Sabtu, 19 Desember 2009

Yang wajib ditonton : SANG PEMIMPI

Saya, bukan penggemar akut nonton film. Bisa dihitung dengan jari, tak akan lebih dari 5 kali nonton. Bahkan mungkin hanya 1 kali setahun karena saya ingat, film terakhir yang saya tonton adalah Laskar Pelangi dan sekarang Sang Pemimpi.

Film sang pemimpi memang sudah masuk dalam daftar "wajib tonton" karena selain "sudah terpengaruh" dengan isi novelnya Andrea Hirata, tapi juga karena untuk memvisualkan novel tersebut ke dalam film, Andrea bekerja sama dengan Riri Reza dan Mira Lesmana yang sudah menjadi "jaminan mutu". Maka.... karena itulah, hari Jum'at 18 Desember 2009 lalu (tidak terasa tahun sudah berganti) usai makan siang kami bertiga berangkat ke citos untuk nonton SANG PEMIMPI.

Saya memang tidak ingin membuat resensi film tersebut. Seperti yang sudah saya katakan, untuk kelas Indonesia, Riri Reza dan Mira Lesmana sudah merupakan jaminan mutu bagi film-film "berkelas". Saya cuma ingin bicara tentang isi film tersebut, yaitu penggalan hidup sang penulis, Andrea Hirata saat masih remaja.

Terus terang saja, kalau saja saya hanya lahir dan besar di Jakarta serta tidak pernah tinggal di daerah, agak sukar mempercayai betapa kerasnya perjuangan hidup Ikal atau dalam hal ini Andrea Hirata.

Belitong, khususnya Gantong dan Mangar di tahun 90an bisa jadi terlalu sederhana dibandingkan dengan gemerlapnya Jakarta baik pada tahun-tahun tersebut apalagi kalau dibandingkan dengan sekarang. Padahal.... kalau kita mau sedikit "berpayah-payah" keluar masuk daerah kumuh di balik kemewahan Jakarta, sesungguhnya "kekumuhan" dan kekerasan hidup itu tidak jauh dari mata kita dan ini terjadi bukan saja pada tahun 70an - awal 80an saat saya harus "mblusukan" masuk ke perkampungan kumuh dan padat di Tambora untuk melaksanakan tugas kuliah. Tapi, ternyata hingga abad ke 21, kekumuhan Jakarta masih tetap ada dan saya temukan saat secara tidak sengaja jalan pagi di sekitar tempat tinggal, menemukan kampung di atas tumpukan sampah di "pedalaman" Lebak Bulus. Di balik perumahan elite dimana rumah-rumah mewah dengan luas halaman menutupi "aroma busuk" sampah dan kekumuhannya.

Bisa jadi, kehidupan di wilayah kumuh tersebut sama kerasnya dengan kehidupan anak-anak buruh tambang timah di Belitong tersebut. Bahkan mungkin juga tidak sekeras anak-anak Belitong karena anak-anak itu tumbuh menjadi anak jalanan yang "dengan mudah" meraih belas kasihan dan memperoleh uang dari masyarakat Jakarta, pada setiap perempatan jalan


Senin, 14 Desember 2009

Musimnya orang menikah

Nggak tahu mesti nulis apa, kali ini. Mau nulis komentar tentang carut marut hukum di Indonesia, sudah terlalu banyak yang ngomong. Sampai bosan dengar di TV, radio dan dimana saja kita ketemu teman. Kalau masih nekat juga nulis, nanti “dimarahi” Tintin…. hehehe….

Tumben dia ngomel!!! Biasanya orang seperti dia, akan mudah “tersentuh” hal-hal yang terasa tidak adil dan menyakiti rakyat kecil. Mungkin kali ini dia sudah muak dengan “kebebalan” para aparat penegak hukum yang sudah terbutakan mata hati nuraninya. Bagaimana tidak, kalau orang yang mencuri 3 buah coklat, makan 1 buah semangka dan hal-hal yang remeh temeh saja sudah kena bui 1–3 bulan. Sementara yang ngemplang duit negara milyaran bahkan trilyunan malah merasa aman melanglang buana di luar negeri dari hotel ke hotel atau bahkan bisa jadi sedang menikmati rumah dan apartemen mewah nya di daerah elite manca negara. Jadi… sekarang, kita nggosip aja ya… Kan perempuan suka gossip.

