Senin, 27 Agustus 2012

Makna Lebaran

Apa yang kita maknai dari Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri yang dirayakan setiap 1 Syawal? Pada era serba gadget ini. kita kemudian berpantun-pantun melalui baik melalui sms atau messenger ... Saling meminta maaf dan mengingatkan akan "kemenangan" menyambut Idul Fitri... Tapi kemenangan apa yang sebetulnya sedang kita rayakan?

Selama 1 bulan, umat Islam menjalankan ibadah puasa. Mensucikan hati, pikiran dan badan. Selain itu kita juga mensucikan harta benda melalui zakat infaq dan sedekah. Ya... itu ritual yang terlihat dimata manusia baik melalui lembaran-lembaran kuitansi bukti penerimaan ZIS, melalui ramainya umat yang menjalankan ibadah tarawih/itikaf di masjid-masjid maupun pemberitaan media dan lain-lain.  Namun di lain pihak.... kita juga sibuk menata penampilan fisik dengan mendandani rumah dengan perangkat baru yang mutakhir, termasuk juga menyiapkan baju-baju baru untuk dipakai selama berhari-raya. Seolah-olah lebaran tanpa baju baru menjadi berkurang maknanya.

Baju baru di saat lebaran mungkin menjadi penting bagi kalangan yang kurang mampu ... Paling tidak, pada kesempatan lebaran itulah orang tua merasa berkewajiban membelikan baju baru bagi anak-anak dan seisi keluarganya. Itulah kesempatan 1 kali setahun dimana di atas meja makan terhidang ketupat lengkap dengan sayur godog dan opor ayam setelah selama 364 hari lainnya menu makan sehari-hari hanya sayur bening ditambah kecap.

Namun ternyata.... baju baru dan hidangan super lengkap menjadi lebih heboh menjalari rumah-rumah mewah yang sebetulnya setiap haripun tidak kekurangan. Atau ini merupakan pelampiasan setelah 1 bulan lamanya tidak bisa makan dengan leluasa di sepanjang hari. 

Yang pasti... kondisi ini memicu peningkatan peredaran uang....  Memicu kebutuhan dana untuk membeli kebutuhan ekstra tersebut. Mereka yang masih bekerja dan memperoleh THR dari kantornya akan lebih beruntung dari golongan lainnya. Di balik dari kegembiraan menerima THR atau bingkisan lainnya, ternyata ada juga sesama muslim yang tega menipu teman atau kerabatnya demi meraih keuntungan pribadi.

Yang pasti..... kebutuhan akan dana lebih untuk merayakan Idul Fitri ini juga yang memicu peningkatan perbuatan kriminal, perampokan, pencurian, penipuan, gendam, hipnotis dan lainnya ... dan bahkan.... peredaran dan perpindahan diam-diam dan "di bawah meja" amplop-amplop berisi cek atau uang tunai rupiah maupun dolar sebagai "pengikat" saat "bantuan kemudahan" kelak dibutuhkan dari pejabat penerima amplop tersebut.

Idul Fitri, "Eid-ul-fitr", Idul Fitri, Id-ul-Fitri, atau Idul Fitri (Bahasa Arab: عيد الفطر 'IDU l Fitri), sering disingkat menjadi Idul Fitri, adalah hari raya muslim yang menandai akhir Ramadhan. Bulan suci Islam, bulan dimana mereka yang bertakwa melaksanakan ibadah shaum. 


Idul Fitri adalah kata Arab yang berarti "pesta", sementara Fitri berarti "berbuka puasa". Jadi bisa disimpulkan bahwa Idul Fitri adalah pesta menyambut "kebebasan" berbuka puasa, setelah berlapar-lapar selama 30 hari. Jadi.... kiranya tidak ada yang salah bila kemudian umat Islam berpesta pora menyambut kebebasan (dari kewajiban berpuasa) itu.

Di balik itu semua, tentu masih banyak anggota masyarakat yang memaknai hari raya dengan sederhana, baik karena memang ketidakmampuan keuangannya ataupun karena kezuhudannya. Dan ............... mereka sepi dari pemberitaankarena memang tidak butuh diberitakan.

Jadi............. Apa makna lebaran buat anda sendiri...?
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H
Taqoballallahu minna wa minkum
Maaf lahir dan batin

Sabtu, 25 Agustus 2012

Yang tercecer dari Ramadhan

Waktu berjalan tidak terasa. Hari ini sudah memasuki hari ke 7 bulan Syawal, dihitung dalam penanggalan Islam bahwa hari berganti saat memasuki maghrib. Tanpa terasa pula, sudah hari ke 6 shaum Syawal, bagi yang melaksanakannya. Tidak mudah memang, melaksanakan shaum saat sebagian besar orang justru sedang berpesa pora merayakan "kemenangan" ....., namun akan terasa mudah bagi mereka yang memang berniat melaksanakannya.

Masyarakat seringkali mengidentikkan Hari Raya Idul Fitri dengna perayaan "kemenangan". Entah kemenangan atas apa.... Memaknai Idul Fitri sebagai kemenangan hanya dikarenakan kita telah menyelesaikan shaum Ramadhan, terasa terlalu naif. Bagaimana mungkin meng "klaim" diri telah meraih kemenangan usai menunaikan 1 bulan penuh shaum Ramadhan, sementara shaum kita sendiri masih jauh dari sempurna. Shaum bukan sekedar hanya menahan lapar dan haus sebagaimana yang lazim diartikan orang. Shaum bermakna lebih jauh dari sekedar menahan lapar dan dahaga.

Bagaimana kita bisa meng "klaim" telah meraih kemenangan, bila selama menjalankan shaum Ramadhan, dalam menapaki hari demi hari selama bulan Ramadhan, kita masih juga, sadar atau tak sadar tetap mengumpat, memaki, bergosip. Masih tetap menyimpan rasa iri, dengki, tidak puas. Pendeknya....., kurang bisa menahan emosi.

Bagaimana kita bisa meng "klaim" telah meraih kemenangan, bila selama menjalankan shaum Ramadhan, belum sepenuhnya mampu menahan diri dari keinginan untuk berlebih-lebihan .... Berlebihan dalam berbelanja untuk kesenangan diri...  Sebut saja yang terjadi setiap hari dilakukan adalah belanja makanan persiapan untuk berbuka. Belanja berlebihan sehingga karenanya, saat maghrib tiba, meja makan akan berlimpah ruah dengan berbagai jenis hidangan. Konon pula berbuka terasa kurang afdol bila tidak tersedia ta'jil..... Makanan pembuka yang manis dan konon ditujukan untuk meningkatkan kadar gula darah yang merosot saat kita melaksanakan shaum. Maka .... demi sebuah "kebiasaan", tersajilah karenanya teh manis atau es sirop yang terkadang masih ditambah dengan kelapa muda, cincau, ketimun suri atau blewah. Tidak cukup itu saja .... ta'jil masih juga ditambah dengan semangkuk kolak pisang, bubur sumsum atau sejenisnya.

