Jumat, 29 Agustus 2008

Optimistis atau pesimistis?


Beberapa hari yang lalu, sambil browsing saya “nguping” diskusi di Metrotv. Mungkin acara Save Our Nation  atau Padamu Negeri (emang ada acara yang namanya begitu?). Pokoknya acara itu isinya survey interaktif antar grup yang hadir di studio dengan 3 nara sumber. Setiap selesai survey, setiap group memaparkan alasan-alasan dari pilihannya. Semula, acara ini dipandu sama Fifi Aleyda Yahya, terus diganti sama Dedi Gumelar yang Miing itu. Acara yang baru lalu itu, saya sudah nggak tahu lagi siapa pemandunya.
Di akhir acara, salah satu responden menjawab (saya nggak dengar pertanyaannya) yang intinya … ‘bangsa Indonesia harus tetap optimistis karena kita memiliki begitu banyak sumber alam yang mampu memakmurkan bangsa” Nggak persis begitu sih, jawabannya… tapi, yang saya tangkap, esensinya begitu deh.


Tahun depan, kalau nggak salah bulan April 2009, Indonesia akan melaksanakan kembali pemilihan umum untuk anggota DPR/MPR dan DPD lalu disusul dengan pemilihan presiden langsung yang ke 2. Dan pertanyaan Apakah anda optimistis atau pesimistis akan masa depan Indonesia, menjadi sangat relevan untuk dikaitkan dengan hingar-bingar persiapan ke dua peristiwa akbar tersebut.
Indonesia kaya raya, yup… seluruh dunia tahu hal itu. Kaya raya sumber alamnya. Tanahnya subur … orang bilang, lempar saja biji-bijian, seminggu kemudian biji tersebut sudah bertunas dan berkembang menjadi pohon. Jangan bandingkan kesuburan tanah di Indonesia dengan tanah gurun batu di Saudi Arabia, cukup bandingkan dengan tanah di Eropa. Petani Eropa harus bersusah payah, menanam sesuai musim, tanaman harus di tutup dengan plastik supaya hangat, atau kalau yang lebih modern, pertanian harus pakai green house.
Sumber alamnya…. Aduh, jangan ditanya deh…!!! Apa yang nggak ada di Indonesia? Dari mulai pasir, kapur, marmer sampai batu mulia. Dari nikel, timah, tembaga, perak sampai emas, dari batu bara, minyak mentah hingga uranium… Ayo, apa yang nggak ada di Indonesia. Begitu juga dengan kekayaan bahari dan hayati. Bahkan berbagai miniature alam, semua ada di Indonesia. Gurun hingga salju abadi dan padang rumput hingga kelebatan hutan tropis. Konon orang-orang gurun di timur tengah seringkali mengibaratkan Indonesia seperti surga dunia.

Cuma sayangnya, sejak masuknya VOC hingga usia kemerdekaan Negara mencapai 63 tahun, segala kekayaan alam Indonesia lebih banyak dinikmati oleh negara-negara asing. Kalau pada abad ke 17 hingga masa sebelum kemerdekaan di tahun 1945 abad ke 20, Indonesia luluh lantak diperas Belanda, negara yang luasnya se “uprit” dan “gunung" alias tanah dengan permukaan tertinggi di seantero Belanda hanya 30 meter di atas permukaan laut ditambah dengan kekangan saudara tua dari belahan timur dunia, maka pada masa kemerdekaan, Indonesia malah dengan sukarela bertekuk lutut di bawah pemerintah amerika serikat dan sekutunya melalui putra-putri terbaiknya yang telah “disuapi ilmu” a la John Perkins.

Tinggal beberapa bulan lagi kita menghadapi pilihan raya demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Masih percayakah kita akan harapan bahwa para pejabat publik periode yang akan datang yang meliputi eksekutif, legislatif dan judikatif mampu membangun negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Kalau melihat sumber daya alam yang sangat melimpah, mestinya pemerintah Indonesia mampu mensejahterakan rakyatnya. Tengok saja Korea yang kini sudah menjadi salah satu macan ekonomi dari timur. Padahal, negara ini sempat dilanda peperangan dan intervensi pihak asing dan toh mereka mampu memperbaiki negerinya. Padahal, kekayaan alamnya tidaklah sebesar Indonesia.

Tengok juga Cina dengan penduduk yang yang berjumlah lebih dari satu milyar jiwa. Padahal Negara ini sempat terpuruk dilanda revolusi kebudayaan pada tahun 1966 dan baru mulai bangkit pada tahun 1980–an  di bawah kepemimpinan Deng Xiao Ping. Kini Amerika Serikat yang mengaku dirinya sebagai polisi dunia, dalam bidang ekonomi, secara tidak langsung telah “bertekuklutut” kepada Cina. Ekonomi AS, porak poranda setelah berbagai negara di hampir seluruh belahan dunia termasuk AS dilanda serbuan barang produk Cina yang mengakibatkan defisit neraca perdagangan setiap Negara terhadap Cina. Dominasi produk Cina telah mengakibatkan produk industri negara non Cina menjadi tidak kompetitif lagi. Tidak salah lagi bila banyak ekonom yang meramalkan bahwa dalam krun waktu 20 tahun, ekonomi dunia akan dikuasai Cina.

Lalu bagaimana Indonesia dengan kekayaan sumber alamnya yang melimpah. Kekayaan hanya bermanfaat bila dikelola dengan baik dan dimanfaatkan dengan benar sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Indonesia pernah menjadi “guru” yang baik bagi Malaysia. Kini kondisi Malaysia telah berkembang sedemikian baiknya, jauh meninggalkan sang guru. Banggakah kita? Kalau saja diibaratkan seperti pendidik, tentu saja sang guru akan sangat berbangga hati bahwa muridnya telah berhasil meningkatkan harkat hidupnya. Sayangnya Indonesia adalah sebuah Negara berbentuk republik yang bila “mampu mengajarkan” Negara lain untuk berkembang, tetapi tidak mampu mengembangkan diri sendiri, tantu ada yang salah dalam tata laksana Negara ini. Dan …. Ini sudah menjadi rahasia umum….

Ah… itu kan gara-gara tim economic hit man nya John Perkins! Yup … bisa jadi begitu, sayangnya bukan lagi masanya untuk mencari kambing hitam. Kenapa tidak megintrospeksi diri saja. Apa yang sudah kita lakukan bagi rakyat dan bangsa ini.

Satu saat, saya pernah berbincang dengan seseorang yang “relatif bersih” dan menanyakan sebab-sebab keenganannya bergabung dalam partai atau pemerintah. Saya selalu percaya bahwa untuk melakukan perubahan maka kita harus memiliki “kekuasaan”, namun kekuasaan itupun harus diperoleh dengan cara yang baik dan benar. Sebab, bila dalam meraih kekuasaan itu sendiri telah dilakukan dengan cara-cara yang tidak benar, maka jangan berharap kita akan “memegang kekuasaan” yang berarti amanah dan kepercayaan itu dengan baik dan benar pula.
Atas pertanyaan itu, dia menjawab:
“Aku nggak sanggup cakar-cakaran, sikut-sikutan dan kemudian melaksanakan berbagai hal  manipulatif demi sebuah kekuasaan. Tidak…, saya tidak sanggup, karena itu bertentangan dengan hati nurani. Lebih baik saya berada di luar lingkaran, melakukan apa yang bisa saya lakukan”. Begitu katanya.
Saya percaya, masih banyak “orang pintar yang baik” di Indonesia. Tetapi sebagian besar dari mereka ada dalam golongan yang berprinsip seperti teman saya itu. Egoistis atau idealistis? Sukar untuk menjawabnya. Boleh jadi dia dituduh egoistis, karena hanya memikirkan idealism pribadi dan tidak mau atau mungkin tidak mampu berjuang untuk orang banyak.  Atau bisa jadi orang lain akan menilainya sebagai idealis. Suka-sukalah….!
Lalu, adakah yang memikirkan nasib bangsa dan negara ini kelak? Mestinya, partai-partai yang sedang bersiap menyongsong pemilu itulah yang berkewajiban “memilih” anggota legislatif yang “mumpuni”, yang mampu menyerap aspirasi konstituennya sekaligus mampu bekerja dan memahami berbagai permasalahan negara.
Saya pernah melihat tumpukan berbagai dokumen salah satu komisi dan panitia di DPR, lalu mengintipnya. Aduh, mak…. Berat!! Seorang sarjana saja belum tentu mampu mencerna berbagai masalah negara. Kalau sarjana saja tidak mampu, bagaimana kalau anggota legislatifnya tidak memiliki pendidkan yang baik atau kalaupun sarjana, tapi berasal dari universitas cap dua kendi?
Betul di DPR ada sekretariat, dan semua anggota DPR memiliki staff ahli, assisten dan lain-lain. Tahukah anda bagaimana kualitas mereka? Nggak ada bedanya dengan suasana di kantor-kantor pemerintahan. Ada aa’ teteh, adik, uwa, mamang, bibi bahkan istri… ngumpul dan tumblek blek disitu…., Memang tidak semuanya begitu, tetapi ada…..!!!!
Seorang teman yang "lulus" dalam seleksi menjadi staff ahli di DPR bercerita, tatkala calon staff  hasil seleksi diajukan kepada anggota DPR untuk dimanfaatkan sebagai staffa ahli/assistennya, beberapa menolak dan lebih memilih staff ahli/asisten sendiri, yaitu yang berasal dari kalangan keluarga. ya si aa, teteh itulah. Mungkin mereka pikir... daripada honorarium staff/assisten jatuh ke orang yang "tidak dikenal" kan lebih baik mengalir ke lingkungan terdekat. Yah... hitunghitung nolong keluarga.
Dengan kualitas pendukung seperti itu, ditambah lagi dengan kualitas intelektual (walau tidak semua) yang pas-pasan, nggak salah kalau gus Dur berkomentar bahwa DPR tidak ubahnya seperti taman kanak-kanak 
Coba tengok, perilaku buruk anggota DPR bertubi-tubi belakangan ini. Dari mulai perilaku seksual, suap menyuap, jual-beli suara dan otoritas berkedok fit & proper. Bagaimana kita bisa menggantungkan masa depan bangsa ini kepada para pejabat public seperti itu?

