Jumat, 31 Oktober 2008

Ulang tahun... Bahagia atau sedih?

Hari ini, 31 Oktober, ada dua orang teman di kantor berulang tahun. Maka, sejak pagi meja makan terlihat penuh panci. Yang berulang tahun sengaja memasak di rumah. Walaupun menunya sederhana, tapi pasti mengundang selera teman sekantor yang biasanya hanya makan di warteg.

Coba bayangkan, ada sayur asem, balado telur, ayam panggang, oseng tempe, ikan asin dan ditutup dengan puding coklat. Untungnya lagi, satu teman yang berulang tahun sedang bertugas ke Bali, jadi teman yang lain masih punya kesempatan untuk makan gratis lagi. Yang satu ini janjinya mau makan udang galah - madu di Mang Engking, cabang dari Yogya yang ada di Kampus UI Depok.

Ulang tahun ... Bahagia atau Sedih?
Konon katanya, saat kita kecil, remaja, dan mulai masuk usia dewasa, ulang tahun selalu disambut gegap gempita. Ada pesta, kado dan perhatian dari lingkungan dan kerabat dekat. Bertambah umur saat kita melewati "batas" yang ditentukan baik secara agama maupun UU, dalam kehidupan bermasyarakat berarti bertambah "hak dan kewenangan". Punya hak untuk mendapatkan KTP, SIM dan memilih anggota legislatif dan presiden dan secara biologis, memiliki hak untuk menikah.

Lewat di usia 30 tahun kita (semoga) sedang menapaki masa menuju kemapanan. Mapan dalam karier, rumah tangga dan tentu saja keuangan.

Umur 40 tahunan saat kita menikmati masa kemapanan. Sudah meraih segala apa yang dicita-citakan dan diidamkan sejak masa muda. Kebanyakan orang "terdidik" di perkotaan sudah mampu menikmati segalanya. Makan di restoran mewah dengan menu yang sama sekali tak terbayangkan saat masih jadi mahasiswa. Mengendarai mobil super mewah atau duduk tenang di jok belakang sambil menikmati alunan musik di dalam kendaraan yang dilengkapi audio super canggih. Tinggal di rumah yang sejuk oleh pendingin udara, di tengah pemanasan global dan lupa atau mungkin tidak peduli lagi bahwa dia sudah menambah elemen kerusakan ozon.

Makan enak dan kenyamanan dan kemapanan hidup ternyata membawa dampak buruk. Suami saya selalu bilang.... Kita mampu membeli segalanya saat kita tidak bisa atau tidak mampu lagi menikmatinya. Kita tidak lagi bisa makan enak saat kita sudah mampu membeli makanan yang lezat. Itu semua karena terlena oleh kenikmatan hidup shingga kita terpenjara oleh penyakit yang terjadi karena akumulasi kebiasaan hidup.

Menjelang usia 50,  kita sering mendengar berita kematian mendadak dari teman atau minimal kabar mengenai "jatuh sakit"nya mereka. Serangan jantung, stroke, gagal ginjal, kanker ... menjadi santapan telinga. Mungkin, ulang tahun sudah harus menjadi refleksi diri .. Seberapa panjang lagi Allah memberikan kesempatan kita untuk menikmati dan memanfaatkan kenikmatan dunia. Memanfaatkan waktu dari sisa-sisa jatah hidup kita didunia yang selama ini tidak pernah dihitung. Semoga masih ada waktu untuk memupuk tabungan, bekal hidup kita di akhirat.

Selamat Ulang Tahun, bagi semuanya.

Kamis, 30 Oktober 2008

misteri hidup

"Mbak, tanggal 18 Oktober yl, Deasy menikah dengan DH"
"Hah ... Doddy maksudnya? Kok bisa...? Kamu malem-malem gini jangan bikin gosip dee....!"
"Masya Allah ... bener kok, aku hadir. Memang sebetulnya itu acara keluarga, tapi aku datang"
Langsung, kukirim sms, malam itu juga buat Deasy. Ucapan selamat disertai doa agar pernikahan yang ke dua buat keduanya membawa berkah.

Pagi tadi, saat pulang mengantar anak ke sekolah, Deasy membalas sms. Langsung saya telpon. Dia dan juga Doddy. Suara keduanya terdengar agak salah tingkah. Usai bicara segera kukirim begitu banyak sms memberitakan kabar gembira ini buat teman-teman yang kenal keduanya. Semua terkejut dengan berita itu. Siapa yang sangka kalau keduanya, staff dan direktur, 12 tahun kemudian menjadi suami istri.

Sekitar 12 tahun yang lalu, keduanya bekerja di kantor yang sama. Deasy yang cantik dan lembut, saat itu baru berpisah dengan suaminya. Dia dipindahkan dari kota tempatnya bermukim ke Jakarta. Untuk menghilangkan kenangan buruk. Dia bekerja di bagian saya. Sedangkan Doddy adalah Direktur di perusahaan tempat kami semua bekerja. Punya istri cantik dan kalau tidak salah punya 3 orang jagoan hasil pernikahannya.

Setelah krisis tahun 1997, kami semua berpisah. Doddy merintis usaha sendiri, Deasy bekerja di apartemen dekat rumahnya di Jakarta Selatan dan kemudian bekerja sebagai free lance property marketing. Saya sendiri masih sempat berhubungan kembali secara profesional dengan Doddy, sekitar awal tahun 2001. Saat itu kami bermitra dan karenanya dia sempat bermukim di Batam. Tapi kemudian berpisah lagi 3 tahun yang lalu.

Sejak itu saya tidak pernah bertemu dengan Doddy, namun mendengar kabar bahwa Doddy sudah berpisah dengan istrinya dan kembali ke Jakarta. Dia kemudian tinggal di bagian timur Jakarta. Dengan Deasy, terakhir saya bertemu untuk meminta bantuannya memasarkan apartemen sekitar 1,5 tahun yang lalu.

Rupanya beberapa bulan yang lalu, mereka secara tidak sengaja bertemu di PIM. Begitu cerita si pembawa berita semalam. Cerita selanjutnya... sayang saya gak sempat tanya. Pasti seru ... seperti kata salah satu staff di kantor tadi...:

"Bu ... gak kebayang gimana mbak Deasy yang biasanya manggil PAK Doddy ... terus jadi berubah MAS Doddy...!!!

Selamat buat kedua mempelai. Semoga bisa menikmati hari tua dengan tenteram.

Selasa, 28 Oktober 2008

80 tahun SUMPAH PEMOEDA; betulkah kita sudah bersatu?

beberapa hari lagi, kita akan memperingati Sumpah Pemuda saat 80 tahun yang lalu, para pemuda dari berbagai organisasi indische yang saat itu dikenal sebagai Jong Java, Jong Ambon, Jong Sunda, Jong Celebes, Jong_Batak, Jong_Sumatranen_Bond, Jong_Islamieten_Bond dan lainnya menyelenggarakan Kongres Pemoeda.Pada hari ini pula, di sebuah gedung yang sekarang dinamakan Gedung Joeang yang terletak di Jl Menteng Raya no 31–Jakarta, dibacakan SOEMPAH PEMOEDA.

