Rabu, 24 Oktober 2007

Pelecehan Warga Indonesia di luar negeri.

Kasus pelecehan terhadap warga Indonesia yang sedang melaksanakan perjalanan ke luar negeri, apalagi yang bertempat tinggal di luar negeri, semakin kerap terjadi. Awalnya hanya terjadi pada para tenaga kerja Indonesia – TKI yang, terutama, sedang mengadu untung di berbagai Negara Timur Tengah. Bukan sekedar pelecehan saja tetapi sudah mengarah kepada penyiksaan fisik yang kerap kali mengundang maut.

Belakangan ini, pelecehan terhadap warga Indonesia sudah pula merasuki warga Malaysia. Negara yang warganya dianggap serumpun dengan bangsa Indonesia. Ironisnya, pelecehan tersebut tidak lagi hanya menimpa para TKI, yaitu para pembantu rumah tangga dan pekerja gelap, yang notabene berada pada strata sosial rendah, tapi bisa menimpa siapa saja. Bahkan istri diplomatpun diperlakukan dengan tidak semena-mena, di Malaysia. Mengapa ini sampai terjadi?

Tenaga Kerja Indonesia di Timur Tengah.
Pelecehan TKI di Timur Tengah sangat kerap terjadi. Penyebabnya banyak sekali; antara lain perbedaan persepsi antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Saudi Arabia tentang tenaga kerja domestik baik perempuan maupun lelaki. Kalau kita sempat membaca buku Princess (memoire dari salah satu kerabat istana Saudi Arabia), tentu bisa mengerti bahwa secara tradisionil, masyarakat Saudi Arabia sangat bangga dengan kenyataan bahwa bangsa mereka telah diberi anugerah oleh Allah SWT sebagai bangsa yang melahirkan Rasul terakhir. Kondisi ini menyebabkan mereka merasa memiliki martabat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tentunya terlebih kepada bangsa-bangsa pencari nafkah di negara mereka, terutama pencari nafkah golongan rendah. Pencari nafkah golongan rendah ini, di mata mereka tidak ubahnya seperti budak di jaman pra Islam.

Di samping itu, kedudukan perempuan dalam strata sosial di Timur Tengah masih sangat rendah. Ajaran Islam yang sangat melindungi dan memuliakan kedudukan perempuan, dimanipulir sedemikian rupa oleh masyarakat yang sangat patriachart. Perlindungan pada perempuan diimplementasikan pada ”pembatasan” hak-hak ekonomi, sosial, politik dan budaya. Akses pada pendidikan dan pekerjaanpun dibatasi sedemikian rupa, sehingga perempuan ”dipaksa” bangga dengan status sebagai ”perhiasan” rumah dan atau alat reproduksi semata. Bukan itu saja; ”pemuliaan” status perempuan tersebut sekaligus menghilangkan kesempatan komunikasi dua arah antara dua mahluk yang berbeda jenis kelaminnya. Akibatnya, sangat mudah ditebak, lelaki Timur Tengah tidak terbiasa memperlakukan perempuan dalam keadaan setara. Mereka memperlakukan perempuan sebagai obyek atau paling banter sebagai subordinat saja. Akibatnya,saat lelaki Arab bertemu dengan perempuan asing yang berfungsi sebagai tenaga kerja domestik, maka perempuan ditempatkan sebagai objek semata. Seorang budak, obyek yang akan ”dilalap” habis saat seorang lelaki Saudi memandang dan atau menyadari keberadaan perempuan bukan muhrimnya di lingkungan rumah.

Kondisi seperti ini sangat tidak disadari oleh para TKI. Perempuan-perempuan desa dengan pendidikan, pengetahuan serta ketrampilan seadanya seakan masuk ke kandang harimau. Perbedaan budaya, kebiasaan hidup, cuaca yang panas dan kering, bahkan cara pandang masyarakat Arab terhadap keberadaan TKI tidak menjadi bekal yang menjadi pegangan tatkala TKI masuk pada bursa kerja di Timur Tengah. Entahlah, sampai sejauh apa Pemerintah Indonesia melalui Departemen Tenaga Kerja sudah memberikan pembekalan dan perlindungan kepada para TKI tersebut.

Perempuan Indonesia terbiasa hidup dan bergaul secara terbuka dengan lelaki. Ditambah lagi, tidak semua TKI perempuan yang bekerja di Timur Tengah adalah perempuan yang telah terbiasa mengenakan jilbab penutup aurat. Mereka, mungkin perempuan desa yang terbiasa memakai gaun sebatas lutut berlengan pendek. Perempuan yang suka duduk berbanjar di tangga rumah dengan hanya menggunakan kutang, mencari udara segar sambil mencari kutu usai memasak di dapur.