Memang, menjadi anggota parlemen butuh modal besar, berapapun besarnya, minimal untuk kampanye. Tentu mereka ingin modal tersebut kembali dan lagi-lagi minimal sebagai modal kampanye masa jabatan berikutnya. Kalau hanya mengandalkan gaji dan tunjangan sebagai anggota DPR yang sudah dipotong kewajiban kepada partai, sumbangan-sumbangan bagi para konstituennya yang bertubi-tubi serta kebutuhan rumahtangga sehari-hari, boleh jadi modal awal tidak akan kembali. Jadi secara logika, “pantaslah” bila mereka mencari cara lain mendpatkan penghasilan tambahan. Dengan struktur pengeluaran dan penerimaan seperti itu, terlalu naïf, kalau kita katakan bahwa gaji mereka telah mencukupi.

Mengatakan bahwa menjadi anggota parlemen sebagai “pengabdian pada bangsa dan negara”, dimata saya masih terlalu idealis. Rasanya masih jauh dari perikehidupan bangsa kita yang belum “ajeg”. Yang secara nasional dan menurut teory Maslow masih berada dalam taraf pemenuhan kebutuhan dasar. Walaupun itu tidak bisa dijadikan pembenaran atas terjadinya jual-beli “kekuasaan dan otoritas” anggota parlemen dalam mengesahkan pejabat executive, undang-undang, APBN dan kebijakan-kebijakan lainnya

Kini, menjelang pemilu, kita diperlihatkan bagaimana partai menempatkan calon legislatifnya. Popularitas menjadi tolok ukur utama. Bukan kualitas. Itu sebabnya artis yang jaman Suharto dulu hanya dijadikan pendukung kampanye, sekarang bertengger di urutan 1 daftar calon legislatif.

Mereka yang sehari-hari berakting, itupun hanya akting pas-pasan saja… Mereka yang bermodalkan goyangan pinggul berbekal popularitasnya dengan sangat percaya diri menjadi caleg, seolah persoalan negara cukup ditangani dengan acting dan goyangan pinggul. Atau bahkan bermodalkan hubungan keluarga dengan petinggi partai. Ya itu… golongan aa’ teteh, uwa bibi dan seterusnya.
Jadi kalau profil calon legislatif di urutan 1 hanya bermodalkan popularitas dan nepotisme, masih optimiskah anda bahwa para pejabat publik pada pemerintahan mendatang mampu membawa Negara ini kea rah yang lebih baik?

Senin, 18 Agustus 2008

Mengenal alam

Awal bulan Agustus, saat ditawari untuk ikut corporate fun out bound ke Citarik, saya agak malas-malasan. Waktunya, 15 - 17 Agustus 2008 agak kurang cocok. Biasanya anak saya akan menolak ikut karena akan ada upacara (lagi-lagi seremonial) 17 Agustus di sekolah dan si anak mesti, minimal diantar. Jadi sebelum memutuskan ikut, mesti koordinasi dengan jadwal kegiatan anak.

Seperti sudah diduga, saat si anak di ajak, dia malas2an.. aduh, repot deh kalo anak dan suami nggak ikut. Maka akhirnya saya menulis TIDAK dalam daftar keikutsertaan yang diedarkan di kantor.

Baru mengisi jawaban TIDAK IKUT, sore harinya, suami memberitahu bahwa kantornya juga akan mengadakan acara family gathering, kali ini Sari Ater - Ciater Subang.... Jadwalnya tanggal 17 dan 18 Agustus 2008. Walah.... yang ini lebih konyol. Badan tua ini perlu istirahat sebelum bekerja kembali. Kalau acara baru selesai senin dan baru kembali ke Jakarta sore dengan menempuh perjalanan +/- 4 jam karena macet dan lain-lain lalu esoknya harus kembali masuk kantor...? Waddooohhh .... ampyun....!!!

Runding sana-sini akhirnya diputuskan saya harus menarik kembali jawaban TIDAK IKUT dan memutuskan ikut serta naik bus rame-rame.Berangkat dari kantor yang awalnya direncanakan pada jam 14.30 seperti biasa tidak akan pernah tepat. Adaaaaa aja halangannya. Apalagi, walaupun sudah diijinkan untuk berangkat ke Citarik, tapi meninggalkan sang big boss yang lagi hadir di kantor dengan para tamunya, tentu bukan hal yang mudah terutama bagi para kroco yang harus meladeni. Nggak apa-apalah, daripada nggak jadi..... Walhasil baru jam 15.15 bus White Horse berangkat menembus kemacetan Jakarta menuju Cikidang.

Bagai lepas dari kungkungan, semua peserta ramai mengisi waktu, main kartu, nyanyi-nyanyi atau bahkan hanya sekedar terkantuk-kantuk atau menahan mual di jalan yang berkelok-kelok antara Parungkuda - Cikidang.

Tiba di Citarik sekitar jam 19, langsung makan malam, baru menuju camping ground, pembagian tenda, satu tenda ber 3. Lumayan nyaman, didalam tenda sudah ada bantal dan sleeping bag. Usai mandai, dilanjutnkan dengan acara santai atau tanpa acara yang diatur panitya. Makanan....? Nggak usah khawatir... teman kantor saya itu, suka banget nyemil. Jadi kalau ada acara jalan-jalan, makanan sangat terjamin. Dari mulai buah-buahan, kripik, kacang, permen, donat, brownies ... semua lengkap. Apalagi dari Camp, disediakan juga teh+kupi yang ditemani dengan kacang dan pisang rebus.

Jam 22,00 disediakan kambing guling, lengkap dengan lontong. 1 kambing yang cukup besar untuk 23 orang, yang hadir pada malam itu, karena ada 10 orang lagi yang baru bisa hadir di hari Sabtu pagi. Gila .... mana bisa kurus kalau begitu caranya ngatur menu? .
Sabtu 16 Agustus 2008

Tidur di tenda, ternyata sangat menyenangkan. Udaranya tidak terlalu dingin bahkan sleepng bag hanya digunakan untuk alas tidur saja/ Tidak perlu masuk ke dalamnya untuk tidur. Kam 04.15 sebetulnya alarm sudah berbunyi, tapi karena adzan subuh belum terdengar, ya sudah ... tidur lagi deh...!

Jam 07.00, sarapan nasi goreng sudah terhidang lengkap dengan kopi dan teh. Lalu bersih-bersih badan untuk kemudian pada jam 09. bersiap-siap melakukan trekking. Semula trekking dilakukan di perkebunan teh, tapi karena hari sudah cukup siang, maka lokasi dipindahkan ke kebun karet yang teduh.

Perjalanan menuju lokasi trekking ditempuh dengan naik truk. Asyik juga deh.... seperti kambing, tapi seru...! Kalau di Jakarta, kami seringkali tertawa melihat orang yang berdesakan naik truk, di Cikidang kami jadi orang kota yang sangat kampungan, tertawa-tawa seru naik truk. Norak banget....!!!!

Arena trekking lumayan mudah, tidak terlalu tajam menanjak dan di pertengahan perjalanan kami mengunjungi pabrik pengolahan karet mentah. Usai melihat-;ihat proses pengolahan karet, kami melanjutkan perjalanan. Ternyata, perjalanan menuruni bukit jauh lebih sulit.
Perbukitan di daerah Sukabumi - Banten ternyata sudah gundul dan dirambah oleh perkebunan sawit. Kalau saja perkebunan sawit terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Irian yang jumlah penduduknya relatif ;lebh rendah, maka itu bisa dimaklumi. Tapi kalau ternyata pulau Jawa yang padat juga dirambah oleh perkebunan sawit yang mono kultur, maka dapat dipastikan keseimbangan ekosistem di pulau Jawa akan rusak Entah bencana apa yang akan datang nantinya. 