Saat itu, tidak ada atau belum ada negara atau wilayah bernama Indonesia. Namun para pemuda–pemudi tersebut yang sudah merasakan pahit getirnya dibawah penjajahan asing merasakan betul bahwa “bersatu kita kuat, bercerai kita runtuh”. Mungkin, semangat dan visi kebersamaan itu pula yang menyatukan mereka sehingga terjadilah apa yang dinamakan Kongres Pemoeda 1928 yang merupakan tonggak persatuan Indonesia.

Hari ini 80 tahun kemudian, agaknya kita harus merefleksikan dan mengevaluasi kembali semangat dan misi yang dibawa oleh para pemuda dari berbagai suku dan daerah dari sebuah wilayah luas di kawasan khatulistiwa jajahan Belanda bernama Indische.Benarkah Indonesia sudah bersatu?Ini pula yang selalu menggelitik dalam pikiran. 

Indonesia merupakan Negara kepulauan yang sangat luas dan terdiri dari 17.508 pulau, 8.844 buah pulau di antaranya telah memiliki nama. Di antara sedemikian banyaknya pulau yang dimiliki, hanya 6.000 pulau yang dihuni. selebihnya tentu menjadi pulau tak berpenghuni dan bisa jadi dianggap “tak bertuan” yang bisa jadi rawan penjarahan oleh Negara tetangga, terutama pulau–pulau yang terletak di lautan lepas. Kasus “penjarahan” pulau oleh Negara tetangga ini, seperti telah terjadi beberapa waktu yang lalu atas pulau Sigitan dan Sipadan bisa menjadi contoh nyata.

Pulau–pulau berpenduduk dihuni oleh masyarakat yang kemudian menyebut diri suku, tribu dengan bahasa, tradisi dan budayanya masing-masing. Di antara 2 bahasa yang paling banyak digunakan di Indonesia yaitu bahasa Jawa dan Melayu, masih terdapat bahasa daerah dan dialek. Bayangkan ada ratusan bahasa daerah yang seringkali menjadi bahasa utama penduduk setempat. Bahkan di Irian–Papua, ada sekitar 500 an bahasa lokal untuk hanya sekitar 3 juta penduduk.

Bisa dibayangkan betapa repotnya mengurus Indonesia apabila tidak disepakati sebuah bahasa yang diterima secara universal.Tidak mudah pula menyatukan pendapat, menyatukan visi dan misi. Apalagi untuk membagi kekayaan tanah air ini secara adil bagi kemakmuran dan kemajuan Negara. Bagaimana “memberi pengertian” kepada daerah “kaya” sumber alam agar mau berbagi dengan saudaranya yang hidup di wilayah “miskin” sumberdaya alam agar satu tidak merasa lebih rendah dari yang lain.

Mungkin itu sebabnya, sejarah Indonesia mencatat para pemimpin Negara ini lama kelamaan cenderung menjadi otoriter dalam menjalankan pemerintahannya. Kekayaan alam Indonesia yang luar biasa ini memang menjadi godaan yang luar biasa bagi para pemimpin dalam menjalankan amanah dari rakyat.

Otoritas Daerah yang semula di”gadang–gadang” salah satu sarana untuk melakukan pemerataan dalam berbagai bidang, pada kenyataannya cenderung diselewengkan untuk “menjadikan” kembali kepala daerahnya sebagai “raja kecil” di daerah. Kekuasaan yang berlebih di tangan “orang yang salah” bisa menjadi boomerang bagi maksud dan tujuan yang baik. Power tends to corrupt.

Mulai dari diri sendiri.
Kemajemukan Indonesia yang tercermin dalam bahasa–dialek, suku bangsa, tradisi mau tidak mau mempengaruhi tata cara kehidupan sehari-hari. Benarkah Indonesia sudah bersatu, meleburkan diri menjadi yang satu; satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa?
Pada kenyataannya, kebanggaan sebagai “anak daerah” dengan segala embel – embel tradisi, kekayaan budaya dan bahasa menjadikan “seseorang” atau suatu suku “merasa” lebih dari yang lain. Mitos yang banyak dipercayai masyarakat turut “menghambat” pembauran dan penghapus sekat kedaerahan. Sebut saja adanya larangan pernikahan antara perempuan Jawa dengan lelaki Sunda yang dikaitkan dengan peristiwa Perang Bubat.

Seorang kawan wanita yang berasal dari Madura bercerita, bahwa keluarga besarnya berpesan dan meminta dengan sangat agar tidak menikah dengan suku–suku tertentu. Atau yang paling konyol adalah pesan orangtua agar anak-anaknya hanya menikah dengan pasangan yang sesuku. Andaikan anjuran tersebut hanya anjuran agar anak-anak menikah dengan pasangan seagama, maka hal ini masih dapat diterima karena agama merupakan pedoman hidup.

Dalam bidang politik, pemilihan kepala daerah selalu diramaikan oleh pro dan kontra antara calon putra daerah dan pendatang. Calon yang bukan berasal dari suku dimana dia mencalonkan diri, tidak akan pernah dianggap sebagai putra daerah walaupun dia hidup dan bertempat tinggal di wilayah tersebut sejak kelahirannya.

Atau selalu ada anekdot, bila pimpinan suatu instansi berasal dari suatu daerah atau suku tertentu, maka seluruh jajaran di bawahnya akan di dominasi oleh staff yang berasal dari daerah yang sama dengan daerah si pimpinan. Dan konon, kondisi ini sangat terasa di instansi pemerintah.

Saat ini ada kecenderungan, semakin kaya seseorang, maka saat merayakan pernikahan anak–anaknya, maka dia akan berusaha menyelenggarakannya dengan upacara adat selengkap yang dimungkinkan dengan dalih memelihara tradisi dan kebudayaan.

Memang, meleburkan diri menjadi satu bisa jadi berarti menghilangkan identitas. Manakala identitas yang hilang tersebut bernama keragaman bahasa, tradisi, kesenian dan budaya, tentu akan banyak golongan yang berkeberatan. Atau, apakah kita harus menggabungkan semua keragaman bahasa, budaya, kesenian dan tradisi menjadi satu budaya dan tradisi baru?

Senin, 27 Oktober 2008

Kalo RUU Pornografi disahkan, Jakarta perlu ganti logo, gak ya?

Monumen Nasional
Ini pertanyaan iseng .... Andaikan RUU Pornografi disahkan menjadi UU, apakah semua masyarakat akan juga mengevaluasi semua elemen bangunan, gambar/logo atau apapun juga yang menggunakan atau mengambil simbol-simbol benda/tradisi yang bisa dikategorikan dalam pornografi?

Contoh jelas yang sudah sangat meluas di masyarakat adalah penggunaan simbol lingga dan yoni dalam berbagai konsep disain/rancangan bangunan dan elemen artistik, antara lain pada Monumen Nasional alias tugu MONAS yang menjadi lambang kota JAKARTA sang ibukota negara

Lingga tertua yang pernah diketahui di Indonesia, berasal dari prasasti Canggal, yang berasal dari halaman percandian di atas gunung Wukir di Kecamatan Sleman. Dari prasasti yang ditulis tahun 732 M tersebut diketahui bahwa Raja Sanjaya yang beragama Siwa telah mendirikan sebuah Lingga di atas bukit, dan dimungkinkan bangunan Lingga tersebut ialah candi yang hingga masih ada sisa-sisanya di atas gunung Wukir.

