Jumat, 10 Desember 2010

Martabat Bangsa di mata dunia

Minggu lalu, saat "acara rutin" rumpi pagi di CCF, kami bicara tentang nasib para TKI/TKW yang teraniaya di negara-negara Timur Tengah.

Memang sangat menyedihkan dan ironi sekali. Indonesia, negara yang dimata sebagian besar orang Arab dianggap sebagai "surga dunia", berkat kekayaan alam, cuacanya yang sangat bersahabat dan alamnya yang subur menghijau. Coba bayangkan, dimana ada suatu negara yang kondisi alamnya sedemikian lengkap?

Indonesia memiliki segalanya. Hutan hujan tropis yang walaupun dengan sedihnya harus kita akui telah mulai gundul karena jutaan hektar dibabat habis setiap tahunnya tanpa adanya penghijauan kembali. Hitunglah jumlah pulau besar dan kecil yang bertaburan di sepanjang katulistiwa dan berapa luasnya samudera dan lautannya. Berbagai terumbu karang, ribuan jenis ikan dan bahkan keindahan alam bawah laut Wakatobi dan Raja Ampat yang konon kabarnya tidak ada bandingannya di dunia ini.

Gurun, savana bahkan salju abadi dapat ditemukan di Indonesia. Kekayaan flora dan fauna Indonesia, juga bukan main besarnya. Ribuan jenis burung, serangga jenis kupu-kupu dengan ragam warna, hingga sisa binatang purba semacam komodo hanya bisa ditemukan di Indonesia.

Gunung berapi jenis apa yang tidak ada di Indonesia? Walau kadang bahaya mengancam akibat letusannya, namun jangan lupa berkat gunung berapi itu pula kesuburan tanah kita terjaga. Bukan itu saja, ternyata gunung-gunung berapi menyimpan kekayaan mineral yang luar biasa besarnya. Dari jenis timbal yang murah meriah, timah, perak, emas, platinum bahkan Uranium dapat ditemukan di Indonesia. Tidak mengherankan bilan pemerintah Amerika Serikat mati-matian mempertahankan keberadaan Freeport di Papua, karena dari sanalah sebagian kekayaan tambang mineral digunakan untuk memperkaya dan menghidupi jutaan rakyat Amerika. Belum lagi kalau kita bicara hasil pertambangan lainnya, sepertibatubara, nikel ... uufff .... sukar diungkapkan, karena begitu melimpahnya.

Indonesia memang terletak pada daerah yang dinamakan "Ring of Fire" - jalur gunung berapi dan pertemuan antara 3 lempeng bumi yaitu lempeng Indo - Australian, Lempeng Pasifik dan lempeng Eurasian. Jadi ... pantas saja bila gempa baik akibat tumbukan ketiga lempeng tersebut atau akibat aktifitas gunung berapi sering kali terjadi.Itu mungkin harga yang "harus dibayar" bagi kelimpahan kekayaan alam yang sangat luar biasa. Untuk itu, kita memang layak "berbangga hati" memilik negara yang "KEKAYAAN ALAMNYA" begitu luar biasa.

Jadi ... tidak salahlah bila komponis Ismail Marzuki menciptakan berbagai lagu yang sangat menggugah rasa kebanggaan kita sebagai rakyat Indonesia.

Namun .... masih banggakah kita sekarang saat berdiri "di luar sana"?
Saya khawatir, TIDAK LAGI. Dalam era keterbukaan ini, dunia luar melihat dengan mata telanjang atas berbagai masalah terutama dalam ekonomi - sosial - politik. Betapa kasus - kasus korupsi, kongkalikong yang melibatkan pejabat publik bukan saja para eksekutif tetapi juga legislatif dan judikatif dari tingkat pusat sampai daerah dapat disimak secara terang benderang.

Betapa para elite politik Indonesia, sibuk dengan diri dan golongannya sendiri dan melupakan esensi keberadaannya sebagai pejabat pemerintahan yang seharusnya ada sebagai "aparat" yang dipercaya rakyat untuk membawa mereka menuju kemakmuran dan kesejahteraan.

Apa yang terjadi? Bila di tahun 1960 hingga akhir 1970, mahasiswa dari Malaysia "berguru" di berbagai universitas di Indonesia untuk tingkat S1, maka sekarang ... mahasiswa Indonesia "berguru" ke Malaysia untuk tingkat S2. Artinya pendidikan di Malaysia, sudah melampaui Indonesia, walaupun secara individual, kemampuan dosen Indonesia jauh lebih tinggi dari mereka.

Negara yang kaya raya ini dengan bangganya memberikan gelar "pahlawan Devisa" untu "mendorong" rakyatnya mengais riyal - ringgit dan dolar di berbagai negeri asing. Andaikan, para pahlawan devisa itu terdiri dari tenaga-tenaga ahli sebagaimana orang-orang India dikenal di dunia, maka bolehlah kita berbagga hati. Namun sebagian besar tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri adalah tenaga kerja domestik pembantu rumah tangga dan buruh kasar di perkebunan yang hidup dalam kemiskinan. Sedikit sekali yang bekerja sebagai tenaga ahli yang terpandang.

Lebih menyedihkan lagi, entah bagaimana perjanjian kerja yang dibuat antara tenaga kerja dan majikannya sehingga ratusan TKW teraniaya dan bahkan meninggal dunia di negeri asing. Buruh kebun dengan sangat mudah dipermainkan aparat negeri asing. Malangnya ... dengan "siksaan" yang mungkin mereka terima di negeri asing dan tanpa perlindungan memadai dari negara yang telah memberinya gelar "pahlawan devisa", mereka terpaksa tetap kembali ke negeri asing, karena apapun resikonya, masih ada ASA yang bisa digapai.

Mungkin tidak banyak yang merasakan bahwa dampak dari keberadaan TKI yg rawan penganiayaan dan "tanpa perlindungan" semestinya dr pemerintah dan pemberitaan yang sangat terbuka tentang "kebobrokan" yang terjadi dalam pemerintahan Indonesia telah membuat warga negara Indonesia seringkali dipandang sebelah mata tatkala berada di luar.

Apa yang bisa kita lakukan...? Jujur, saya tidak mampu menjawabnya .... Buntu rasanya bila harus memikirkan masalah ini ... Wong presidennya aja dengan enteng bilang.... KASIH HAPE aja .....


Rabu, 03 November 2010

Hati-hati, PENIPUAN gaya baru via TELPON

Hari ini, saya dapat cerita dari teman. Lucu .... tapi tidak dapatdianggap sebagai lelucon karena cerita itu diperoleh teman saya, sebut saja namanya MM, dari pengalaman nyata teman kuliahnya. Jadi bukan sekedar lelucon tetapi sengaja disebarluaskan agar menjadi perhatian bagi kita semua.

Penipuan via telpon genggam semakin marak. Dari semula seolah-olah mengabarkan adanya perbaikan jaringan agar kita mematikan telpon genggam. Lalu penipuan generasi ke dua adalah mengabarkan kecelakaan salah satu kerabat kita dan sang penipu meminta kita untuk mentransfer sejumlah uang untuk pengobatan.

Mungkin setelah semakin banyak orang sadar akan gaya penipuan jenis ini, muncul generasi ke 3. Yang ini penipuan kecil-kecilan berupa permintaan isi pulsa (untuk mama atau untuk papa) sebesar 50 ribu. Penipuan ini agak lucu ... karena si penipu asal comot nomor telpon. Lha ... emak kita sudah uzur, super gaptek dan karena tidak pakai telpon genggam, masa anaknya disuruh isi pulsa ulang ... Ketahuan banget nipunya...

Nah, ini penipuan generasi ke empat, transkripnya saya copy paste saja ya...
Mbak, ini pengalaman pribadi temanku:

Penipu nelpon : Jangan macem2, suami ibu saya tahan sekarang... Ibu sediakan uang 30jt kalau nggak suami ibu saya tembak.
Teman : Tunggu dulu pak, kita bisa bicarakan.
Penipu : Jangan telpon polisi, ini pistol udah di kepala suami ibu.. Saya bisa tembak sekarang juga.

Teman (sambil mikir) : Tunggu dulu pak.. Ini suami saya yang mana? Yang pertama, kedua atau yang ke tiga.
Penipu : ..Eeh.. Ah.. Mana saya tau.. Loh ibu punya suami berapa? (Sempet sempetnya nanya)
Teman : Kalo suami saya yang pertama, yang tua gak apa - apa pak! Tembak aja .. Udah tua ini, dia mati gw dpt warisan.. UDAH TEMBAK AJA SEKARANG.. Asal jangan suami gw yang berondong yaa..:
D=))º°˚˚°º≈нåнåн庰˚˚°º≈º=)):D. Gw berani coz suami ada di sebelah gw saat itu... N ini kejadian nyata
---
Saya : serius tuh
M M: Serius mba Teman kuliahku. Ada2 aja ya orang mau nipu
Saya : Gila ...
MM: Embeer

Jaman makin gila..., cari uang halal semakin susah. Menipu seolah menjadi pembenaran. Jadi... hati-hati ya kalau terima telpon jenis seperti ini.