Padahal, sudah seringkali dibahas, bahwa cara yang paling baik untuk meningkatkan gula darah seketika yang aman bagi kesehatan adalah berbuka dengan ta'jil ala Rasulullah.... Minum segelas air dan menyantap 3 butir kurma. Lalu dirikan shalat maghrib. Baru setelahnya, kita mulai bersantap sekedarnya .... sekedarnya saja agar masih tersisa ruang gerak untuk melaksanakan shalat tarawih.

Tapi begitulah ...... walau sudah dicontohkan Rasul dan sudah banyak pula kurma dijual orang dalam berbagai jenis, harga dan rasa .... tetap saja kita merasa bahwa berbuka belumlah lengkap bila tidak tersaji es kelapa cincau dan kolak... Alih-alih mendirikan shalat maghrib, perut yang sdah seharian kosong, langsung disuruh bekerja keras dengan jejalan makanan manis pembuka yang tak habis-habisnya. Bahkan seringkali diteruskan dengan makan berat, sehigga badan terasa berat ketika digunakan untuk bersujud pada shalat maghrib yang seringkali dilakukan hampir menjelang adzan Isya.


Bagaimana pula kita masih berani meng "klaim" telah meraih kemenangan dalam memerangi hawa nafsu, bila ketika usai berbuka, alih-alih melaksanakan tarawih berjamaah, kita malah sibuk berbelanja berbagai macam baju persiapan lebaran. Lengkap dengan berbagai ragam perhiasan termasuk tas, sepatu dan selop bermerek seolah pakaian dan selop/sepatu kita hanya tinggal yang melekat di badan saja. Padahal .... di dalam rumah ada satu ruangan yang khusus disediakan untuk menampung seluruh koleksi pakaian lengkap dengan berbagai asesorisnya.

Mungkin akan lebih baik lagi bila belanja tersebut diniatkan untuk menyantuni mereka yang tidak memiliki baju karena telah menjadi korban musibah kebakaran atau banjir...., Atau sekedar membelikan baju bagi mereka yang karena kondisi keuangannya hanya mampu membeli sepotong baju setiap hari lebaran saja... dan tentunya jangan pula dilupakan membelikan pakaian bagi mereka yang sehari-hari telah meringankan tugas kita di rumah,

Bagaimana pula kita masih berani meng "klaim" telah meraih kemenangan saat mendekati akhir bulan Ramadhan, kita malah lebih sibuk mempersiapkan oleh-oleh yang harus dibawa mudik... Atau bagi yang tidak melaksanakan mudik, toh tetap sibuk berbelanja, memesan kue-kue, memasak ketupat dan "rekan-rekannya" dan melupakan lailatul qadar .....

Tetapi........... begitulah ritual yang terjadi dari tahun ke tahun saat Ramadhan datang. Itu sebabnya konsumsi rumah tangga meningkat hebat. Alih-alih mengistirahatkan bagian dalam tubuh dari kerja kerasnya mengolah asupan makanan selama 11 bulan lainnya seraya merasakan penderitaan kaum dhuafa yang tidak mampu menikmati lezatnya makanan, Ramadhan malah membuat kita menjadi lebih konsumtif.

Hidangan makan malam di meja menjadi bertambah ragamnya. Minimal ada tambahan sirop+rekannya seperti kelapa muda, blewah atau cincau ditambah dengan satu jenis kolak. Ini berarti tambahan pengeluaran ....

Bulan Ramadhan bisa juga berkembang menjadi bulan dimana "ajang" pesta berbalut ritual "buka puasa bersama" diselenggarakan. Dari niat menyantuni dan memberi makan kaum dhuafa atau musafir saat berbuka, buka puasa bersama berubah menjadi ajang pesta berbalut kegiatan agama lengkap dengan tausiyah yang diselenggarakan baik di rumah-rumah, kantor dan bahkan di hotel-hotel. Pesertanya terkadang masih mengundang anak-anak yatim piatu dari suatu yayasan rumah Yatim-piatu/dhuafa. Tetapi buka puasa bersama lebih sering diselenggarakan secara eksklusif untuk suatu golongan atau tingkat sosial tertentu. Tampaknya, sekarang Ramadhan menjadi kurang afdol lagi tanpa adanya ritual buka puasa bersama. Maka, selama bulan Ramadhan, dimana-mana .... di antara keluarga, organisasi, kantor dan lainnya selalu dipertanyakan...."Kapan nih kita buat buka puasa bersama...?"

Andai karena kesibukan, kemacetan lalu lintas serta kelelahan telah menghalangi kita untuk melaksanakan tarawih berjamaah di masjid, maka ada baiknya berjamaah di rumah dengan keluarga sambil menanti para pembantu rumah tangga melaksanakan tarawih berjamaah di masjid terdekat. Tentu ada kegembiraan buat mereka untuk sejenak keluar rumah setiap malam selama bulan Ramadhan.

Tentu tidak salah pula kalau kita tidak mengubah pola makan. Ta'jil dengan mengikuti sunah Rasul tentu yang terbaik apalagi kurma beragam jenis dan harga telah tersedia di mana saja. Walaupun itu tidaklah mudah, karena persepsi orang telah membuat kita selalu menyajikan kolak dan berbagai penganan manis sebagai pembuka.


Ini pula yang selalu menjadi bahan "perbedaan pendapat", dengan suami, saat ada kerabat berkunjung ke rumah selama bulan Ramadhan. Meja makan yang steril dari kolak dan es sirop, mungkin membuat mereka kecewa. Padahal .... di meja sudah tersaji kurma jenis deglet nour yang cukup lezat ditambah dengan teh hangat ..... Bukan berarti tidak ada kolak atau es cincau ..... Aku cukup mahfum bahwa para asisten di dapur tentu ingin ada kolak dan sirop. Maka, saat belanja mingguan, kolang-kaling, rumput laut, cincau, blewah, pisang tanduk selalu masuk dalam daftar belanja. Hanya saja.... sajian tersebut jarang mampir ke meja makan ... Assistenku itu rupanya sudah agak hafal, bahwa mangkuk2 kolak itu akan kembali utuh ke dapur. Kalaupun dimakan, hanya sedikit sekali yang tersentuh, hingga akhirnya mereka tidak menyertakannya ke meja makan, kecuali diminta.

