. Kemudian melengkapi diri dengan food supplement dan vitamin-vitamin dari luar negeri. Inilah gaya hidup golongan menengah ke atas.

Namun ada yang dilupakan, gaya hidup kota besar yang mencekam, stress atas ketatnya persaingan dunia kerja, stress akibat kemacetan di perjalanan, pola makan “enak” yang kurang sehat, turut memberikan sumbangan pada kondisi kesehatan kita. Apalagi meningkatnya usia, secara alamiah akan mempengaruhi kinerja organ tubuh manusia. Penurunan fungsi pencernaan akibat “fatique” karena usia, akan mempangaruhi pasokan energi bagi tubuh. Mungkin ini pula yang membuat industri food supplement berkembang pesat.

Salah satu penyakit degeneratif sebagai akibat dari pola makan dan gaya hidup manusia kota besar, yang sering diidap adalah penyakit jantung, darah tinggi, gagal ginjal dan diabetes mellitus – DM.
*****

Menjadi orang sakit di Indonesia, itu dilematis. Untuk sedikit golongan masyarakat, yaitu golongan atas, yang memiliki dana cukup dan atas asuransi kesehatan, sakit mungkin tidak menjadi masalah yang terlalu serius. Golongan miskin, insya Allah, dengan adanya asuransi khusus untuk keluarga miskin yang konon kabarnya sering disalahgunakan oleh para kerabat pejabat kelurahan, tidak akan mengalami kesulitan mengakses fasilitas kesehatan sejauh mereka “sabar” mengurus dokumen yang dibutuhkan. Namun tidak demikian dengan masyrakat “golongan tanggung”, Tidak cukup berduit untuk mendukung pengobatan jangka panjang, dan tidak cukup miskin untuk memperoleh dukungan asuransi kesehatan bagi keluarga miskin.

Usai dengan masalah dukungan dana untuk mendapatkan fasilitas kesehatan yang baik di rumah sakit, ternyata berhubungan dengan para praktisi kesehatan juga memerlukan “keberanian” untuk “mengkontrol” prosedur pengobatan yang diberikan kepada pasien. Dan fungsi “kontrol” ini bukanlah hal yang mudah. Selama ini, dokter terlanjur diposisikan sebagai “manusia setengah Tuhan” yang mampu menyembuhkan penyakit secara instant. Itu sebabnya, ada dokter “manjur” yang setiap obat yang diberikan dengan cepat menyembuhkan pasien. Dokter seperti ini diburu para pasien dan mereka terpaksa berpraktek hingga jauh larut malam setiap hari. Dokter-dokter laris ini kadang memperlakukan pasien sebagai nomor belaka. Memeriksa pasien secara simultan di ruang praktek. Tidak ada interaksi dengan pasien untuk mengetahui keluhan pasien. Entah bagaimana cara mereka mendeteksi penyakit pasien, kalau pemeriksaan dilakukan secara simultan. Namun anehnya, dengan perlakuan seperti itupun, pasien tidak kunjung surut.
*****

Adik perempuan saya yang terkecil, sudah lebih dari 5 tahun menderita DM. Seharusnya, walaupun tidak dapat disembuhkan, DM mudah diatasi. Dalam berbagai literature, penderita DM dapat hidup secara normal asalkan mampu mengkontrol kadar gula darahnya dengan memperhatikan konsumsi makanannya dan rutin berolahraga. Berlainan dengan penderita DM lainnya, DM yang diderita adik saya ternyata tidak mudah diatasi, malah semakin menjadi-jadi dan menyerang organ pencernaan dan kandung kemih. Melalui endoskopi, diketahui bahwa seluruh saluran pencernaan, ususnya, penuh dengan parut-parut merah dan perlukaan seperti sariawan. Kandung kemihnyapun penuh bakteri. Kalau saja terlambat buang air kecil, maka bakteri itu akan bereaksi “naik” sehingga dia muntah tak terkendali dan berakhir di ruang perawatan rumah sakit. Begitu selalu berulang-ulang. Konon kabarnya, kadar amilasenya sangat tinggi. Dokter menyebutnya bahwa adik saya mengalami komplikasi DM berupa pankreatitis.