Kata Lingga berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti ”tanda padanan phallus atau kelamin laki-laki”. Di dalam buku Iconographic dictionary of the India religion Hinduism–Buddhism–Jainism diuraikan bahwa Lingga (linggam) antara lain berarti simbol atau lambang jenis kelamin laki-laki. Lingga menurut paham Hindu disebut sebagai lambang kesuburan.

Biasanya Lingga di tempatkan di atas sebuah vulva (yoni). Yoni di sini berarti simbol alat kelamin wanita, sebagai simbol dari unsur wanita. Yoni dianggap sebagai unsur sakti dan seringkali disatukan di dalam susunan Lingga. Lingga Yoni juga dipercaya sebagai sumber dari kesuburan. Di jaman dahulu, golongan penganut kepercayaan kepada lingga–yoni tersebut kadang menyiramkan air pada Lingga dan kemudian air yang mengalir melalui yoni ditampung dan selanjutnya disiramkan pada tanaman padi atau tanaman lainnya.

Penggunaan symbol lingga–yoni sebagai lambang kesuburan dan kesinambungan kehidupan tidak berhenti hingga disini. Berbagai bangunan keagamaan mengadopsi lingga–yoni ke berbagai elemen bangunan kuil, pura, candid an bahkan tanpa kita sadari berbagai alat bantu kehidupan kita juga merupakan penerapan dari konsep lingga–yoni. Salah satunya, sebut saja alu dan lumpang yang jaman dulu merupakan bagian dari peralatan dapur setiap rumah tangga. Alu yang terbuat dari batu atau kayu berbentuk bulat memanjang merupakan pengejawantahan dari bentuk lingga sedangkan lumpang berbentuk mangkuk (cekung) yang menampung lingga merupakan penerapan dari yoni.

Selain itu, pasti banyak elemen dan peralatan yang berada di rumah yang prinsip kerja dasarnya merupakan adaptasi dari lingga dan yoni. Lihat saja cara kerja jack pada kabel tv, saat kita memasang flash disk … Itu sebabnya, tanpa kita sadari, kalau kita meminta/membeli suatu peralatan listrik, kita akan bila ke pelayan toko :
“minta kabel lengkap dengan jack nya. Yang lelaki dan perempuannya ya….”
Nah, kembali ke judul artikel ini, apakah Jakarta perlu mengubah lambang kotanya yaitu monument nasional alias MONAS?


Konon, menurut Wikipedia online, Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah salah satu dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Rancangan arsitektur tugu ini dibuat oleh Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan perhitungan struktur Ir. Rooseno. Mulai dibangun Agustus 1959 kemudian diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1961 oleh Presiden pertama RI Soekarno. Monas resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.

Bentuk Tugu peringatan ini merupakan sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni sebagai simbol kesuburan dengan tinggi 132 m. Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumpang). Alu dan lumpang merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia.

Aplikasi lingga–yoni pada bentuk arsitektur Monas cukup halus. Berbeda dengan gedung Sapta Pesona, tempat menteri Pariwisata berkantor, yang juga mengadopsi bentuk lingga. Gedung Sapta Pesona menurut saya dengan sangat vulgar menerapkan bentuk lingga dengan sangat kasat mata.

Jadi… apakah kedua bangunan di Jakarta tersebut serta banyak candi–candi yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia yang tentu saja memasukkan unsur lingga–yoni harus dihancurkan? Dan masyarakat pedesaan tidak boleh lagi menggunakan alu dan lumpang…? Dan masyarakat perkotaan tidak boleh menggunakan alat-alat elektronika karena prinsip sambungan nya menggunakan konsep lingga–yoni. Lelaki dan perempuan, bersatu.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Gedung PORNO di Jakarta

Ada seorang teman, arsitek yang mengatakan pada saya beberapa tahun yang lalu bahwa di Jakarta ini ada gedung PORNO.

Gedung ini sejatinya milik salah satu BUMN atau salah satu departemen yang konon dibangun atas arahan dari Dirjen atau menteri yang membawahi BUMN/departemen tersebut. Maaf saya lupa apa jabatan sang pengarah, pada saat rancangan serta pembangunan gedung tersebut dilaksanakan.

Entah apa yang ada di kepala "sang pengarah" maupun konsultan perancang konsep arsitektur gedung tersebut. Tapi sungguh .... buat saya tampilan luar bangunan tersebut sangat VULGAR.

Nah .... tahukah anda gedung apakah itu? dan siapa Dirjen atau menteri yang "mengarahkan" rancangan arsitektur gedung tersebut?

Tebak dulu ya..... Ntar, kalo dalam waktu satu bulan nggak ada yang bisa nebak, baru saya ambill dan upload foto gedung tersebut.

Jumat, 24 Oktober 2008

Saya "jadi korban" Krisis Ekonomi di Amerika Serikat

Hari Kamis minggu yang lalu, di tengah kesibukannya wira–wiri kesana–kemari, big boss sempat manggil saya ke ruang kerjanya;
“Saya perlu makalah tentang krisis keuangan di  Amerika Serikat.”
“Untuk kapan dan apa isinya?”
“Selasa 21 Oktober. Isinya kira–kira tentang awal krisis tersebut. Rasanya waktu itu, setelah perang Irak, The Fed sempat nurunin interest rate. Nanti saya pikirin lagi”
“Ok, nanti saya cari bahannya di internet”.
Kembali ke ruangan, saya mulai cari bacaan tentang krisis keuangan itu. Searching mulai dari Wikipedia online sampai ke koran lokal. Makan waktu cukup panjang sampai akhirnya ketemu segudang bahan dan analisa lengkap dengan terminology ekonomi “yang canggih”. Saya yang bukan berlatar belakang ekonomi, rada bloon buat mencerna seabreg dokumen analisa ekonomi dalam bahasa Inggris. Tapi minimal sudah ada bahan untuk “oleh–oleh bacaan akhir pekan” si boss.
Hari Jum’at, ternyata dia sudah terbang entah kemana, nggak mampir ke kantor seperti biasanya. Kami hanya berkomunikasi melalui sms dan telpon.
“Acaranya diundur jadi hari kamis kok”, begitu katanya.
Ya sudah, jadi masih ada waktu untuk cari bahan lagi. Hari Jum’at itu saya dapat bahan lagi dari http://www.dw-world.de. Seluruh dokumen baik yang dari Wikipedia online dan dw world, di print dan dikirim ke rumahnya supaya ada ide penulisan makalah. Gila aja kalo saya disuruh nulis tanpa tahu apa maunya. Saya bukan ahli ekonomi, politikus apalagi pelaku usaha yang ngerti banget soal ekonomi makro seperti apa yang dilakoni sang big boss.   

Senin 20 Oktober, ternyata lagi-lagi doi sudah terbang entah kemana. Sekretarisnya Cuma bilang gini :
“Bapak pergi, mungkin baru ada lagi di Jakarta hari Rabu.”
“Lha… terus makalah gimana?”
“Tau’ deh… coba sms aja, mbak! Seperti biasa….!”