Lalu ........., apa yang membedakan Ramadhan dengan bulan lainnya, selain keriuhan tersebut?
Mungkin ada baiknya kita evaluasi kembali apa makna shaum Ramadhan agar Ramadhan mendatang menjadi lebih bermakna. Bukan saja dari segi ritual keagamaan yaitu memperbanyak shalat-shalat sunnah, dzikir dan tadarus tetapi juga implementasinya ke dalam perilaku kehidupan .... Jangan sampai Ramadhan dan Idul Fitri secara perlahan berubah menjadi hanya ritual festive sebagaimana yang terjadi dengan perayaan Natal di berbagai negara Barat. Naudzubillahi min dzalik ............

Jumat, 10 Agustus 2012

AYO,,,,,, KEMBALI BELANJA ke PASAR TRADISIONAL yuk.....!!!

Seperti layaknya masyarakat kota besar terutama mereka yang tumbuh di kelas menengah, sejak awal menikah saya tidak pernah menginjakkan kaki ke pasar tradisional di Indonesia. 

Saat masih kuliah dulu dan tinggal di Slipi, saya masih suka ikut belanja ke pasar tradisional di Grogol, menemani ibu. Kemudian saat tinggal di Kampung Ambon Jakarta Timur, saya selalu belanja ke pasar, yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah. Kebetulan pasar tradisional itu kondisinya lumayan bersih.

Selama 4 tahun pertama setelah menikah dan berkesempatan tinggal di Eropa, saya selalu belanja di pasar tradisional atau pasar kaget di plasa/tempat parkir lingkungan yang sangat bersih dan teratur. Jauh dari citra pasar kumuh seperti yang saya temui di tanah air. Saat itu, selama tinggal di Poitiers, kota kecil sekitar 300 km ke arah tengara dari Paris, minimal setiap hari minggu, sepulang dari pasar, acara dilanjutkan dengan masak-masak bikin gado2 atau soto ayam, dan menyantapnya sambil mengundang satu-satunya bujangan asal Indonesia yang tentunya jarang makan masakan Indonesia.

Acara ke pasar tradisional juga tetap dilanjutkan selama tinggal di Stains. Walau jarak pasar yang kamu kunjungi relatif jauh, yaitu Saint Denis. Namun perjalanan ke sana seminggu sekali, kami nikmati saja. Apalagi saat itu kami bisa memiliki mobil, walaupun penampilannya kumuh, tapi mesinnya masih sangat layak.

Kembali ke Indonesia, kami tinggal di rumah orangtua selama hampir 5 tahun, sambil mengumpulkan uang pembayar uang muka rumah. Belanja ke pasar  tentu dilakukan oleh ibu saya,

Di rumah kami pertama, yaitu saat tinggal di Kemang Pratama, selama 12 tahun saya lebih sering belanja di tukang sayur, setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, atau menitipkan uang kepada pembantu. Satu minggu sekali saya ke pasar swalayan, saat itu ada Goro yang letaknya tidak jauh dari Kemang Pratama, untuk belanja ikan dan daging. Jadi praktis tidak lagi menginjakkan kaki ke pasar tradisional.

Tahun 2000 saat saya kembali tinggal serumah dengan ibu, saya tidak juga kembali ke pasar tradisional. Malas..... Kondisi pasar yang becek dan bau sampah menghilangkan keinginan saya untuk belanja ke sana. Apalagi ibu saya masih cukup kuat untuk belanja ke pasar. Tugas saya paling hanya beli keperluan "kering" di Makro atau Carrefour, belanja bulanan untuk keperluan rumah. Lebih menyenangkan karena bisa dilakukan kapan saja dan yang penting bisa dilakukan bersama dengan anak dan suami. Apalagi, usai belanja bisa nongkrong di food court sambil ngobrol sehingga belanja menjadi acara keluarga.

Masalah timbul saat ibu saya mulai sering jatuh sehingga membahayakan bila beliau harus ke pasar dan naik tangga. Mau tidak mau, saya harus menggantikannya belanja ke pasar. Warung sayur dekat rumah tidak selalu lengkap isinya. Kalau harus ke Carrefour, tidak selamanya saya punya waktu usai pulang kantor, karena seringkali baru tiba di rumah sesudah jam 20.00. Jadi pilhannya mau tidak mau, pasar tradisional di Pondok Labu dengan gunungan sampah yang baunya minta ampun, lengkap dengan lalat hijau yang besarnya juga minta ampun. Untunglah kegiatan ini hanya dilakukan 1 kali seminggu,

Untuk menyiasatinya, saya berbagi dengan pembantu. Saya membeli sayur-mayur, telur dan lain-lain di kios langganan ibu saya, di pasar atas istilah yang digunakan untuk gedung pasar Jaya. Lalu membeli buah-buahan di pinggir jalan. Sedangkan pembantu saya membeli ayam potong (segar), bumbu-bumbu dan lainnya di pasar bawah, kios yang becek dan baunya minta ampun itu. Biasanya sambil menunggu pembantu, saya membeli majalah atau tabloid dan membacanya di tempat parkir.

Lalu mulailah ada permintaan dari ibu untuk membeli kue-kue kecil, semisal cenil, lupis atau lapek bugis. Rutinnya belanja penganan yang sama akhirnya setiap minggu, para penjual langganan itu selalu menghampiri saya dan mengingatkan .... "Bu... jangan lupa lupis/cenilnya... Biasa kan...? Maksudnya biasa jumlah bungkusannya, yaitu 5 buah seharga total 10 ribu.

Atau... si loper koran dan majalah, langsung menghadang saya di tempat parkir dan menaruh 3 sampai 5 buah tabloid untuk dipilih. Lalu pergi lagi menjajakan dagangannya. Sepertinya dia sudah yakin sekali bahwa saya memang akan membeli.