Suatu kali, saat di rawat di RSPC, dia sempat terjatuh dan pingsan. Dokter kemudian memintanya untuk dilakukan MRI dan CT scan. Dari hasil keduanya diketahui bahwa ada tumor sebesar 27cm3 tersembunyi di antara otak dan simpul syaraf matanya.

Mendengar hasil MRI dan CT scan tersebut, adik saya yang lainnya, kebetulan dokter, walaupun hanya spesialis anak, sempat bicara pada si Arab (demikian kami memanggil suami adik yang sakit itu), bahwa satu-satunya “itis”, maksudnya misalnya bronchitis, meningitis, yang tidak disebabkan oleh virus atau bakteri adalah pancreatitis, karena posisi kelenjar pancreas tidak berhubungan “dunia luar” Jadi, kalau terjadi pankreatitis, maka penyebabnya ada di dalam tubuh itu sendiri. Adik saya menduga bahwa posisi tumor tersebut menekan syaraf pusat pengendali kelenjar tubuh sehingga mengacaukan fungsi seluruh kelenjar tubuh, di antaranya kelenjar pancreas. Dia menyarankan si Arab untuk mengkonsultasikan hal ini pada tim dokter yang menangani adik. Meminta agar tim dokter RSPC yang menanganinya mulai memperhatikan keberadaan tumor tersebut sebagai penyebab tidak terkendalinya DM yang diderita adik.

Namun sayang sekali, tim dokter menampik dengan tegas perkiraan adik saya itu.
“Tidak ada hubungan sama sekali antara atas (maksudnya tumor di kepala) dengan DMnya.Pankreatitis yang diderita, semata-mata sebagai komplikasi dari DM. Nah itu yang akan kami tangani”

Begitulah, bertahun-tahun adik saya tidak henti–hentinya keluar – masuk RSPC. Anak-anaknya mengistilahkan RSPC sebagai pesantren tempat ibunya mondok. Semua orang stress dibuatnya. Masuk dan keluar rumah sakit menjadi berita rutin yang membuat kami menjadi tidak sensitive lagi mendenganrnya dan malah menjadi semakin “sebal”. Sebal tentu saja, karena usul untuk mencari second opinion dan bahkan pindah rumah sakit, terutama ke RSCM dengan pertimbangan disini banyak dokter ahli dan pusat rujukan RS se Indonesia atau minimal ke Bandung agar bias dirawat di RS bawah pengawasan adik saya E, selalu ditampik si Arab dengan berbagai dalih. Mempengaruhi adik untuk mengikuti keinginan kami agar dia bersedia pindah rumah sakit juga tidak berhasil.
“Terserah abang saja”, begitu selalu jawabnya. Jawaban yang membuat kami, kakak-kakaknya yang menginginkan kesembuhannya, menjadi sebal. Kami betul–betul kehilangan akal dibuatnya.

Bulan Mei 2007, YY dirawat lagi di RSPC selama satu bulan. Sudah habis–habisan semuanya. Semuanya betul–betul lelah lahir batin. Bukan saja anak dan suaminya saja yang merasakannya, tapi seluruh keluarga besar. SI Arab masih juga keras kepala tidak mengijinkan istrinya pindah ke RSCM. Entah bagaimana caranya mengubah pikirannya.

Sampai suatu malam, saya teringat, ada suatu rencana yang pernah terucap namun sudah satu tahun berlalu, rencana tersebut belum juga terlaksana. Usai menjenguk adik di rspc, dalam perjalanan pulang saya membicarakan kembali rencana tersebut dengan suami. Harus segera dilaksanakan, sekaligus memohon doa kesembuhan bagi ibu dan adik saya yang sama-sama menderita DM. setelah menghitung-hitung biaya, kami menelpon adik bungsu, lelaki di Bandung, meminta bantuannya agar rencana tersebut dapat dilaksanakan sekaligus prasyarat mendoakan kesembuhan ibu dan adik saya

Begitulah, rencana tersebut sudah terlaksana. Kami berbaik sangka saja dan tentunya sangat percaya bahwa Allah SWT akan menunjukkan cara dan jalan bagi kesembuhan keduanya terutama adik saya yang kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Bayangkan saja, tahun 2007, dari Januari hingga akhir Agustus ini saja rata-rata 1x per bulan dia di rawat di RSPC dengan rata masa inapnya 3 minggu. Jadi. Setiap masa rawatnya, hanya ada jeda 1 minggu saja dia tinggal di rumah.