Bulan Desember ini rupanya jadi pilihan banyak orang untuk menikah. Bulan baik kalau buat muslim …., karena bertepatan dengan bulan pelaksanaan ibadah haji dan awal tahun baru, yaitu bulan Muharam yang dimulai pada tanggal 18 Desember yang akan datang.

Salah satu rekan kantor (boleh juga dibilang anak, kali ya… karena umurnya nggak jauh beda dengan anak sulungku) yang beragama Katholik akan menikah pada tanggal 18 Desember yang akan datang dan sementara keponakan suamiku (muslim) akan menikah pada tanggal 25 Desember (akad nikah) dan resepsinya diselenggarakan pada keesokan harinya. Lucu aja melihat koinsiden tersebut. Yang beragama katholik menikah pada saat umat Islam merayakan tahun baru hijrah sedangkan yang muslim menikah saat para kristiani merayakan Natal. Eh tapi, bukan hal itu yang jadi sorotanku.

Menikah sepertinya dan memang sudah seharusnya menjadi tujuan hubungan dua orang manusia yang berlainan jenis kelamin …., gimana enggak, wong yang berjenis kelamin sama aja berniat mengikatkan hubungan sejenisnya melalui lembaga pernikahan kok! Jadi…, pantas saja kalau suatu hubungan kasih sayang yang serius di antara dua orang manusia akan bermuara dalam sebuah lembaga pernikahan. Namun yang seringkali dilupakan adalah… bahwa pernikahan bukanlah sebuah akhir dan tujuan dari sebuah hubungan kasih sayang tetapi justru awal dari kehidupan yang sebenarnya.

Kalau mau diibaratkan seperti sekolah/kuliah… katakanlah saat pernikahan itu seperti saat wisuda. Senang sekali karena tujuan/akhir perjuangan panjang selama sekolah sudah tercapai. Begitu juga dengan pernikahan…, perjalanan panjang selama “pacaran” sudah mencapai garis finish, dengan menikah. Kenyataannya, setelah wisuda dan pernikahan, kita malah menghadapi realita kehidupan yang sebenarnya. Kalau selesai sekolah kita masuk ke dunia nyata untuk bekerja secara mandiri, menghidupi diri dari “kemampuan” diri sendiri, begitu juga dengan pernikahan.

Kita “melepaskan diri” dari “lindungan kenyamanan sebuah sarang” bernama keluarga dan membentuk sarang baru dengan anggota yang baru, yaitu istri untuk kemudian berkembang biak dengan anak-anak yang akan lahir.Menurut saya, ada persamaan dengan bekerja dengan perjalanan pernikahan. Bahwa perusahaan tempat kita bekerja dan para pekerjanya selalu berharap berkembang ke arah yang lebih baik, sehingga si pekerja bisa memperoleh posisi dan penghasilan yang lebih baik dari tahun ke tahun. Kalau salah satunya tidak terpenuhi, maka keduanya bisa jadi akan “berpisah jalan”.

Kalau jalannya perusahaan tidak baik, maka perusahaan mungkin akan mem PHK kan karyawannya. Begitu juga bila si karyawan lama-kelamaan merasa perusahaan tempatnya bekerja tidak lagi memenuhi harapannya, maka dia akan mulai “berselingkuh”, melirik kesempatan kerja di tempat lain untuk kemudian meninggalkan perusahaan tersebut untuk pindah ke perusahaan yang baru itu pada waktunya.