Sungguh, awalnya, saya merasa jengkel dan terganggu dengan ulah mereka. Saya merasa di fait accompli untuk membeli. Pernah sekali saya menolak dengan tegas tawaran mereka. Tapi melihat wajah dan sorot matanya yang menyiratkan kekecewaan.. Ah saya merasa sangat berdosa. Berapalah harga barang yang mereka tawarkan itu? Relatif tidak berarti dibandingkan dengan uang yang harus saya keluarkan untuk 1 kali makan malam di akhir minggu di Mall atau restoran. Kalau saya membelinya, Insya Allah tidak akan membuat saya menjadi jatuh miskin. Namun yang pasti... akan memberikan kegembiraan dan keuntungan bagi penjualnya.
bang Yadi tukang sayur langganan

Memang, akhirnya saya jadi menambah alokasi belanja rutin dengan hal yang tidak terlalu perlu, yaitu pembeli kue2 tradisional dan tabloid. Nilainya memang sangat relatif, tapi dari keuntungan itulah, penjual/pedagang kecil itu menyambung hidup. Saya hanya bisa berharap, semoga niat saya membeli dagangan mereka bisa membantu mereka dan Insya Allah, "keborosan" saya tidak membuat saya menjadi miskin. 

Dari interaksi rutin tersebut dengan para pedagang langganan tersebut, seringkali saya diberi setandan pisang tanduk yang harganya relatif mahal. Menjelang lebaranpun saya mendapat bingkisan kue kampung dari penjual langganan tersebut. Rasanya terharu, dalam kekurangannya mereka masih berpikir untuk menyenangkan para pelanggannya

Rabu, 08 Agustus 2012

BINGKISAN LEBARAN dan NIAT BERBAGI

Beberapa hari yang lalu, sedang asyik memeriksa rancangan dokumen tender,  ada pesan masuk ke dalam blackberry. Dari seseorang. Staff salah satu pemasok di proyek yang saya tangani.

Tanpa basa-basi, dia langsung menuliskan maksudnya ... :
”Bu ........ boleh minta alamat rumahnya, nggak ......?”
”Nggak boleh....!!! jawab saya tanpa basa-basi
”Jangan takut bu ........., saya bukan rampok dan nggak akan ngrampok rumah ibu .....!!” balasnya tidak kalah lugas.
”Hahaha ,,,,,,,,,,, iya, saya percaya kamu nggak akan ngrampok. Saya juga insya Allah, bukan takut dirampok...!!! Saya takut, kamu nanti diutus datang ke rumah untuk memberi sesuatu. Saya yang alhamdulillah sudah hidup berkecukupan, tidak sepantasnya lagi menerima pemberian tetapi sudah selayaknya malah memberi sesuatu kepada orang lain. Jadi .... tolong sampaikan kepada bossmu untuk tidak mengirimkan apapun juga ke rumah saya."
"Baik bu ........, nanti saya sampaikan! Terima kasih ......"

Entah apa yang dipikirkan oleh teman chat saya itu....., namun saya berharap dia tidak berpikir negatif atas jawaban saya. Bukan bermaksud sombong, tetapi hanya mengingatkan saja. Masih banyak orang yang jauh lebih pantas diberi sesuatu, dibandingkan saya.  Sungguh .... di masa akhir bulan Ramadhan ini, saya seringkali merasa sangat risi manakala ada orang yang menanyakan alamat rumah. 

Mungkin saya terlalu berprasangka buruk kepada orang-orang yang menanyakan alamat rumah. Bukan karena saya tidak ingin bersilaturahim, dikunjungi mereka yang menanyakan alamat rumah tersebut. Tetapi .... seperti jawaban yang saya tulis kepada teman chat tersebut, saya merasa pertanyaan tersebut diajukan untuk maksud mengirimkan sesuatu berkenaan dengan perayaan hari raya Idul Fitri. Entah apakah itu berupa kue, parcel atau bunga. Dan saya merasa jengah menerimanya.

Apakah memang saya menolak pemberian tersebut? Rasanya terlalu sombong untuk mengatakan hal tersebut karena tetap ada beberapa relasi yang mengirimkan bingkisan ke rumah karena pengirim memang sangat mengetahui alamat rumah. Misalnya dari bank tempat saya selalu bertransaksi sebagai nasabah atau beberapa rekan yang memang karena hubungan baik selama bertahun-tahun, sudah sangat mengetahui alamat rumah. Kepada mereka saya tidak mungkin menyampaikan keberatan. Saya tidak mengetahui apakah mereka akan mengirim bingkisan atau tidak ... Sepertinya "gede rasa" banget kalau belum apa-apa saya menyatakan keberatan tersebut sementara mereka sama sekali tidak menghubungi saya..... Merasa jadi orang penting sehingga menganggap ada orang yang akan mengirim bingkisan lebaran ke rumah.


Bingkisan lainnya yang biasanya rutin tiba ke rumah dan tidak mungkin ditolak adalah dari instansi tempat suami bekerja. Ini rutin dan nampaknya seluruh dosen, staff dan karyawan memang mendapat bingkisan dari Fakultas/lembaga yang bernaung di bawahnya. Tentu sangat tidak beralasan untuk menolak. Tinggal bagaimana kita memanfaatkan isinya untuk orang-orang yang lebih membutuhkannya saja.
***

Kebiasaan mengirim bingkisan lebaran atau natal, sudah sejak lama terjadi. Semasa belum menikah dan tinggal dengan orangtua, rumah kami selalu "kebanjiran" bingkisan lebaran. Saya sama sekali tidak ingat apa yang dikirim orang ke rumah, saat kami tinggal di Garut dan Karawang pada paruh akhir dekade 1960an. 

Barulah pada awal tahun 1970an, saat kami tinggal di Jambi, saya ingat bingkisan yang datang ke rumah menjelang lebaran, sangatlah khas ... ber dus-dus minuman kaleng seperti coca cola dan seven up selalu memenuhi gudang. Minuman ini akhirnya dijadikan sajian orang yang datang ke rumah saat "open house".

Ayah saya yang saat itu menjabat sebagai kepala cabang salah satu BUMN memang seperti "berkewajiban" menyelenggarakan open house dan open house itu tentu sangat melelahkan bagi penghuni rumah. Seluruh sajian makanan dan kue-kue harus disiapkan sendiri. Masa itu, di Jambi pula.... tidak ada catering yang melayani pesanan makanan untuk lebaran berupa ketupat sayur lengkap dengan rendang, opor, sambal goreng hati, emping dan lainnya. Begitu pula dengan kue-kuean. Maka beberapa hari sebelum hari raya, ibu saya, dibantu oleh ibu-ibu anggota persatuan istri karyawan, akan mulai mencicil masakan yang akan disajikan pada acara open house, termasuk membuat kue lapis dan bolu panggang.