Awal September 2007, adik saya masuk lagi ke RS. Saya sudah merasa “muak” dengan berita seperti itu. Jenuh dengan blunder yang diciptakan oleh dokter-dokter termasuk juga oleh adik dan suaminya. Sukar untuk “memecahkan” keterikatan satu sama lain agar adik bisa keluar dari rs tersebut dan ditangani oleh tim dokter dari rs yang lain.

Entah apa yang terjadi, setelah dua minggu di rs, pada awal-awal bulan Ramadhan, si Arab mengabarkan bahwa secara coincidence, saat harus konsultasi kepada dokter mata karena penglihatannya semakin mengabur, dokter matanya absent sehingga dia ditangani oleh dr Rita. Si dokter ini dengan santai mengatakan bahwa penglihatan adik akan kembali normal apabila tumor diangkat. RSCM, di bawah supervisi Prof Padmo Santjojo telah berhasil menangani 3 pasien, kesemuanya berhasil. Bahkan salah satu pasien adalah dokter yang kemudian bisa berpraktek kembali dengan baik.

Mendengar kabar ini, adik saya begitu antusias dengan kesempatan untuk meraih kesembuhan. Kesembuhan yang terjangkau. Sebetulnya operasi tumor sempat menjadi rencana. Namun dokter rspc menyebutkan angka antara 600 – 800 juta untuk biaya operasi tersebut termasuk operasi plastic untuk menyamarkan bekas sayatan luka operasi. Itulah yang menyebabkan operasi pengangkatan tumor tidak pernah terlaksana. Apalagi dokter rspc sudah tegas-tegas menyatakan tidak ada hubungan antara keberadaan tumor dengan pankreatitis. Sementara adik saya E sangat yakin bahwa pankreatitis dan rusaknya luas pandang adik saya disebakan oleh tumor tersebut.

Si Arab kemudian meminta dukungan kami atas rencana operasi tumor di rscm dan berusaha agar seluruh rangkaian prosedur operasi tersebut berada di bawah kendari Prof Padmo. Tinggal lagi menunggu kondisi adik sedikit membaik agar cukup mampu melaksanakan perjalanan transfer dari rspc di ujung selatan Jakarta ke rscm.

Begitulah, Jum’at 5 Oktober 2007 menjadi “hari bersejarah”. Perjalanan transfer dari rspc ke rscm berjalan baik, Prof Padmo menyediakan waktu yang cukup untuk memperhatikan kondisi adik yang sudah sangat kritis dan langsung “memerintahkan” seluruh jajarannya untuk segera menangani rencana operasi.

Week end pertama di bulan Oktober 2007 menjadi hari yang sibuk bagi tim dokter yang ditunuk prof Padmo untuk operasi adik saya. Serangkaian persiapan pra operasi dilaksanakan. Berbagai test laboratorium, MRI, CT scan, transfusi darah dilaksanakan pada hari Sabtu dan Minggu. Hari Senin seluruh hasil laboratorium sudah tersedia untuk dianalisa. Dokter sempat menawarkan bila adik ingin berlibur dulu sebelum melaksanakan operasi karena bila operasi segera dilaksanakan, maka adik tidak akan berlebaran di rumah.

Entahlah… apakah tawaran tersebut memang untuk memberikan adik kesempatan berlebaran dengan keluarga. Atau karena mereka tahu bahwa operasi tersebut merupakan operasi besar yang sangat beresiko dan tim dokter kahwatir adik tidak mampu melewati masa kritis. Maklum saja, sebelum transfusi darah, kadar HBnya di bawah 8 dan PH darahnya asam sehingga ada resiko perdarahan yang hebat. Gula darahnya masih cukup tinggi, untuk itu pula adik harus dibekali dengan obat anti perdarahan yang harganya 3,5 juta per ampul.