Dengan latar belakang seperti itu, dapat dibayangkan, di tengah cuaca panas dan kering tanah Arab, perempuan yang tidak terbiasa menggunakan jilbab tersebut, serta merta akan melepaskan penutup auratnya. Mereka perpikir, toh sudah berada di rumah. Tempat yang dianggapnya cukup aman dari pandangan liar lelaki Arab. Mereka lupa, bahwa di rumahpun ada lelaki, entah itu majikannya, anak-anak majikan atau sanak keluarganya yang tidak terbiasa dengan pemandangan asing. Seorang perempuan asing, berstatus sebagai budak keluarga, berpakaian ”terbuka” menurut adab yang berlaku di tanah Arab.

Para TKI mungkin lupa atau bahkan tidak tahu bahwa dalam status sebagai budak, maka majikan sebagai pemilik budak berhak pula untuk ”menggaulinya”. Dan itu sah menurut hukum perbudakan. Akibatnya tentu bisa diduga. TKI perempuan hamil, kemudian kehamilannya diketahui majikan perempuan, lalu dia disiksa. Atau, kalau dia mampu menghalau niat buruk sang majikan lelaki, tentu memerlukan perjuangan berat. Diperkosa atau melawan hingga membunuh si pemerkosa. Keduanya sama tidak nyamannya. Jadi .... harap maklum kalau banyak kasus TKI perempuan yang meninggal, cacat ataupun pulang ke Indonesia dengan perut hamil besar.

Tenaga kerja di Malaysia.
Malaysia adalah negara serumpun dengan Indonesia. Begitu konon selalu didengung-dengungkan. Jawabnya adalah ya dan tidak. Ya, karena sejak jaman penjajahan Belanda dahulu, rumpun suku bangsa Aceh, Melayu dan Minang dari Sumatera telah banyak merantau ke tanah Malaya. Itu sebabnya banyak pejabat yang berkuasa di negeri jiran pada awal masa kemerdekaannya, memiliki hubungan kekerabatan dengan masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di Sumatera Barat, Deli dan Riau. (aku jadi ingat, mak tuo, kakak tertua ibuku, dipanggil uni upik Perak, karena beliau lahir di Perak - Malaysia). Namun kekerabatan – serumpun bangsa itu, terbatas hanya dengan masyarakat Riau, Aceh, Melayu – Deli dan Sumatera Barat. Tidak dengan orang-orang yang berasal dari Jawa, Sulawesi, apalagi dengan masyarakat Indonesia yang berasal dari Ambon dan Papua.

Lebih sempit lagi, di mata rakyat Malaysia, kekerabatan ini bermasyarakat berkaitan dengan kesamaan agama, yaitu Islam. Rakyat Indonesia yang berasal dari suku Dayak, suku-suku yang berasal dari wilayah timur Indonesia terutama yang memiliki ras Melanesia, apalagi yang tidak beragama Islam, bukanlah sanak serumpun. Sementara itu, Indonesia tidak melihat dari persepektif yang sama. Indonesia melihatnya secara luas, serumpun bangsa, mulai dari Aceh hingga tanah Papua yang bercirikan ras Melanesia. ini

Di akhir tahun 1960 hingga tahun 1970an, Indonesia masih dianggap sebagai guru dan ”idola”nya masyarakat Malaysia. Saat banyak masyarakat Malaysia datang berguru, sekolah di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Saat itu juga, guru dan dosen dari Indonesia diminta dengan penuh hormat untuk berbagi ilmu di Malaysia. Sekarang, jamannya sudah berbeda. Generasi baru, angkatan muda Malaysia tidak lagi melihat Indonesia sebagai guru dan idolanya lagi. Mereka melihat Indonesia sebagai ”perusuh” kenyamanan mereka dan kondisi ini sesungguhnya kurang disadari oleh Indonesia.