Kembali dari trekking, kami beristirahat sejenak, makan siang, mandi dan shalat lalu bersiap mengikuti arung jeram di sungai Citarik. Entah beruntung atau malah merugi, ketinggian air sungai saat itu hanya sekitar 30m - 90 cm saja. Kedalaman minimal untuk mengikuti rafting apalagi untuk para penakut yang tidak bisa berenang seperti saya. Iming-iming mengunakan pelampung, helmet dan dipandu oleh guide yng professional tetap saja tidak mamp[u mengurangi phobia.

Satu perahu dimuati oleh 5 orang, sudah termasuk 1 orang guide yang sangat terampil baik dalam memberikan komando maupun manuver di air saat perahu terjebak di antara bebatuan yang sangat besar di sepanjang perjalanan. Walhasil perjalanan yang 1,5 jam untuk menempuh jarak 4 km menjadi sangat tidak terasa. Perang air antar perahu saat istirahat di tengah perjalanan, semua nyebur ke air sungai. Yang nggak mau turun dan "jaim" karena nggak mau basah-basahan, disembur air dan "dipaksa" turun. Kalau nggak mau juga, perahunya dibalik... tinggal pilih. Semua senang, nggak ada yang boleh marah.

Di Parakan telu, kami berhenti. Fun rafting selesai karena arus sudah tak mamupu lagi mendorong perahu. DI saung sudah menunggu air kelapa muda, langsung dari pohonnya. Sayang, tidak ada satu orangpun yang membawa kamera sehingga kenikmatan meminum air kelapa tidak bisa diabadikan.

Usai istirahat, kami kembali ke camp, masih naik truk sambil bercanda-canda meniti jalan berbatu yang sempit dan curam. Ngeri tapi senang. Mungkin disitu sensasinya. Tiba di camp, langsung mandi karena semua badan basah dan lelah. Sebagian kemudian merebahkan badan, beristirahat menunggu saat maghrib untuk shalat dan makan malam. sebagian yang sudah kelaparan makan makaroni panggang yang dibawa Intan. Lumayan buat nagsel perut yang sudah keroncongan.

Jam 19.00 makan malam disajikan. Kali ini menunya sup, lalapan, tempe goreng, cumi, udang dan ikan bakar. Asyik juga, apalagi setelah lelah seharian. Rasanya semua makan dengan lahap.

Jam 22.00 acara yang ditunggu, BBQ dimulai. Udang, cumi, sosis, ikan dan jagung dibakar. Intan nggak salah lagi deh kalo disuruh bawa makanan. Satu cooler box penuh terisi aneka macam sea food yang akhirnya tersisa untuk tambahan makan pagi.
Malam kedua, saya dan anak kembali tidur di tenda. Saung Ngaloen, terlihat kurang cukup menampung peserta, jadi disediakan tambahan 4 buah tenda dan saya memilih satu di antaranya. Rasanya lebih nikmat tidur di tenda. Mumpung ada kesempatan. Suami yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di saung lelaki.

Pagi hari ke 3, 17 Agustus 2008.
Alarm di hp terpasang pada jam 04.15, tetapi karena adzan subuh belum terdengar, maka saya tertidur kembali dan baru bangun pada jam 05.00 untuk shalat subuh. Di luar, anak-anak muda itu sudah bermain di sungai CItarik yang terletak persis di muka saung.

Jam 07.00 sarapan nasi uduk dengan oseng tempe, udang, cumi dan ikan sisa BBQ semalam, lalu bersiap menuju Paint ball camp dengan naik truk. Kami dibagi 4 group dan bermain dalam 2 sesi @ 15 menit. Masing-masing orang dilengkapi dengan seragam hijau lengkap dengan rompi, helmet, senapan semi otomatis dan 40 butir paint ball.
Badan tua ini rupanya sudah kurang lentur dan lincah untuk merayap, merangkak dan bersembunyi dibalik batu, pohon atau alang-alang untuk menghindari tembakan. Ternyata, terkena paint ball terutama dari jarak dekat, lumayan sakit. Lengan anak saya memar karenanya. Usai bermain paint ball, kami kembali ke camp dengan truk untuk mengikuti fun game

Tepat jam 12.00 kami segera makan siang lalu dilanjutkan dengan mandi dan shalat. Jam 14.00 acara dilanjutkan dengan flying fox dan balance beam. Flying Fox, kelihatannya mudah ... Ah, cuma diikat dipinggang lalu digantungkan pada kabel yang konon katanya mampu menahan beban hingga 1,5 ton kemudian melayang-layang. Maka ... jadilah kenekadan saya untuk mencoba. Lupa kalau umur sudah lewat setengah abad, kelenturan dan keseimbangan tubuh sudah jauh berkurang. Apalagi saya termasuk gamang dengan ketinggian. Sungguh..... nggak mau nyoba lagi .... Ngeri terutama saat badan didorong ke muka dan menggantung, sesaat sebelum melayang.... Wuih ..... mungkin kalau di shoot dari dekat, bisa terlihat bahwa muka saya pucat pasi... Kapok....!!!

Yang mengagumkan adalah si mungil Sebi, 6 tahun. Si imut anaknya Intan ini memang nekad. Usai melakukan tandem dengan Bayu, dia nekad minta ikut sekali lagi. Andaikan bapaknya yang lagi bertugas di Banda Aceh tahu kenekadan anaknya itu, ibunya pasti dimarahi habis karena membiarkan si anak ikut kegiatan yang membahayakan. Untuk itu, pada balance beam, hanya ada 8 orang yang berani melakukannya dibandingkan dengan 28 orang yang mencoba flying fox.

Keseluruhan acara berakhir pada jam 15.00 di hari minggu dan kami segera menuju bus White Horse yang sudah menunggu. Perjalanan pulang sudah kurang dinikmati. Semua merasa lelah namun senang. Tinggal melemaskan otot-otot di rumah. Untunglah, hari Senin adalah hari libur. Jadi masih bisa beristihata di rumah.
Ah ... andai waktu bisa diputar kembali, kegiatan ini pasti bisa lebih dinikmati oleh otot-otot muda.

Kamis, 14 Agustus 2008

Model baru komunikasi anak - ortu.

Kemarin, lagi asyik ngerjain cashflow proyek, ada email masuk. Dari suami. Jarang-jarang dia ngirim email, kecuali untuk forwarding undangan dan sebangsanya. Ya iyalah... setiap hari ketemu, masih kirim-kiriman email, rasanya keterlaluan deh. Buatku, kalau suami istri komunikasinya lebih banyak melalui email, itu pertanda komunikasi sudah tidak berjalan dengan baik.
Yang kemarin itu beda; dia mem forward email dari anak gadisnya yang berumur 10,5 tahun dan duduk di kelas 6 SD...
 Aku fwd email dari lulu...
weh2 internet udah dipakai utk caci maki ortu..
kacau neh.
.
Sent: Tuesday, August 12, 2008 8:27:42 PM
Subject: nyakitin hati!!!!!!!
kerjaannya nyakitin hati!!!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!!!! nyakitin hati!!!!!!!

knp sih sbagian ortu tuh 'nyakitin hati'???!!!!
Setelah baca email itu, aku jadi tertawa sendiri sambil geleng-geleng kepala. Ini anak pasti lagi sebel sama bapaknya. Terbukti, dia nggak ngirim email (cc) ke ibunya: Malah di cc ke sepupunya di Bandung yang memang sama kompaknya dengan suami kalo lagi ngegangguin anakku.
Kira-kira, aku tahu penyebabnya. Semalam saat si anak panik nyari kamus bahasa Inggris untuk bikin PR "Diary in English". Si bapak yang sedang bersiap mau beli roti, bekal menginap di rumah ibunya (1x seminggu), sempat berkomentar. Aku nggak begitu ingat apa komentar bapak. Tapi pasti dianggap nyakitin hati si anak....
Biasalah ... seperti lirik sebuah lagu... Karena wanita ingin dimengerti...... 
Langsung kubalas email suamiku itu :
Kepala dingin dong
dia nggak maki2 ortu.....
cuma nanya,
KENAPA SEBAGIAN ORTU SELALU NYAKITIN HATI

Ada baiknya kita tanya, apa maksudnya dan bagian mana yang nyakitin hati dia.
Masih mending dia nulis begitu, jadi kita tahu, komunikasi antara kita sama dia ada yang nggak nyambung
 salam
BAGAIMANA pengalaman anda dalam berkomunikasi dengan anak-anak?

Selasa, 12 Agustus 2008

WARNING - untuk pengguna Visa Card

Bagi pengguna VISA CARD - VCard yang melakukan transaksi pada hari Kamis 7 Agustus 2008 sekitar jam 20.00 an, ada baiknya mengingat kembali, apakah ketika anda melakukan transaksi, approval dari card center – CC dilakukan sekali saja (langsung approved) atau harus dilakukan beberapa kali tanpa hasil kemudian anda harus mengganti kartu dengan kartu lain misalnya Visa electron atau Master Card - MCard.