Namun kami sudah bersepakat, ditundapun tidak menjamin bahwa kondisi adik akan lebih baik. Mengingat perjalanan penyakitnya selama ini, malah bukan tidak mungkin kondisi adik malah akan memburuk. Jadi, lebih baik melakukan operasi pengangkatan tumor sesegera mungkin.

Selasa 9 Oktober jam 10.00, adik masuk ke ruang operasi di rscm dan baru keluar pada jam 16.30. Usai melewati masa kritis selama 8 hari di ICU, sekarang dia sudah kembali ke ruang perawatannya di paviliun Cendrawasih. Pandangannya yang semula kabur ( 5% dan 45% saja) sudah berangsur kembali jelas. Dia sudah bisa melihat tv kembali. Pola diet ketat yang semula dilakukan selama dalam perawatan di rspc, di rscm dijungkir-balikkan. Apa-apa yang dilarang untuk dimakan, sekarang malah dianjurkan untuk dimakan. Pola makan seimbang. Begitu katanya. Semoga ini menjadi akhir dari segala penderitaannya. Tinggal lagi mengatur pola hidup dan pola makannya agar DM bisa terkendali dengan baik.
*****

Apa yang diperoleh dari semua pengalaman ini? Ternyata kita tidak bisa mengandalkan pada diagnosa dan prosedur pengobatan yang dilakukan dokter. Pasienpun harus pro aktif dan kritis terhadap seluruh tindakan yang dianjurkan dan akan diambil oleh dokter.

Ada dokter yang kritis dan mau belajar dari kasus-kasus yang ditanganinya untuk memperluas wawasan sekaligus mengasah dan mempertajam ketrampilannya dalam menangani penyakit. Namun kebanyakan dokter terutama yang berpraktek di rumah sakit swasta di Jakarta sudah menjadi robot-robot ekonomi yang tidak lagi sensitif terhadap penderitaan pasien. Merekapun seakan lupa pada janji dan etika profesinya.

Atau mungkin karena patient (orang sakit) juga berarti patient (sabar). Jadi, patient must be patient ….. orang sakit harus sabar. Nggak boleh protes, mesti pasrah.

Tuesday, October 16, 2007, 5:27:13 PM 

Rabu, 24 Oktober 2007

Pelecehan Warga Indonesia di luar negeri.

Kasus pelecehan terhadap warga Indonesia yang sedang melaksanakan perjalanan ke luar negeri, apalagi yang bertempat tinggal di luar negeri, semakin kerap terjadi. Awalnya hanya terjadi pada para tenaga kerja Indonesia – TKI yang, terutama, sedang mengadu untung di berbagai Negara Timur Tengah. Bukan sekedar pelecehan saja tetapi sudah mengarah kepada penyiksaan fisik yang kerap kali mengundang maut.

Belakangan ini, pelecehan terhadap warga Indonesia sudah pula merasuki warga Malaysia. Negara yang warganya dianggap serumpun dengan bangsa Indonesia. Ironisnya, pelecehan tersebut tidak lagi hanya menimpa para TKI, yaitu para pembantu rumah tangga dan pekerja gelap, yang notabene berada pada strata sosial rendah, tapi bisa menimpa siapa saja. Bahkan istri diplomatpun diperlakukan dengan tidak semena-mena, di Malaysia. Mengapa ini sampai terjadi?

Tenaga Kerja Indonesia di Timur Tengah.
Pelecehan TKI di Timur Tengah sangat kerap terjadi. Penyebabnya banyak sekali; antara lain perbedaan persepsi antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Saudi Arabia tentang tenaga kerja domestik baik perempuan maupun lelaki. Kalau kita sempat membaca buku Princess (memoire dari salah satu kerabat istana Saudi Arabia), tentu bisa mengerti bahwa secara tradisionil, masyarakat Saudi Arabia sangat bangga dengan kenyataan bahwa bangsa mereka telah diberi anugerah oleh Allah SWT sebagai bangsa yang melahirkan Rasul terakhir. Kondisi ini menyebabkan mereka merasa memiliki martabat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tentunya terlebih kepada bangsa-bangsa pencari nafkah di negara mereka, terutama pencari nafkah golongan rendah. Pencari nafkah golongan rendah ini, di mata mereka tidak ubahnya seperti budak di jaman pra Islam.