Ini untuk karyawan yang punya potensi baik dan “mampu” bersaing di dunia kerja. Kalau karyawan yang kemampuannya “terbatas” dengan lagak sebagai loyalis dia akan tetap bertahan. Tapi bukan tanpa protes. Protesnya justru lebih “berbahaya” karena makin membebani dan merugikan perusahaan. Dia tidak lagi bekerja dengan baik, malah mencuri-curi waktu untuk cari kerja sampingan dan lain-lain sementara perusahaan mungkin tidak sadar. Atau kalaupun sadar, tapi tidak “mampu” mem PHK karena kewajiban membayar pesangon.

Itu sebabnya perusahaan yang baik selalu me “refresh” karyawannya, memberi “makanan” rohani berupa fasilitas pelatihan, liburan, jabatan dan lain-lain, termasuk juga memberi makanan jasmani berupa fasilitas kendaraan, gaji besar, bonus dan lain sebagainya

Tidak berbeda dengan dunia kerja, sebetulnya kehidupan rumah tangga juga selalu dinamis. Kalau pada awal pernikahan, tinggal sekamar di rumah mertua sudah sangat indah, pulang kantor kehujanan naik motor, makan di warung pinggir jalan sepiring berdua begitu indahnya. Namun keindahan itu juga terus berevolusi.

Pasangan bisa jadi tidak lagi puas dengan kamar kecil di rumah orang tua dan ingin memiliki rumah, walau (relatif) kecil . Motor tidak lagi cukup bergengsi sebagai kendaraan sehari-hari dan mulai membutuhkan mobil, dan kemudian membelinya walau mobil bekas. Makan tidak lagi cukup di warung, tetapi harus sudah mulai beralih ke café atau resto bergengsi, untuk menyesuaikan posisi di kantor yang mulai meningkat dengan alasan memperluas network.
Itulah “tanda-tanda” perubahan dan peningkatan kebutuhan jiwa dan raga manusia yang kemudian salah kaprah menjadi life style pasangan muda terutama yang hidup di kota-kota besar dan berpendidikan tinggi lulusan luar negeri.

Sama seperti di perusahaan, pasangan mungkin perlu me “refresh” kembali perasaan, tujuan hidup dan mengevaluasi dan menyamakan kembali persepsi terhadap esensi ikatan perkawinannya. Seiring perjalanan waktu, “greget” perasaan terhadap pasangan hidup mungkin sudah berubah. Bukan karena tidak ada perasaan cinta/kasih sayang, tetapi “sebuah kebiasaan merasa sudah memiliki, seatap dan seranjang” selama bertahun–tahun membuat pasangan suami istri “meremehkan” perasaan satu sama lainnya.

Kita tidak tahu lagi kemana perasaan pasangan hidup kita mengembara, karena memang perasaan dan pikiran bisa mengembara tanpa batas dan tanpa bisa dikekang oleh siapapun kecuali atas kesadaran dan kendali diri yang bersangkutan.Ketidaksamaan visi dalam pengelolaan keuangan rumah tangga, pola pengasuhan anak maupun hubungan kekeluargaan dengan keluarga besar pasangan kerap kali memicu pertengkaran kecil yang bila tidak dikelola dan dikendalikan secara bijak akan menjadi gunung es yang mampu mengkaramkan bahtera rumah tangga setiap saat kita lengah.

Kalau ketidakpuasan dalam pekerjaan mudah diselesaikan dengan cara mencari tempat kerja baru, maka apakah akan kita perlakukan bahtera rumah tangga seperti kita meninggalkan perusahaan tempat kita bekerja, “berselingkuh” untuk kemudian melabuhkan bahtera di sandaran dermaga baru?Jawabnya tentu TIDAK.

Menyelesaikan masalah dalam sebuah ikatan pernikahan tentu tidak semudah seperti kita pindah kerja. Stake holder dalam sebuah pernikahan bukan hanya pasangan tetapi juga ada anak–anak yang terlahir. Itu kalau kita mengenyampingkan keluarga besar dari ke dua belah pihak.

