Jumat, 08 Juli 2011

ironi dan kontradiksi TKI/TKW

Perjalanan ke tanah suci selalu bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan rekan - rekan senegara yang bekerja di berbagai negara Gurun dan bukit batu tersebut.

Interaksi pertama sudah dimulai begitu naik pesawat. Keberadaan para TKI/TKW sangat mudah ditandai karena mereka

 yang berangkat untuk pertama kali, umumnya memakai seragam. Tetapi, kalaupun mereka tidak menggunakan seragam, keberadaan mereka sangat mudah ditandai. Merekayang baru pertama kali berangkat, pada wajahnya, terlihat ekspresi "takut dan gamang", sementara mereka yang sudah beberapa kali berangkat sebagai TKI/TKW seringkali terlihat overacting dalam sikap maupun pembicaraan.

Berada dalam pesawat yang sama dengan mereka juga membawa nuansa khusus. Beberapa saat setelah pesawat lepas landas dan suhu udara mulai turun, maka bebauan khas negara asia, yaitu mulai dari minyak kayuputih, balsem dan minyak angin mulai berhamburan memenuhi ruang pesawat. Bukan tidak mungkin, "harum parfum" khas asia itu tercium pula hingga kabin bisnis. Entah apa yang dipikirkan oleh penumpang cabin class yang berasal dari negara non asia.

Penggunaan toilet menjadi masalah lain lagi. Toilet pesawat yang kecil, penuh dengan kabin2 kecil yang terisi dengan kertas2 toilet, tempat sampah, pelembab kulit, sabun hingga flush pembersih closet semua kompak mengisi ruang seluas 1x1.5 meter itu. "Kering" itulah kondisi yang seharusnya mutlak terjadi dalam kabinet lavatory tersebut. Namun, tanpa maksud merendahkan status sosial para TKI/TKW, kehadiran mereka bisa ditandai saat kabinet lavatory tersebut menjadi kumuh bahkanseringkali lantainya menjadi basah dan sampah kertas toilet berhamburan di lantai.

Bisa dimaklumi karena semua tulisan di dalam kabinet mini itu dalam bahasa Inggris. Dalam pesawat berlabel "maskapai penerbangan negara gurun" mungkin ada tulisan arab. Tapi siapa diantara mereka yang mengerti? Apakah selama di tempat penampungan/pelatihan, para TKI dan TKW dibekali pengetahuan tentang bagaimana cara berlaku/bersikap di dalam pesawat? Sama juga dengan para jamaah haji dengan fasilitas ONH biasa yang pada umumnya berasal dari kota kecil/pedalaman dan bukan tidak mungkin baru pertama kali bersentuhan dengan peralatan modern?

Kendala kedua, toilet kering dengan kloset duduk hanya ada dan biasa digunakan oleh penduduk kota. Masyarakat Indonesia umumnya masih lebih nyaman menggunakan kloset jongkok, bahkan dengan wc cubluk yang berada di atas kolam ikan dan menggunakan air satu ember besar untuk membersihkan kloset dan badan. Bagaimana mungkin dalam waktu sekejap mereka mampu menyesuaikan diri "buang hajat dan membersihkan diri" dengan air seadanya (di lavatory toilet tersedia gelas kertas mungil) dan kertas pembersih. Pasti ada kebingungan yang luar biasa. Atau kalau tidak terpaksa sekali .... mereka akan menahan hajatnya hingga mendarat di bandara walaupun setiba di bandara, bukan berarti masalah komunikasi/budaya/kebiasaan lalu selesai.