Di samping itu, kedudukan perempuan dalam strata sosial di Timur Tengah masih sangat rendah. Ajaran Islam yang sangat melindungi dan memuliakan kedudukan perempuan, dimanipulir sedemikian rupa oleh masyarakat yang sangat patriachart. Perlindungan pada perempuan diimplementasikan pada ”pembatasan” hak-hak ekonomi, sosial, politik dan budaya. Akses pada pendidikan dan pekerjaanpun dibatasi sedemikian rupa, sehingga perempuan ”dipaksa” bangga dengan status sebagai ”perhiasan” rumah dan atau alat reproduksi semata. Bukan itu saja; ”pemuliaan” status perempuan tersebut sekaligus menghilangkan kesempatan komunikasi dua arah antara dua mahluk yang berbeda jenis kelaminnya. Akibatnya, sangat mudah ditebak, lelaki Timur Tengah tidak terbiasa memperlakukan perempuan dalam keadaan setara. Mereka memperlakukan perempuan sebagai obyek atau paling banter sebagai subordinat saja. Akibatnya,saat lelaki Arab bertemu dengan perempuan asing yang berfungsi sebagai tenaga kerja domestik, maka perempuan ditempatkan sebagai objek semata. Seorang budak, obyek yang akan ”dilalap” habis saat seorang lelaki Saudi memandang dan atau menyadari keberadaan perempuan bukan muhrimnya di lingkungan rumah.

Kondisi seperti ini sangat tidak disadari oleh para TKI. Perempuan-perempuan desa dengan pendidikan, pengetahuan serta ketrampilan seadanya seakan masuk ke kandang harimau. Perbedaan budaya, kebiasaan hidup, cuaca yang panas dan kering, bahkan cara pandang masyarakat Arab terhadap keberadaan TKI tidak menjadi bekal yang menjadi pegangan tatkala TKI masuk pada bursa kerja di Timur Tengah. Entahlah, sampai sejauh apa Pemerintah Indonesia melalui Departemen Tenaga Kerja sudah memberikan pembekalan dan perlindungan kepada para TKI tersebut.

Perempuan Indonesia terbiasa hidup dan bergaul secara terbuka dengan lelaki. Ditambah lagi, tidak semua TKI perempuan yang bekerja di Timur Tengah adalah perempuan yang telah terbiasa mengenakan jilbab penutup aurat. Mereka, mungkin perempuan desa yang terbiasa memakai gaun sebatas lutut berlengan pendek. Perempuan yang suka duduk berbanjar di tangga rumah dengan hanya menggunakan kutang, mencari udara segar sambil mencari kutu usai memasak di dapur.

Dengan latar belakang seperti itu, dapat dibayangkan, di tengah cuaca panas dan kering tanah Arab, perempuan yang tidak terbiasa menggunakan jilbab tersebut, serta merta akan melepaskan penutup auratnya. Mereka perpikir, toh sudah berada di rumah. Tempat yang dianggapnya cukup aman dari pandangan liar lelaki Arab. Mereka lupa, bahwa di rumahpun ada lelaki, entah itu majikannya, anak-anak majikan atau sanak keluarganya yang tidak terbiasa dengan pemandangan asing. Seorang perempuan asing, berstatus sebagai budak keluarga, berpakaian ”terbuka” menurut adab yang berlaku di tanah Arab.

Para TKI mungkin lupa atau bahkan tidak tahu bahwa dalam status sebagai budak, maka majikan sebagai pemilik budak berhak pula untuk ”menggaulinya”. Dan itu sah menurut hukum perbudakan. Akibatnya tentu bisa diduga. TKI perempuan hamil, kemudian kehamilannya diketahui majikan perempuan, lalu dia disiksa. Atau, kalau dia mampu menghalau niat buruk sang majikan lelaki, tentu memerlukan perjuangan berat. Diperkosa atau melawan hingga membunuh si pemerkosa. Keduanya sama tidak nyamannya. Jadi .... harap maklum kalau banyak kasus TKI perempuan yang meninggal, cacat ataupun pulang ke Indonesia dengan perut hamil besar.