Selasa, 26 Oktober 2010

Frustasi Jakarta

Bulan2 lalu, ada wacana untuk memindahkan fungsi ibukota Negara dari Jakarta ke tempat lain. Ramai – ramai ditolak dengan alasan karena pemindahan ibukota tidak akan mengurangi kemacetan dan banjir.

Alasan ini memang masuk akal dan betul sekali pemindahan fungsi ibukota Negara tidak akan menyelesaikan problematika Jakarta yang sudah carut marut. Masalah mendasarnya adalah pertumbuhan Jakarta sudah melewati daya dukung wilayahnya dilihat dari berbagai segi.

Lihat saja dari jumlah penduduk, kalau saja semua orang yang bekerja di Jakarta harus bertempat tinggal juga di Jakarta, maka kepadatan kota menjadi sangat tinggi. Jumlah rumah yang dibutuhkan pasti tidak akan bisa ditampung dalam wilayah Jakarta yang cuma secuil. Itu sebabnya perumahan melebar ke pinggiran/wilayah Jabodetabek. Sudah begitupun, fasilitas kota (air – listrik – sanitasi kota, pembuangan sampah), transportasi dll untuk mendapatkan kualitas hidup yang layak tetap belum bisa terpenuhi dan menurut saya tidak akan pernah terpenuhi dalam 1 – 2 dekade lagi.

Kalau memang fungsi Jakarta sebagai ibu kota Negara, secara politis untuk kepentingan warga/pemerintah daerah dll yang mengecap berbagai privilege sebagai bagian dari “orang pusat” enggan ditanggalkan, kenapa tidak memindahkan saja fungsi Jakarta sebagai Pelabuhan utama (Tg Priok) ke wilayah lain. Sebut saja misalnya Batam atau Makasar. Dengan demikian minimal arus lalu lintas dan segala keribetan kegiatan pelabuhan tidak menumpuk di Jakarta dan Jakarta hanya ditujukan sebagai kota pelayanan jasa (keuangan – IT – perdagangan dll). Kan banyak contohnya seperti Perancis dengan kota pelabuhan Marseille, Belanda dengan Rotterdam, Jerman dengan Hamburg – nya.

Kita berharap karenanya, pelayaran domestik akan berkembang dan hidup (kan katanya nenek moyangku orang pelaut…), ada gairah untuk kemajuan di wilayah lain dan industri yang «memberatkan» pulau Jawa akan pindah mendekati «pusat» ekonomi baru.

Ya… sekedar unek2 dari orang yang frustasi karena kemarin sore saya harus menempuh 3 jam untuk jarak 8 km saja….
salam

Rabu, 13 Oktober 2010

TELKOM dan etika bisnis

Sejatinya, saya memang kurang peduli dengan detil tagihan telpon, kecuali kalau nilainya agak "luar biasa" tinggi, baru rincian tagihan dipelototi hingga detil sekali. Telpon kemana saja, berapa lama dan ke nomor mana. Maklum saja ... rumah tempat saya "menumpang" memang sangat terbuka. Saya tinggal dengan orangtua ... jadi adik-adik dan keponakan seringkali lalu lalang. Tentu sangat tidak mungkin melarang mereka menggunakan telpon.

Menuduh pembantu menggunakan telpon juga sangat tidak mungkin karena mereka sekarang masing-masing memiliki telpon genggam. Kalaupun secara sembunyi digunakan, mereka tahu persis, akan mudah diketahui. Apalagi saya tidak melarang mereka menggunakan telpon rumah, asal sepengetahuan kami. Pembayaran telponpun selalu dilakukan melalui internet banking dan seringkali dilaksanakan sebelum surat tagihan terkirim ke rumah.

Entah kenapa, saat ibu saya menaruh amplop tagihan telpon pada minggu sore itu, saya iseng membukanya. Saat itu memang saya agak lupa, apakah tagihan sudah terbayar atau belum.

Saat membaca lembar tagihan, saya melihat tertulis pada baris pertama ABONEMEN sebesar Rp.15.000,- Wah, ada kemajuan nih ...., abonemen yang biasanya sekitar 36 ribu, turun sekitar 40% dari tarif awal abonemen. Tapi, kegembiraan itu hanya sekejap, karena pada baris kedua tercetak PAKET TAGIHAN TETAP sebesar Rp.100.000,-  Wah .... apalagi ini? Mata langsung menelusuri baris demi baris rincian tagihan dan bagian paling bawah tertulis pengurangan Paket Tagihan Tetap sekitar 23 ribu saja, sementara tagihan-tagihan lain seperti sljj, telpon lokal dan ponsel tetap tercetak dan nilainya lebih tinggi dari pengurangan Paket Tagihan Tetap tersebut.

Logika sederhana saja ... kalau sudah ada paket tagihan tetap, seharusnya pembayaran biaya telpon tidak akan lebih dari Rp.115 ribu (paket+abonemen) ditambah PPN 10%. Lalu, siapa yang mengijinkan Telkom menagih paket tersebut, karena seharusnya setiap penambahan fitur apalagi yang dikaitkan dengan penambahan/pengurangan biaya harus ada bukti tertulis permintaan dari pelanggan.

Masih tanpa prasangka buruk kepada Telkom, saya beranjak ke kamar, menanyakan ibu saya apakah beliau yang mengijinkan adanya paket tagihan tetap tersebut. Maklum saja karena telpon tsb masih atas namanya. Namun beliau menyangkal dan memang sudah selalu saya ingatkan untuk tidak berurusan dan menolak tawaran apapun via telpon, apalagi dengan maraknya penipuan belakangan ini.

Satu demi satu, penghuni rumah saya tanyakan. Semua menjawab TIDAK PERNAH DIHUBUNGI atau TIDAK PERNAH (lebih tepat TIDAK BERANI) menerima tawaran apapun juga berkenaan dengan telpon.

Menerima jawaban seperti itu, saya kemudian menuliskan kondisi ini pada status di facebook. Ternyata, beberapa teman memang mengalami hal yang sama. Ada yang kemudian berhasil memberhentikan Paket Tagihan Tetap tersebut setelah mengajukan keberatan via 147. Yang ini memakan waktu hingga 3 bulan. Ada yang sama sekali tidak berhasil walaupun telah berulangkali menelpon ke 147.

Beberapa teman kemudian menganjurkan untuk langsung saja mengajukan keberatan ke plasa telkom, sehingga lebih cepat ditangani dan logikanya bisa langsung diprogram, karena mereka memiliki akses komputer. Masuk akal juga ...., Jadi saya pikir lebih baik datang langsung ke Plasa Telkom pada hari senin pagi sambil berangkat ke kantor.

Malam hari, sepanjang perjalan menuju undangan resepsi pernikahan, pikiran saya masih tidak bisa lepas dari Paket Tagihan Tetap yang dibebankan telkom kepada pelanggannya. Bayangkan ... pada saat penyedia layanan mobile phone  berlomba memberikan berbagai keringanan pembayaran maupun paket murah, TELKOM sebagai provider telekomunikasi tertua di Indonesia, malah "ngemplang" pelanggannya dengan paket yang tidak jelas.

Rp.100 ribu relatif kecil ... tergantung dari sudut mana kita melihat. Saya juga tidak tahu berapa banyak pelanggan telkom yang "dikadali" dengan program ini. Andaikan di seluruh Indonesia ada 23,5 juta sambungan telpon dan 10% atau 2,35 juta di antaranya dikenakan Paket Tagihan tetap, maka dari situ saja TELKOM sudah memperoleh jaminan pemasukan sebesar Rp.270,25M dari paket tagihan tetap dan abonemennya. Ditambah lagi dengan 22,5 juta dari abonemen sekitar 35ribu per sambungan sebesar Rp.740,25M atau total sebesar Rp.1,010.500.000.000,- alias lebih dari 1 trilyun. Ini belum termasuk penerimaan abonemen dari pelanggan ponsel yang tercatat sudah mencapa 81,6 juta pelanggan (data pelanggan telkom ini valid lho, karena saya membacanya dari situs telkom).

Kalau kita anggap saja pelanggan telpon seluler hanya menghabiskan rata-rata 50 ribu/bulan, maka kocek TELKOM akan bertambah lagi sebesar Rp.4.080.000.000.000,- Jadi setiap bulan, TELKOM akan menerima pemasukan sebesar Rp.5.090.000.000.000,- alias sekitar 5 trilyun. Bukan main .... Pantas saja kalau saham telekomunikasi menjadi blue chip. Jadi, sebetulnya tanpa harus "menipu" pelanggan, dengan pemaksaan pengenaan tarif PAKET TAGIHAN TETAP, pemasukan Telkom sudah sangat besar.

Maka, sepulang dari resepsi, saya menghubungi 147 dan dari situ diperoleh jawaban bahwa memang mereka memasarkan paket tersebut melalui telemarketing tetapi tidak ada kejelasan apakah benar pelanggan meminta layanan tersebut karena data pengenaan tarif Paket Tagihan Tetap tersebut, diisi oleh petugas tanpa ada petunjuk lainnya. Jadi bisa diduga, bahwa TIDAK ADA PERSETUJUAN dari pelanggan.