Anak merupakan tanggung jawab orangtua bukan hanya secara materi tetapi juga dalah hal pendidikan jasmani dan rohani. Adalah tanggung jawab orangtua juga untuk “mendidik” mereka dalam memecahkan berbagai masalah sepanjang hidup karena anak sebetulnya merupakan “imitator” sempurna dari perilaku orangtua.

Orangtua yang “menggampangkan” segala sesuatu secara tidak sadar telah mengajarkan perilaku tersebut kepada anak–anaknya. Tetapi mempersulit hal yang mudah atau menunda–nunda penyelesaian masalah juga bukanlah contoh yang baik bagi anak.

Week end yang baru lalu, saya membaca artikel di suatu majalah bahwa anak–anak yang lahir dari keluarga kecil dan telah terbiasa hidup dalam kecukupan dan segala kemauannya terpenuhi dengan mudah, cenderung memutuskan segala sesuatu tanpa pertimbangan yang dalam. Karena mereka terbiasa hidup senang, sehingga kadar tenggang rasa terhadap oranglain cenderung tipis Ini tentu berbeda dengan anak yang terlahir dari keluarga besar yang selalu berbagi dengan kakak atau adik. Mereka telah terlatih sejak dini untuk berbagi dan bertenggang rasa. Tapi hal ini hanya merupakan salah satu faktor saja. Komunikasi yang terus menerus harus tetap dijaga.

Bagi saya, hal yang terpenting untuk diingat setiap pasangan adalah … melihat kelebihan pasangan kita dan melupakan kekurangannya, karena kita sendiri juga penuh dengan kekurangan yang harus “ditelan dan diterima” oleh pasangan.

Jumat, 04 Desember 2009

Ada apa dengan Indonesia?

Ada apa dengan Indonesia? Mungkin itu pertanyaan yang belakangan ini muncul di kepala masyarakat Indonesia terutama mereka yang hidup di perkotaan dan memiliki akses pada informasi ekonomi dan politik. Nyaris separuh tahun sudah kita disuguhi berita-berita di media massa baik cetak maupun elektronik dengan gonjang-ganjing di ranah hukum dan peradilan. Awalnya ada peradilan kasus pembunuhan Nazarudin Zulkarnain, salah satu direktur di grup Rajawali yang menyeret dan konon didalangi oleh Antasari Azhar (AA - sekarang mantan), sang ketua KPK.

Kasus ini konon ditengarai karena cinta segitiga antara AA–korban dan istri ketiganya. Namun lain lagi rumor yang berkembang di masyarakat setelah berjalannya pemeriksaan terhadap saksi–saksi dan pelaku langsung pembunuhan berdarah tersebut. Konon katanya, kasus ini penuh dengan rekayasa dengan maksud menggembosi KPK. Alasan penggembosan KPK memang cukup valid.

Kiprah KPK dalam membongkar berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh para eksekutif pemerintahan, anggota DPR/DPRD dan bahkan terakhir menyentuh juga lembaga judicatif dengan terbongkarnya kongkalikong antara jaksa Urip Tri Gunawan dengan Ayin, membuat GERAH banyak pihak yang merasa terancam "keselamatan" pundi-pundi emasnya. Apalagi kalau beberapa kasus yang sedang diselidiki KPK banyak menyangkut petinggi Negara. Ini ibarat anak macan ingin memangsa induknya. KEBLINGER …., katanya. Dari kasus cinta segitiga yang hanya melibatkan AA sang ketua, jeratan pada aktifis KPK kemudian melebar kepada anggota lainnya yang tersisa.