Di Jambi pada awal tahun 1970, juga tidak ada tradisi mengirim bunga, karena memang saat itu bunga segar masih sangat langka. Jadi, kalaupun ada karangan bunga terkirim, maka bunga yang digunakan adalah bunga plastik yang sama sekali tidak terlihat indah. Namun saya yakin kondisi sekarang, pasti sudah banyak berubah.

Masa tinggal di Jambi itulah saat terakhir saya tinggal dengan orangtua. Selanjutnya selama 10 tahun saya hidup terpisah dari orangtua. Tapi saya yakin bingkisan-bingkisan lebaran itu akan setia mengunjungi rumah kediaman orangtua saya. Acara open house dengan segala kesibukan masak-memasaknya tetap berjalan. Yang agak berbeda mungkin saat mereka tinggal di Hongkong pada kurun waktu tahun 1978-1981.
***

Jaman sudah banyak berubah. Rasanya... dan ini khususnya bagi perempuan. Sejak ada majalah Femina untuk wanita dewasa dan majalah Gadis untuk remaja, gaya hidup konsumerisme mulai menyusup pelan-pelan ke dalam kehidupan masyarakat. Publikasi berbagai gaya pakaian, penataan rumah, tata wajah dan lainnya yang dituliskan dalam majalah kian hari kian mencekam kehidupan. Persis dan sangat pas dengan tagline majalah tersebut ... Gaya hidup wanita modern. Sehingga yang tidak mengikutinya seolah menjadi perempuan kuno, konservatif yang tidak cocok hidup di kota besar.

Kebutuhan hidup menjadi semakin meningkat dan kesemuanya pasti memerlukan biaya tambahan. Bersyukurlah mereka yang memiliki gaji cukup untuk memenuhi selera dan gaya hidup "modern". Seperti juga betapa malangnya mereka yang belum mampu lalu "memaksakan diri" sehingga terjerumus melakukan berbagai pelanggaran. Kita semua tentu meyakini bahwa ketidakmampuan kita untuk menahan diri dari godaan hidup hedonis dan materialistislah yang menjadi akar perbuatan korupsi yang semakin hari semakin meruyak.

Bila pada dekade tahun 1960-1970, para pejabat terlihat masih hidup "dalam batas kewajaran", mungkin karena mereka "hanya" menerima apa yang disodorkan dan diiming-imingi oleh mereka yang membutuhkan tandatangan dan fasilitas dari instansi yang dipimpinnya. Mereka tidak atau belum merasa "berhak" untuk meminta bagian keuntungan pengusaha. Namun saat ini ......... sepertinya para pengusaha melihat hampir tidak ada celah lagi untuk menghindar dari upaya sogok menyogok. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam berhubungan dengan aparat .... berlaku slogan "Kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?".... Nah untuk mempermudah apa yang sudah dipersulit, maka harus ada pelicin sehingga hambatannya bisa dilalui....

Begitulah ....., keinginan hidup sesuai dengan "gaya hidup modern" menyebabkan orang tidak segan-segan atau malu-malu lagi mencari peluang untuk menambah pundi-pundinya. Peminta-minta tidak lagi terbatas pada mereka yang miskin harta dan pendidikan sehingga hanya mampu menadahkan tangan kepada mereka yang lewat di hadapannya atau di perempatan jalan hampir di segala penjuru kota. Peminta-minta juga merambah pada kaum berdasi yang menguasai posisi penting yang terutama yang tandatangannya dibutuhkan orang. Tentu permintaannya dilakukan dengan cara yang lebih "elegant dan berkelas". Itu sebabnya muncul istilah lahan/posisi basah di berbagai instansi.

Jadi bagaimana kita menyikapi kiriman bingkisan tersebut? Sejujurnya, saya tidak kontra. Semua tergantung niat dan siapa yang kita kirim, kalau kita berada pada posisi pengirim. Atau kalau kita berada pada posisi penerima, maka hal itu tergantung siapa pengirimnya. Andai pengirimnya adalah teman-teman dekat yang karenanya bingkisan itu tidak dikirim untuk maksud-maksud tertentu kecuali niat menjalin/menjaga tali silaturahim semata, maka dengan senang hati saya menerima dan sedapat mungkin membalasnya. Tentu lain halnya bila bingkisan yang dikirim tersebut ada kaitannya dengan jabatan atau posisi yang kita pegang.
***

Sebagaimana tahun-tahun yang telah berlalu, saya seringkali disodori surat permohonan bantuan THR. Dari mulai loper koran, keamanan/pengurus RT/RW, tukang parkir di tempat saya sering berkunjung dan banyak lagi. Mereka, bisa dikategorikan orang-orang dengan penghasilan terbatas. Gak masalah, kan? Semua tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kalau kita mau berbagi rejeki yang kita miliki dan ikhlas memberinya, ya berikan saja seberapapun angkanya.

”Iya sih..., tapi bukankah kita berbaik sangka saja. Pasti ada alasan yang cukup valid sehingga mereka begitu (meminta-minta). Misalnya karena butuh untuk berbagai keperluan lebaran. Memang, meminta sesuatu pada orang lain, apapun alasannya; hakikatnya ”merendahkan” martabat kita di hadapan yang kita ”mintai” sesuatu. Mungkin, mereka sebetulnya malu melakukannya. Tapi rasa malu itu terpaksa ditelan dalam-dalam karena kebutuhannya untuk memenuhi hajat hidup jauh lebih penting daripada sekedar memegang teguh ”martabat dan harga diri”. Kasihan kan...?!. Di lain pihak, kita wajib memahami bahwa di dalam rejeki kita ada bagian dan hak orang-orang miskin dan fakir. Nah kenapa tidak kita tunaikan saja kewajiban itu. Jangan melihat siapa yang meminta”, jawab saya panjang lebar menanggapi protes salah satu teman.

”Tapi... apa memang mereka itu adalah para mustahik...? Yang wajib diberi bagian dari zakat kita? Jangan lupa lho.... ”para peminta-minta” itu ada di mana-mana. Di kantorku .... satpam yang sudah jelas mendapat THR dari pengelola gedung, toh mulai mengetuk pintu setiap kantor, meminta bagian. Belum lagi para rekanan, bahkan ”pejabat” yang biasa berurusan dengan kantorku, rame-rame ”nagih” bagian. Mana THRnya....??? Begitu katanya. Ini kan konyol.....!!!”, balasnya tak kalah keras.

