Selasa, 17 April 2007

Mukena-mukena cantik

Lebaran yang lalu, adik saya dari Bandung memakai mukena border. Hadiah dari mahasiswa S2 yang dibimbingnya, saat telah lulus. Mukena dengan hiasan bordir Tasikmalaya. Warna dasarnya standar … putih dengan border warna kuning dan hijau lembut Cantik sekali …. Ingin juga rasanya untuk memilikinya

Sebulan usai lebaran, saya jalan ke ITC Fatmawati dan melihat mukena bordir yang secara selintas mirip dengan mukena adik saya. Jadi, hati tergerak juga untuk menanyakan harganya. Kebetulan di dompet masih ada sisa-sisa uang belanja. Siapa tahu, harganya sesuai dengan “standard” isi kantong. Jadi, …. dengan percaya diri, saya menanyakan harga mukena cantik itu. Ternyata….. alamak…. Mahal nian!!! 850 ribu rupiah …… Duh… isi kantongku nggak cukup.

Memang ini bukan mukena termahal yang pernah saya lihat. Menjelang lebaran, seorang rekan yang biasa “nyambi” dagang, pernah membawa mukena lengkap dengan tas yang cantik dengan hiasan bordir dan payet. Harganya hampir dua juta rupiah. Entah seperti apa rasanya memakai mukena yang super mahal seperti itu. Tidak terbayang, apakah kita bisa shalat dengan khusu’ kala menggunakan mukena yang gemerlapan dengan payet. Atau mungkin karena saya belum mencapai “tingkatan” orang yang mampu menggunakan barang “mahal”, alih-alih shalat dengan khusu’ – yang ada malah rasa takabur untuk memamerkan mukena cantik. Cuma, sayangnya… rasa ingin memiliki mukena cantik memang tidak mudah dilepaskan dari pikiran. Apalagi mukena bordir yang saya pakai memang sudah agak lusuh. Maklum saja… itu dibuat sekitar 3 tahun yang lalu.

Nah… dua bulan yang lalu, saya iseng-iseng jalan ke Mayestik melihat-lihat bahan berbordir. Apalagi, kalau bukan untuk mukena. Ketemulah dengan bahan linen berbordir.
Pikir punya pikir … otak mereka-reka bentuk dan kombinasi warna yang pas, jadilah terbeli 2 set bahan. Harus 2 set, karena tidak mungkin saya membeli hanya satu saja. Anak gadis saya bisa ngomel panjang lebar kalau dia tidak memiliki mukena yang “persis” sama dengan ibunya. Mulailah saya memotong bahan – lalu pergi ke pasar untuk obras – dan setiap week end menjahitnya. Lengkap dengan renda yang sebelumnya sudah dibeli di Mangga Dua. Jadilah mukena yang diidam-idamkan.


Repotnya…. saat saya pakai di kantor…. Walah…. rekan kerja banyak yang “ngiri” … Duh….. bikin dosa lagi deh!!! Akhirnya …. diambil kompromi, … mereka membeli bahan dan seluruh kelengkapan, saya yang menjahitnya GRATIS. Maka …. ronde ke 2, saya menjahit 7 buah mukena. Tumpukan bahannya dan sibuknya nggak kalah dengan penjahit professional di Blok M. Nggak apalah…. Menyenangkan hati orang, kan berpahala… hehehe … Tapi kapok ah, nggak mau terima jahitan lagi. Mataku sakit. Maklum sudah udzur….!!!

Senin, 02 April 2007

Salah Kaprah Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Anak

Minggu ini, beberapa rekan kantor berangkat ke Malang untuk Rapat Kerja sambil meninjau Proyek. Saya nggak ikut .... (alhamdulillah....),  sebab ... ssttt jangan bilang-bilang ya... Anak saya marah besar, saat saya bilang bahwa ibunya harus ke Malang selama 1 minggu. Ini dilematis perempuan yang sok jadi super woman dan berperan ganda. Karenanya saya terpaksa mencari alasan yang valid untuk menghindar acara rapat di Malang ini. Toh saya tidak terlibat langsung dalam pengelolaan proyek tersebut. Jadi ketidak hadiran saya, tidak akan mempengaruhi acara rapat (hikhik.. mencari pembenaran ....) . Itu alasan resmi .... karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.dan memang benar, saya harus monitor proyek yang langsung saya pegang dan ada rapat yang tidak bisa ditinggalkan.