Entah apa pula alasan dihembuskan dan diedarkannya sehingga dari 4 anggota KPK, justru Bibit Sama Riyanto–BSR dan Chandra M Hamzah–CMH menjadi korban selanjutnya untuk di”bungkam” kiprahnya.Adalah "testimoni" AA yang menyatakan bahwa dua koleganya di KPK yaitu BSR dan CMH menerima suap dari Anggodo Widjojo menjadi entry untuk menyeret mereka menjadi tersangka dan dijebloskan ke dalam penjara. Polisi rupanya sedang sangat proaktif dan kelebihan energy. Bagi saya, testimoni dari AA begitu absurd, kecuali kalau antara ke 3 orang tersebut memang terlibat perseteruan internal atau AA merasa dijebloskan oleh kedua rekannya tersebut. Tapi kasus AA sama sekali tidak ada hubungan dengan KPK. Dakwaan yang dituduhkan kepada AA, adalah murni kasus perseteruan pribadi karena "perselingkuhan dan pelecehan" AA kepada istri ketiga almarhum korban.

Mungkin Allah SWT memang memiliki rencana tersendiri. Yang Maha Kuasa sudah terlalu “gerah” melihat betapa masyarakat Indonesia telah "dibohongi" oleh para pemegang amanah pemerintahan. Kongkalikong antara trias politica (executive–judicative dan legislative) melalui para makelar kasus apakah itu para pengacara atau benar-benar para makelar dengan para konglomerat atau siapapun yang berkantong tebal dan siap sedia menggelontorkan dana demi sebuah nama bersih dan tidak tercemar.Mereka adalah para tertuduh kasus (umumnya) korupsi dan mark-up biaya proyek baik yang berasal dari kalangan pemerintahan dan legislatif atau para konglomerat pengemplang duit negara. Dan.... para tertuduh itu, suka atau tidak suka, diperas atau ikhlas menyediakan dana agar kasus yang menimpanya bisa dipeti-eskan atau kalaupun tetap disidangkan, maka hukuman yang ditimpakan hanyalah proforma saja.

Keberadaan KPK dengan perangkat pengadilan TIPIKOR, memang memangkas kewenangan kejaksaan dan pengadilan. Lebih jauh lagi, ini adalah (sebetulnya) bentuk ketidakpercayaan pemerintah kepada lembaga tersebut. Hanya..... mungkin, lama-lama, aparat pemerintah juga merasa "NGERI" dengan kiprah KPK yang mulai tanpa pandang bulu melibas semua kasus korupsi. Keberanian KPK melibas besan presiden, walaupun di ranah publik presiden menampakkan wajah ikhlas, namun saya yakin dalam kehidupan pribadi, hal ini menimbulkan "sedikit" gejolak yang harus diredam demi sebuah pencitraan. Bukankah beliau dikenal sebagai presiden yang sangat menjaga pencitraan diri dan gemar tebar pesona? Jadi, setelah menyadari "bahaya"nya kuatnya dukungan masyarakat atas keberadaan KPK, maka niat "setengah-setengah" pemberantasan korupsi ini harus ditata kembali sesuai dengan koridor "politik pencitraan" saja. Tidak boleh terlalu serius.... Cukup asal rakyat senang bahwa ada pemberantasan korupsi "dipermukaan. Ini memang cuma dugaan iseng seorang ibu rumah tangga.

Allah SWT bisa jadi sudah terlalu muak dengan kelakuan para pemimpin dan elit negara ini. Maka melalui testimoni AA yang kemudian menggiring BSR dan CMH sebagai tersangka kasus pemerasan kepada tersangka Anggoro Widjojo dan uji materi atas pemberhentian mereka sebagai Wakil Ketua KPK yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi menjadi ENTRY POINT akan terkuak dan terbukanya apa yang sejak lama ditengarai oleh seluruh masyarakat Indonesia bahwa HUKUM di INDONESIA BISA DIATUR melalui para MAKELAR KASUS dengan MENYEDIAKAN DANA sesuai dengan SKENARIO yang DIINGINKAN oleh sang TERDAKWA.

Melalui bukti yang diajukan oleh pihak BSR+CMH, rekaman pembicaraan dan transaksi keuangan begitu gamblang terdengar antara makelar kasus dan aparat penegak hukum. Tidak tanggung-tanggung.... makelar kasus ini masuk ke jantung institusi penyidik (POLISI) dan KEJAKSAAN. Bukan tidak mungkin, saat pengadilan kasus digelar, makelar kasus akan masuk pula ke dalam institusi KEHAKIMAN.