Sebut saja ”ekspor asap” yang selalu menjadi langganan setiap musim kemarau yang sangat mengganggu kenyamanan hidup rakyat Malaysia. Di samping itu; bila pada tahun – tahun awal seusai konfrontasi, tenaga kerja Indonesia terdidik berprofesi sebagai guru dan dosen Indonesia diundang dengan penuh hormat, maka sekarang terutama pasca krisis 97 – 98, rakyat Indonesia dari tingkat pendidikan terendahlah yang berduyun – duyun menyerbu Malaysia, bekerja di perkebunan. Kesemuanya sebagian besar dilakukan secara illegal.  Sebagian Malaysia yang pada awal tahun 1960an menjadi wilayah sengketa Indonesia berada di wilayah Kalimantan Utara. Berbatasan langsung dengan wilayah Kalimantan Barat – Timur dan Tengah. Melalui jalan darat ini, para pencari kerja, terutama yang ilegal, memasuki wilayah Malaysia.

Sementara itu, kondisi pendidikanpun terbalik, kini justru masyarakat Indonesialah yang berguru ke Malaysia, menyerbu Universitas-universitas di Malaysia untuk mengikuti pendidikan jenjang S2. Bukan itu saja, masyarakat Malaysia tentu sangat hafal dengan perilaku oknum pejabat maupun TNI yang saling bekerjasama melakukan pembalakan dan penyelundupan kayu, penyelundupan gelap BBM, penyelundupan pasir dari kepulauan di sekitar Bangka – Belitong yang ternyata mengandung kadar timah yang sangat tinggi. Bayangkan, mereka (Malaysia dan Singapore) membayar sangat murah termasuk tips bagi para pelindung dan pemberi konsesi yang notabene aparat pemerintah daerah untuk mendapatkan pasir laut dengan kandungan timah yang sangat tinggi.

Ditilik dari sisi ini, rakyat dan pemerintah Malaysia memang terlihat munafik. Memperlakukan secara keras para pendatang haram sekaligus memanfaatkan perilaku oknum untuk kepentingan industri dalam negeri Malaysia.

Belum lagi citra buruk mengenai kondisi negara Indonesia yang tersiarkan melalui  media massa. Berita – berita seputar politik, ekonomi, sosial dan budaya beserta berbagai gejolak yang terjadi di Indonesia saat ini sudah sangat tidak mungkin dibendung. Arus informasi mengalir dalam hitungan detik ke segala penjuru dunia tanpa bisa ditutup – tutupi. Termasuk di dalamnya arus pemberitaan tentang perilaku korupsi para pejabat, ketidakberdayaan pemerintah dalam menanggulangi berbagai bencana dan masalah dalam negeri. Kesemuanya sudah menjadi santapan masyarakat dunia.

Jadi...., saat kesemuanya sudah menjadi konsumsi umum masyarakat dunia. Pada saat para pejabat di Indonesia termasuk masyarakat umum sudah tidak mampu lagi menjaga perilaku dan martabatnya. Pada saat pemerintah Indonesia dianggap tidak mampu atau bahkan lebih jelek lagi dianggap tidak mau melindungi kepentingan bangsa dan negaranya, bagaimana kita bisa mengharapkan masih tersisa sedikit rasa hormat dari bangsa-bangsa lain di dunia kepada negara kita tercinta, Indonesia.

Bagaimana kita bisa mengharapkan bangsa lain menghormati warga negara Indonesia, bila rakyat Indonesia (baca para pejabatnya) tidak mampu menjaga martabat dirinya sendiri. Jangan hanya menyalahkan bangsa lain. Mari introspeksi diri.

Kalau Rela di Malaysia melakukan sweeping terhadap warganegara asing dan atau para pendatang haram di negaranya. Dan kebetulan sebagian besar pendatang haram itu berasal dari Indonesia, bukan tidak mungkin bila Rela belajar dari FPI – Front Pembela Islam .... Kelompok organisasi massa yang mengaku berbasiskan Islam tetapi sangat brutal melakukan perusakan, sweeping terhadap orang-orang asing beberapa waktu yang lalu. Seolah-olah merekalah yang paling benar dan Islami, tetapi memperlakukan orang  yang tidak sepaham dengan sangat tidak Islami.

Jangan lupa... sejarah sudah membuktikan bahwa Malaysia belajar banyak dari Indonesia. Kini, bukan tidak mungkin Rela belajar banyak dari FPI  tentang cara – cara brutal dalam menangani kasus pendatang haram.