Bila ternyata transaksi anda sempat ditolak oleh VCard, ada baiknya anda segera menghubungi CC untuk memastikan bahwa pembukuan transaksi anda hanya dilakukan satu kali saja. Dengan kata lain, transaksi VCard yang gagal tersebut tidak dibukukan, karena pada hari KAMIS 7 Agustus 2008 tersebut, minimal sekitar jam 20.00 an tersebut telah terjadi gangguan hubungan telpon dari EDC yang berada di kasir para merchant dengan CC yang membukukan transaksi anda. Akibatnya transaksi yang "gagal" tersebut tercatat sebagai PENDING transaction dan langsung dibukukan ketika gangguan teratasi.
Ini adalah pengalaman nyata.

Kamis 7 Agustus tersebut saya berbelanja di Carrefour Lebak Bulus - Jakarta dan menggunakan VCard untuk pembayaran (ini gaya penghutang – tapi sombong … hehehe). Pada swipe pertama, transaksi tidak dapat dilakukan. Saya lupa apa yang tertulis pada layar EDC di kasir. Karena berulang kali transaksi gagal, maka kasir berpindah mesin dan melakukan swipe di mesin yang baru di kasir sebelahnya. Juga berulang kali dan kesemuanya gagal membukukan transaksi dengan VCard. Untuk itu dia meminta saya mengganti kartu. Beruntung saya memiliki MCard yang dikeluarkan oleh bank yang sama, dan transaksi berhasil dilakukan dengan hanya satu kali swipe.

Merasa kurang nyaman dengan kejadian ini atau mungkin feeling insecure, pada hari Jum'at pagi saya menelpon CC untuk mengecek penggunaan ke dua kartu tersebut. Dari situ, diperoleh informasi bahwa telah terjadi 3 kali pembukuan transaksi di Carrefour dengan nominal yang sama yaitu 2 kali dengan VCard yang berarti 2 kali swipe pertama dari dua EDC yang berbeda dan satu kali dari MCard yang memang approved dan saya tandatangani.

Kepada service assistant - SA, saya jelaskan kronologi peristiwanya dan mengatakan bahwa hanya ada 1 transaksi yang valid, yaitu dengan MCard. Silakan periksa bahwa tidak mungkin ada 3 transaksi dengan nominal yang sama di merchant yang sama pada jam dan menit yang berdekatan.

"Bu, kalau begitu, mohon ibu menghubungi kembali Carrefour dan meminta mereka mem void transaksi tersebut. Kami di sini tidak bisa melakukannya, tanpa persetujuan merchant”
“Lho … bagaimana saya bisa meminta Carrefour melakukan hal itu? Atas dasar apa? Saya sama sekali tidak memiliki bukti telah melakukan transaksi sebanyak 2 kali dengan VCARD tersebut. Yang saya tandatangani hanya 1 kali dengan MCard yang telah approved”.
“Tetapi, begitu prosedurnya bu…!”, jawaban standar, khas petugas call center
“Saya tidak keberatan melaksanakan prosedur tersebut, tapi tolong berikan saya bukti bahwa saya sudah dirugikan akibat 2 kali pembukuan transaksi yang unapproved tersebut dan karenanya meminta Carrefour untuk mem void transaksi tersebut.”
“Nanti saya laporkan dulu bu…”

Saya menunggu cukup lama untuk hal ini. Menunggu SA melaporkan kasus ini kepada supervisor nya
“Bu, … memang telah terjadi gangguan pada malam itu, tapi prosedurnya memang begitu. Atau, ibu menunggu 14 hari dulu saat tagihan tercetak…”
“Non … CC punya data, punya bukti yang cukup valid dan sudah mengakui bahwa ada gangguan pada computer. Jadi, cukup banyak alasan untuk melakukan hal tersebut. Sementara saya tidak memiliki bukti yang valid untuk meng klaim Carrefour atas transaksi ganda ini. Jadi, tolong katakan pada supervisor anda untuk melakukan voiding secara internal".

Merasa kurang puas pada jawaban SA di call center, saya mengirim email pada SA di bank penerbit kartu tersebut dan meminta bantuannya untuk menindaklanjuti masalah tersebut. Jum’at sore, saya kembali menelpon CCC menanyakan kelanjutan proses voiding tersebut. Alhamdulillah, SA yang kali ini seorang lelaki menyatakan dengan tegas bahwa telah banyak keluhan yang masuk mengenai penggandaan transaksi pada kamis malam tersebut dan CC sedang melakukan voiding atas transaksi-transaksi ganda yang terjadi pada hari tersebut dan proses tersebut diperkirakan selesai pada hari Sabtu siang.

Jadi, kalau anda melakukan transaksi dengan menggunakan VCard pada kamis 7 Agustus 2008 dan transaksi anda sempat ditolak, coba hubungi call center CC anda. Pastikan tidak terjadi penggandaan atas transaksi yang anda lakukan pada hari itu.

Senin, 11 Agustus 2008

musibah vs gaya hidup dan pola makan

Dalam perjalanan menuju Bandung week end ke 2 di bulan Agustus ini, ada sms masuk  mengabarkan bahwa salah satu teman kuliahku di jurusan arsitektur dulu, akan menjalani operasi. Ada cairan di dalam rongga otak, yang menyebabkannya kehilangan kesadaran. Dia memang sudah hampir satu tahun di rawat di rumah kakaknya karena menderita kanker payudara.

Kanker konon merupakan salah satu penyakit genetic. Jadi, kalau ada salah satu keluarga dalam satu garis keturunan menderita kanker, maka sebaiknya kita berhati-hati. Kenali betul penyebab timbulnya kanker dan mulailah mengubah cara hidup menjadi lebih sehat. Begitu konon nasihat para ahli. Ibu temanku ini memang meninggal dunia karena kanker payudara. Tapi itu sudah berlalu saat temanku masih kuliah. Jadi sudah cukup lama.

Satu tahun yang lalu, temanku di CCF kehilangan kakaknya. Juga karena kanker payudara. Dua atau tiga bulan yang lalu, adiknya menemukan benjolan, juga di payudaranya. Sekarang sang adik sedang dalam perawatan, chemotherapy di Singapore. Saat “membawa” sang adik ke Singapore, temanku itu sekaligus memeriksakan diri. Untunglah, tidak ditemukan hal-hal yang patut dicurigai dalam tubuhnya.

Sekitar dua minggu yang lalu, teman lelaki – satu angkatan namun berbeda jurusan, meninggal dunia karena terserang stroke. Pada hari sabtu kemarin, suami mendapat kabar bahwa teman main band di the Professor masuk rumah sakit karena stroke, sementara sang manager band saat ini dalam perawatan, chemotherapy, karena breast cancer.

Tadi pagi, kontraktor yang mengerjakan renovasi kantor, datang dengan wajah pucat dan kuyu. Minggu lalu, saat diminta datang ke kantor, dikabarkan bahwa dia sedang di rawat di RS. Tidak disangka ternyata dia terkena heart attack. Untung cepat tertangani. Nekat juga dia, baru keluar dari RS, sudah mampir ke kantor, setir mobil sendiri, lagi

Adik perempuanku, sudah hampir 8 tahun menderita DM. Salah satu kakak kelas, lelaki, juga terkena DM, sementara di keluargaku maupun keluarga suami, hampir keseluruhan rawan terhadap DM. Dalam pemeriksaan darah sesaat yang selalu dilakukan saat kami berkumpul, hanya aku dan suami yang “aman”. Untuk sementara….

DM menjadi momok besar bagi lelaki karena mengancam vitalitas dan potensi kelelakiannya dan karenanya mampu menghancurkan kebanggaan seorang lelaki.

Stroke, heart attack, breast cancer dan DM seolah menjadi santapan sehari-hari masyarakat perkotaan. Teman, anggota keluarga, tetangga, siapa saja, bisa tiba-tiba dikabarkan menjadi penderita salah satu penyakit tersebut. Jarang yang menyadari bahwa penyakit, apapun juga sebetulnya merupakan akumulasi dari perilaku, pola makan dan gaya hidup manusia, terutama manusia perkotaan.

Ambisi, persaingan kerja, kelelahan yang kemudian diperparah dengan pola makan yang tidak teratur dan tidak sehat serta kurang olah raga, ditengarai menjadi penyebabnya.

Dalam berbagai majalah, buku, koran maupun talk show di radio maupun tv seringkali dibahas masalah kesehatan, perilaku hidup serta pola makan. Namun sayangnya, jarang ada yang mampu mengikuti secara benar dan teguh.

Godaan makan enak dan gaya hidup glamourous lebih kuat daya tariknya dibandingkan dengan kemampuan menahan diri, menjauhinya untuk mengubah paradigma hidup menjadi pola hidup sehat dan berimbang. Food supplement yang membombardir masyarakat perkotaan seolah menjadi solusi dan jalan pintas mengatasi berbagai defisiensi asupan makanan sehat dan pola hidup perkotaan yang tidak sehat.