Para makelar kasus memang nekat! Bayangkan saja, dengan sangat berani, mereka membawa-bawa nama presiden. Tidak tanggung-tanggung, memang....!!!Setelah silang sengketa bagaikan benang kusut dan lingkaran setan yang mbulet nggak keruan dan pembentukan TPF yang lebih dikenal sebagai Tim 8 karena beranggotakan 8 orang, oleh presiden. Hasilnya .....? TETAP TIDAK JELAS dan TETAP MENCURIGAKAN.

Bayangkan.... saat ada yang menyebarkan berita bahwa presiden telah menikah sebelum pernikahannya yang sekarang dibicarakan orang, beliau MENYEGERAKAN diri melaporkan "sang penyebar fitnah" ke Polda METRO Jaya. Saat kampanya yang lalu, beliau MENYEGERAKAN diri membuat PRESS RELEASE seraya memamerkan foto diri yang "ditengarai" sebagai sasaran tembak kelompok teroris. Entah apa maksudnya.... mungkin mencari simpati seperti pemilu yang dimenanginya pertama kali di tahun 2004. Yaitu bahwa beliau adalah PIHAK yang DIDZALIMI.Tapi anehnya..... saat namanya diCATUT oleh ONG JULIANA sebagai backing dan pemberi restu atas segala transaksi kasus Anggoro Widjojo .... beliau seolah tidak mendengar dan merasa cukup dengan mengatakan berulang-ulang bahwa hal tersebut tidak benar. Padahal .... jelas penyebutan nama presiden oleh ONG JULIANA menyebabkan masyarakat berpikir bahwa presiden ada dibalik dan terkait dengan kasus ANGGORO dan sudah sangat pantas bahwa presiden mengadukan ONG JULIANA sebagai penyebar fitnah. Namun kali ini, presiden kita rupanya sedang berbaik hati.

Hasil Rapat Dengar Pendapat Umum - RDPU antara Komisi III DPR dengan Polri maupun Kejaksaan Agung yang tergelar, bagaikan panggung sandiwara Srimulat, tempat segala macam sumpah dan airmata "sang buaya" diteteskan dan tidak menghasilkan apa-apa. Bukan karena kasus hukum baik kasus AA, BSR-CMH atau bank Century "tidak ada apa-apa", tetapi lebih dikarenakan adanya distorsi antara kemauan publik dan kemauan penguasa negeri, dalam hal ini kemauan para elit politik.

Rakyat melihat bahwa kasus AA, BSR-CMH dan Bank Century hanya merupakan ENTRY POINT untuk membuka dan memberantas habis CARUT - MARUT wajah HUKUM dan PERADILAN di Indonesia. Rekaman pembicaraan antara Anggodo Widjojo -  Ong Juliana - Susno Duaji dll yang diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi memperkuat dugaan PERMAINAN HUKUM di Indonesia yang sebelumnya telah terbongkar melalui kasus Urip Tri Gunawan dan Ayin.

Rumor MAFIA PERADILAN sesungguhnya bukan hal baru. Ini barang basi yang sudah menjadi rahasia umum karena memang sukar dibuktikan. Bahkan saat rekaman "permainan" para aparat penegak hukum telah terkuak dengan terang benderangpun, mereka masih mengelak dan berusaha untuk melokalisir hal tersebut kepada "materi pokok"nya, yaitu kasus dugaan pemerasan/suap yang melibatkan BSR dan CMH. Tentu saja, karenanya sang makelar kasus akan tetap tidak tersentuh.

Yang lebih menyedihkan, saya tidak lagi melihat rekan-rekan yang konon katanya BERSIH dan PEDULI berdiri dengan tegak menunjukkan kePEDULIannya untuk memBERSIHkan negara ini dari perilaku korup para elit negara ini.

Jadi.... ada apa dengan Indonesia saat ini?


BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...