”Duh ... kamu kok ngotot banget sih...? Anggap saja sedekah ... Nggak ada yang salah, kan?Jangan mempersulit rejeki orang dong... Kasih ajalah, kalo memang ada rejekinya...!” Kenyataannya, sebagian masyarakat kita memang belum terdidik dengan baik. Pemahaman agamapun masih sebatas ritual–seremonial. Untuk mengubahnya perlu waktu yang panjang. Kita lakukan saja apa yang kita anggap baik. Tapi juga nggak perlu ngotot gitu ah.”

”Sebel aja... Coba deh bayangin... aku punya milis, saat ada bencana di Madura, kami buka dompet sumbangan kebetulan di bulan puasa. Waduh… dalam sekejap terkumpul belasan juta rupiah. Eh… pas ada bencana lain yang terjadi bukan di bulan Ramadhan, dompet yang dibuka, cuma terisi ratusan ribu. Konyol kan?! Padahal kalo mau sedekah, kan nggak mesti ngeliat-liat bulan. Yang penting keikhlasan”.

“Setuju, tapi kalau pemahamannya memang masih sebatas itu? Dengar saja di setiap pengajian dan khotbah. Selalu ditonjolkan bahwa ibadah di bulan Ramadhan akan mendapatkan pahala berlimpah. Makanya, semua orang berebut mendapatkan pahala yang besar. Jadi, biarlah, kalo memang pemahamannya masih begitu. Minimal, mereka sudah mau meringankan tangan dan hati untuk berbuat baik, mengeluarkan hartanya untuk zakat, infaq dan sedekah. Walaupun itu dilakukan setahun sekali. Soal pahala, itu bukan urusan ustadz atau khatib. Allah SWT yang Maha Menghitung. Dia tidak buta akan apa yang kita lakukan. Termasuk juga niat yang ada di dalam hati kita. Udah ah, kamu kok ngomel terus dari tadi. Ntar pahala puasanya hilang lho...!!!”

”Tapi.... itu kan nggak mendidik. Harusnya kita tidak boleh selalu berada di ”bawah”, meminta-minta kepada orang lain. Apalagi saat lebaran, itu kan tujuannya konsumtif...!”, sergahnya, menyikapi kembali surat yang diajukan tukang parkir di tempat kursus.

Pembicaraan kemudian terputus begitu saja. Kalau belum puas, temanku yang satu itu akan menyambung pembicaraan pada hari sabtu kemudian, saat kami biasa bertemu.
***

Fenomena zakat–infaq–sadaqoh, sebagai sarana berbagi rejeki selalu ramai diperbincangkan orang setiap bulan Ramadhan. Apa yang dikeluhkan temanku Yudi memang tidak juga dapat disalahkan. Persepsi kita mengenai zakat–infaq–sadaqoh memang berbeda satu sama lain. Ada yang menganggap bahwa kesemuanya, terutama zakat, akan lebih afdol bila ditunaikan setelah nisabnya tercapai dan dibayarkan selama Ramadhan agar mendapat pahala berlimpah. Ada juga yang menyelesaikannya sesegera mungkin. Tidak lagi berhitung-hitung soal nisab atau pahala yang diperoleh sebagai imbalan atas ditunaikannya kewajiban berzakat. Bagi mereka, lebih penting menunaikan kewajiban secepatnya karena pahala adalah hak prerogatif Allah yang tidak ada seorang manusiapun mampu memahami kriteria sesungguhnya yang diterapkan Allah untuk menghitung pahala umat manusia.

Begitu juga mengenai kriteria mustahik. Tentu akan panjang pula perdebatan mengenai siapa yang berhak atau tidak. Daripada berlama-lama berhitung-hitung, kenapa tidak disederhanakan saja polanya .... Prinsipnya ... kalau ada orang meminta sesuatu kepada kita; itu adalah ujian dari Allah SWT kepada kita. Kita disodorkan kesempatan untuk ”meraih pahala”. Akan diambilkah kesempatan itu, atau kita biarkan saja ”kesempatan meraih pahala” itu berlalu dari hadapan kita. Soal apakah dia berhak menerima zakat, infaq atau sadaqah ... serahkan saja kepada Allah SWT. Para pemberi infaq-sadaqah yang ikhlas, tidak akan pernah merugi.

Suami saya lebih ekstrim lagi, setiap saat saya mau berkomentar tentang "peminta-minta". dia akan langsung menghardik;
"Kalau kamu nggak ikhlas memberi, jangan berdalih untuk "mendidik masyarakat". Yang mereka butuhkan saat ini adalah uang untuk hidup. Bukan pendidikan yang memakan jangka panjang. Kesadaran untuk tidak meminta-minta, Insya Allah akan datang saat kebutuhan materi mereka tercukupi. Atau berbuatlah sesuatu yang nyata agar mereka tidak perlu meminta-minta sepanjang waktu. Nah kalau belum mampu berbuat sesuatu yang nyata, berikan saja kebutuhan jangka pendek mereka. Begitu lebih baik, daripada cuma ngomong".

Memang dalam buku-buku sering ditulis siapa saja yang dapat digolongkan sebagai orang-orang yang berhak menerima zakat, infaq atau sadaqah. Jadi kalau ada orang yang kita anggap bukan mustahik tetapi masih suka meminta... Mungkin karena secara fisik, dia sudah menyandang predikat pemberi zakat – infaq – sadaqoh tetapi jiwanya masih sebagai mustahik. Masih merasa berhak "disantuni" orang lain. Jadi... kasihanilah mereka ... Jangan bebani jiwa kita dengan segala prasangka. Insya Allah, hati kita akan merasa lebih ringan dan ikhlas memberi. Minimal kalo belum bisa memberi, nggak perlu nggrendeng di belakang, gitu...!!! Supaya pahala puasanya nggak berkurang. Setuju, kan...?