Senin pagi, saya sempatkan datang ke Plasa Telkom menyampaikan keberatan dan tanpa banyak tanya. Bisa jadi karena "merasa bersalah", customer service langsung memproses keberatan saya. Sedikit "keberuntungan", ternyata saya belum membayar tagihan, sehingga saya bisa langsung meminta agar restitusi segera diperhitungkan ke dalam tagihan.

Alhasil .... setelah dihitung-hitung, saya hanya membayar tagihan sebesar 48ribu saja dari tagihan awal sebesar hampir 200 ribu. Jadi, kalau informasi customer service itu bisa dipercaya, maka selama 2 bulan pengenaan Paket Tagihan Tetap tersebut, saya membayar lebih mahal 75 ribu per bulan.

Kembali otak saya menghitung .... kalau 2,35 juta pelanggan yang "dipaksa" mengambil paket tagihan tetap itu membayar kelebihan sebesar apa yang saya bayar, yaitu 75 ribu, maka telkom mendpt "sumbangan" dari pelanggannya sebesar 176,25M/bulan atau 2,115 trilyun per tahun.

Kemana larinya dana tersebut? entahlah .... semoga memang masuk ke kas negara, karena kalau tidak ..... Biarlah Allah SWT saja yang menjadi hakim bagi orang-orang yang melakukan "penipuan" tersebut

Jumat, 08 Oktober 2010

Pidato yang membungkam Para pemimpin dunia pa Earth Summit

Kisah ini menceritakan pengalaman nyata mengenai seorang anak yang bernama Severn Suzuki. Seorang anak yang pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children’s Organization ( ECO).

ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yang mendedikasikan diri untuk belajar dan mengajarkan pada anak” lain mengenai masalah lingkungan. Mereka diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB, dimana pada saat itu Severn yang berusia 12 tahun memberikan sebuah pidato kuat yang memberikan pengaruh besar (dan membungkam) beberapa pemimpin dunia terkemuka.

Apa yang disampaikan oleh seorang anak kecil berusia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yang berdiri dan memberikan tepuk tangan meriah kepada anak berusia 12 tahun. Inilah isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation)

Halo, nama saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O – Environmental Children Organization. Kami adalah kelompok dari Kanada yangg terdiri dari anak-anak berusia 12 dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri.

Kami menggalang dana untuk bisa datang ke sini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja.


Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yang akan datang. Saya berada disini mewakili anak-anak yang kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar. Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet.

Kami tidak boleh tida
k di dengar.

S
aya merasa takut untuk berada di bawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yang dibawa oleh udara.Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya – hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang? Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahannya.

Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya!And
a tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita.

Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembal
ikan binatang-binatang yang telah punah.Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir.

Jika anda tidak tahu bagaima cara memperbaikinya.TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!

Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota perhimpunan, wartawan atau politisi–tetapi sebenarnya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi–dan anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air d
an tanah di planet yang sama. Perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama. Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.

Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami membeli sesuatu dan kemudian membuangnya, beli dan kemudian buang. Walaupun begitu tetap saja negara–negara di Utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan. Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yan
g nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan. Kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi. Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak- anak yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: “Aku berharap aku kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih sayang “.

Jika seorang anak yang berada di jalanan dan tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah?

Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia; seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India


Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini.

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakuk
an tersebut?


Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda melakukan hal ini. Kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali.

Orang tua seharusnya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan mengatakan, “Semuanya akan baik-baik saja , ‘kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari segalanya.” Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua?

Ayah saya selalu berkata, “Kamu akan selalu dikenang karena perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu” . Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut. Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.

***********

Servern Cullis-Suzuki telah membungkam satu ruang sidang Konperensi PBB, membungkam seluruh orang-orang penting dari seluruh dunia hanya dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai serempak seluruh orang yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu.

Setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya: ” Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya lingkungan dan isinya di sekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang maju berdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato. Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh asisten saya kemarin. Saya … tidak kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun “
***********

Tolong sebarkan tulisan ini ke semua orang yang anda kenal, bukan untuk mendapatkan nasib baik atau kesialan kalau tidak mengirimkan, tapi mari kita bersama–sama membuka mata semua orang di dunia bahwa bumi sekarang sedang dalam keadaan sekarat dan kitalah manusia yang membuatnya seperti ini yang harus bertindak untuk mencegah kehancuran dunia. *(Copyright from: Moe Joe Free)*

“Ada baiknya mulai mendengarkan pemikiran dan perkataan anak2 kita, karena di balik cerita mereka mungkin ada sesuatu yang kita, sebagai orang tua, melupakan yang diperlukan bagi masa depan mereka.”
Roy S. Dradjad
Jakarta – Indonesia
Mobile: +62-21-7055 4403
Email. rdradjad@yahoo. com
Think GREEN, please consider the environment before printing this email
***********
Severn Cullis-Suzuki
From Wikipedia, the free encyclopedia
Severn Cullis-Suzuki (born 30 November 1979 in Vancouver Canada)  is an environmental activist, speaker, television host and author. She has spoken around the world about environmental issues, urging listeners to define their values, act with the future in mind, and take individual responsibility.

Biography
Cullis-Suzuki was born and raised in Vancouver Canada. Her mother is writer, Tara Elizabeth Cullis . Her father, geneticist and environmental activist, David Suzuki, is a second-generation Japanese Canadians.

While attending Lord Tennyson Elementary School in French Immersion, at the age of nine, she founded the Environmental Children's Organization (ECO), a group of children dedicated to learning and teaching other youngsters about environmental issues.In 1992, at the age of 12, Cullis-Suzuki raised money with members of ECO, to attend the Earth Summit (1992) in Rio de Janeiro.

Along with group members Michelle Quigg, Vanessa Suttie, and Morgan Geisler, Cullis-Suzuki presented environmental issues from a youth perspective at the summit, where she was applauded for a speech to the delegates.The video has since become a hit, popularly known as "The Girl Who Silenced the World for 5 Minutes".

In 1993, she was honoured in the Global 500 Roll of Honour. In 1993, Doubleday  published her book "Tell the World - ISBN 0-385-25422-9, a 32-page book of environmental steps for families.Cullis-Suzuki graduated from Yale University in 2002 with a Bachelor of science Bsc

After Yale, Cullis-Suzuki spent two years travelling. Cullis-Suzuki co-hosted Suzuki's Nature Quest, a children's television series that aired on the Discovery Channel in 2002.In early 2002, she helped launch an Internet-based called The Skyfish Project. As a member of Kofi Annan's Special Advisory Panel, she and members of the Skyfish Project brought their first project, a pledge called the "Recognition of Responsibility", to the World Summit on Sustainable Development Johannesburg in August 2002.

The Skyfish Project disbanded in 2004 as Cullis-Suzuki turned her focus back to school and enrolled in a graduate course in the University_of_Victoria to study Ethnobotany under Nancy Turner.In 2010, French DJ Laurent Wolf  sampled Cullis-Suzuki's 1992 Earth Summit speech for the track "2012: Not the End of the World".
in ecology and evolutionary ecology.

Rabu, 06 Oktober 2010

Sang Pencerah

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:Akmal N Basral
Buku SANG PENCERAH tulisan Akmal N Basral yang mantan jurnalis ini adalah novelisasi skenario film dengan judul yang sama yang menurut saya lebih diperkaya lagi dengan beberapa data.

Tidak banyak yang bisa diungkapkan dari buku ini, karena saya sendiri membacanya setelah terlebih dahulu menonton filmnya, sehingga lebih merupakan penyegaran kembali dari apa yang dilihat dalam film.

Bagi penyuka buku, tentu SANG PENCERAH versi buku jauh lebih menarik dibandingkan dengan menonton film. Walau dibintangi dan diperankna dengan sangat baik oleh Lukman Sardi sebagai KHA Dahlan, namun tatkala membaca buku, ada nuansa yang berbeda karena emosi dan imajinasi pembaca dibawa lebih jauh.

Dalam buku, dijelaskan juga siapa Siti Walidah yang kelak menjadi istri KHAD, begitu juga termasuk juga proses "pelamaran" Siti Walidah oleh keluarga KH Abu Bakar untuk Mohamad Darwis, nama asli KHAD sebelum beliau pergi menuntut ilmu ke Makkah sekaligus menunaikan ibadah haji untuk pertama kali.

Diuraikan juga dorongan dari Sultan agar KHAD menunaikan ibadah haji untuk kedua kali, guna menghindari/meredam konflik yang semakin tajam di kalangan kiai Jogya sekaligus melaksanakan "titpan" Sultan agar KHAD mempersiapkan diri untuk membentuk sebuah organisasi Islam untuk memajukan umat.

Apapun juga, buku ini menjadi bacaan pelengkap bagi anda yang telah menonton film tersebut.

Selasa, 14 September 2010

Anak korban Konsumerisme

Sejak beberapa tahun terakhir ini anakku selalu membujukku untuk membelikannya sepatu/sandal Crocs setiap kali dia membutuhkan sepatu/sandal. Anak yang satu ini memang relatif seringkali mengganti sepatu/sandal. Bukan karena ingin memiliki banyak koleksi sepatu/sandal tetapi memang karena struktur kakinya "memakan" sepatu/sandal. Ada saja bagian sepatu/sandalnya yang jebol dan ini berlaku menyeluruh, tidak peduli sepatu/sandalnya terbuat dari bahan yang "murah meriah", tetapi juga sepatu/sandal semacam adidas/kickers.

