Selasa, 31 Juli 2007

Majelis Rumpi Sabtu pagi

Majelis rumpi hari sabtu pagi berakhir tanggal 28 juli yang lalu. Ini nama yang kami berikan buat classe conversation au centre culturelle francaise alias Pusat Kebudayaan Perancis – annexe yang berlokasi di Jl. Wijaya I Jakarta Selatan. Kali ini kami akan break selama satu minggu saja. Biasanya break antar semester berlangsung selama satu bulan, tapi kali ini, diperpendek selama satu minggu saja.

Namanya juga classe conversation, jadi acara rutinnya ya ngobrol. Topiknya macam-macam. Bisa diambil dari kejadian sehari-hari maupun berita politik, ekonomi yang agak serius atau gossip seputar selebriti.

Namanya juga ngobrol, jadi grammaire tidak menjadi perhatian utama bagi sebagian besar peserta kursus. Maklumlah… kalau kita masih berkutat dengan grammaire, ditanggung pasti, ngomongnya nggak lancar. Takut salah …. Takut ditertawakan orang… akhirnya, pembicaraan menjadi tersendat-sendat. Tapi kalau kita “tancap” terus dan berani malu ….. ya, bisa dibayangkanlah…. Rame omongannya, tapi ditanggung nggak keruan bentuk kalimatnya. Itu teorinya….. kenyataannya lain lagi, pembicaraan tetap saja tersendat. Mungkin karena orang Indonesia umumnya agak malas buka kamus…, jadi kosa kata yang dikuasainya relatif sedikit  dan belum mampu menunjang pembicaraan.

Orang yang ingin belajar bahasa Perancis dengan serius, tentu tidak akan betah dengan suasana yang ada di kelas ini. Nggak bikin peserta kursus menjadi lebih pintar. Yang ada malah degradasi kemampuan… Kemampuan menyusun kalimat yang baik dan benar …., kehilangan kemampuan  atas ejaan bahasa dan conjugasion dan kemampuan menulis. Inilah yang, paling tidak, saya rasakan. Sekarang saya tidak mampu lagi menulis surat berbahasa Perancis dengan baik dan benar, padahal surat menyurat dalam berhubungan dengan instansi pemerintahan, menjadi tugas saya, saat mendampingi suami belajar di Perancis sekitar 25 tahun yang lalu. Kalau tidak, urusan mendapatkan “Allocation Familliale” atau Securite Sociale secara gratis, tidak akan tertangani. Ya sudah, terima nasib saja. Apalagi bahasa Perancis bukan bahasa yang dipergunakan dalam dunia pergaulan global pada umumnya.

Itu sebabnya, classe conversation tidak berisi orang-orang yang ingin belajar bahasa Perancis dengan serius, tetapi oleh orang-orang yang hanya ingin mengisi waktunya dan keluar dari rutinitas kerja. Bertemu dengan orang di luar dari kesehariannya. Katakanlah semacam clubbing.

Jadi, salah satu topik pembicaraan minggu lalu adalah tentang “pernikahan diam-diam SBY”, sebelum yang bersangkutan masuk pendidkan di Akademi Militer di Magelang. Ini gossip basi yang pernah ramai dibicarakan di berbagai mailing list menjelang pemilihan umum tahun 2004 yang lalu. Tapi kalau pertanyaannya ditujukan kepada perempuan (karena kebetulan mayoritas peserta kursus adalah perempuan), tentu menarik juga menyimak jawaban-jawaban yang meluncur dari mulut-mulut cerewet lintas generasi. Tanggapan ibu-ibu berusia di kisaran umur 50 tahun tentu berbeda dengan tanggapan “anak-anak”nya yang berumur di bawah 30 tahunan.

Pertanyaannya begini …. “a la place d”Ani Yudhoyono, que feriez-vous en apprenant le premier marriage du mari?”[1] Bagi saya, jawaban pertanyaan tersebut mengingatkan pada kisah tetangga rumah hampir 15 tahun yang lalu.” Kisahnya begini;

Tetangga rumah saya itu pasangan yang sudah memiliki sepasang anak. Si istri sedang mengambil notariat di UI sedangkan suami adalah presiden direktur dari sebuah BUMD. Orangnya tinggi besar, Gagah dan ganteng. Walaupun berasal dari “sebrang” namun tutur katanya sopan, ramah dan teratur. Berbeda dengan istrinya yang terkesan agak tinggi hati. Jadi, tidak heran bila si istri menduga bahwa suaminya banyak memiliki extra marrital’s affair. Apalagi (mungkin) karena kesibukannya, beliau seringkali tiba di rumah menjelang tengah malam. Ini tentu memicu pertengkaran yang berkepanjangan.

Konon, dalam satu pertengkarannya, si istri menyatakan…..;
“Kalau tahu begini rasanya dikhianati suami, lebih baik kita tidak memiliki rumah dan segala kemewahan ini. Orang yang tinggal di kolong jembatan dengan suami yang setia, tentu hidup lebbih bahagia daripada saya.”
Begitu si istri merajuk suaminya yang baru saja tiba di rumah di suatu tengah malam.

Suami yang kelelahan … entah karena lelah “beneran”, atau merasa disindir, tentu merasa sebal. Harapan bisa beristirahat dengan nyaman setelah lelah bekerja sepanjang hari di rumahnya yang besar, malah disambut dengan sindiran tajam, lalu meluapkan kemarahannya ;
“Kalau kau merasa tidak bahagia tinggal di rumah ini ….silakan keluar dan tinggal di kolong jembatan dengan suami impianmu itu…!!!”

Si istri kontan terdiam, kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan suaminya yang telak mematahkan rajukannya. Tentu dia tidak akan pernah rela meninggalkan rumah mewah dan segala kenyamanan hidupnya. Semua kehidupan yang menjadi impiannya dan diperjuangkan sedikit demi sedikit sejak awal masa pernikahan yang sederhana dulu. Dia juga tidak akan rela melepaskan kenyamanan itu untuk memberikan tempat dan kenyamanannya  kepada seorang perempuan lain, apabila dugaannya bahwa suami memiliki “perempuan lain” dalam hidupnya.

Bagaimana mungkin…., bertahun-tahun bahu membahu dengan suami untuk meraih kenyamanan hidup dalam bentuk harta, jabatan dan nama baik, lalu saat semuanya telah tergenggam, datang “orang baru” menikmati hasil perjuangannya??? Tidak…. Tentu tidak akan dilepaskannya posisi yang nyaman ini. posisi yang sebagai istri yang memberikannya akses pada kekayaan, posisi terhormat di keluarga maupun masyarakat sebagai istri dari suami “yang berhasil” dalam karirnya. Dengan berbagai cara, akan dipertahankannya status sebagai istri.

Itukah yang ada di dalam benak para istri para pejabat, pengusaha atau para lelaki “kaya dan berhasil” lainnya, yang dikhianati oleh suami. Apalagi kalau perempuan-perempuan itu hanya ibu rumah tangga yang sudah merasa cukup nyaman dengan statusnya sebagai subordinate dari suaminya. Tentu posisi tawarnya untuk menuntut kesetaraan dalam berbagai segi kehidupan rumah tangga semakin lemah dan dia hanya bisa menerima suratan takdir. Apapun yang terjadi.

Lebak bulus 30 juli 2007 jam 20.30


[1] sebagai Ani Yudhoyono, apa yang akan anda lakukan, mendengar berita pernikahan pertama suami?

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...