Ada baiknya kita introspeksi diri. Pelecehan terhadap warga Indonesia di luar negeri memang sangat menyakitkan, tetapi hal itu akan tetap terjadi selama kita tidak mampu menjaga martabat diri. Jadi, mari kita buktikan dulu bahwa kita adalah bangsa yang bermartabat. Hentikan pengiriman TKI domestik, tahan diri untuk tidak melanggar batas wilayah kedaulatan negara lain melalui cara – cara menjadi buruh illegal, hentikan perilaku korup dan munafik para pejabat. Tunjukkan kesungguhan membasmi korupsi seperti yang dilakukan oleh pemerintah Cina. Tunjukkan bahwa pemerintah Indonesia mampu menggunakan APBNnya secara effisien untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya, bukan menyelewengkan APBN/APBD untuk menggelembungkan isi kantong pribadi dan kelompoknya.

Kesemuanya memang tidak mudah dan perlu waktu yang panjang. Namun kita harus mulai dari sekarang. Kalau tidak, kemanapun kita melangkah, hanya pandangan perlecehan saja yang akan kita terima. Mari kita mulai dari sekarang memperbaiki diri agar saatnya datang yaitu saat, entah kapan.... warga Indonesia bisa melenggang di negara manapun di dunia dengan kepala tegak tanpa dihantui oleh pelecehan.

Final reedited; 14 oktober 2007- lebak bulus 10.00

Selasa, 02 Oktober 2007

Berbagi Rejeki

Malam minggu, sementara menunggu waktu shalat, ada telpon masuk. Dari Yudi. Rupanya ingin menuntaskan keinginannya bicara yang belum terlaksana pada sabtu siang, usai kursus.

Tanpa basa-basi, dia langsung nyrocos...:
”Madame..., tadi disodori surat nggak, sama anak-anak parkir di ccf?”
”Nggak...., kenapa?
”Aku tadi disodori anak-anak itu surat... Minta THR, katanya. Apa urusanku dengan anak-anak parkir? Aku kan cuma datang 1 kali seminggu.”
”Tahun lalu, saya juga disodori surat itu. Gak masalah, kan? Semua tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kalau kita mau berbagi rejeki yang kita miliki dan ikhlas memberinya, ya kasih aja”.
”Tapi.... itu kan nggak mendidik. Harusnya kita tidak boleh selalu berada di ”bawah”, meminta-minta kepada orang lain. Apalagi saat lebaran, itu kan tujuannya konsumtif”
”Iya sih..., kenapa nggak kita tidak berpikir bahwa ada alasan yang cukup valid sehingga mereka begitu (meminta-minta). Misalnya karena butuh untuk berbagai keperluan lebaran. 

Memang, meminta sesuatu pada orang lain, apapun alasannya; hakikatnya ”merendahkan” martabat kita di hadapan yang kita ”mintai” sesuatu. Mungkin, mereka (peminta) juga malu melakukannya. Tapi rasa malu itu terpaksa ditelan dalam-dalam karena kebutuhannya untuk memenuhi hajat hidup jauh lebih penting daripada sekedar memegang teguh ”martabat dan harga diri”. Kasihan kan...?!. Di lain pihak, kita wajib memahami bahwa di dalam rejeki kita ada bagian dan hak orang-orang miskin dan fakir. Nah kenapa tidak kita tunaikan saja kewajiban itu. Jangan melihat siapa yang meminta”

”Tapi... apa memang mereka itu adalah para mustahik...? Yang wajib diberi bagian dari zakat kita? Jangan lupa lho.... ”para peminta-minta” itu ada di mana-mana. Di kantorku .... satpam yang sudah jelas mendapat THR dari pengelola gedung, toh mulai mengetuk pintu setiap kantor, meminta bagian. Belum lagi para rekanan, bahkan ”pejabat” yang biasa berurusan dengan kantorku, rame-rama ”nagih” bagian. Mana THRnya....??? Begitu katanya. Ini kan konyol.....!!!”
”Duh ... kamu kok ngotot banget sih...? Jangan mempersulit rejeki orang dong... Kasih ajalah, kalo memang ada rejekinya...!”
”Tapi itu nggak mendidik....”
”Kenyataannya, sebagian masyarakat kita memang belum terdidik dengan baik. Pemahaman agamapun masih sebatas ritual – seremonial. Untuk mengubahnya perlu waktu yang panjang. Kita lakukan saja apa yang kita anggap baik. Tapi juga nggak perlu ngotot gitu ah.”
”Sebel aja... Coba deh bayangin... aku punya milis, saat ada bencana di Madura, kami buka “dompet” sumbangan kebetulan di bulan puasa. Waduh… dalam sekejap terkumpul belasan juta rupiah. Eh… pas ada bencana lain yang terjadi bukan di bulan Ramadhan, dompet yang dibuka, cuma terisi ratusan ribu. Konyol kan?! Padahal kalo mau sedekah, kan nggak mesti ngeliat-liat bulan. Yang penting keikhlasan”.
“Setuju, tapi kalau pemahamannya memang sebatas itu?... Dengar aja di setiap pengajian dan khotbah. Selalu ditonjolkan bahwa ibadah di bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala berlimpah. Makanya, semua orang berebut mendapatkan pahala yang besar. Jadi, biarlah, kalo memang pemahamannya masih begitu. Minimal... mereka sudah mau meringankan tangan dan hati untuk berbuat baik, mengeluarkan hartanya untuk zakat, infaq dan sedekah. Walaupun itu dilakukan setahun sekali. Soal pahala, itu bukan urusan ustadz atau khatib. Allah SWT yang Maha Menghitung. Dia tidak buta akan apa yang kita lakukan. Termasuk juga niat yang ada di dalam hati kita. Udah ah, kamu kok ngomel terus dari tadi. Ntar pahala puasanya ilang lho...!!!”