Entah apa yang menarik dengan Crocs. Bahannya dan modelnya, menurut saya, sama sekali tidak menarik. Padahal, semua orang di kota-kota besar Indonesia nampaknya sangat gandrung dengan Crocs. Tua muda bahkan hingga nenek-nenek. Mereka semua seperti tak peduli dan sangat gandrung dengan sepatu/sandal keluaran Crocs ini. Padahal harganya lumaan selangit ... ini yang asli, karena di pasar juga banyak sandal tiruannya.

Tahun lalu, dalam perjalanan wisata, salah satu peserta, nenek-nenek, yang diperkirakan sudah memiliki cucu memakai beragam jenis sandal/sepatu crocs di setiap kesempatan. Entah berapa pasang yang dia bawa. Semula, aku tak terlalu peduli dengan apa yang dipakainya. Tapi, melihat perilakunya yang main borong segala macam barang bermerek di Gallery Lafayette - Paris dan bahkan berlian di Amsterdam, rasa ingin tahuku muncul dan mulai kuperhatikan penampilannya. Gila ....., nenek yang kebetulan suaminya dokter itu termasuk "korban merek" yang nggak pede kalau cantolan di badannya tidak bermerek terkenal. Dandanan dan apa yang tercantol di sekujur tubuhnya betul-betul salah kostum. Gimana nggak? Lha kalo selama perjalanan wisata itu, selain crocs-nya yang berganti setiap hari, gelang dan cincin bertabur berlianpun tak lekang dari pergelangan tangan dan jari-jarinya.

Nah, kembali pada permintaan anakku untuk minta dibelikan Crocs yang selalu kutolak, tentu bukan maksudku untuk berlaku kikir pada anak. Itu kulakukan karena aku nggak mau anakku sejak kecil terbiasa dipengaruhi trend mode, tidak mau kalah dengan penampilan teman-temannya atau ingin dianggap termasuk pada suatu golongan, yang pada akhirnya menjurus pada konsumerisme. Apalagi dan sudah sangat dipastikan barang-barang konsumtif itu berharga mahal.

Aku berpikir, bahwa anakku harus percaya diri pada kualitas pribadinya, bukan atas apa yang dimiliki dan dipakai. Barang - barang bermerek dan mahal sama sekali tidak ada manfaatnya ketika digunakan oleh orang yang "salah". Yang "kampungan" akan tetap terlihat "kampungan" walau ditubuhnya digandoli berbagai macam barang mewah, karena dia tidak tahu kapan, dimana dan harus menggunakan apa untuk setiap kesempatan. Semua diborong jadi satu agar orang lain melihat betapa dia menggunakan semua barang bermerek.. Yang intelek juga tidak akan kehilangan kualitas intelektualnya walau dia hidup sederhana dan menggunakan barang-barang berkualitas sederhana.

Tanpa harus menonjolkan barang-barang bermerek tertentu yang digunakannya, setiap manusia juga sudah akan terlihat dari kelas mana dia berada. Jadi tidak perlu ditambah-tambah dengan segala sesuatu yang mahal agar "dianggap dan diperhatikan" oleh lingkungannya. Apalagi kalau yang mahal itu diperoleh dengan sedikit "agak memaksakan" diri, bayar mencicil ... pakai CC yang pada akhirnya menjerat diri sendiri.

Kehidupan kota besar yang hedonis ini memang membuat kita menjadi "salah tingkah" ketika kita harus berinteraksi sosial. Mau tidak mau, harus diakui bahwa ada segelintir manusia yang membatasi lingkup pergaulannya berdasarkan materi yang dimiliki. Merekajuga hanya akan bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya "sekelas".

Masih teringat, 20 tahun yang lalu, saat masih tinggal di suatu perumahan di pinggiran Jakarta, ada ibu-ibu yang mengadakan arisan khusus untuk "pemilik" mobil BMW.

Adik iparku bercerita bahwa di lingkungan perumahannya, yang kebetulan salah satu perumahan kelas atas di Bandung, ada kelompok arisan yang "tarikannya", saat itu, adalah mobil Kijang terbaru. Bisa dibayangkan berapa juta rupiah uang arisannya, kalau pesertanya hanya 20 - 30 orang saja. Bagaimana kalau suatu saat setelah mendapat gilirannya, tiba-tiba si peserta menghilang atau tidak mampu meneruskan arisan.

Di kantorku ... ada seorang teman yang seringkali mendapat tamu, teman baiknya, yang seringkali mampir ke kantor setelah "kulakan". Kulakannya, walaupun barangnya kecil mungil, .... amboi... nggak main-main ... Yang paling murah harganya 5 juta dan pernah suatu saat dia membawa barang berharga 200 juta yang akan diantarkannya atas pesanan istri seorang pejabat. Tentu saja mahal, karena kulakannya itu adalah perhiasan berlian. Tidak bisa dibayangkan, kalau si ibu memakai perhiasan seharga 200 juta, lalu tas Hermes yang katanya berharga juga hampir seratus juta rupiah, lalu arlojinya yang pasti juga berharga mahal .... Aduh.... bayangkan kalau si ibu dijambret. Pasti hasil jambretannya bisa digunakan untuk beli rumah ...

Hihihi ... Tapi percaya deh ... kalau dia lewat di depanku, percuma ...!!!  Aku nggak ngerti dan nggak peduli dengan barang mahal, jadi nggak bisa menghargainya... Wah, terbayang pasti dia sakit hati, upayanya memakai barang berharga tidak diperhatikan orang. Padahal, tujuan memakai barang mahal, kan salah satunya supaya diperhatikan orang.

Tanpa disadari, sebetulnya, perilaku ibu yang konsumtif sangat besar pengaruhnya terhadap keinginan anak-anaknya. Pada awalnya ... anak kecil tentu tidak menyadari keberadaan barang bermerek. Keinginan ibunya untuk "menonjolkan dan membedakan" anaknya dari segi kemampuan materilah yang mendominasi pemilihan barang-barang yang digunakan si anak. Tentu, karena itulah akan banyak orang yang mengagumi si anak. Mengagumi bukan saja kelucuan si anak, tetapi juga apa yang dipakainya. Dari situlah tersemai bibit "ingin menjadi pusat perhatian" pada di si anak. Hal ini akan terbawa hingga besar. Beruntunglah bila kita sebagai orangtua mampu memenuhi keinginan anak. Tetapi kalau tidak?

Tetapi, lepas dari kemampuan ekonomi orang tua, bukankah lebih baik lagi bila kita memupuk rasa percaya diri si anak melalui kualitas diri, bukan pada benda-benda artifisial seperti itu?

Lalu, apakah aku tidak tertarik dengan barang bermerek? Pernah .... pernah!!! Dulu sekali... saat kuliah tahun pertama dan kedua. Kesempatannya memang ada .... Tapi, lama kelamaan terutama setelah menikah dan harus keluar uang sendiri untuk memperoleh barang bermerek itu, terasa betapa mahalnya. Walau memang kualitasnya memang berbeda.

Sekarang ... ? Ada satu dua barang-barang seperti dari Lancel, Aigner, Burberry, Kate Spade yang umumnya berbentuk dompet kepit. Tapi, kesemuanya itu kudapat sebagai oleh-oleh dari istri boss, saat dia melakukan perjalanan ke mancanegara. Untuk beli sendiri...? Nggaklah ... sayang uangnya! Masih banyak yang bisa dimanfaatkan daripada hanya sekedar memuaskan nafsu. Aku lebih suka apa adanya ... Nggak harus bermerek, yang penting sesuai kemampuan.

Kamis, 12 Agustus 2010

aku dan supir pribadi

Sebelum tulisan ini dilanjutkan, saya perlu meminta maaf terlebih dulu pada mereka yang berprofesi sebagai supir pribadi. Sungguh, tidak ada niat merendahkan profesi sebagai supir karena pekerjaan itu lebih mulia daripada mereka yang meminta-minta. Martabat mereka masih lebih mulia dari orang-orang berpenampilan necis, berdasi dan berjas tapi tak malu-malu mencuri hak orang lain, memperkaya diri sendiri, golongan dan lingkungannya. Melakukan tindak pidana korupsi. Bagi saya, profesi apapun tentu baik selama tidak merugikan orang dan jauh lebih bermartabat dibandingkan dengan para koruptor atau peminta-minta baik meminta karena kondisi ekonomi terlebih lagi "peminta" karena keserakahan dan kerakusan yang sering dilakukan oknum-oknum pemegang kekuasaan menjelang lebaran begini.

Ceritanya begini ... suatu waktu, dalam perjalanan dari proyek ke kantor di bilangan Blok M, usai rapat rutin, masuk pesan di blackberry, dari seorang staff proyek ...
"Ibu setir mobil sendiri?"
"Ya ... ada apa?," saya balas bertanya. Untung jalan di sepajang jalan raya Pasar Minggu, setiap hari memang macet. Jadi saya masih bisa dan sempat membalas pesan yang masuk.
"Kenapa nggak pake supir?"
Iya ya .... kenapa saya selalu menolak untuk mempekerjakan seorang supir?