Dalam perjalanan "city tour" di sekitar wilayah Makkah, saya sempat ngobrol dengan supir bus yang berasal dari desa Cililin - Cimahi Jawa Barat. Dia sudah melewati 1,5 tahun masa kerjanya di Arab Saudi (SA -  Saudi Arabia).
"Sungguh bu .... saya tidak akan pernah kembali lagi ke Arab"
"Kenapa? Kan enak ... gaji besar, bisa berhaji ...!"
"Kalau dari hajinya sih iya... tapi kalau gaji, rasanya nggak jauh-jauh banget ... nggak terbayar dengan kesepian jauh dari keluarga dan harus menyesuaikan makanan. Apalagi kalo yang perempuan ... aduh rusak deh bu"
"Tapi, orang2 di kampung kan banyak yang lebih milih peri ke Arab, dibanding kerja di Indonesia"
"Gak ada kerjaan bu, masalahnya...."
"Iya, saya pernah denger kalau TKW di SA banyak yang rusak, makanya ada gosip, harga perempuan Indonesia cuma 50SR. Kalo gitu mestinya, bilang dong sama orang2 di kampung... itu bapak-bapak, jangan ngirim perempuan2 (anak atau istri) ke SA dong... Kalau mau dapet duit ya si bapak itu yang kerja ke SA...., bukan anak/istrinya?"
"Mestinya pemerintah bu, yang nglarang... Pemerintah cuma ngeliat SR nya aja sih..."
"Mesti dari dua arah... masyarakatnya, juga pemerintah. Kalau dari pemerintah nggak jalan, ya rakyat mesti tahu kalo kerja di SA atau negara2 Tim-teng bahaya buat keselamatan/kehormatan perempuan"
"Iya bu... tapi nggak gampang, kan orang taunya cuma duit aja... apalagi kalo liat tetangga yg pulang bawa duit terus bangun rumah, beli sawah dll... mereka nggak tahu darimana duit didapat. Gak semua dapat majikan baik yg suka kasih hadiah. Sebagian... apalagi yang sampe kabur dari majikan, banyak yg melacur atau kumpul kebo... saya tahu persis bu... makanya ngeri deh... Itu sebabnya saya nggak pengen balik lagi ke SA"

Pembicaraan sambil menunggu peserta umroh yang naik ke Jabal Rahmah terhenti, karena mereka sudah kembali mengisi bus, dan siap melanjutkan perjalanan melintasi Muzdalifa - Mina dan akhirnya kembali ke penginapan.
***


Dalam kesempatan lain, usai menunaikan umroh, kami sempat ngobrol dengan TKI yang bekerja sebagai petugas kebersihan Masjidil Haram. Dia juga sudah bekerja hampir dua tahun dan segera kembali ke tanah air. Sama-sama tidak ingin kembali ke SA untuk memperpanjang kontrak kerja, walau gaji SR 800 (hampir 2 juta rupiah) tentu lebih besar dibandingkan dengan gaji seorang petugas kebersihan di Jakarta.
"Berapa jam kamu kerja disini?"
"Biasa bu ... ada 3 shift"
"Beruntung juga ya kerja di Haram ... ada banyak orang Indonesia yg kerja di Haram?"
"Nggak bu, cuma ada 3 orang. Kebanyakan dari Pakistan dan Bangladesh. Kerja di Haram gajinya nggak besar, dibanding dengan di luar Haram.Bisa SR1200 - SR 2000"
"Oh .... tapi dapat fasilitas makan/penginapan dong"
"Kalau makan sih, nggak dapat bu, kalau tidur, disediain mess, kamarnya pake AC, antar jemput dari mess ke Haram"
"Ah ... lumayan jugalah.....!"
***

Di pelataran Sai bagian basement yang sejuk saat shalat Ashar, saya duduk bersebelahan dengan TKI asal Banjarmasin.
"Ibu dari mana?"
"Oh... saya dari Jakarta"
"Kapan datang bu? sudah berapa lama di Makkah?"
"Sejak minggu pagi kemarin .... insya Allah sampe Jum'at besok, ke Jeddah"
"Sudah umroh berapa kali bu... sudah cium hajar aswad?"
"Maksudnya...?",
"Nggak bu ... tanya aja.... ibu mau cium hajar aswad?"
"Oh ..... lihat situasi aja...."
"Kamu mukimin ya...? TKI? sudah berapa lama disini?"
"Iya bu ... mukimin, tinggal gak jauh dari Dyar inn (dia bilangnya diar en), sudah 3 kali balik. Yang terakhir itu saya ditangkap, terus dipulangin. DUlu kalo dipulangin gitu kita tunggu 1 tahun dulu terus baru umroh lagi. Kalo sekarang mesti tunggu 5 tahun baru bisa umroh. Sudah gitu bayarnya mahal .... Waktu saya berangkat bayarnya sudah 20juta... sekarang kabarnya sudah 26 juta"
"Lho .... kamu itu TKI, atau apa sih? Kok pake bayar segitu mahal....?"
"Wah ... saya sih gak mau pake PT bu... gak enak, gak bebas"
"Lho....?"
"Iya bu... kalo pake PT, kan 2 tahun gak bisa keluar - kontraknya kan gitu... makanya yang dari PT, biar dapet majikan jahat, gak berani keluar."
"Trus kamu gimana ceritanya...?"
"Saya kan ada sponsornya bu .... ya itu bayar 20 juta (sekarang konon 26juta), ntar begitu sampe Makkah... kita dijemput sama sponsor yang ada di Makkah, dibawa ke penampungan. Dari situ kita dicariin kerjaan ... kalo 1 atau 2 bulan gak betah atau gak enak ya keluar, cari di tempat lain. Jadi nggak terikat."
"ada banyak yang seperti kamu?"
"Banyak bu .... ada yang dari Jawa, Banjar ... Lombok juga ada bu!"