Ambil saja yang sederhana, food combining a la Andang Gunawan, yang ramai diperbincangkan dan didiskusikan. Pro dan kontra. Konon katanya; basic dari pola makan food combining adalah:

  • Mulailah hari dengan meminum air hangat yang dicampur dengan perasan jeruk nipis tanpa gula.
  • Minum juice buah dan telur rebus untuk sarapan pagi
  • Biasakan makan buah-buahan terlebih dahulu, minimal 15 menit sebelum makan “berat”, siang dan malam.
  • Kalau kita makan dengan menu protein, maka hindari karbohidrat. Jadi sajikan protein (daging-dagingan, ikan dll) dengan sayur-sayuran. Karbohidrat hanya boleh disantap dengan sayuran. Kalau siang makan sayur dengan nasi, maka malam hari boleh makan daging-dagingan dengan sayuran tanpa nasi.
  • Hindari bumbu berlebihan, santan dll, masak dengan cara rebus, kukus atau panggang, hindari menggoreng apalagi secara deep fry.
Aturan makan buah-buahan sebelum makan berat, bukan seperti yang dilakukan kebanyakan orang; buah sebagai pencuci mulut, didasari penelitian bahwa buah dan sayur adalah bahan makanan yang paling cepat dicerna. Hanya 15 menit sejak buah dan sayuran masuk ke dalam lambung  dan bercampur dengan enzym. Sesudah itu buah dan sayuran akan terfermentasi dan membusuk. Bandingkan dengan pencernaan karbohidrat yang memakan waktu antara 2 - 4 jam dan protein lebih dari 4 jam.

Jadi andaikan buah dimakan belakangan, maka dia akan membusuk lebih dahulu sebelum mendapat giliran dicernakan di dalam lambung. Sehingga dapat dikatakan, sari buah busuklah yang setiap saat diserap darah dan diedarkan ke seluruh tubuh.

Kalau mau membuktikan kebenaran bahwa buah-buahan paling cepat membusuk, coba deh buat juice buah, lalu biarkan selama lebih dari 15 menit di ruang terbuka atau boleh di kulkas, baru diminum. Bandingkan rasanya kalau juice tersebut langsung diminum. Pasti terasa ada perubahan rasa pada juice yang sudah didiamkan lebih dari 15 menit.

Konon pula, kata pakar food combining, kesalahan urutan “memasukkan” makanan ke dalam perut inilah yang menyebabkan tubuh mendapatkan sari  “bahan makanan busuk”. Akumulasi dari kondisi ini, ditambah dengan faktor eksternal seperti polusi, stress pekerjaan, "kurang gerak" membuat tubuh kita saat telah berusia lebih dari 35 tahun menjadi sakit-sakitan. Apalagi, di atas usia 35 tahun, secara perlahan dan alamiah, akan terjadi penurunan kinerja organ tubuh.

Begitu katanya. Memang nggak mudah mengubah kebiasaan makan. Tapi apa salahnya dicoba, kalau kita ingin sehat. Sakit itu mahal lho...!

Duh… pasti diomelin sama yang baca deh. Hidup sekali aja, kok makan disusah-susahin sih…? Kapan bisa menikmati hidup….?

Rabu, 06 Agustus 2008

Horrreeeee, Internet jadi murah...!!!

Saat berkenalan dengan internet pada tahun 1996 dengan provider indo.net, kami menggunakan dial up saja. Begitu terus berlangsung hingga saat provider internet sudah bertambah. Kami masih tetap menggunakan dan mengandalkan dial up via telkomnet instant . Anak sulung kami mungkin "kenyang dimarahi" karena tagihan telpon setiap bulan mendekati 1 juta rupiah karena kebanyakan dipake internet. Sempat vakum selama lima tahun tidak berinternet (kecuali saat di kantor) karena si sulung, pengguna utama internet, kuliah dan tinggal di luar rumah. Sekitar setahun yang lalu anak bungsu mulai kenal internet dan dijinkan menggunakan dial up lagi atau sesekali, suami pergi ke warnet dengan anak gadisnya.

Tapi, lama kelamaan, rutinitas ke warnet terasa memberatkan, karena usai ber internet ria di Cinere Mall, si anak pasti merengek minta beli buku disambung dengan makan siang. Karena itu pula, pada bulan April 2008, kami memutuskan untuk memasang saluran speedy personal yang termurah dengan jatah 1GB per bulan. Bulan pertama, walaupun masih baru ternyata sudah over limit. Gila..... ternyata jatah 1 GB, nggak cukup ubtuk jatah bapak dan anak. Kalau si anak doyan DL Naruto dan sebangsanya, maka si bapak doyan UL untuk mengisi blognya segala video kegiatannya sehari-hari.  Tapi karena masih baru, ya masih dimaklumilah.... Mungkin keduanya exiting, jadi lupa daratan.

Nggak tanggung-tanggung, pada tagihan ke 2 sudah kena over limit hampir 2 GB. Bayangin aja kalau 1kb nya mesti bayar Rp.5,- maka saya membayar over limit hampir satu juta rupiah. Karena itu, masuk bulan ke 3, acces limit dinaikkan menjadi professional dengan jatah 3GB dengan perhitungan penggunaan bulan sebelumnya basic 1 GB ditambah over limit 2 GB.

Tapi ternyata.... penambahan limit, tetap nggak cukup. Entah dimana salahnya.... pada tagihan ke 3 itu, malah makin menggila .... 1,5juta untuk penggunaan selama 1 bulan. Di billing statement tetap tercantum over limit hampir 2 GB. Jadi total pemakaian hampir 5GB. Betul-betul nggak masuk di akal.

Saat Speedy di komplain, dengan enteng mereka bilang.... mungkin modemnya nggak dimatiin... jadi walaupun computernya mati, masih ada "kebocoran" yang menyebabkan argo tetap mencatat penggunaan internet. Waduh ... mengkelap banget deh denger jawabannya. Kami betul-betul merasa ditipu speedy dan nggak tahu bagaimana cara mengkontrol pencatatan mereka. Setelah ditimbang-timbang, akhirnya diambil keputusan CERAI dengan speedy.... Sebal, karena saya tahu ada first media yang murah meriah.

Sebetulnya, sebelum memutuskan pasang speedy, saya sudah mencoba menghubungi first media melalui telpon. Sudah isi formulir online, tapi janji mau ngecek availability sambungan di wilayah kami, cuma tinggal janji. Begitu juga saat sudah cerai dengan speedy, customer care nya first media nggak nongol ataupun call back sesuai janji. hingga berminggu-minggu. Saya betul-betul jengkel dibuatnya, apalagi si anak setiap hari tanya, kapan internet tersambung.

Sampai suatu hari, teman kantor memberi alamat care center nya first media di lokasi yang menjadi jalur perjalanan saya setiap hari. Dia juga menganjurkan untuk mendatangi langsung hingga bertemu dengan service assistant atau technician nya untuk janjian kapan mereka akan datang ke rumah. "Jangan cuma sekedar isi formulir... harus sampai ketemu technician, dapatkan no hp dan janjian waktunya". Agak ngotot, tapi begitulah pesan teman saya dan itu juga yang saya lakukan.

Tidak sampai satu minggu, konon karena jadwal mereka untuk memasang internet/cable tv sangat padat, sambungan internet sudah terpasang. Sekarang..... sudah masuk tagihan ke dua. Asli .... saya cuma bayar 110ribu rupiah per bulan termasuk PPN untuk unlimited acces dengan kecepatan 384kbps. Murah, kan ....?
Hidup First Media..... eh FAST NET

(walaupun saya pernah "nyumpah-nyumpah karena sebel, nggak diladeni per telpon....)

"Are You Playing Games?"

Ini ada artikel psikologi yang bagus untuk dicerna. Semoga bermanfaat dalam kehidupan terutama dalam kehidupan berumah tangga.___

Sumber: "Are You Playing Games?" oleh Lianawati, Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Psikologi Ukrida.