Sungguh, pertanyaan tentang supir ini bukan pertanyaan pertama yang diajukan pada saya. Sudah berulang kali saya mendengar pertanyaan itu. Dari teman-teman dan boss di kantor juga pernah menanyakan hal tersebut. Bahkan suami saya sendiri seringkali "menyindir" saya yang lebih suka setir mobil sendiri daripada mempekerjakan supir. Terakhir, beberapa bulan yang lalu, bahkan rekan kantor menyatakan bahwa kalau saya mau, kantor bisa memberikan ada alokasi/tunjangan untuk supir, tentunya dengan syarat ... betul-betul ada supir yang dipekerjakan. Namun, saya masih tetap mengelak untuk mempekerjakan seorang supir. Ya... memang pantas dipertanyakan; kenapa tidak mau?Apalagi dengan adanya fasilitas kantor tersebut.

"Saya merasa jengah, ada orang lain di dalam mobil setiap hari. Saya merasa sangat tidak nyaman karenanya."

Tentu, itu bukan satu-satunya alasan saya merasa enggan mempekerjakan supir. Toh sesekali saya juga sering menggunakan dan meminta supir kantor mengantar ke suatu tempat. Tapi ... kepergian itu umumnya dilakukan beramai-ramai. Bukan hanya saya sendiri. Saya bahkan selalu menggunakan taxi setiap kali harus ke bandara saat bertugas keluar kota dan pasti hanya berdua saja dengan supir taxi tersebut. Tapi karena hal itu terjadi sesekali saja, maka saya masih bisa mengabaikan perasaan jengah. Berbeda halnya kalau supir hadir setiap saat ....

Sebetulnya, mengendarai mobil sendiri kan nggak salah ya...? Memang ada resiko kalau terjadi musibah tak terduga di perjalanan, mengingat umur yang sudah berada dalam koridor "usia beresiko tinggi". Refleks saat mengendarai mobil tentu sekarang sudah sangat berbeda dibandingkan masa muda dulu... Gila, nggak terasa, saya sudah memiliki SIM selama 33 tahun.

Tapi saya masih ingat pada Mr/Mme Blanchet, induk semang kami saat tinggal di Buxerolles - Poitiers pada tahun 1980-1981. Mereka adalah para pensiunan yang sudah berusia di atas 65 tahun, Masih aktif mengurus kebun di belakang rumah yang ditanaminya dengan buncir, apel, plums, pir, strawberry dan lain-lain. Tentu menggunakan traktor mini. Kemana-mana masih setir mobil sendiri, bahkan pernah mengajak kami ke pantai La Rochelle yang jaraknya lumayan jauh dari Poitiers tampat kami tinggal. Jadi, ingatan kepada mereka juga merupakan salah satu alasan saya untuk tetap setir sendiri. Semoga otak saya tetap bisa bekerja, karena digunakan untuk memerintah dan mengkoordinasikan syaraf motorik saat mengendarai mobil.

Seorang supir pribadi, mengacu pada pengamatan pribadi selama ini, akan mengetahui banyak rahasia majikannya. Dengan demikian, dia haruslah orang yang bisa dipercaya. Mungkin kalau perlu "harus bisu, buta dan tuli" karena dia melihat dan mendengar apa yang dilakukan dan dipercakapkan majikannya. Bisa dibayangkan, kalau kita memiliki supir pribadi yang comel dan senang "ngember" .... Waduh ..... segala yang dilihat dan didengar setiap saat bersama majikannya itu, bisa diumbar kesana-kemari. Segala rahasia pribadi berubah menjadi konsumsi umum, minimal di lingkungan gaul si supir. Kalau kebetulan majikannya juga public figure, bisa-bisa, gosip yang merebak mengalahkan kehebohan videonya Ariel+Luna Maya. Ingat kan heboh perselingkuhan KD - Tohpati yang diumbar oleh mantan supirnya KD?

Walau bukan karena adanya perselingkuhan yang harus ditutupi, namun saya tetap lebih suka mengendarai mobil sendiri. Saya hanya tidak suka ada "orang asing" masuk ke dalam wilayah kehidupan pribadi, yaitu .... mengetahui kemana saya pergi, dengan siapa dan untuk urusan apa.

Saya ingat sekali, seorang teman yang sedang dalam proses "berpisah" dengan istrinya, menjadi lebih "nekat" untuk menceraikan si istri karena dibumbui cerita supir keluarganya yang menyatakan bahwa istrinya tersebut seringkali keluar masuk hotel dengan lelaki. Entah apakah supir itu memang melihat dengan mata dan kepala sendiri atau mendengar cerita dari supir si istri. Tetapi darimanapun sumber berita tersebut, tetap saja mereka tidak tahu maksud dan tujuan kita ke hotel. Saya yang juga suka melakukan hal itu tentu "sangat tersinggung" karenanya. 

Saat ini, para pelaku bisnis seringkali melakukan pertemuan di restoran-restoran, istilah kerennya breakfast/lunch meeting atau di business center/lounge yang memang menjadi salah satu fasilitas hotel. Di beberapa hotel, business lounge malah terletak di salah satu lantai hotel. Bukan di area umum di sekitar lobby, sehingga pengunjungnya harus masuk ke lift yang sama dengan pengunjung yang menginap. Nah... apa jadinya kalau ada yang melihat pasangan lelaki dan perempuan keluar dari lift. Padahal ... bisa jadi mereka baru saja menghadiri pertemuan di executive lounge tersebut. Jadi belum tentu orang-orang yang keluar masuk hotel dengan niat mesum. 

Tentu, kita juga tidak perlu menjelaskan panjang lebar kepada supir apa maksud dan tujuan ke hotel. Lucu aja.... masa supir harus tahu apa urusan si majikan? Tapi "keluguan dan ketidaktahuan" bisa membuat supir menduga-duga sesuatu dan hal ini bisa jadi boomerang, manakala si supir suatu saat merasa sakit hati pada majikannya. Atau hanya sekedar menjadi bahan obrolan di kalangannya.

Sebetulnya, ada satu alasan lain yang juga menyebabkan saya lebih suka sendiri, yaitu saat berbelanja. 

Jujur saja, belanjaan saya banyak, apalagi kalau belanja bulanan.  Segala macam dibeli... Mungkin sudah pantas punya toko sendiri. Kasir yang melayani saja, seringkali bingung melihat betapa melimpahnya belanjaan saya... hehehe... Belanja orang sekampung, kali ya...? 

Kalau saya punya supir pribadi, saya merasa sangat tidak nyaman kalau si supir tahu jenis barang belanjaan saya, apalagi kalau dia sempat mengintip harganya. Semurah apapun barang belanjaan saya, tetap saja akan membuat kening si supir berkerut. Menghitung dan membatin melihat barang belanjaan saya, apalagi kalau barang belanjaan itu makanan yang bisa jadi belum pernah dicicipinya.

Saya jadi ingat, lebih dari 10 tahun yang lalu saat masih tinggal di Kemang Pratama. Pada anak kampung yang, tinggal di balik tembok pembatas antara perumahan dengan perkampungan penduduk asli, suka bantu membersihkan halaman rumah, saya berikan beberapa butir lengkeng. Rupanya lengkeng yangtidak seberapa banyaknya itu dibawa pulang dan dibagikannya kepada ibu dan adiknya. Itu sebabnya keesokan harinya, si ibu datang ke rumah, mengucapkan terima kasih. Baru kali itu mereka sekeluarga mencicipi lengkeng. Padahal .... buah itu banyak bergantungan dan dijual oleh pedagang di pinggir jalan. Saya agak terkesiap dan tersadar, ternyata ... buah-buahan yang dijajakan di pinggir jalanpun belum tentu bisa dinikmati oleh semua orang. Saya sendiri jadi ragu apakah si penjualnya juga tahu rasa semua buah-buahan yang dijualnya.

Nah .... bayangkan, kalau supir saya melihat belanjaan saya, lalu terbit air liurnya, sementara, belum tentu saya "berniat memberinya", karena sesuatu alasan. Toh, kecuali memberinya gaji yang pantas setiap bulan, saya tidak punya kewajiban memberinya semua apa yang saya beli, kepada supir. Atau kalaupun memang saya berniat memberi sepotong, dua potong makanan yang saya beli atau makan, tetapi karena sok sibuknya, seringkali  lupa menyisihkannya. 

Waduh ..... bayangkan, betapa banyaknya dosa saya, kalau hal itu rutin terjadi. Bukankah kita dianjurkan harus selalu berbagi. Jangan sampai ada orang yang menderita sementara di hadapan mereka, kita menikmati apa-apa yang tidak mampu mereka dapatkan. 

Jadi .....itu juga merupakan salah satu alasan saya, mengapa hingga saat ini saya tidak menggunakan supir. Tapi.... ssstttt, jangan bilang-bilang ya .... sebetulnya, saya punya supir pribadi kok....! Ya suami saya itu ... hehehe, walau kadangkala dalam perjalanan ke Bandung, saya tetap harus mengendarai mobil sementara dia nyenyak terlelap di jok depan sambil buka penggerjajian.....