Salah satu rekan kantor yang pegang proyek di Malang dan akan dipindahtugaskan ke Jogja, meminta pendapat saya mengenai rencananya untuk mengambil cuti selama 2 minggu pada pertengahan bulan April ini agar dapat mendampingi anak lelaki sulungnya yang duduk di bangku SMP menghadapi ujian nasional - UN. Dia agak khawatir, anaknya tidak bisa berkonsentrasi dalam menghadapi UN, karena prestasinya dalam berbagai try out yang diikutinya pada kelas bimbingan belajar, sangat tidak stabil. Konon, kondisi ini sangat mengkhawatirkan terutama dikaitkan dengan masa depan si anak.

Jujur saja, saya agak terperangah mendengar masalah yang dihadapinya. Mungkin saya memang sangat beruntung punya anak lelaki yang "sangat mandiri" dalam belajar. Atau mungkin juga karena kekhawatiran saya "diredam" dengan sangat keras oleh suami yang sangat menafikan prestasi akademis. Kondisi ini semua, dengan berbagai argumentasi dan perdebatan ibu-anak, telah menjadikan anak sulung saya akhirnya menjadi sangat "bebas" menentukan, apa maunya. Tetapi, diluar itu semua, prestasi akademisnya dari SD hingga menyelesaikan SMU memang luar biasa.

Nah, kembali dengan teman saya ini, dan lagi-lagi menurut ceritanya, setiap malam dia harus "membimbing" anak sulungnya dalam hampir seluruh mata pelajaran terutama matematika dan fisika. Kalau tidak, maka hasil ulangannya akan jeblog habis. ***

Konon, jaman dahulu kala .... orang tua murid relatif "tidak pernah" bersinggungan dengan sekolah. Bahkan saat dibagikan raport sekolahpun, kehadiran orangtua tidak dibutuhkan karena guru langsung membagikan raport kepada murid. Saat tamat SD dan pindah ke SLTP dan SLTA, semua murid mendaftarkan diri dan menyelesaikan seluruh kewajiban pembayaran sekolah tanpa didampingi orang tua. Penyerahan raport langsung kepada murid memang memiliki dampak "buruk".

Konon, murid-murid "nakal" yang isi raportnya "kebakaran" dengan bantuan teman-temannya akan mengganti angka-angka merah itu menjadi biru agar tidak diketahui orangtua. Entah bagaimana cara mereka mengelabui orangtua/guru saat raport itu harus kembali ke sekolah. Mungkin juga murid-murid tersebut akan memalsukan tandatangan orangtua di raport dan membuang semua surat panggilan dari sekolah kepada orangtua. (Alhamdulillah... saya tidak termasuk murid nakal...).

Buku pegangan setiap mata pelajaran disediakan sekolah. Setiap awal tahun ajaran baru, murid dibagikan setumpuk buku yang harus di sampul baik-baik untuk digunakan selama tahun pelajaran berlangsung  dan baru dikembalikan bersamaan dengan pembagian raport. Seingat saya, POMG apalagi model Komite Sekolah, sama sekali tidak terdengar keberadaannya. Jadi model sumbangan ini itu untuk kegiatan sekolah sama sekali tidak ada. Entah bagaimana caranya sekolah memenuhi biaya kegiatan-kegiatan tersebut. Tanpa permintaan sumbangan dari orang tua apalagi dengan dalih sumbangan rutin POMG, kegiatan ekstra kurikulum tetap berlangsung. Itu memang cerita kuno yang terjadi, mungkin hingga paruh tahun 1970 an. 

Entah sejak kapan keterlibatan orangtua dalam pendidikan anak dimulai. Yang teringat adalah pada akhir tahun 1970, raport tidak lagi dibagikan kepada murid sehingga saya kerap diminta orangtua mewakilinya untuk mengambil raport adik. Mungkin kenakalan murid sekolah mulai tak tertangani oleh sekolah atau ada alasan lain yang melatar belakangi keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah. Yaitu dimulai dengan pengambilan raport, lalu adanya lembaga POMG yang kemudian "diberdayakan" menjadi salah satu sumber dana kegiatan ekstra kurikulum. Mungkin juga "entry point" ini menjadikan keterlibatan orangtua ke dalam pendidikan sekolah semakin lama semakin dalam. 