Tenaga kerja di Malaysia.
Malaysia adalah negara serumpun dengan Indonesia. Begitu konon selalu didengung-dengungkan. Jawabnya adalah ya dan tidak. Ya, karena sejak jaman penjajahan Belanda dahulu, rumpun suku bangsa Aceh, Melayu dan Minang dari Sumatera telah banyak merantau ke tanah Malaya. Itu sebabnya banyak pejabat yang berkuasa di negeri jiran pada awal masa kemerdekaannya, memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di Sumatera Barat, Deli dan Riau. (aku jadi ingat, mak tuo, kakak tertua ibuku, dipanggil uni upik Perak, karena beliau lahir di Perak - Malaysia). Namun kekerabatan – serumpun bangsa itu, terbatas hanya dengan masyarakat Riau, Aceh, Melayu – Deli dan Sumatera Barat. Tidak dengan orang-orang yang berasal dari Jawa, Sulawesi, apalagi dengan masyarakat Indonesia yang berasal dari Ambon dan Papua.

Lebih sempit lagi, di mata rakyat Malaysia, kekerabatan ini bermasyarakat berkaitan dengan kesamaan agama, yaitu Islam. Rakyat Indonesia yang berasal dari suku Dayak, suku-suku yang berasal dari wilayah timur Indonesia terutama yang memiliki ras Melanesia, apalagi yang tidak beragama Islam, bukanlah sanak serumpun. Sementara itu, Indonesia tidak melihat dari persepektif yang sama. Indonesia melihatnya secara luas, serumpun bangsa, mulai dari Aceh hingga tanah Papua yang bercirikan ras Melanesia. ini

Di akhir tahun 1960 hingga tahun 1970an, Indonesia masih dianggap sebagai guru dan ”idola”nya masyarakat Malaysia. Saat banyak masyarakat Malaysia datang berguru, sekolah di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Saat itu juga, guru dan dosen dari Indonesia diminta dengan penuh hormat untuk berbagi ilmu di Malaysia. Sekarang, jamannya sudah berbeda. Generasi baru, angkatan muda Malaysia tidak lagi melihat Indonesia sebagai guru dan idolanya lagi. Mereka melihat Indonesia sebagai ”perusuh” kenyamanan mereka dan kondisi ini sesungguhnya kurang disadari oleh Indonesia.

Sebut saja ”ekspor asap” yang selalu menjadi langganan setiap musim kemarau yang sangat mengganggu kenyamanan hidup rakyat Malaysia. Di samping itu; bila pada tahun – tahun awal seusai konfrontasi, tenaga kerja Indonesia terdidik berprofesi sebagai guru dan dosen Indonesia diundang dengan penuh hormat, maka sekarang terutama pasca krisis 97 – 98, rakyat Indonesia dari tingkat pendidikan terendahlah yang berduyun – duyun menyerbu Malaysia, bekerja di perkebunan. Kesemuanya sebagian besar dilakukan secara illegal.  Sebagian Malaysia yang pada awal tahun 1960an menjadi wilayah sengketa Indonesia berada di wilayah Kalimantan Utara. Berbatasan langsung dengan wilayah Kalimantan Barat – Timur dan Tengah. Melalui jalan darat ini, para pencari kerja, terutama yang ilegal, memasuki wilayah Malaysia.

Sementara itu, kondisi pendidikanpun terbalik, kini justru masyarakat Indonesialah yang berguru ke Malaysia, menyerbu Universitas-universitas di Malaysia untuk mengikuti pendidikan jenjang S2. Bukan itu saja, masyarakat Malaysia tentu sangat hafal dengan perilaku oknum pejabat maupun TNI yang saling bekerjasama melakukan pembalakan dan penyelundupan kayu, penyelundupan gelap BBM, penyelundupan pasir dari kepulauan di sekitar Bangka – Belitong yang ternyata mengandung kadar timah yang sangat tinggi. Bayangkan, mereka (Malaysia dan Singapore) membayar sangat murah termasuk tips bagi para pelindung dan pemberi konsesi yang notabene aparat pemerintah daerah untuk mendapatkan pasir laut dengan kandungan timah yang sangat tinggi.