Rabu, 07 Juli 2010

Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas (dwilogi)


Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Andrea Hirata
Maryamah Karpov yang benar

Mizan Book Publisher menerbitkan karya Andrea Hirata terbaru, yang tersaji dalam dua cerita tetapi disatukan dalam sebuah buku yang diberi judul ... Padang Bulan & Cinta di Dalam Gelas.

Ceritanya masih berkisar tentang Ikal dan kisah-kisah petualangan bersama teman-temannya, sedangkan rentang terjadi peristiwa dalam kisah petualangan ini adalah masa Ikal dewasa setelah dia menyelesaikan kuliah dan memperoleh gelar master di Perancis/Inggris.

Buku pertama, PADANG BULAN mengisahkan pertengkaran antara Ikal dan bapak “juara satu di dunia” yang disayanginya sehingga menyebabkan Ikal enggan pulang kerumah. Pertengkaran itu sendiri dipicu karena ketidak-setujuan bapak akan hubungan Ikal dengan Aling dan ditambah dengan ketidak sukaan sang ibu, melihat Ikal yang telah bersusah payah bersekolah dan memiliki sederetan gelar tidak kunjung mencari dan mendapatkan kerja kantor yang dapat menjamin masa depan dan pensiun di hari tua.

Di tengah masalah antara Ikal dan ibu/bapaknya, muncul M Nur, kawan main Ikal semasa kecil, yang mengaku dirinya sebagai detektif Melayu, memperkeruh hubungan Ikal dengan Aling. Berita yang dihembuskan M. Nur kepada Ikal tentang hubungan Aling dengan Zinar, pengusaha muda, tinggi, ganteng dan atletis, pemiliki warung kopi membuat Ikal terbakar rasa cemburu.

Tampilan fisik Zinar dan info hubungan “asmara” antara Zinar dan Aling tak pelak membuat Ikal pontang–panting, martabatnya terusik sehingga dia berusaha mati–matian untuk mengalahkan Zinar. Kesempatan itu datang dalam berbagai pertandingan yang akan digelar saat perayaan 17 Agustus.

Di lain pihak, ada kisah Enong, gadis kecil yang bercita–cita menjadi guru bahasa Inggris, namun terpaksa mengurungkan niatnya sejak sang bapak meninggal terkubur hidup–hidup tertimbun longsoran pasir timah. Sebagaimana tradisi Melayu, sebagai anak tertua, Enong terpaksa mengambil alih tanggung jawab sang ayah dan mengubur segala cita–citanya hanya beberapa bulan menjelang ujian akhir SD.

Perjuangan Enong mengais rejeki untuk menopang kehidupan keluarga tentu sangat berat. Upaya mencari pekerjaan di Tanjung Pandan gagal total karena tubuhnya yang kecil dan kurus kering dianggap tidak memadai untuk jenis pekerjaan yang dilamarnya sehingga Enong akhirnya terpaksa kembali ke kampung.

Buku ke dua CINTA DI DALAM GELAS melanjutkan perjuangan Enong mengais rejeki di kampung,menggantikan fungsi bapak. Enong memutar otak untuk mencari penghasilan untuk menopang biaya rumah tangga dan sekolah adik–adiknya dengan adat dan tradisi Melayu dengan menjadi pendulang timah perempuan yang pertama di kampungnya, menghadang berbagai tantangan yang keras dan kasar. Bertahun – tahun dijalaninya kehidupan keras tersebut sambil tetap menjaga semangatnya untuk menguasai bahasa Inggris. Dibiayai adik–adiknya bersekolah hingga mereka kemudian menikah satu persatu, hingga tinggal Enong membujang dengan tampilan kasar khas pendulang timah.

Hingga suatu saat seorang lelaki melamar dan mengajaknya menikah. Namun bayangan cinta sejati seperti yang dialami ibu/bapaknya pupus ketika seorang perempuan datang ke rumah Enong seraya mengaku sebagai istri Matarom, suami Enong.

Enong kecewa dan dalam kemarahan dia memutuskan untuk bercerai dan melanjutkan hidupnya sendiri, mengejar cita–cita masa kecilnya untuk menguasai bahasa Inggris dengan mengikuti kursus bahasa Inggris. Ditemani buku kecil berjudul kamus Inggris satu milyar kata,hadiah bapaknya menjelang kematiannya Enong semangat mengejar cita–citanya.

Sementara itu kemarahan Enong karena tertipu Matarom, dilampiaskannya dengan niat mengalahkan lelaki yang sempat menjadi suaminya itu diajang pertandingan catur menjelang perayaan 17 Agustus. Catur adalah wilayah lelaki dan perempuan Melayu tidak akan pernah diberi kesempatan bermain catur apalagi kalau sampai mengalahkan lelaki.

Ikal, M Nur sang detektif, Enong yang memiliki nama asli Maryamah serta Jose Rizal dan Ratna Manikam berkomplot untuk mendukung Enong alias Maryamah “menuntaskan” dendamnya mengalahkan Matarom sang juara catur 2 tahun berturutan. Pertemanan Ikal dengan Ninoschka di Sorbone yang pada saat sama sedang berjuang untuk menjadi salah satu master catur dunia, memperlancar niat Enong yang Maryamah melangkah sedikit demi sedikit mengalahkan para lelaki.

Dukungan teknologi telekomunikasi tradisional melalui merpati pos dan telekomunikasi modern internet memuluskan transfer pengetahuan bermain catur tingkat dunia kepada pemain catur desa nun di pelosok pulau kecil wilayah Sumatera. Lembar catatan langkah pesaing yang “disadap” sang detektif dan disampaikan Jose Rizal kepada Ikal, diterjemahkan langsung oleh Ikal untuk dimintakan petunjuk langkah antisipasi lansung dari Ninoschka di belahan dunia Eropa. Bagaimana akhir pertandingan Enong dengan Matarom, ada baiknya kita simak 2 buku yang menjadi satu ini.

Sebagaimana kisah perjalanan Ikal terdahulu, buku ini sarat dengan semangat hidup yang patut menjadi teladan dan contoh bahwa tidak ada yang mustahil tatkala semangat dan kemauan untuk meraih cita–cita masih terpateri dalam dada.

Bagi saya, buku ini, terutama buku bagian ke dua lebih cocok diberi nama MARYAMAH KARPOV dibandingkan dengan buku ke 4 tetralogi Andrea Hirata terdahulu. Saya masih ingat, mungkin sekitar 1 tahun sebelum film Laskar Pelangi beredar, saya sempat melihat buku Maryamah Karpov di toko buku Gramedia PIM1. Sempat terbersit maksud untuk membelinya sekaligus 3 buku yaitu Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov. Namum suami saya melarang, karena buku pertama, Laskar Pelangi pun belum selesai saya baca. Beberapa minggu setelahnya, tatkala saya memutuskan untuk membeli buku tersebut ... maka Maryamah Karpov sudah menghilang dari peredaran .... untuk kemudian diedarkan kembali di bulan September (tahunnya lupa...) mendekati jadwal peredaran film Laskar Pelangi

Bisa jadi, cerita dalam dwilogi inilah yang menjadi isi buku Maryamah Karpov terdahulu, yang sebenarnya dan kemudian diperkaya kembali oleh Andrea Hirata dengan menuliskan akhir kisah percintaan antara Ikal dengan Aling.

Buku ini juga sekaligus menjelaskan mengapa kisah–kisah dalam buku Maryamah Karpov – versi Tetralogi “nggak nyambung” dengan judul bukunya, karena sama sekali tidak tercermin apa, siapa dan mengapa ada Maryamah Karpov

Selasa, 06 Juli 2010

Mencari Endek yang hilang

Tenun Ikat Bali - Endek
Sejak terbetik berita DTM bermaksud mengadakan perjalanan liburan bersama ke Bali, saya berniat untuk mencari endek di ranah kelahirannya. Terakhir saya menjumpai dan memperolehnya, juga di ranah kelahirannya adalah 21 tahun yang lalu pada kesempatan yang sama pula, yaitu perjalanan bersama keluarga DTM. Bedanya, tentu saat itu anak pertama saya masih berumur 6 tahun dan sekarang, kami pergi bersama anak kedua yang berumur 12 tahun. Bahkan salah satu peserta perjalanan 21 tahun yang lalu sudah meninggal dunia beberapa hari sebelum DTM melakukan perjalanan liburan bersama pada awal bulan Juli 2010 yang baru lalu.

Beberapa hari sebelum keberangkatan kami, saya menghubungi keponakan suami yang tinggal dan bekerja di Denpasar untuk mencari endek, tentu dengan menyertakan ciri - cirinya. Sayang, sang keponakan sama sekali tidak bisa menemukannya. Ternyata bukan saja karena dia tidak mengetahui jenis kain yang dimaksud. Maklum saat endek sedang merajai dunia fashion di tanah air, dia masih kanak-kanak.

Merasa akan mengunjungi ranah kelahiran Endek, saya berpikir akan mencarinya sendiri. Tentu akan lebih menyenangkan karena akan dapat memilah dan memilih endek sesuai dengan kehendak hati.

Maka .... hari kedua, di Bali ... tanah kelahirannya, saya sempat menanyakan keberadaan endek kepada Komang, supir sekaligus pemilik APV yang membawa kami melakukan perjalanan liburan. Memang .... perjalanan yang konon diberi judul DTM Gathering .... ternyata malah "memandirikan" pesertanya. Seluruh acara selama 4 hari 3 malam di Bali, diisi dengan acara bebas.