Adakah yang pernah mengalami salah satu hal berikut ini saat bertengkar: Ingin mengatakan kepada pasangan bahwa kita telah memaafkannya, namun yang keluar malah kata-kata menyakitkan. Kita ingin pasangan memahami apa yang membuat kita kesal, namun kita malah semakin kesal karena pasangan tidak berespons seperti yang kita inginkan. Kita ingin pasangan meminta maaf terlebih dahulu, namun yang muncul malah rasa sakit hati karena ternyata pasangan bisa bertahan untuk tidak memulai berbaikan. Atau, ketika sama-sama sedang marah, yang terucap adalah daftar kekesalan yang bertumpuk sehingga mengejutkan pasangan yang tidak menduga bahwa selama ini pasangannya menyimpan kekecewaan demikian besar.
Jika kita mengalami satu saja dari hal di atas, itu berarti kita sudah memainkan sebuah permainan (game) dalam hubungan kita dengan pasangan. Istilah permainan itu dikemukakan pertama kali oleh Eric Berne, pakar transactional analysis yang terkenal dengan bukunya berjudul Games People Play. Transactional analysis cukup dikenal dalam bidang komunikasi dan pemasaran. Namun, Berne sendiri memakai konsep ini sebagai sebuah psikoterapi, khususnya dalam masalah keluarga, atau yang terkait dengan relasi.
Dinamakan transactional analysis karena terapis yang menggunakan metode ini akan membantu kliennya menganalisis interaksinya dengan orang lain. Interaksi–interaksi yang tidak tepat akan membawa kedua pihak pada hubungan yang tidak sehat.
Untuk dapat menganalisis interaksi, kita harus memahami lebih dahulu bahwa tiap individu memiliki tiga kondisi ego (ego states) yang menggambarkan keberfungsian dari keadaan dirinya. Kondisi ego ini adalah anak (child), orangtua (parent), dan dewasa (adult).
Kita dikatakan sedang dalam kondisi ego anak jika menampilkan karakteristik anak-anak seperti spontan, impulsif, berpusat pada diri sendiri, mencari kesenangan, senang bermain-main, berorientasi pada perasaan, cemas, mencari persetujuan orang lain, patuh, kooperatif, ataupun membantah. Contoh yang paling sederhana adalah, "Yuk, kita bermain."
Ego kita dalam kondisi orangtua jika kita menampilkan karakteristik yang khas orangtua baik sebagai orangtua yang mengasuh (nurturing) maupun mengontrol (controlling). Sifat mengasuh muncul dalam memuji, menenangkan, dan membantu. Contohnya, "Ya sudah, yang sabar, ya."
Sifat mengontrol dapat berupa tidak menyetujui suatu perilaku, menemukan kesalahan orang lain, ataupun berprasangka. Contohnya, "Kamu kalau jalan pakai mata, dong."
Kondisi ego yang dewasa tampil dalam bentuk pernyataan atau sikap yang rasional, objektif, dan penuh pertimbangan. Contohnya, "Kamu sudah memikirkan risiko berbisnis dengan dia?" Perlu diperhatikan kondisi ego dewasa di sini tidak selalu mengacu kepada sikap yang dewasa. Dapat pula sekadar menyatakan data faktual, misalnya, "Hari sudah larut malam." Atau, "Sekarang sudah pukul 12."
Tampil Seimbang
Kondisi ego itu tidak ada kaitannya dengan usia seseorang. Seorang anak kecil dapat saja menampilkan kondisi ego orangtua ketika menghibur temannya agar tidak menangis lagi. Seorang kakek dapat menampilkan kondisi ego anak ketika menginginkan es krim cokelat, sementara ia terkena diabetes. Seorang remaja dapat menampilkan kondisi ego dewasa ketika membatalkan kencannya karena harus belajar untuk ujian akhir. Seorang anak balita juga dapat menampilkan kondisi ego dewasa dengan mengatakan hujan sedang turun.
Selain itu, tidak ada yang buruk ataupun baik dari masing-masing kondisi ego. Yang terpenting adalah ketiga kondisi ego itu tampil seimbang dalam diri kita, dan kita fleksibel dalam menggunakannya sesuai keperluan.
Sebagai contoh, ada pasangan suami istri bernama Anton dan Deisy Suatu hari Deisy mengajak Anton menonton film Kungfu Panda. Ajakan Deisy itu menunjukkan kondisi ego anak yang ingin bersenang–senang dengan menonton film. Yang Deisy inginkan tentunya jawaban yang mendukung keinginannya untuk menonton (bersenang-senang). Dengan perkataan lain, Deisy menginginkan Anton menjawab dengan kondisi ego anak juga.
Jika Anton menjawab, "Wah, boleh juga idemu," Deisy tentu akan senang karena respons Anton sesuai dengan yang diharapkan. Atau bila Anton menjawab dengan ego dewasa, "Memang apa yang menarik dari film itu?", responsnya pun masih belum bertentangan dengan tuntutan Deisy. Interaksi seperti itu antara Anton dan Deisy dinamakan complementary transactions, karena saling melengkapi. Transaksi seperti itu adalah transaksi positif dalam sebuah relasi.
Tetapi, jika Anton menjawab, "Kamu ini sudah tua kok senangnya nonton film anak kecil", kritik Anton jelas menampilkan kondisi ego orangtua. Dengan respons seperti itu dapat dibayangkan perasaan Deisy yang kesal karena tidak direspons dengan tepat.
Respons Anton itu membuat interaksi di antara mereka menjadi crossed transactions. Crossed karena respons yang diberikan tidak sesuai tuntutan lawan bicara kita. Sampai di situ, Deisy dapat mengembalikan situasi menjadi complementary transactions jika ia mencoba lebih objektif dengan menampilkan kondisi ego dewasa seperti, "Tapi film itu sarat nilai-nilai positif lho."
Sayangnya, yang sering terjadi, respons yang tidak sesuai keinginan kita akan kita tanggapi dengan respons yang juga tidak tepat. Deisy, misalnya, akan merajuk, yang berarti ia kembali menampilkan kondisi ego anak. Bukan tidak mungkin akan terjadi pertengkaran karena masalah sepele terkait dengan film Kungfu Panda itu. Anton akan mengomentari sikap kekanakan Deisy, sementara Deisy akan mengatakan Anton tidak pernah memedulikan keinginannya. Kondisi seperti inilah yang disebut Berne dengan melakukan permainan.
Secara khusus, permainan antara Deisy dan Anton ini disebut dengan kegemparan (uproar) karena berakhir dengan pertengkaran. Permainan ini dapat diartikan sebagai interaksi yang akhirnya membawa kita pada perasaan yang negatif.
Selain crossed transactions, ada lagi yang dinamakan ulterior transactions. Misalnya Anita mengatakan kepada Iwan, suaminya, "Aku benci sama kamu. Kamu jahat." Iwan yang mendengarnya akan menanggapi dengan, "Ya, aku memang jahat. Aku pantas untuk dibenci." Padahal Anita tidak sungguh-sungguh membenci Iwan. Yang ia inginkan dari perkataannya itu adalah Iwan merespons dengan meminta maaf dan mengatakan ia mencintai Anita.
Jadi, dalam ulterior transactions, pesan yang terucap tidak sama dengan pesan yang ingin disampaikan. Ada makna lain yang terselip di dalamnya. Atau sering disebut sebagai pesan tersembunyi (hidden message). Pesan seperti itu tentu sulit dipahami bahkan oleh pasangan yang telah menikah puluhan tahun sekalipun. Akhirnya ulterior transactions pun dapat membawa pasangan ke dalam permainan berjenis uproar.
Pecundang

Sayangnya, dalam berelasi, kita sering melakukan permainan-permainan itu. Kita senang dengan permainan karena senantiasa berharap dapat memenangkan permainan. Padahal, dalam sebuah hubungan, siapa pun yang memenangkan permainan itu tidak akan membuat hubungan itu menjadi lebih baik. Sebaliknya, yang terjadi, membuat hubungan menjadi lebih buruk. Berne bahkan dengan tegas mengatakan, siapa pun yang memainkan permainan adalah pecundang. Karena dengan bermain, mereka menghindari interaksi yang sehat dan bermakna.
Dengan demikian, permainan hendaknya tidak dimulai. Jika sudah telanjur dimulai, permainan itu harus dihentikan. Bukan berarti kita harus menanggapi semua keinginan pasangan agar respons selalu sesuai tuntutan pasangan. Kadang memang ada baiknya keinginan itu ditanggapi secara rasional dengan menampilkan kondisi ego yang dewasa. Dengan perkataan lain, yang terpenting adalah menciptakan complementary transactions yang positif.
Hal lain yang lebih penting adalah menghindari percakapan yang mengandung pesan-pesan tersembunyi (ulterior transactions). Percakapan seperti ini membuka celah untuk terjadinya kesalahpahaman. Kita harus ingat, relasi tentu bukan persoalan tebak-menebak.
Jadi, katakan saja kebutuhan kita apa adanya dengan perkataan yang mudah dipahami. Jika telanjur sudah terjadi, ulterior transactions ini harus dihentikan. Caranya, dengan mencoba memahami pasangan untuk dapat mengambil makna tersembunyi. Atau langsung menanyakan kepadanya apa sebenarnya yang ingin disampaikan pasangan atau tindakan apa yang ia harapkan dapat kita lakukan untuknya. Cara itu lebih mudah dan dapat menyadarkannya bahwa kita sangat ingin menyenangkannya, namun tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, kita akan terhindar dari permainan yang hanya dapat membawa kita pada pertengkaran yang lebih hebat.
So, are you playing games? Please, stop it right now.

Senin, 04 Agustus 2008

Post Operation Recovery

Aku sudah hilang akal menghadapi semuanya dan aku yakin semua anggota keluarga sudah tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Tapi kami memang tidak boleh putus asa.
Hari Minggu kemarin, usai makan siang, kami pergi ke Mall dekat rumah dengan niat beli printer. Pembantuku juga menitipkan kartu ATM untuk mengambil uang yang akan dipakai membeli baju renang anaknya. Karena ada dua kebutuhan, maka kami sepakat untuk berpisah dengan janji bertemu kembali, makan wafel di AW. Jadi suasananya memang agak santai, sambil bercanda. Anakku ikut bapaknya membeli printer dan flash disk.