Awalnya.... saya 
ngga terlalu mengerti apa yang dimaksud perempuan muda  yang duduk di sebelah saya itu. Lama kelamaan saya teringat dengan Laila, perempuan asal Malang yang saya temui tahun 1994 dan banyak menolong saya memasak di setiap jam makan selama menunaikan ibadah haji saat itu. Rupanya .... inilah TKI illegal berkedok umroh - overstay.

"Jadi, apa kerjaan kamu sekarang?"
"Kalau lagi musim um
roh dan haji seperti sekarang, pemeriksaan agak longgar bu. Kan kami gak punya iqomah .. . Kerja kami sekarang bantu2 orang yang mau cium hajar Aswad. Kalau di luar musim umroh.haji 
... ya mesti hati-hati ... ngumpet di penampungan atau kerja di rumah2"
"Kalau nggak dapat kerja atau upah bantu cium hajar aswad, trus gimana cara bayar penginapan dan makan sehari-hari....?"

Perempuan muda itu diam ... tak menjawab pertanyaan saya hingga akhirnya shalat dimulai dan saat usai shalat... tempat di samping saya sudah kosong.. dia menghilang tanpa pamit. Saya teringat perkataan supir asal Cililin itu ... 
"Banyak perempuan kita, yang kumpul kebo dengan orang2 Pakistan atau Bangladesh bu... Mereka yang l
ari dari majikan, kalo nggak melacur, ya kumpul kebo ... Rusak semua bu..."
Astaghfirullah .... semoga perempuan di samping saya tadi bukan yang termasuk golongan pelacur/kumpul kebo itu.
***

Masalah TKI ke negara tujuan manapun juga, terutama ke negara-negara Timur Tengah, ternyata memang pelik. Mungkin sedikit berbeda dengan TKI/TKW ke negara Tim-Teng selain SA yang bisa dimonitor melalui PJTKI, TKI terutama TKW dengan negara tujuan SA, memiliki entry gate lain, selain melalui PJTKI, yaitu melalui biro-biro peralanan umroh yang sekarang banyak bertebaran di seluruh pelosok tanah air.

Mereka ternyata banyak mengerahkan TKW melalui jalur ibadah umroh. Calon TKI/TKW membayar biaya perjalanan laiknya peserta umroh, di Madina atau Makkah, sudah ada penampung TKI/TKW gelap .... Mereka tentu tidak punya ijin dan pasti tidak pula melaporkan keberadaan para jamaah umrohnya, karena ibadah umroh memang hanya menjadi topeng pengerahan tenaga kerja saja.

Betapa enaknya cara kerja mereka (pengerah dan penampung TKI/TKW tsb). Mereka sama sekali tidak mengeluarkan biaya perjalanan para TKI/TKW tersebut .... bahkan bisa jadi menangguk keuntungan dari biaya yang sudah disetorkan tersebut karena tidak ada kewajiban menyelenggarakan "land arrangement para peserta umroh" tersebut.

Mungkin pemerintah dan migrant care harus mulai memperhatikancara kerja biro perjalanan umroh yang beroperasi di kantong-kantong pemasok TKI/TKW di seluruh wilayah Indonesia.
Wallahu'alam  

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...