Lama kelamaan, bahkan dalam berbagai kegiatan ekstra kurikulum, orangtua murid terlibat menjadi panitia aktif. Semakin jauh dan semakin jauh. Bahkan melalui pengamatan di salah satu SD tempat anak saya bersekolah, melalui Komite Sekolah, campur tangan orangtua semakin dalam dan mulai memasuki wilayah akademis. Beruntung bila orangtua yang campur tangan memiliki kompetensi atau kepedulian dalam arah pendidikan yang benar. Yang seringkali terjadi, campur tangan tersebut lebih didasarkan kepada snobisme/ikut-ikutan atas model pendidikan "gaya luar" yang diterapkan oleh sekolah lain yang menjadi referensi, demi gengsi semata. Bukan atas kepentingan dan masa depan anak didik.

Mungkin itu juga sebabnya esensi pendidikan anak mulai bergeser. Bila dulu anak murid "tidak mengenal" les ini itu yang berkaitan dengan mata pelajaran dan cukup percaya diri menempuh ujian akhir bahkan untuk menempuh ujian masuk universitas. Sekarang, les dan kursus yang bertalian dengan mata pelajaran bertebaran dimana-mana. Anak-anak (atau jangan-jangan orangtua mereka) merasa tidak percaya diri bila si anak tidak diikutsertakan pada les atau kursus-kursus tersebut. Dan cengkeraman pengaruh les/kursus sangat luar biasa. 

Bila dua dekade lalu, kursus atau sekarang populer dengan sebutan bimbingan belajar/BIMBEL hanya diikuti oleh anak-anak yang akan menempuh ujian akhir saja. Sekarang, anak-anak "dipaksa" orangtua mengikuti bimbel pada setiap jenjang kelas. Ikut sibuk mencarikan sekolah-sekolah favorit, ikut cawe-cawe menentukan kegiatan (terutama kegiatan ekstra kurikulum) anak-anak di sekolah. Bukan itu saja... konon katanya cara belajar di kelas 3 disebuah sekolah unggulan nasional, bukan lagi belajar "normal" untuk memahami ilmu pengetahuan tetapi latihan soal a la bimbingan belajar untuk ujian masuk universitas. 

Yang sangat mengejutkan, beberapa waktu yang lalu di koran ibukota ramai diberitakan bahwa BIMBEL telah masuk secara resmi ke sekolah-sekolah melalui kerjasama. Lalu... apa dong fungsi guru sekolah? Kalau tujuan sekolah hanya sekedar mendapat ijasah atau lulus masuk PTN, yang nggak usah bikin sekolah yang esensinya mendidik (akademis dan moralitas), bikin aja kursus-kursus.

Keleluasaan pemerintah/DikNas kepada sekolah dan daerah untuk turut me"warnai" kurikulum melalui muatan lokal turut menambah carut-marut profil mata pelajaran dan pada akhirnya menambah beban anak. Banyak mata pelajaran yang tumpang tindih atau terkesan "diadakan" agar sekolah dapat masuk dalam kategori sekolah favorit dan tidak dipandang sebelah mata oleh kalangan berpunya. Bahkan di salah satu tayangan televisi, ada seorang ibu yang dengan bangga memamerkan anaknya atau lebih tepat dikatakan BAYI berumur 9 ... baca SEMBILAN bulan yang sudah bersekolah. Entah sekolah macam apa yang diikuti bayi tersebut dan entah pula apa latar belakang dan maksud pendidikan super dini itu. Saya hanya masih membayangkan bahwa anak atau bayi berumur 9 bulan, lebih membutuhkan belaian dan perlindungan orang tua daripada hiruk pikuk sekolah bayi. 

Memang betul bahwa pendidikan anak bukan semata tanggung jawab guru, tetapi juga tanggung jawab orang tua. Tapi kan ada bagian-bagiannya. Kalau semua mau cawe-cawe melampaui batas wewenang dan kemampuannya ... ya repot. Akhirnya tujuan akhir pendidikan jadi kabur ... semua tergantung dari uang dan pengaruh. Siapa yang kuat dan ber"uang", itu yang menang ... Jadi nggak salah ya... ber"uang" dan beruang, setali tiga uang. Cakarnya memang tajam menancap

Halah....... mau kemana sih pendidikan anak-anak Indonesia ini?

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...