Aduh… si boss ini… nggak ada kabar berita! Mungkin itu enaknya jadi boss… Tinggal perintah anak buah. Biar si kroco-kroco itu pusing sendiri ngerjain tugas. Kalo nggak bisa atau nggak beres, tinggal marah. Info sampai hari Senin yang saya tahu cuma; dia perlu makalah tentang krisis ekonomi di Amerika Serikat dan makalah itu akan dipresentasikan pada hari Kamis. That’s it!!!

Selasa pagi, jadwalnya saya rapat di proyek. Mestinya, usai shalat dhuhur, saya mesti pergi rapat di proyek satu lagi. Tapi usai shalat, saya dapat kabar bahwa bapak dari salah satu staff keuangan meninggal dunia. Jadi kami semua di bagian keuangan, pergi melayat karena jenasah akan dikebumikan sore/malam hari itu juga di Pandeglang.
Sekretaris boss masih juga mengingatkan;
“Mbak… kata bapak, makalah tetap dibuat ya..”
“Halah… kumaha atuh…? Gimana saya mau nulis, lha si babe nggak ngasi tahu maunya apa?”
“Hihi… mbak, nasib anak buah, lah….!”

Jam 15.30, saya sudah kembali ke kantor. Nggak tenang ninggalin kantor terlalu lama sementara ide penulisan tentang Krisis Ekonomi masih belum nyangkut di kepala. Jadi saya masih tetap harus browsing lagi, cari-cari artikel yang bisa membuka wawasan mengenai masalah ini dari sudut pandang orang awam. Kepada big boss, saya hanya kirim sms bahwa makalah akan saya buat malam ini dan kalau selesai akan di email ke sekretarisnya. Paling lambat sebelum makan siang hari rabu, sudah bisa dikoreksi. Malam itu, seperti biasa suami tidur di rumah ibunya dan saya sudah terlalu lelah untuk mulai menulis. Jadi, langsung tertidur setelah shalat dan mandi.

Rabu pagi, usai shalat subuh, sambil menunggu anak bersiap ke sekolah, saya mulai menulis walaupun diselang–seling dengan urusan mengantar anak ke sekolah. Kepada sekretaris boss, saya bilang akan datang terlambat setelah makalah selesai.
Tiba di kantor saya masih harus mengkoreksi lagi karena sepanjang perjalanan, ternyata masih terpikir ada bagian-bagian yang kurang dan “nggak nyambung” konteks pembicaraannya. Untung, ternyata boss mendadak (again…!!!) ke luar kota baru akan pulang menjelang ashar. Yang terpenting, acaranya juga diundur menjadi hari Jum’at. Maka, siang itu makalah diantar ke tempat dimana dia berada dengan disertai secarik kertas;
“Pak… mohon dibaca. Kalau ada koreksi, kita masih punya waktu di hari Kamis sepanjang hari”

Kamis menjelang makan siang, 10 halaman makalah dikembalikan oleh boss untuk dibenahi. Untunglah arahan yang sangat minim, koreksi dari boss tidak mencapai 5% dan tidak merubah substansi materi. Hanya perubahan atau penambahan istilah–istilah saja. Maklum saja …. para penulis yang artikelnya dijadikan referensi makalah boss memang bukan orang sembarangan.

Nah, karena artikelnya lumayan panjang dan tidak semua orang tertarik pada masalah ekonomi, maka anda yang mau baca lebih jauh tentang Krisis Ekonomi di Amerika Serikat, silakan baca attached file ini.

Kamis, 23 Oktober 2008

Roti Panggang


Description:
Sambil pulang kantor, saya mikir apalagi menu sarapan pagi besok. Makan roti dan selai pasti bosen banget. Terus, masa bikin bihun/kwetiaw goreng lagi? Gak kreatif banget, kata anak dan suami.

Ingat hari selasa beli 2 bungkus roti tawar yang mestinya sudah agak kering di kulkas, jadi mesti diolah lagi. Akhirnya ada ide bikin roti panggang. Jadi langsung telpon pembantu untuk siapin bahan supaya sampe di rumah dan habis buka puasa, sudah bisa langsung dikerjain.

Sialnya susu tawar habis. Terakhir dipake puding coklat. Tapi saya ingat masih punya 1 dus creamer yang rasanya cukup lezat kalo dipake sebagai ganti susu. Maka jadilah Roti Panggang ini.

Ingredients:
14 lembar roti tawar kupas
1 batang wortel dipotong 5x5x5mm
1 buah kentang dipotong seperti wortel
5 batang buncis diiris melintang/bulat tipis
100 gr jamur merang potong kecil2
4 lbr smoke beef diiris seperti batang korek api,
200 gr keju parut
700 ml air untuk melarutkan
4 sendok makan creamer
1/2 bawang bombay cincang halus
2 siung bawang putih cincang halus
1/2 sendok teh oregano
1/2 sendok teh celery seed
1/2 sendok teh merica halus
1/4 sendok teh pala halus
1 sendok teh gula pasir
100 gr terigu
minyak goreng dan garam secukupnya
mentega untuk pengoles

untuk pencelup
500 ml air
3 sendok makan creamer
3 butir telur ayam
semua bahan ini dicampur hingga larut.

Catatan, Jangan terpaku dengan bahan isi yang diatas. Jangan ragu untuk pakai bahan yang ada di kulkas.

Directions:
1. panaskan minyak, lalu masukkan bawang bombay dan bawang putih. Aduk hingga harum
2. Masukkan semua bahan sayuran, masak hingga layu, lalu masukkan berturut-turut daging asap, tepung terigu dan bumbu-bumbu. Aduk hingga rata tercampur.
3. Masukkan creamer yang sudah dilarutkan dalam air. Masak hinggak kental dan mendidih.
4. Siapkan pyrex ukurang besar, olesi mentega.
5. Celupkan roti dalam larutan, susun di pyrex. lalu tuangkan semua bahan isi roti (ragout), taburkan 1/2 bagian keju parut.
6. Celupkan dan susun sisa roti hingga menutup seluruh ragout lalu taburkan sisa keju
7. Panggang selama 35 menit.
8. Sajikan panas-panas dengan sambal dan saus tomat, jika suka.

anomali alam, rabu 22 oktober 2008

Konon, ada anomali alam terjadi pada hari rabu 22 Oktober 2008. Berita ini di launched di beberapa situs internet dan mail-list. Itu kata anak dan suami saat kami keluar malam tadi untuk mengisi bensin. Tapi karena seharian rabu saya tidak membuka email, jadi nggak tahu ada berita tersebut.

Di lingkungan rumah kami, kawasan Lebak Bulus, sedang ada pemadaman lampu sejak siang jam 11.00 dan hingga jam 22.00 masih belum lagi menyala. Jadi kesal dengan gelap gulita di dalam rumah, apalagi saya belum mandi karena air habis sama sekali. Saya lalu keluar rumah dan menikmati langit malam yang terang benderang di halaman.

Memang .... malam tadi, hingga jam 22.00 langit "terang benderang" berwarna dasar abu-abu, bukan hitam kelam seperti seharusnya. Tidak tampak bintang sama sekali. Bulanpun tak tampak, Tanggal 22, sudah bukan saat bulan purnama, namun jejak sabit akhir bulan mestinya masih tampak.