Adikku, baru pulang ke rumah 2 sehari sebelumnya. Hari Jum'at pagi, setelah 2 minggu dirawat di RS karena muntah-muntah tak terkendali. Masa perawatannya di RS diakhiri dengan tindakan operasi pengangkatan kantung empedunya yang sudah pecah. Bulan Oktober 2007 yang lalu dia juga sempat dirawat di RS untuk operasi tumor. Keluar dari RS, suaminya bilang, dia masih ingin tinggal di rumah ibunya sampai sebelum masuk bulan puasa agar bisa beristirahat dengan baik

Sabtu kemarin, dia kelihatan jauh lebih segar dari biasa. Bermain di ruang keluarga dengan 2 anaknya yang datang berkunjung. Sore, dia makan seporsi besar siomay yang dipesan melalui kakak lelakinya. Sempat kutegur karena bumbu siomay terasa pedas. Tapi dijawabnya "Nggak apa-apa, kok, Kan cuma sedikit". Kemudian sambil makan siomay. dia bercerita pada ipar dan anak-anaknya bahwa selama di rumah sakit dia bebas makan apa saja termasuk mie goreng, pizza, sate dan lain-lain.
Aku yang mendengar di dekatnya cuma bisa membatin "Duh... dia tidak pernah mau belajar dari kesalahan-kesalahannya dalam menahan nafsu makan. Selalu menomorsatukan nafsu dibandingkan akal sehat."

Minggu pagi, di pasar, pembantuku meminta ijin untuk beli kue bugis dan kacang bogor untuknya. Sebelumnya, kulihat sudah disiapkan spageti atas permintaannya juga, di meja makan. Entah ketololan apa lagi yang menguasai diri. Nafsu untuk makan enak mengalahkan akal sehat. Dimakannya langsung 4 buah kue bugis. Kue yang mengandung karbohidrat tinggi disertai lemak dan gula dari kelapa/unti. Pantangan besar buat penderita DM yang sudah kehilangan empedu. Kalau hanya memakan 1 buah saja, mungkin masih bisa ditolerir.

Padahal, niat membelikan kue, bukan untuk dimakan sekaligus sebanyak itu. Lagipula, kalaupun dokter memperbolehkan makan apa saja dan tidak ada pantangan, tetapi penderita seharusnya mampu menahan diri. Tahu batas!. Ya.. kami kecolongan lagi, seperti waktu-waktu sebelumnya. Ternyata menghadapi pasien dewasa yang kekanak-kanakan lebih berat daripada menghadapi pasien anak-anak.

8 tahun bolak-balik RS. Entah sudah berapa ratus kali jarum infus menusuk nadi baik di tangan maupun kaki. Entah berapa puluh kali infus dimasukkan ke dalam lambung langsung melalui sayatan pisau bedah di leher. Dan entah sudah berapa ratus juta terbuang percuma karenanya. Semua sudah habis-habisan.
Secara psikologis, keluarganya sudah babak belur, tapi tetap saja si pasien tidak mau bangkit dan sadar akan tanggung jawab. Obat hanya pendukung, namun kesembuhan terutama harus datang dari keinginan diri sendiri dan niat yang kuat untuk menjaga diri. Bukan mengumbar nafsu saat dinyatakan "semua penyebab penyakit sudah diangkat".

Pulang dari Mall menjelang ashar, sambil membuka pintu pagar pembantuku lapor;
"Di dalam ada bapak... Saya takut bu... Bapak marah-marah, mbentak-bentak. Suaranya keras sampai kemana-mana...!"

Aku langsung masuk ke kamar ibuku. Tempat adikku terbaring sambil menangis dan mengerang seperti anak kecil. Tak tahan dengan kesakitan di lambungnya. Ini tentu akibat pedasnya siomay dan kue bugis yang sudah dimakannya. Si suami masih dengan bentakan-bentakan, menyuruhnya diam dan menahan untuk tidak memuntahkan isi perut. 

Sambil memberi tanda agar si suami keluar kamar, kukatakan : "Hanya anak kecil di bawah 10 tahun yang menangis meraung-raung kala kesakitan. Orang dewasa tidak akan melakukan itu. Mereka akan mengatur nafas, sambil berzikir. Kita yang mengatur diri untuk bertahan dari rasa sakit dan obat-obatan hanya pendukung. Bukan yang utama. Kamu pernah belajar reiki, nah lakukan itu!".

Di ruang makan, kukatakan kekecewaan pada iparku atas perlakuannya membentak-bentak adikku. Aku sungguh mengerti dan menghargai pengorbanannya, sudah merawat istri selama 8 tahun. Mungkin sekarang dia sudah mencapai garis batas kesabaran. Tetapi membentak-bentak seenaknya bukanlah perlakuan yang bisa diterima siapapun juga. Ini salah satu bentuk KDRT. Kelakuan adikku memang keterlaluan dan membuat orang yang melihatnya menjadi “sebal”.

"Hubungan suami istri macam apalagi kalau hanya diisi dengan bentakan-bentakan...? Coba istikharah, minta petunjuk jalan apa yang harus diambil”
“Dia mesti diperlakukan begitu supaya berhenti mencoba muntah! Coba lihat begitu kubentak, langsung berhenti muntahnya”

Aku cuma bisa menghela napas.., sedih. “Kan, aku sudah bilang! Periode recovery ini kritis sekali. Dia sudah terlalu lama menjadi pusat perhatian dengan sakit menahunnya. Comfort zone nya adalah dalam kesakitannya dan tentu tidak mudah keluar dari kondisi ini. Ini ibarat orang kena narkoba. Addicted”.
“Tapi sampai kapan….? Ada anak-anak dan aku harus kerja cari makan. Aku sudah habis-habisan dan terpuruk. Masa dia tidak mau mengerti?”
“Bukan soal mengerti atau tidak! Ini masalah psikologis. Kesakitan dan penderitaan menahun menjadi addicted dan tanpa sadar kalian semua sudah sakit jiwa. Jadi perlu penanganan psikiater”.
“Kan sudah …! Dia sudah 4x ketemu psikiater. Sudah menyadari kesalahan-kesalahannya dan mau memperbaikinya.”
“Tapi, konsultasi dan realitas berbeda… Perlu waktu yang panjang dan kesabaran yang tak terukur buat semuanya”
“Jujur saja… aku sampai bilang kalau dia mau melepaskan tanggung jawab sebagai istri, aku terima. Tapi sembuh dulu, baru lakukan apa maunya..”

Aku terhenyak tapi lega dengan perkataan itu. “Lakukan saja. Jangan sungkan untuk mengambil keputusan seekstrim itu. Katakanlah sampai dengan keputusan bercerai. Aku bisa menerima keputusan itu” Dia terkesiap mendengarnya….
“Tidak, bukan itu maksudku! Sama sekali tidak ada niat untuk bercerai. Bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana aku mendidik anak-anak mengenai rasa tanggungjawab terhadap keluarga, kalau di ujung jalan seperti ini kuceraikan istriku? Kalau mau, mestinya sudah kulakukan 5 tahun yang lalu. Bukan sekarang saat sudah berada di ujung penyembuhan dan semua sudah habis-habisan!”
“Ajak anak-anak bicara dengan baik-baik mengenai kemungkinan ini. Perceraian bukan berarti mereka tidak bisa berhubungan dengan ibunya. Tidak ada kata bekas ibu. Kamu sendiri punya hak untuk menata kehidupan pribadi, tidak melulu mengurus orang sakit. Pikirkan itu! Aku sudah cukup menghargai semua pengorbananmu.”
“Tidak… bagaimana kalau dia tidak tahan, lalu betul-betul sakit jiwa hingga perlu masuk RSJ. Bagaimana anak2ku harus menerima kenyataan ibunya gila?”
“Belum tentu, siapa tahu dia juga merasa terbebaskan. Tapi kusampaikan bahwa sebagai sebagai wakil keluarga, aku siap menerima resiko itu. Pikirkan baik-baik. Minimal, bebanmu sedikit berkurang.”

Ibuku yang mendengar percakapan itu, pergi meninggalkan kami dengan mata berkaca-kaca. Mempersiapkan diri untuk melakukan terapi. Dia juga penderita DM.
DM merupakan penyakit degeneratif yang tak tersembuhkan. Penyakit berkepanjangan yang tak tertangani dengan baik bisa membuat porak poranda keluarga penderita. Kuat dugaan ada mal praktek dalam penanganan adikku. Mal praktek yang dilakukan oleh dokter dan tanpa sadar didukung oleh suami karena “ketotolan, kesombongan dan kekeraskepalaan”nya. Nasi memang sudah jadi bubur. Entah sampai kapan bisa tertangani masa recovery ini. Ini memang bukan lagi medical recovery tetapi psychological recovery. Dan aku tidak tahu sampai kapan harus menghadapinya.

Sabtu, 02 Agustus 2008

The Last Empress

Rating:★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Anchee Min
Buku ini menceritakan kelanjutan perjalanan hidup empress Orchid alias Tsu Zi - Yehonala dalam "menjaga" keberadaan dan kedaulatan kursi kekaisaran China setelah wafatnya Kaisar Hsien Feng.