Selasa, 07 Agustus 2012

Ramadhan Jadul - Persiapan Lebaran

Puasa di paruh pertama tahun 1960an dalam ingatan saya kegembiraan yang “suram”. Gembira karena kami semua menikmati libur panjang hampir selama 1,5 bulan. Dengan demikian, selama satu bulan penuh, sambil menunggu orangtua menunaikan shalat tarawih, anak-anak bisa bermain di halaman rumah atau bahkan di tengah jalanan yang memang masih sepi dari kendaraan bermotor.
Namun, tidak bisa dipungkiri, kehidupan masa itu memang suram. Konon ekonomi Indonesia memang sudah menunjukkan arah kebangkrutan yang di kemudian hari baru saya tahu disebabkan oleh proyek-proyek yang disebut golongan Orba sebagai proyek mercusuarnya Bung Karno. Namun di balik pengetahuan anak usia SD kelas 2 – 4, saat itu, saya hanya mengenangkannya melalui beberapa peristiwa sehari-hari.
Saat itu, Indonesia memang sedang memasuki periode konfrontasi dengan Malaysia. Coretan-coretan anti Malaysia seperti “Ganyang Malaysia”, Malaysia boneka Inggris atau Malaysia antek Inggris bertebaran dimana-mana. Pada malam hari yang temaram, seringkali tiba-tiba terdengar bunyi sirine yang dibarengi denganpemadaman lampu. Kalau sudah begini, maka anak-anak wajib masuk ke kolong tempat tidur atau dimana saja mencari perlindungan. Ini dinamakan latihan bila ada serangan udara pada malam hari.
Bukan hanya konfrontasi saja yang menyebabkan kehidupan menjadi suram. Kesulitan ekonomi negara tercermin dari berbagai "fasilitas" yang biasa diperoleh para pegawai. Entah karena ekonomi Indonesia menganut gaya sosialis, saya hanya ingat bahwa setiap bulan selalu ada pembagian beras dari kantor dan setahun sekali saya ditugasi ibu untuk antri mengambil jatah kain/bahan baju. 
Pernah pada bulan-bulan tertentu, ayah saya membawa sekarung jagung pecah jatah pembagian kantor untuk makan kami serumah sebagai pengganti beras. Maka, hari-hari kemudian, selama sebulan kami akan menyantap nasi jagung tersebut. Di lain waktu, ayah membawa sekarung bulgur yang berwarna kecoklatan. Bagaimana rasanya…? Jujur saja, saya sudah lupa bagaimana rasa bulgur. Kalau rasa jagung, tentu masih tahu karena sampai saat ini saya masih sering dan suka menyantap cenil lengkap dengan getuk dan jagungnya. Apalagi perkedel jagung manis merupakan salah satu santapan kesukaan saya. Namun demikian, berbagai kesuraman itu tidaklah menyurutkan minat masyarakat untuk merayakan Idul Fitri dengan sebaik-baiknya.
Nah bagaimana masyarakat Betawi mempersiapkan lebaran? 
Pada paruh kedua bulan puasa, ibu-ibu mulai mempersiapkan kue lebaran. Semua memang harus disiapkan sendiri, karena toko kue belum umum. Andaikan ada, maka hanya orang-orang kayalah yang mempu membelinya. 
Umumnya mereka membuat kue semprit atau nastar. Kalau nastar, tahu kan? Itu lho, kue kering umumnya berbentuk bulat kelereng yang isinya selai nanas. Ada juga yang berbentuk bulat panjang seperti biji kenari. Membuatnya agak repot, karena kita harus terlebih dahulu menyiapkan dan membuat selai nanas. Kastengel…? Aduh… jauh deh… itu makanan orang kaya, karena keju sudah pasti sukar diperoleh.
Kalau kue semprit, ada nggak yang tahu benda seperti apa itu? Sekarang kue semprit disebut cookies terbuat dari adonan tepung mentega, telur dan gula. Kenapa disebut semprit? Karena untuk mencetak kue, adonan dimasukkan ke dalam contong kertas minyak yang ujungnya sudah disisipkan corong kecil yang ujungnya berlubang. Ada yang lubangnya datar, ada juga yang bergerigi. Kalau contong sudah terisi sekitar ½nya, maka ujung kertas akan dipelintir dan didorong agar kue keluar dari corong. Itu sebabnya disebut semprit. Mungkin diimaginasikan seperti saat kita meniup sempritan/peluit.
Corong yang lubang datar akan membentuk kue yang lurus-lurus saja, sedang corong bergerigi akan mengeluarkan adonan bergelombang seperti helai bunga. Lalu bagian tengahnya diberi bulatan kecil, biasanya adonan yang diberi coklat. Karena saat itu belum ada mixer, maka suara kopyokan telur ramai bersahut-sahutan dari rumah kerumah membentuk simpony indah khas ramadhan di perkampungan. Kadang-kadang ada beberapa tetangga yang saling bergotong-royong saling menyumbang bagian bahan kue yang dimiliknya, lalu memasaknya bersama untuk kemudian dibagikan.
Nenek saya yang keturunan Sunda-Betawi, selalu membuat geplak, kue satu khas betawi dan kue lapis legit selain tape ketan dan uli. Makanan buatan nenek saya itu legit dan enak sekali. Apalagi tape ketan dan ulinya. Duh, rasanya sampai sekarang saya belum pernah menemukan tape ketan selezat buatannya.. Selain itu ada penganan bernama geplak. Geplak adalah makanan kesukaan nenek saya. Jadi lebaran ibarat tidak bermakna tanpa geplak. Di luar lebaran, beliau seringkali membuatnya. 
Tahukan anda apakah geplak itu? 
Makanan ini dibuat dari bahan tepung beras dan kelapa parut yang disangrai, lalu dimasukkan ke dalam cairan gula merah atau biasa disebut kinca. Diaduk secukupnya dengan porsi tepung beras yang sangat banyak sehingga membentuk adonan basah sekedarnya dan bisa dipipihkan. Sudah… begitu saja. Sederhana sekali pembuatannya. Tapi, walaupun sederhana, persiapannya cukup lama karena kita harus membuat sendiri tepung beras. Saya lebih suka makan tepung beras yang sudah tercampur kelapa parut itu lalu ditambahkan gula pasir. Ini disebut sagon. Enak lho…, karena bahan-bahannya alami dan tepung berasnyapun masih baru. Yang mengagumkan ... walau usia beliau sudah cukup lanjut, menumbuk beras hingga menjadi tepung beras, dilakukannya sendiri. Bukan karena terlalu rajin, tetapi jangan bayangkan suasana pasar seperti masa kini dimana semua serba ada. Pada tahun 1960an, semua harus dikerjakan sendiri dan beruntunglah, bahwa karenanya semua bahan makanan dan kue2an masih alami, tanpa bantuan bahan kimiawi yang banyak digunakan saat ini.
Ibu saya, biasanya sibuk menjahit. Beliau memang bisa menjahit baju perempuan. Jadi semua baju anak-anaknya adalah buatannya. Apalagi, pada saat itu industri pakaian jadi masih sangat terbatas. Jarang orang membeli baju jadi. Department Store belum menjamur. Hanya ada Toko Matahari di Pasar Baru .. cikal bakal Matahari Department Store yang kita kenal sekarang dan satunya toko Mickey Mouse. Jadi hanya berbentuk toko biasa.