Malam itu, awan putih masih tampak jelas, berlatar abu-abu dan sebagian masih ada rona langit biru. Anak saya bilang... dalam berita disebut bahwa malam ini, matahari akan "bersinar" selama 36 jam. Entah dimana dia temukan berita itu (ternyata setelah saya google, cerita anomali alam ini untuk tanggal 17 Oktober 2008 dan hoax).

Sekitar jam 21.50, saat saya lebih teliti memperhatikan, langit perlahan berubah dari abu-abu menjadi gelap. Awan bergerak berarakan dan bintang mulai terlihat kelap-kelip. Hal ini berlangsung perlahan dan tepat jam 22.00, langit sudah gelap seperti malam biasanya. Sayang, saya tidak bisa merekam anomali alam tersebut dengan video. Memang nggak punya. Nokia yang saya pakai, tidak mampu merekam kejadian itu.

Adakah yang bisa menceritakan, sebab-sebab terjadinya anomali alam ini?

Reedit, kamis 23-10-08 jam 22.15

Jumat, 17 Oktober 2008

monster bernama sekolah

Malam takbiran yang lalu, kami ber 9, dengan adik, ipar dan keponakan nonton film Laskar Pelangi - LP di Citos, jam pertunjukan 21.45. Agak malam, karena sudah terlambat untuk pertunjukan jam 19.00. Selain karena film LP memang banyak peminatnya, tapi juga karena, acara nonton itu mendadak muncul di kepala usai menjemput suami dari mesjid Al Hikmah – Elnusa tempatnya itikaf 10 malam terakhir Ramadhan.

Masih terbayang hingga kini, betapa anak-anak LP, terutama Lintang, dalam kemiskinannya, sangat menikmati masa sekolah. Kelihatannya, sekolah di SD Muhammadiyah yang kumal itu menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Tempat menjalin keakraban dan bersenang-senang.

Mungkin karena suasana pedalaman Belitong yang indah mempengaruhi suasana belajar, Tentu bila dibandingkan dengan Jakarta yang ruwet, macet dan semrawut. Macet menjelang tiba di sekolah mempengaruhi suasana hati sehingga gedung mewah dan fasilitas lengkap tak mampu memupus kelelahan anak.

Anak SD di kota besar sekarang, Jakarta misalnya, relatif susah untuk bangun pagi, mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Padahal kemacetan memaksa anak sudah harus berangkat pada jam 06.00. Sarapan pagipun terkadang harus dilakukan di dalam kendaraan.

Beruntunglah kalau pagi masih bisa di antar orangtua dengan kendaraan pribadi. Tapi, bagaimana dengan anak-anak yang harus berangkat dengan kendaraan umum. Tentu mereka harus berangkat lebih pagi lagi. Bukan tidak mungkin, mereka tidak sempat sarapan dulu di rumah.

Sekolah, sekarang tidak lagi menjadi tempat yang menyenangkan. Bagaimana bisa, kalau berangkat ke sekolah saja sudah memerlukan perjuangan keras seperti itu.

Sekolah tidak lagi menjadi tempat belajar yang nyaman. Bagaimana mungkin bisa nyaman, kalau memegang pensil masih belum ajeg … membaca masih terbata-bata tetapi buku pelajaran yang tebal, penuh tulisan dengan bahasa “tingkat tinggi” yang sukar dimengerti anak yang baru lepas dari botol susu, tetapi sudah harus dicerna mereka.

Tentu, sekolah juga menjadi tempat yang menakutkan, bila usai terperangkap dalam kelas yang “dingin”, kehangatan rumah yang dirindukan masih akan dipenuhi lagi oleh kecerewetan ibu, mengingatkan anak untuk mengikuti les tambahan ini atau kursus itu. Belum lagi tumpukan pekerjaan rumah dari guru, latihan untuk mengulang pelajaran di sekolah.

Tidaklah mengherankan, bila anak-anak mengalami stress luar biasa pada hari-hari pertama masuk sekolah di kelas I SD dulu. Alasan sakit kepala, sakit perut dan mules pada jam berangkat sekolah sering terjadi.

Tahun 60an …. Anak SD kelas I dan II hanya belajar Menulis, membaca dan berhitung. Merekapun hanya punya buku teks bahasa Indonesia. Judulnya sederhana sekali. Buku Bahasaku dan Bacaan Bahasaku karangan Purwadarminta. Buku bahasaku berisi pelajaran bahasa yang pada umumnya berisi teks dan pertanyaan, lalu ada latihan-latihannya yang sekarang mungkin lebih beken dengan sebutan pelajaran Tata Bahasa.

Buku Bacaan Bahasaku, berisi teks bacaan. Cerita-cerita pendek yang sangat menarik. Ceritanya sederhana, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan dicerna anak. Nama tokohnyapun sangat sederhana, Amir, Tuti, Sudin, Muntu. Sama sederhananya dengan perikehidupan yang terpancar dalam teks buku pelajaran bahasa tersebut. Jadi, belajar bahasapun menjadi sangat menyenangkan.

Anak-anak SD baru mulai belajar menulis, karena masa sekolah di taman kanak-kanak - TK memang seperti bermain di taman. Aktifitas anak di TK hanya bermain, bernyanyi atau menguatkan syaraf motoril tangan dengan mengolah “malam” atau sekarang disebut dengan nama keren “plastisin”. Sangat berbeda dengan anak-anak TK sekarang.

Hari-hari pertama di SD dimulai dengan belajar mengenal dan menulis abjad, pengenalan huruf besar dan huruf kecil di buku khusus pelajaran menulis bergaris 5. Pelajaran menulis indah inipun berlangsung hingga murid duduk di kelas enam. Bedanya, di kelas 6, murid menulis dengan tinta dan mata pena. Pelajaran yang menuntut kesabaran dan kehati-hatian, karena kalau tidak hati-hati, maka tinta akan mblobor dari mata pena membasahi tulisan. Itu sebabnya, anak-anak yang bersekolahdi SD hingga akhir tahun 60an rata-rata memiliki tulisan yang indah dan teratur rapih.

Matematika…..? Waduh… sama sekali tak dikenal. Yang dikenal adalah pelajaran berhitung. Di kelas 1, anak hanya diajari pelajaran penambahan dan pengurangan. Di kelas 2 perlajaran pembagian dan perkalian. Baru di kelas 3 dan 4, anak diajari kombinasi penambahan dan pengurangan serta pembagian dan perkalian. Pelajaran berhitung dengan format teks baru diajari di kelas 5 dan 6.Pelajaran Ilmu Bumi (ingat lho … istilahnya ilmu bumi, bukan geografi) baru mulai diajari di kelas 3, lalu bertambah dengan ilmu hayat di kelas 4. Sederhana sekali ya. Nggak ada tuh yang namanya PPKn, IPS, IPA, PLKJ dan lain-lain. Paling ditambah dengan pelajaran Budi Pekerti mulai di kelas 3, yang berupa cerita-cerita keteladanan.