Sang putra surga - Hsien Feng hanya memiliki satu anak lelaki dari 7 selirnya yaitu dari Yehonala dan satu lagi anak perempuan dari selirnya. Sementara dari permaisuri Nuharoo dan hampir 3.000 orang penghuni haremnya Hsien Feng tidak memiliki anak lagi.

Pertarungan kekuasaan sudah dimulai sejak sakitnya Hsien Feng, seluruh penghuni kerajaan mulai berkasak kusuk mengenai calon pengganti Kaisar. Dengan berbagai cara akhirnya Orchid berhasil "mendapat" mandat kaisar yang menetapkan anaknya yang masih balita sebagai kaisar pengganti sekaligus menetapkan Nuharoo dan Yehonala sebagai wali.

Namun sayang sang kaisar tidak berumur panjang dan dia meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan. Kaisar CIna kemudian digantikan oleh Guang Hsu yang juga masih di bawah umur. Pada masa ini pengaruh asing (Inggris, Perancis, Amerika, Rusia serta Jepang) semakin menguat.

---

Aduh, sorry cape nulisnya. Baca aja deh bukunya. Lumayan bagus untuk menambah pengetahuan mengenai CHina.

Jumat, 01 Agustus 2008

Ketemu teman lama yang jadi pejabat.

Apa yang akan kita lakukan bila suatu hari, kita melihat/bertemu teman lama atau saudara dekat yang menjadi pejabat di tengah suatu pertemuan/perhelatan umum. Mendekat lalu menegurnya dengan nuasa akrab seperti biasanya/dulu kita lakukan atau pura-pura tidak melihat agar yang bersangkutan tidak merasa terganggu oleh kehadiran kita yang datang dari lingkungan berbeda dengan lingkung gaulnya saat ini?

Jujur saja, aku nggak tahu apa yang harus dilakukan. Sampai saat ini aku cenderung diam dan menjauh. Nggak mau mengganggu. Bukan karena sombong, tapi ada rasa khawatir si teman yang pejabat enggan dikenali oleh orang yang tidak berasal dari kalangan sosialnya sekarang. Takut dikatakan "cari muka atau menjilat". Boleh jadi ini suatu prasangka buruk, tapi tentu ada alasan yang valid untuk itu.

Iparku yang pernah menjadi pejabat eselon ke 2 di suatu kementrian bercerita. Sang menteri kebetulan adalah teman baiknya sejak jaman kuliah dulu dan masih tetap berteman baik sampai si teman menjadi menteri. Itu juga sebabnya dia diangkat menjadi pejabat eselon 2 di kementrian tersebut. Saat masih kuliah di salah satu fakultas di UI, sang menteri konon bukan "orang gaul" dan cenderung diremehkan oleh teman-teman kuliah yang rada borju. Dicuekin abis lah dia. Tapi saat si teman merangkak naik menjadi anggota DPR, pengurus suatu partai yang cukup berpengaruh dan kemudian akhirnya menjadi menteri, teman-teman kuliah dulu yang semula menjauh, mendadak menghubungi iparku untuk mendapatkan akses berhubungan dengan sang menteri. Menjilat-lah....

Aku sendiri punya dua kali pengalaman pahit. Yang pertama saat aku meneruskan kembali kuliah yang sudah tertunda selama 4 tahun, gara-gara ikut suami ke perancis. Saat pulang, aku cuma punya waktu 1 tahun untuk menyelesaikan kuliah. Satu semester untuk kerja praktek dan seminar dan satu semester lagi untuk bikin tugas akhir. Maklum, sudah hampir habis batas masa study. Nggak tanggung-tanggung memang, Aku menghabiskan waktu 10 tahun kuliah walau disela 4 tahun cuti. Bukan waktu yang sebentar walaupun saat itu kuliah masih terdiri dari 10 semester. Dalam kondisi seperti itulah, aku kembali kuliah. Beberapa assisten dosen muda dari mata kuliah yang diseminarkan adalah teman seangkatanku. Teman satu group main, malah. Tapi itu sudah berlalu sekitar 4 tahun sebelumnya.

Semula aku senang sekali, melihat hal ini. Ketemu teman lama walau dalam status yang berbeda. Mereka sudah jadi dosen muda, sementara aku masih tertatih-tatih mengingat kembali pelajaran yang sudah hilang dari otak, meneruskan kuliah.

Masuk semester ke 10, saat masuk studio untuk membuat tugas akhir, aku mendapat kenyataan berbeda. Entah bagaimana asal mulanya, seorang as-dos yang teman mainku itu membentak 
"Status kita berbeda... anda mahasiswa, jadi tempatkan diri sebaik-baiknya.".

 Mungkin aku dianggapnya "ngegampangin" sementara peserta tugas akhir lainnya yang notabene 5 tahun lebih muda dari usia kami, begitu hormat pada sang as-dos. 
Jujur aja, aku kaget bukan main. Nggak sangka, bahwa waktu mampu mengubah keakraban. Sejak itu aku menarik diri dari ruang gaul teman seangkatanku. Bentakan tak terduga itu begitu membekas hingga bertahun-tahun kemudian.

Pengalaman ke dua, saat umroh di tahun akhir 95/96. Di dalam group ternyata ada teman lama yang juga tetangga di Kampung Ambon. Temanku itu beberapa kali main ke rumah untuk pinjam meminjam buku atau membuat tugas. Dia, saat bertemu dalam perjalanan umroh, sudah menjadi Direktur suatu RS terkenal di Jakarta Selatan. Konon kabarnya, bapaknya menjadi salah satu pemegang saham RS tersebut. Jadi pantaslah kalau dia ditunjuk jadi direktur RS, walau bidang pendidikan S1nya nggak nyambung dengan urusan RS. 

Saat kutegur dengan mengingat kedekatan jaman mahasiswa dulu, si teman menjawab sangat seperlunya dan selama dalam perjalanan yang memakan waktu hampir 2 minggu itu, dia selalu menjaga jarak. Duh, hati rasanya mengkerut banget.... aku berpikir, apa karena aku masuk group peserta dari Bekasi sementara dia dari Pondok Indah yang sangat elite.... Atau karena dia sudah menjadi direktur RS terkenal, sementara aku betul-betul anonym. Duh, sampe segitunya ya buruk sangkaku.... (astaghfirullah...!!!)

Beberapa hari yang lalu, usai rapat, saat bermaksud makan siang di Pacific Place - Senayan, dari seberang void, aku lihat istri seorang dirjen yang kerap muncul di media cetak/tv sedang berhandai-handai dengan beberapa orang perempuan lainnya. Mungkin istri sesama dirjen di departemen tempat suami-suami mereka bekerja.  Ada keraguan dalam hati. Akan kutegurkah dia atau pura-pura nggak lihat saja. Akhirnya... aku melepaskan niat menegurnya. Takut dia merasa terganggu.

Ingatanku melayang ke era hampir 30 tahun yang lalu di Perancis. Ibu dirjen itu kukenal betul secara pribadi. Tapi itu terjadi di tahun 80-84 di Perancis. Saat itu suamiku dan sang dirjen sedang mendapat beasiswa dari pemerintah Perancis - BGF alias boursier du gouvernement francais. Kami semua tinggal di region Parisienne. Kami di Stains-St Denis di utara (banlieu) Paris sedang sang DirJen yang kuliah di Sorbonne dan keluarganya serta sebagian besar BGF tinggal di Anthony - di bagian selatan. Nah, apartemen sang Dirjen ini merupakan tempat singgah kami. Tempat kumpul para BGF dan keluarganya sebulan sekali, dimana si dirjen (bukan istrinya) yang selalu memasak makan siang buat kami dan semua tamunya, di dapurnya yang sempit. Itu masa indah yang tidak akan terlupa dari ingatan. Tapi, akankah keakraban itu masih ada? Entahlah ... sudah lama aku nggak berhubungan lagi. Terakhir aku ketemu sekitar 8 tahun yang lalu, makan malam di Nanaban Tei - Menteng. Sekarang, nomor telpon rumah mereka yang aku miliki tidak lagi dapat dihubungi, begitu juga dengan nomor hp mereka.

Di suatu kesempatan melayat sepupu bapakku, aku bertemu dengan salah seorang menteri. Adik sang menteri menikah dengan anak sepupu ayahku itu. Sebetulnya sang menteri memiliki hubungan kekeluargaan - jauh, dengan kami (bapakku dan tentu saja sepupu bapakku itu). Kakek buyut sang menteri dan kakek bapakku adalah kakak beradik.
Nah saat ngobrol, entah tulus atau sekedar basa-basi (maklum... pejabat publik, kan harus pandai mengambil hati rakyat), sang menteri berkata ;
"Ayo main dong ke rumah....", begitu katanya.

Entah kegilaan apa yang muncul di kepala, aku spontan menjawab; "Ntar deh kalau mas.... tidak jadi menteri lagi"
"Lho kenapa...?"
"Saya nggak suka dengan protokoler menteri..., ribet"

Aku sendiri akhirnya merasa menyesal. Menyesal karena merasa tidak mampu berbasa-basi atau bermanis-manis saat bicara. Duh... mudah-mudahan puasa yang akan datang sebentar lagi, mampu memperbaiki lisanku.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...