Nah kembali pada si Endek, tahukah anda siapa dia? Kepada Komang, saya tanyakan keberadaan tenun ikat Bali yang pada tahun 80 an begitu menguasai ranah fashion di Indonesia. Bahkan mengalahkan dominasi batik. Dimana - mana tenun ikat Bali digunakan baik sebagai gaun maupun kemeja. Bahan, warna dan motifnya begitu beragam.

Di tanah kelahirannya, tenun Ikat Bali ternyata lebih dikenal sebagai Endek. Dialah yang saya cari, di tengah membanjirnya beragam motif batik dari Sabang hingga Merauke. Ternyata .... Endek memang sudah sukar ditemukan dijajakan orang baik sebagai bahan untuk dibuat kemeja/gaun, kain pantai atau sarung. Dari puluhan kios penjual kain pantai, hanya beberapa saja yang menjual kain pantai endek. Itupun dari jenis yang bermutu rendah .... kain tipis dengan tenunan benang jarang.

Sempat juga mencari di berbagai toko yang mengkhususkan diri menjual souvenir khas Bali, mereka hanya menjual endek berbentuk sarung pantai yang dari motifnya kurang cocok dibuat blouse atau kemeja.


motif Rang-rang Tenun Ikat Troso - Jepara
Hari terakhir di Bali, keponakan suami berkesempatan menemani kami dan mengajak ke mencari endek di jalan Sulawesi Denpasar, yang merupakan pusat penjualan kain, Kesanalaah kami berburu endek. Dalam belasan toko yang kami masuki, hanya ada 4 toko yang menjual endek meteran yang dapat digunakan untuk blus atau kemeja. Sementara batik Jawa, mulai dari batik motif Megamendung gaya Cirebonan, Jawa Tengah (motif Solo, Jogja, Pekalongan dll) maupun Jawa Timuran seperti Batik Tubanan dan Madura, sekedar menyebut motif yang saya kenal menguasai pusat penjualan kain. Memang ada kain motif Bali seperti yang sering digunakan para penari, namun tetap saja terlihat dengan sangat kasat mata bahwa Batik Jawa sudah "menjajah" ranah kelahiran Endek.

Ironi sekali .... saya merasa kehilangan endek sang TENUN IKAT justru di tanah kelahirannya. Tenun ikat Bali justru kehilangan pamor dan tempat kelahirannya.

Minggu, 27 Juni 2010

Transformasi Surabaya ... Jakarta, kalah jauh deh...!

Week end akhir Juni yang baru lalu, saya berkesempatan mengunjungi Surabaya lagi, walau hanya satu hari dan bukan sekedar jalan-jalan santai tapi karena ada tugas untuk survey salah satu mall yang konon mau diambil-alih sebagian kepemilikannya.

Terakhir saya mengunjungi Surabaya, mungkin sekitar 3 tahun yang lalu saat keponakan suami menikah dan so pasti nggak sempat jalan - jalan. Nah kali ini malah kebanyakan jalannya, cuma mblusuk ke pasar tradisional karena mall yang dikunjungi dan harus diamati itu letaknya di atas pasar tradisional di daerah Kapas Krampung. Pasar tradisionalnya lebih dikenal dengan nama Pasar Tambah Rejo sedangkan Mall nya dulu diberi nama East Point, karena memang berada di timur Surabaya,tidak jauh dari Jembatan Suramadu. Sekarang dikembalikan pada nama daerahnya Kapas Krampung Plaza yang disingkat menjadi Kaza.

Namun bukan Kaza yang ingin saya ceritakan, tetapi kemajuan wajah kota Surabaya yang sangat mengagumkan. Minimal dari sudut pandang pengunjung walaupun sangat singkat.

3 Tahun yang lalu, saat menghadiri pernikahan keponakan suami, dalam perjalanan dari airport ke tempat menginap yang lokasinya tidak jauh dari Universitas Airlangga, terasa betul adanya perbedaan antara Jakarta dengan Surabaya, terutama dalam hal kebersihan dan kerapihan kota. Jalan protokol di Surabaya tidak selebar yang ada di Jakarta, tetapi terasa teduh dinaungi pepohonan yang begitu rimbun. Tepi sungat memang agak semrawut ... biasalah.... kalau sedang ada proyek, entah itu proyek normalisasi sungat atau penggalian-penggalian untuk penanaman kabel, saluran air atau pipa air minum.

Saya mendarat di bandara Juanda - Surabaya sekitar jam 19.30, langsung menuju Kaza , yang sebetulnya menjadi tujuan survey pada hari sabtu, dengan ditemani seorang teman , yang sudah 21 tahun menjadi penduduk Surabaya dan Project Manager dari PP yang membawahi Balcony dan Kaza. Dari airport, kami berpisah mobil, Saya ikut teman, mencari makan malam dulu sekaligus melihat lokasi tujuan survey esok hari.Tentu ingin melihat Kaza dan pasar Tambah Rejonya pada malam hari. Tidak banyak yang bisa dilihat di sepanjang perjalanan dari bandara menuju Kapas Krampung karena hari sudah gelap.

Sabtu pagi sekitar jam 09.30 saya dijemput Dwi, supir pribadi temanku untuk diantar ke Kapas Krampung. Kali ini Kemarin .... terus terang, saya dibuat kagum dengan kebersihan, kerimbu
nan dan keindahan Surabaya. Rasanya .... Surabaya lebih pantas mendapat Adipura dibandingkan dengan Jakarta Pusat. Betul, masih ada PKL disana-sini tetapi bila dibandingkan dengan Jakarta .... jumlah PKL di Surabaya relatif sedikit.

Keberadaan Citraland dengan slogannya The Singapore of Surabaya yang konon katanya suasana lingkungan perumahan tersebut sudah 80% mirip Surabaya, dari segi keindahan, kebersihan dan pengelolaannya, memacu pemkot Surabaya "meniru" dan belajar dari pengembang kawasan tersebut bagaimana "mengolah" kota Surabaya yang semula berantakan menjadi lebih "berbudaya".

Kerendahan hati walikota Surabaya untuk mau belajar dari kalangan swasta, patut diacungi jempol sehingga membawa SUrabaya menjadi lebih bersih, rimbun dan tertata dengan lebih baik. BRAVO Surabaya

Jumat, 21 Mei 2010

Pelayanan Kesehatan

Sebel denganu asistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Sdh daftar n datang sebelum waktunya, eh dokternya sedang "lari" ke RS yang lain tanpa bisa diketahui jam berapa dia kembali atau apakah dia akan kembali lagi ke RS
---

Ini cerita pengalaman pribadi berurusan dengan rumah sakit. Semoga.... gua nggak dituntut seperti Prita Mulyasari ... makanya
gua nggak bakal nyebut nama RS nya deh.
Sudah lebih dari 5 tahun, alhamdulillah, saya tidak pernah berurusan dengan rumah sakit. Terakhir kali... ya lebih dari 5 tahun itupun karena terpaksa.

Seperti biasa, penyakit yang mampir di badan, biasanya cuma batuk atau pilek dan tanpa obat-obatan kimiawi, batuk atau pilek itupun hilang dengan sendirinya, Biasanya dibantu dengan pijat/refleksi, minum rebusan jahe+gula batu+perasan jeruk nipis setiap malam. Tapi ada kejadian yang menyebabkan saya harus berurusan dengan rumah sakit....

Saat itu, karena lendir dalam hidung agak bandel sehingga untuk mengeluarkannya harus menggunakan "tenaga" dorong yang kuat. Akibatnya ... ada kebocoran dari lubang hidung sebelah kiri ke telinga kanan. Gimana kejadian dan rasanya?

Nah, hari itu usai makan siang dan shalat dhuhur.... sambil ngetik di notebook... tiba-tiba terasa seperti ada korsleting listrik di telinga kanan. Betul-betul bunyinya seperti kalau ada dua kabel "telanjang" tersambung. Nggak sampe satu menit... terasa ada cairan mengalir dari telinga yang "korslet" tadi. Saya ambil tissu untuk melapnya.... terlihat basah oleh cairan bening. Tapi si cairan... walau hanya sedikit tapi tetap mengalir dan lama kelamaan warnanya berubah menjadi kekuningan dan akhirnya agak kemerahan.

Saat melihat cairan berubah warna menjadi kemerahan, saya segera sadar bahwa betul-betul ada yang nggak beres dengan telinga kanan saya. Untungnya .... supir kantor ada yang sedang "menganggur" sehingga saya bisa minta antar ke sebuah RS, tidak jauh dari kantor.

Maka... sayapun ditangani oleh dokter THT, yang dengan sedikit "mengomel", membersihkan telinga saya lalu memberikan resep dengan pesan harus kembali lagi 1 minggu kemudian setelah obat habis.

Kenapa dia ngomel..... Karena ... saya dianggap bandel... Batu/pilek tapi nggak mau berobat ke dokter. Si dokter kali nggak tahu kalau..... sumpah mati... saya termasuk golongan orang yang tidak percaya dengan pengobatan kedokteran "modern" yang menjejali pasien dengan obat2an kimiawi.