Lalu, bagaimana dengan ulangannya? Biasanya setiap selesai mengajarkan satu topik, katakanlah penambahan 1 hingga 10, keesokan harinya akan ada ulangan dalam bentuk mencongak. Guru menyebutkan operasi penambahannya, misalnya saja 1+1, lalu murid tinggal menulis jawabnya di kertas. Kalau pelajaran bahasa, biasanya dalam bentuk dikte. Guru membaca teks 1 atau 2 kali, lalu murid menuliskan apa yang didengarnya.

Sederhana sekali. Tidak ada minggu ulangan umum entah apa yang dinamakan mid tes ehb dan lain-lain yang mencekam anak. Dengan demikian, anak sekolah jaman dulu tidak ada yang stress.

Sekolah betul-betul menjadi tempat yang sangat menyenangkan. Tempat yang dirindukan. Apalagi, jaman itu, kendaraan masih langka, jadi jalanpun masih sepi, pepohonan masih rimbun. Udara lebih sejuk tak berpolusi. Dengan suasana dan materi pengajaran yang sangat sederhana tersebut, apakan anak-anak jaman dulu kurang intelek? Yang pasti, pada umumnya anak-anak jaman dulu sangat suka membaca buku pelajaran bahasaku ditambah dengan majalah si Kuncung.

Masih teringat ada satu teks dalam buku bacaan bahasaku …:
“Aduh mak…, perutku sakit…
”“Mari nak…. Kutolong pijit… dst …
(maaf lupa terusan teks nya)

Atau satu lagu yang juga tercantum dalam buku tersebut…
“Kupu-kupu yang lucu….
Kemana engkau terbang
Hilir mudik mencari
Bunga-bunga yang kembang
Berayun-ayun pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu,
Merasa lelah… dst

Ah, tentu anak-anak jaman sekarang akan berpikir Jadoel banget. Ini bukan soal jadoel atau modern. Tapi tentang bagaimana menciptakan suasana belajar yang nyaman bagi anak-anak sekolah terutama anak-anak SD di kelas-kelas awal. Karena sekolah sekarang tidak lagi menawarkan system belajar yang nyaman bagi anak. Sekolah sudah menjadi monster yang merenggut keceriaan anak.

Tidak mengherankan bila sekarang ini, di Singapore, Jepang dan bahkan di Indonesia, anak SD pun sudah mengenal upaya “BUNUH DIRI” karena tidak kuat menahan beban. Apapun bentuk beban yang mereka tanggungkan.

Kamis, 16 Oktober 2008

Tiens .... J'ai gagne....!!!

Usai shalat ashar, saya lihat ada missed call. Nomornya, entah memang mata saya yang ngaco atau memang itu nomor hunting, kira-kira tebakan saya dari bank yang biasa berhubungan dengan saya.

Lalu saya coba call back, karena beberapa hari yang lalu mereka pernah menghubungi saya, tapi nggak sempat ngomong karena saya lagi rapat.. Tapi nomor hunting kalo di called back, suka tulalit. Lagi coba-coba call back, tiba-tiba keliatan lagi telpon masuk.... Rupanya yang nelpon bukan dari bank.

"Allo madame, c'est Syarah de CCF....!"
"Tiens... c'est un grand surprise! Quelque chose de speciale?"
"Oui madame.... vous etes invitee a la soiree a 7heure au CCF Wijaya...?"
"Ha..., ada apa....?"
"Vous avez gagne le prix ..... viens donc assister a la soiree...!"

Kaget dan nggak percaya. Walah..... kok bisa ya....?
***

Hari sabtu yang lalu, kursus pertama setelah libur lebaran. Pagi itu, baru ada 3 orang yang masuk. Saya, Raihana yang cantik dan sangat fasih berbahasa perancis dan Hanum. Mr Nuryadin sang guru, masuk kelas, seperti biasa membawa setumpuk kertas.

"Vous etes invitee au concours Lire en Fete...., Allez donc ecrire une carte postale. La scene se deroule au chateau . Vous etes invite au chateau et quelque chose etrange se passé pendant la nuit et vous racontez au amis ou parents de ce qui se passait"

Waduh….. mati deh!!! Kelas kami, walaupun kelas “ paling tinggi” di CCF, yaitu kelas Conversation alias kelas percakapan, kalau nggak hati-hati malah memudarkan kemampuan menulis dan membaca dalam bahasa perancis.

Kegiatan hariannya adalah dikasi text, terus baca dan diskusi. Kalo gurunya lagi inget, murid disuruh baca satu persatu, baru diskusi. Nggak pernah ada latihan menulis atau latihan grammaire. Kegiatannya lebih banyak omong-omong dengan tata bahasa yang kacau balau, yang penting ngomong, maka lama kelamaan, peserta jadi kehilangan kemampuan untuk menata percakapan dengan baik dan benar. Orang-orang yang takut salah omong, jadi pasif. Apalagi kalau si guru nggak pinter memancing percakapan.

Nah, karena situasinya begitu, semua orang paling takut kalo disuruh nulis. Apalagi saya yang relatif tidak belajar bahasa perancis secara terstruktur dengan baik. Sejak selesai belajar “serius dan intensif” selama satu tahun serta berjibaku di negeri dan eranya Valerie Giscard d’Estaing dan Francois Mitterrand, dulu banget, saya sudah nggak pernah megang livre de la conjugaison (Becherelle?) atau Petit Robert yang walaupun namanya Petit alias kecil, tapi kamus bahasa perancis ini tebalnya minta ampun.

Saya memang pemalas deh, kalo disuruh buka kamus. Itu sebabnya vocabulaires saya nggak pernah nambah.Akibatnya juga jadi nggak tambah pinter walau bertahun-tahun kemudian masuk kelas dan belajar lagi ke CCF lagi.

Balik ke kelas lagi…Jadi waktu mr. Nuryadin minta 3 orang muridnya yang udah datang untuk, ecek-ecek, bikin cerita di carte postale, ketiganya jadi “nyureng”…. Rada-rada males, gitu loh! Kebayang deh, mesti muter otak, apa yang mesti diceritain. Ntar grammaire nya. Gimana conjugaison nya. Halah… ribet deh!

Tapi Mr Nuryadin sudah dengan semangat bawain murid-muridnya 3 buah Petit Robert. Siapa tahu diperlukan untuk bantu cari vocabulaire.
***

Sore tadi dalam soiree a la francaise, Michelle Koeswoyo, yang ini asli perempuan Perancis yang menikah dengan Yok Koeswoyo (Koes Plus) membagikan hadiah. Lumayanlah… ada tshirt nya CCF warna biru, terus bukunya Henry Cartier Bresson dan Marie NDiaye, ada 2 CD lagu berbahasa perancis, pin dan ballpoint. Peserta yang memang sekaligus diminta membacakan isi carte postale nya.

Mungkin, keberuntungan saya, karena sudah terbiasa nulis cerita harian, jadi isinya lumayan panjang dibandingkan dengan 2 teman muda di kelas..Karena, memang, menuangkan isi kepala ke dalam bentuk tulisan ternyata nggak mudah. Jadi kalau kita nggak terbiasa menulis dalam bahasa ibu, bagaimana mungkin kita menulis dalam bahasa asing, yang tingkat kesulitannya tentu lebih tinggi.