Pembicaraan kemudian terputus begitu saja. Kalau belum puas, paling-paling dia akan menyambung pembicaraan hari sabtu yang akan datang.
 
Fenomena zakat – infaq – sadaqoh, selalu ramai diperbincangkan orang setiap bulan Ramadhan. Apa yang dikeluhkan Yudi memang tidak juga dapat disalahkan. Persepsi kita mengenai zakat – infaq – sadaqoh memang berbeda satu sama lain. Ada yang menganggap bahwa kesemuanya, terutama zakat, akan lebih afdol bila ditunaikan setelah nisabnya tercapai dan dibayarkan selama Ramadhan agar mendapat pahala berlimpah. Ada juga yang menyelesaikannya sesegera mungkin. Tidak lagi berhitung-hitung soal nisab atau pahala yang diperoleh sebagai imbalan atas ditunaikannya kewajiban berzakat. Bagi mereka, tunaikan kewajiban secepatnya karena pahala adalah hak prerogatif Allah yang tidak ada seorang manusiapun mampu memahami kriteria sesungguhnya yang diterapkan Allah untuk menghitung pahala umat manusia.

Begitu juga mengenai kriteria mustahik. Tentu akan panjang pula perdebatan mengenai siapa yang berhak atau tidak. Daripada berlama-lama berhitung-hitung, kenapa tidak disederhanakan saja polanya .... Prinsipnya ... kalau ada orang meminta sesuatu kepada kita; itu adalah ujian dari Allah SWT kepada kita. Kita disodorkan kesempatan untuk ”meraih pahala”. Akan diambilkah kesempatan itu, atau kita biarkan saja ”kesempatan meraih pahala” itu berlalu dari hadapan kita. Soal apakah dia berhak menerima zakat, infaq atau sadaqah ... serahkan saja kepada Allah SWT. Para pemberi infaq - sadaqah yang ikhlas, tidak akan pernah merugi.

Suami saya lebih ekstrim lagi, setiap saat saya mau berkomentar tentang "peminta-minta". dia akan langsung menghardik; "kalo kamu nggak ikhlas memberi, jangan berdalih untuk "mendidik masyarakat". Yang mereka butuhkan saat ini adalah uang untuk hidup. Bukan pendidikan yang memakan jangka panjang. Kesadaran untuk tidak meminta-minta, Insya Allah akan datang saat kebutuhan materi mereka tercukupi. Atau berbuatlah sesuatu yang nyata agar mereka tidak perlu meminta-minta sepanjang waktu. Nah kalau belum mampu berbuat sesuatu yang nyata, berikan saja kebutuhan jangka pendek mereka. Begitu lebih baik, daripada cuma ngomong".

Memang dalam buku-buku sering ditulis siapa saja yang dapat digolongkan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat, infaq atau sadaqah. Jadi kalau ada orang yang kita anggap bukan mustahik tetapi masih suka meminta... Mungkin karena secara fisik, dia sudah menyandang predikat pemberi zakat – infaq – sadaqoh tetapi jiwanya masih sebagai mustahik. Masih merasa berhak "disantuni" orang lain. Jadi... kasihanilah mereka ... Jangan bebani jiwa kita dengan segala prasangka. Insya Allah, hati kita akan merasa lebih ringan dan ikhlas memberi. Minimal kalo belum bisa memberi, nggak perlu nggrendeng di belakang, gitu...!!! Supaya pahala puasanya nggak berkurang. Setuju, kan...?

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...