Tapi, ya sudahlah... dokter mau ngomong apa, toh saya sebagai pasien punya hak sendiri, mau nurut atau nggak. Jadi telan aja tu omongan... hehehe... Jadi kembalilah saya ke kantor dengan sekantong obat-obatan kimiawi yang amit-amit... kalo nggak kepaksa banget, pasti udah saya buang ke selokan di pinggir jalan.

Hari pertama, untungnya Sabtu... jadi saya bisa istirahat di rumah sambil berusaha mendisiplinkan diri minum obat yang harganya mahal.... Konon begitulah maunya dokter... Ngasi obat paten buat pasien, supaya komisi dari pabrik obat makin gede.... Yang ini sudah jadi rahasia umum-lah...

Hari ke 3, Senin... ternyata kondisi saya bukan malah lebih baik.... tetapi saya malah "terkapar" nggak bisa bangun. Terpaksalah telpon ke kantor, minta ijin nggak masuk... lalu telpon adik saya ... menceritakan segala sesuatu yang terjadi sambil menyebutkan nama obat yang dikasih dokter THT itu.

"Gila ...." teriak adik saya di telpon.
"Mau bunuh nyamuk aja pake bom...!!!" begitu komentarnya saat saya menyebutkan merek dagang antibiotik yang saya minum selama 7x.
"Tentu lambungmu nggak tahan... kamu yang nggak pernah minum obat dikasih bom antibiotik. Sudah ganti dengan ini...., minum 3x sehari sampai habis!", begitu katanya sambil menyebutkan merek antibiotik pengganti.
Maka, sang suami terpaksa pergi dulu ke apotik sebelum berangkat ke kantor dan setelah mengganti antibiotik itu saya bisa tidur dengan nyaman dan keesokan harinya sudah bisa masuk kantor lagi dan sejak saat itu .... saya tidak pernah mau lagi minum obat kimiawi kecuali dalam keadaan terpaksa, dimana rasa sakit betul-betul sudah tak tertahankan lagi. Alhamdulillah hal tersebut sudah berjalan lebih dari enam tahun hingga..... tibalah kejadian sekitar hampir 4 minggu yang lalu.

Nah... saat itu, suami pulang dari Johor Bahru/Singapore membawa oleh-oleh batuk dan pilek. Sebetulnya... tidur dengan suami yang kena batuk/pilek sudah biasa. Kalau saya sudah merasa "bakal kena", biasanya saya minta dibuatkan ramuan khusus dalam mug super besar untuk diminum sepanjang malam. Apalagi kalau bukan rebusan jahe+gula batu+perasan jeruk nipis. Lalu pagi-pagi setelah anak pergi ke sekolah, saya akan tidur lagi 1 jam, baru mandi dan berangkat ke kantor. Itu sudah cerita klasik, yang sekretaris kantor sudah hafal betul karena sudah berjalan hampir 6 tahun dan dengan cara itu relatif saya tidak pernah "bolos" kantor karena sakit.

Kali ini... entah karena virusnya made in Johor Bahru/Singapore atau mungkin Allah SWT ingin menyentil saya karena "kejumawaan" saya atas kondisi kesehatan yang relatif prima untuk orangyang sudah berumur hampir balak lima, kiat-kiat yang biasanya manjur ternyata bablas...... 4 hari saya terkapar di rumah. Kalau hanya sekedar batuk/pilek saja, saya masih berani berangkat ke kantor. Tapi untuk kali ini, dibarengi dengan sakit kepala yang amat sangat dan deman setiap malam dan pagi hari. Bahkan saking nggak tahannya dengan rasa sakit kepala, saya sempat masuk UGD untuk mendapat 2 flacon cairan infus termasuk 1 flacon paracetamol.

Setelah sempat nggak masuk selama 4 hari kerja, minggu kedua, karena sakit kepala sudah reda, maka saya mulai masuk kantor. Berangkat sedikit lebih siang dan pulang lebih cepat karena kondisi terasa masih belum 100% pulih.

Nah... lagi-lagi, di hari jum'at setelah makan siang, terasa ada yang mengalir dari telinga kanan. Persis di tempat yang dulu lagi. Memang ... sejak mulai batuk pilek, saya sudah agak waswas dengan "kelemahan" hidung-telinga akibat "kebocoran" yang telah terjadi + 6 tahun yang lalu. Apalagi setiap lendir keluar dari hidung, terlihat warna yang berbeda. Lendir yang keluar dari hidung sebelah kanan berwarna kecoklatan seperti tercampur darah. Mungkin sedikit mimisan.

Sayangnya Jum'at malam itu, saya tidak bisa ke RS, kali ini yang ada dekat rumah, karena dokternya sudah pulang. Jadi baru keesokan paginya saya kembali ke RS.

Dokter THT, perempuan, yang menangani cukup baik walau agak "sebel", kali ya... karena saya tidak mencatat antibiotik yang 6 tahun lalu menyebabkan saya terkapar serta antibiotik pengganti yang diresepkan oleh adik saya. Tapi... siapa sih yang ingat dengan obat yang diminum 6 tahun lalu, apalagi buat saya yang nggak suka obat-obatan kimiawi?

Lalu, diberikanlah sekantong obat, berupa clavamox (amoxillin sang antibiotik) - mucopec untuk batuk dan Rhino untuk pilek. Antibiotiknya dihabiskan..... Ini SOP standar penggunaan antibiotik. Ya sudah.... terpaksa manut.... Cuma sebalnya... saat diperiksa... "kebocoran" itu tak terdeteksi, apalagi cairannya juga sudah berhenti mengalir. Jadi bu dokter nggak ngasi obat telinga.

Apa yang terjadi...? sore harinya, kepala saya sebelah kanan dari ubun-ubun sampai tempurung otak di atas tulang tengkuk  sakit bukan kepalang dan ini berlangsung selama 3 hari sehingga hari Senin saya kembali nggak masuk kantor. Ampyun deh.....

Hari ini .... antibiotik sudah habis. Batuk walaupun sudah tidak ada lagi, tapi saya merasa masih ada sisa batuk yang "mengganjal" rongga dada sehingga napas saya terasa pendek.
Telinga saya hanya berfungsi 50%, sehingga suara di sekitar terdengar sayup-sayup.

Itu sebabnya, hari ini saya pulang agak cepat setelah dibuatkan janji untuk kembali ke ruang praktek bu dokter. Maka, usai shalat ashar saya bergegas meninggalkan kantor agak tidak terlambat. Apalagi terlihat mendung mulai menggayuti langit di selatan Jakarta.

Tiba di RS, di tempat pendaftaran... sang petugas bilang begini :
"Maaf bu .... dokternya baru keluar. Ada panggilan dari RS."
Disebutkannya nama sebuah RS yang jaraknya sekitar 5km dari RS tempat saya akan berobat. Tapi... pada jam sore tersebut yang pasti akan sangat macet, jarak 5km bisa ditempuh dalam waktu 1 jam.

"Berapa lama dia akan berada disana?", tanya saya
"Entah bu, kami belum bisa memastikannya. Tapi kalau mau ibu bisa menunggu..."
Hah.....Nunggu tanpa kejelasan berapa lama.... Yang bener aja? Apalagi di luar terlihat hujan sudah mengguyur tanah dengan deras.

Saya berhitung waktu ... Saat itu jam 17.00 dan dokter baru 20 menit berangkat untuk menangangi pasiennya di RS lain yang sedang gawat. Jarak 5 km di Jum'at sore dengan kondisi hujan deras, pasti akan memakan waktu 1 jam atau 2 jam pergi pulang. Kalau bu dokter mampu menangani pasiennya dalam waktu 1 jam, maka berarti 3 jam waktu yang digunakannya. Kalau saya menunggu, artinya paling cepat jam 19.00 dia baru kembali. Padahal jelas-jelas jam prakteknya hanyasampai jam 18.00.

Nggak peduli tas kerjanya masih ada di ruang praktek, siapa yang bisa menjamin dokter akan kembali ke RS di luar jam prakteknya untuk menangani pasiennya? Soal tas...? gampang saja kan.... Tinggalkan saja di RS, toh Sabtu pagi dia akan kembali praktek. Tinggal telpon ke perawat untuk memintanya menyimpan tas..... dan pasien yang menunggu....? silakan gigit jari....dan pulanglah....

Mungkin saya terlalu berburuk sangka, tapi cerita dokter lari kesana-kemari, dari warung (ini istilah umum untuk menyebut tempat praktek) yang satu ke warungnya yang lain, sudah jadi cerita klasik khas kota besar di Indonesia. Kenapa untuk "menghidupi" dirinya secara layak, dokter harus berpaktek disana-sini sehingga menerlantarkan pasien-pasiennya di satu tempat prakteknya. Apakah tidak mungkin mereka mendapatkan penghasilan yang cukup besar sehingga tidak perlu "buka warung" di setiap pojokan?

Semoga, para dokter tidak termasuk golongan kaum hedonis di Indonesia yang tak pernah terpuaskan naluri kebendaannya, sehigga seberapa besarpun penghasilan, tidak pernah akan mencukupi.

Entah kapan hak-hak pasien terlayani dengan baik ...

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...