Saya sih ikut petunjuk suami aja. Nulis itu modalnya memang nekat aja. Menulis, jangan peduli sama yang namanya tatabahasa dan orthographe nya deh. Kalo yang begitu dipikir duluan, pasti nggak akan jadi tulisan. Jadi, dengan modal nekat seperti itu, memang nggak nyangka kalo ternyata tulisan saya dapat penghargaan pertama untuk kelas conversation.

Atau mungkin, memang sudah sepantasnya dapat … kalo nggak dapat juga, buat apa les setiap hari sabtu ditambah lagi udah sempat nyebur di negaranya langsung...Tapi, bisa jadi karena anak-anak muda yang pinter-pinter ngomong bahasa Perancis itu sudah berhenti semua. Nggak kursus lagi. Yang masih ada, yang bloon, bolot and tuwir-tuwir semua. Jadi. saya  menang karena sedikit lebih pinter dari yang lainlah... Bukan karena tulisan/ceritanya bagus.

En tous cas, merci pour le cadeau, Michelle!

-----
Hallo, ibu, ini Syarah dari CCF
Wah, kejutan nih, ada yang special?
Ya bu, anda diundang pada acara sore ini jam 7 di CCF
Anda menang … Ayo dong hadir pada acara nanti
Anda diminta ikut serta dalam acara “lire en Fete”. Menulis kartu pos. Cerita berlangsung di kastil. Anda diundang menginap di sana dan sesuatu yang aneh terjadi pada malam hari. Lalu anda menceritakannya kepada teman atau orangtua apa yang terjadi di sana.

Kamis, 09 Oktober 2008

Single ID number, salah satu kunci transparansi.

Jauh sebelum gonjang–ganjing ekonomi Amerika Serikat yang disebabkan oleh bangkrutnya lembaga keuangan Lehman brothers dan mengakibatkan krisis ekonomi global, jajaran Departemen keuangan sudah lebih dulu panik dan glagepan mencari cara untuk meningkatkan jumlah pundi-pundi Negara yang bolong-bolong disabot para koruptor.

Maka Dirjen Pajak menerapkan berbagai cara untuk meningkatkan pendapatan pajak padahal, pembobol keuangan Negara ada juga di sarangnya sendiri. Mereka yang berlagak sedang memeriksa kejujuran para wajib pajak lalu kemudian beralih rupa menjadi pengemplang duit pajak yang akan disetor para wajib pajak yang ketahuan melakukan kecurangan.

Dirjen Pajak juga tidak lupa dengan program sosialisasi dan komunikasi modern melalui iklan, banner, sticker dan lain-lain. Termasuk juga melakukan program sunset policy 2008 nya untuk mensukseskan peningkatan jumlah wajib pajak yang diharapkan akan meningkatkan pendapatan pajak di kemudian hari.

Sepertinya kebijakan untuk meningkatkan pendapatan Negara yang dicanangkan oleh Dirjen Pajak itu cuma akan berakhir seperti program-program pemerintah lainnya, seperti Visit Indonesia Year 2008, program bio energy, program mobil nasional dan lain-lain. Ekstrimnya, program pemerintah itu "lebih besar pasak daripada tiangnya". Lebih besar pengeluaran untuk membiayai sosialisasi, rapat-rapat, seminar dan lain-lain daripada hasil yang diperoleh dari program-program tersebut. Kalaupun ada point positif dari sisi pendapatan, ratio antara effort dan biayanya tidak sebanding dengan pendapatan/penerimaan yang dihasilkannya.

Salah satu elemen penting, yang sering dilupakan, dari semua program yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara (kependudukan, pajak, pemilu dan lain-lain) adalah data penduduk. Kalau mau jujur, tidak ada satu lembaga pemerintah di Indonesia yang mampu menyajikan jumlah penduduk Indonesia secara akurat. Tidak juga BPS yang Biro pusat Statistik yang selalu melakukan pendataan penduduk.

Setiap 5 tahun sekali pemerintah apakah itu melalui KPU alias Komite Pemilihan Umum atau BPS melakukan survey dan pendataan. Jangan lupa… BPS juga melakukan survey dan data kependudukan. Kenapa harus ada dua institusi yang melakukan survey dan pendataan penduduk. Jawabnya…. karena ada PROYEK dan PROYEK berarti ada UANG besar yang bisa DIMAINKAN.

OK, kita tutup mata dengan uang proyek…. Karena tidak ada suatu kegiatanpun yang tidak membutuhkan dana. Nah… kalau salah satu instansi tersebut telah melakukan survey dan pendataan, mestinya data yang diperoleh itu dimasukkan sebagai data entry kependudukan Indonesia yang bisa diakses oleh instansi pemerintah manapun di Indonesia.

Logikanya … karena kita sudah memiliki data penduduk, semoga sudah lengkap dengan nama, tanggal lahir, alamat lengkap dan lain-lain yang dibutuhkan selayaknya sebagai data kependudukan yang sah. Jadi kalau KPU butuh data kependudukan, mestinya bisa minta ke BPS dong…. Nggak perlu lagi KPU bikin “proyek” sendiri untuk melakukan pendataan peserta pemilu/pilkada. Buang-buang duit, kan…?

Tapi… pemerintah Indonesia memang senang buang-buang duit kok. Kan negaranya kaya, gemah ripah loh jinawi. Jadi…. KPU bikin survey dan pendataan lagi…. Alasannya karena kebutuhannya berbeda. Padahal, data dasarnya tetap sama. Kalau data BPS kebanyakan, ambil sebagian aja dong!

Udah gitu, konyolnya, bisa jadi KPU minta bantuan ke BPS juga. Lalu ada biaya lagi karena walaupun sesama institusi buatan pemerintah, keperluan lintas institusi ternyata nggak bisa gratisan. Saya jadi ingat, waktu pilkada jatim beberapa waktu yang lalu, ramai diberitakan bahwa BPS meminta dana milyaran rupiah untuk pemutakhiran data peserta pemilu yang akan digunakan sebagai data peserta pilkada.

KTP-RI; sebuah pembohongan publik yang luar biasa.
Belakangan ini, pemerintah kota/kabupaten ramai-ramai mencanangkan pembuatan KTP–RI berlogo garuda. Bukan lagi logo masing-masing pemerintah daerah. Jadi KTP penduduk DKI Jakarta yang konon sudah menjadi KTP RI, tidak lagi berlogo Monas, tetapi berlogo Garuda. Begitu juga KTP–KTP daerah lain yang sudah menyebutkan dirinya KTP–RI, sudah berlogokan Garuda.

Tapi, yakinkah anda bahwa KTP tersebut betul-betul KTP nasional? Saya kok nggak yakin, ya. Logikanya; yang pertama; kalau KTP–RI itu KTP nasional, maka pembuatan KTP–RI harus menjadi proyek nasional (walaupun dilaksanakan secara bertahap ) yang berada di bawah kendali Departemen Dalam Negeri. Bukan merupakan proyek pemerintah daerah masing–masing kota/kabupaten.