Ditilik dari sisi ini, rakyat dan pemerintah Malaysia memang terlihat munafik. Memperlakukan secara keras para pendatang haram sekaligus memanfaatkan perilaku oknum untuk kepentingan industri dalam negeri Malaysia.

Belum lagi citra buruk mengenai kondisi negara Indonesia yang tersiarkan melalui  media massa. Berita – berita seputar politik, ekonomi, sosial dan budaya beserta berbagai gejolak yang terjadi di Indonesia saat ini sudah sangat tidak mungkin dibendung. Arus informasi mengalir dalam hitungan detik ke segala penjuru dunia tanpa bisa ditutup – tutupi. Termasuk di dalamnya arus pemberitaan tentang perilaku korupsi para pejabat, ketidakberdayaan pemerintah dalam menanggulangi berbagai bencana dan masalah dalam negeri. Kesemuanya sudah menjadi santapan masyarakat dunia.

Jadi...., saat kesemuanya sudah menjadi konsumsi umum masyarakat dunia. Pada saat para pejabat di Indonesia termasuk masyarakat umum sudah tidak mampu lagi menjaga perilaku dan martabatnya. Pada saat pemerintah Indonesia dianggap tidak mampu atau bahkan lebih jelek lagi dianggap tidak mau melindungi kepentingan bangsa dan negaranya, bagaimana kita bisa mengharapkan masih tersisa sedikit rasa hormat dari bangsa-bangsa lain di dunia kepada negara kita tercinta, Indonesia.

Bagaimana kita bisa mengharapkan bangsa lain menghormati warga negara Indonesia, bila rakyat Indonesia (baca para pejabatnya) tidak mampu menjaga martabat dirinya sendiri. Jangan hanya menyalahkan bangsa lain. Mari introspeksi diri.

Kalau Rela di Malaysia melakukan sweeping terhadap warganegara asing dan atau para pendatang haram di negaranya. Dan kebetulan sebagian besar pendatang haram itu berasal dari Indonesia, bukan tidak mungkin bila Rela belajar dari FPI – Front Pembela Islam .... Kelompok organisasi massa yang mengaku berbasiskan Islam tetapi sangat brutal melakukan perusakan, sweeping terhadap orang-orang asing beberapa waktu yang lalu. Seolah-olah merekalah yang paling benar dan Islami, tetapi memperlakukan orang  yang tidak sepaham dengan sangat tidak Islami.

Jangan lupa... sejarah sudah membuktikan bahwa Malaysia belajar banyak dari Indonesia. Kini, bukan tidak mungkin Rela belajar banyak dari FPI  tentang cara – cara brutal dalam menangani kasus pendatang haram.

Ada baiknya kita introspeksi diri. Pelecehan terhadap warga Indonesia di luar negeri memang sangat menyakitkan, tetapi hal itu akan tetap terjadi selama kita tidak mampu menjaga martabat diri. Jadi, mari kita buktikan dulu bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat. Hentikan pengiriman TKI domestik, tahan diri untuk tidak melanggar batas wilayah kedaulatan negara lain melalui cara – cara menjadi buruh illegal, hentikan perilaku korup dan munafik para pejabat. Tunjukkan kesungguhan membasmi korupsi seperti yang dilakukan oleh pemerintah Cina. Tunjukkan bahwa pemerintah Indonesia mampu menggunakan APBNnya secara effisien untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, bukan menyelewengkan APBN/APBD untuk menggelembungkan isi kantong pribadi dan kelompoknya.

Kesemuanya memang tidak mudah dan perlu waktu yang panjang. Namun kita harus mulai dari sekarang. Kalau tidak, kemanapun kita melangkah, hanya pandangan perlecehan saja yang akan kita terima. Mari kita mulai dari sekarang memperbaiki diri agar saatnya datang yaitu saat, entah kapan.... warga Indonesia bisa melenggang di negara manapun di dunia dengan kepala tegak tanpa dihantui oleh pelecehan.

Final reedited; 14 oktober 2007- lebak bulus 10.00

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...