Kedua, dengan adanya KTP–RI, maka secara simultan kepada setiap penduduk pemegang KTP–RI akan memiliki IDENTITY NUMBER alias ID number sebagai tanda pengenal diri yang wajib digunakan dalam segala macam keperluan hajat hidupnya sebagai penduduk Indonesia, antara lain dalam pengurusan SIM, BPKB, STNK, NPWP, PBB, imigrasi/passport, bahkan sampai kepada pendataan sebagai nasabah bank, pasien RS, asuransi (astek-jamsostek) dan banyak lagi.

ID number ini disimpan dalam bank data milik Negara.Dengan adanya SINGLE ID NUMBER tersebut, maka seluruh elemen pemerintahan atau lembaga yang memerlukan, tinggal mencocokkan ID number yang tertera dalam copy yang menyertai semua formulir isian setiap kegiatan berbangsa dan bernegara. Maka, tidak ada lagi yang bisa bersembunyi dengan ID palsu atau ID ganda.

Ketiga; seperti yang sudah dikatakan, dengan adanya KTP-RI mestinya tidak ditemukan lagi KTP ganda. Tidak ada lagi celah untuk pembuatan KTP ganda, seperti yang saat ini masih saja sering ditemukan. Kan konyol sekali, saya melihat dengan mata kepala sendiri seorang kawan memiliki 3 buah KTP–RI berlogo garuda atas namanya yang diterbitkan dari kabupaten/kota yang berbeda… Lha… opo meneh, KTP–RI? Bercandanya pembuat KTP–RI ini, keterlaluan banget….!

Ada apa dibalik keengganan memberlakukan single ID number?
Pemerintah Indonesia, minimal orang-orang pintar di pemerintahan terutama mereka yang pernah belajar di luar negeri tentu sangat mengerti bahwa pemberlakuan single ID number itu sangat penting untuk melakukan pembenahan dan transparansi penyelenggaraan negara. Cuma repotnya kemauan politik dan kepentingan orang perorang dan kelompok untuk berkongkalikong jauh lebih besar daripada semangat untuk melaksanakan transparansi di segala bidang.

Akibatnya berbagai alasan dan kendala untuk melaksanakan proyek single ID number dikemukakan para penyelenggara kebijakan publik.Dari mulai alasan bahwa wilayah Indonesia yang terlalu luas … Jangkauan dan ketercapaian pelosok wilayah pedalaman yang sulit. Sumber daya manusia yang belum memadai. Seribu satu alasan dikemukakan. Pendeknya, banyak sekali alasan dikemukakan sehingga program single ID number tidak pernah didijalankan. Atau kalaupun dibahas, masih di wilayah bawah meja. Masing-masing pihak saling memahami kepentingan tersebunyi untuk tidak menjalankan program ini.

Padahal, kalau ada kemauan politik, kan tinggal dibuat tahapan program jangka pendek, menengah dan panjang. Tahap awalnya kota-kota yang menduduki posisi penting dalam perekonomian Indonesia. Penduduk yang terdata diberi Single ID number yang harus terkoneksi ke seluruh kegiatan perikehidupan.

Lalu dibuatkan UU yang mewajibkan seluruh aspek kehidupan masyarakat harus menggunakan single ID number tersebut. Dengan demikian penduduk kota tersebut yang nota bene lebih “makmur” disbanding penduduk kota lainnya tidak bisa lagi berkongkalikong menyembunyikan identitas diri guna menghindari kewajiban pajak, misalnya.

Program ini kemudian  dilanjutkan untuk penduduk di seluruh ibukota propinsi, lalu seluruh kotamadya/ibukota kabupaten. Itu aja dulu yang penting. Nanti juga secara berangsur-angsur semua akan terdata dengan baik. Jadi… kelak di kemudian hari, tidak perlu ada survey kependudukan setiap saat. Kalau sudah begini setiap ada kelahiran yang berarti penerbitan Akta lahir ataupun kematian yang juga berarti terbitnya surat kematian, secara otomatis akan menerbitkan ID baru atau menghapuskan ID lama

(eh… tapi kalau single ID number ini dilaksanakan, lama kelamaan, jadi sepi order proyek pendataan penduduk dong ya….????)
salam

Maaf, saya nggak balas SMS nya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya sejak pengguna telpon genggam membludak; yaitu dengan banyaknya jumlah provider yang kemudian terjadi persaingan antar provider dalam menggaet pengguna telpon genggam, maka era komunikasi tulisan melalui pos mulai berkurang. Apalagi saat munculnya CDMA yang katanya murah meriah walaupun sambungannya nggak mulus-mulus banget, maka peredaran telpon genggam tidak lagi bisa ditahan-tahan. Dimana-mana, penting nggak penting, semua orang merasa "wajib" punya HP.

Nah lebaran ini, saya menerima tidak kurang dari 100 sms yang isinya puisi-puisi indah yang entah memang karangan asli si pengirim atau contekan dari sms yang mereka terima lalu diedit dan forwarded ke teman-teman lainnya, mirip surat berantai... Pokoknya semua orang mendadak jadi penyair....

Tapi bukan soal sms atau isinya yang romatis puitis itu .... Saya cuma merasa "gerah" aja dengan fenomena SMS selama masa lebaran dan hari-hari perayaan agama lainnya.

Bayangkan saja, kalau ada sekitar 20% penduduk Indonesia atau 20%x220.000.000 orang atau 44juta pelanggan HP dari seluruh provider dan 50% nya saja mengirim minimal 15 SMS, maka akan ada 50% x 44.000.000 x 15 sms = 330.000.000 sms. Kalau 1 sms berharga Rp.150,- maka selama satu minggu saja, uang yang diraup oleh para provider HP dan masuk ke kantongnya adalah sebesar 330.000.000 x Rp.150,- = Rp.49.500.000.000,- .

Jumlah ini belum lagi terhitung sms yang beredar menjelang masuknya bulan Ramadhan yang lalu. Dan... saya yakin semua pengguna HP akan mengalami hal yang sama. Belum lagi bila kita menggunakan fasilitas MMS yang biayanya lebih besar

Padahal kenyataannya, SMS yang beredar pasti lebih dari jumlah itu. Coba bayangkan, kalau saya harus membalas 100 SMS yang masuk ditambah dengan beberapa lagi sms yang harus saya kirim, katakanlah kira-kira sejumlah 50 buah lagi, maka saya harus rela tagihan rekening telpon bulan depan ditambahi beban sebesar 150 x Rp.150,- = Rp.22.500,-.

Jumlah itu, memang relatif tidak besar dibandingkan dengan nilai perhatian, komunikasi dan silaturahim yang diharapkan dapat terjalin karena kirim-kiriman SMS itu. Saya cuma nggak rela aja, bahwa pundi-pundi TEMASEK yang sekarang menjadi pemilik mayoritas saham Telkomsel dan Indosat menggelembung lebih banyak lagi karena sms yang beredar selama masa Lebaran yang baru lalu. Andaikan Telkomsel, Indosat masih milik Indonesia, mungkin saya tidak akan menghitung sedemikian detil...

Jadi, melalui email dan blog ini, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. Taqoballahu minna wa minkum ... Semoga kita menjadi orang-orang yang mampu secara tulus ikhlas memaafkan mereka yang secara sengaja maupun tidak telah mendzalimi kita selama ini. Amiiinnn........

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...