Bahan pakaian, seperti juga beras, berasal dari penukaran kupon. Sayang, saya nggak tahu bagaimana ayah saya memperoleh kupon tersebut. Apakah pembagian kantor atau membelinya. Bisa jadi itu adalah jatah pegawai BUMN, karena ayah saya bekerja di salah satu BUMN keuangan. Bahan pakaian pembagian itu, biasanya bisa dibuat baju untuk semua anak-anaknya. Jadi jangan heran kalau pada saat lebaran kami sekeluarga memakai baju seragam. Bukan karena disengaja seperti sekarang, tetapi jaman itu, lebih dikarenakan itulah kemampuan yang dimiliki setiap keluarga.
Saya dan adik-adik hanya bisa memiliki baju dan sepatu baru saat lebaran. Biasanya ibu saya akan menjahitkan 3 buah rok seragam dengan adik-adik. Bukan hanya seragam motifnya tetapi juga modelnya. Sepatu selalu beli di Pasar Baru. Ada satu toko sepatu kulit yang sangat terkenal. Modelnya bagus dan kualitasnya prima. Rasanya, semua orang di Jakarta kenal dengan toko SIN LIE SENG. 

Begitulah berlangsung hingga saya duduk di bangku kelas 6 SD, saat saya mulai melakukan protes-protes kecil agar tidak dibuat seragam lagi. Saat itulah ibu saya mulai membedakan warna dan model baju namun bahannya tetap sama untuk menghindari rasa iri di antara kami.
Sementara itu, ayah saya akan mengecat rumah kami yang setengah tembok dengan kapur sepulang kerja dan terutama di akhir minggu. Saat itu, jam kantor memang hanya sampai jam 14.00 dan karena kendaraan di Jakarta masih sangat langka, maka jarak tempuh dari kantor, cukup dijalani dalam waktu 30 menit saja dengan naik sepeda onthel. Kelak sesudahnya, jarak tempuh itu menjadi lebih pendek saat ayah saya mendapat fasilitas mobil impala yang luar biasa lebar...
Begitulah cara kami dan sebagian besar masyarakat Jakarta yang saat itu masih menjadi the big village, menyiapkan lebaran. Mungkin saat itu sudah terjadi perbedaan kelas sosial, sama seperti sekarang. Ada jurang pemisah antara kaum berpunya dan kaum proletar. Namun keterbatasan media informasi dan komunikasi menyebabkan dunia kami terbatas pada lingkungan kecil saja. Jauh dari hiruk pikuk.

Beruntungkah…? Entahlah! Setiap jaman memiliki problematikanya sendiri dan saya merasa kenikmatan menjalankan puasa pada masa kecil dulu, jauh lebih bermakna daripada apa yang dialami anak saya sekarang.

Minggu, 05 Agustus 2012

Ramadhan Jadul


Ini cerita Ramadhan di Jakarta, pada awal tahun 60 an, sebelum coup d'etat tahun 1965. Jakarta masih sejuk, pepohonan, kebun sayur dan bahkan sawah masih mudah ditemui di beberapa tempat di Jakarta terutama di bagian pinggir. 

Nah .... pinggir kota Jakarta di awal tahun 60an, bukanlah semisal Ciputat, Cibubur atau Kosambi. Wilayah yang disebut kota Jakarta, bila memakai referensi kondisi sekarang, adalah wilayah yang berada di dalam jalan tol dalam kota. Di luar itu, semisal Kebayoran Baru, Rawamangun, Slipi dan lainnya, sudah termasuk wilayah pinggiran.

Jadi, jangan heran kalau di wilayah Kuningan yang megah ini, Rawamangun, Kelapa Gading, Tomang, Kedoya dan lainnya masih berupa sawah masih berupa sawah atau rawa, Jangan bayangkankan keberadaan shopping mall yang modern, bus kotapun belum beroperasi. Kendaraan angkutan umum yang biasa digunakan warga kota hanya oplet dan becak. Selebihnya, masyarakat lebih sering berjalan kaki saja. toh jalan raya juga masih sepi dan teduh. Siaran TVRI hitam putih yang beroperasi mulai tahun 1963, baru memulai acaranya jam 18.00. itupun hanya beberapa jam saja.

Walaupun masih jadoel banget, Ramadhan, dulu sebutan Ramadhan dan segala yang berbau bahasa Arab belum lazim digunakan ... Jadi orang lebih sering menggunakan istilah bulan puasa, merupakan bulan yang ditunggu-tunggu anak sekolah. 

Ayo tebak, kenapa.....?
Karena selama bulan puasa, yang berarti satu bulan penuh,  sekolah tutup dan anak-anak mendapat libur lebih dari satu bulan. Walaupun begitu, Jakarta yang sepi tidak bertambah sepi seperti hari-hari lebaran jaman sekarang. Istilah mudik, belum dikenal orang secara luas, karena Jakarta betul-betul hanya dihuni oleh orang Jakarta/Betawi. Kalaupun ada masyarakat yang berasal dari Jawa, Sumatera atau pulau-pulau lainnya, itupun terbatas pada kaum intelektual. 

Kecuali orang yang berasal dari Jawa, orang yang berasal dari Sumatera atau pulau lainnya, sepengetahuan saya tidak mengenal tradisi mudik. Kan pameo "Mangan ora mangan, Kumpul" hanya dikenal oleh masyarakat yang berasal dari Jawa saja.

Nah,sebelum balik ke bulan puasa lagi, saya mau cerita dulu keadaan kami ya...,
Dulu, saya tinggal di rumah nenek di bilangan Kayumanis I. Bapak saya anak satu-satunya yang hidup hingga berkeluarga dan beranak pinak dari 14 orang anak nenek saya. Rumah nenek saya termasuk rumah yang paling besar di lingkungannya. Halamannya luas (dilihat dari perspektif anak kecil). Ada 2 batang pohon rambutan yang selalu ramai ditunggu orang kampung untuk berbagi saat dipanen. Ada pohon jambu air, yang selalu saya panjat sepulang sekolah, pohon jeruk bali dan pohon mangga di belakang rumah, dekat sumur timba.

Rumah yang besar itu ditinggali kami bersembilan termasuk nenek. Bapak saya punya anak 6 orang. Rumah bergaya betawi itu memiliki 3 buah kamar. Sebagaimana lazimnya rumah betawi... selalu ada teras selebar rumah tempat bertenggernya dua set kursi tamu. Disinilah tempat pemilik rumah menerima tamu. 

Masuk ke dalam, ada ruang yang sama besar dan sama lebar dengan teras. Disini juga ada dua set sofa jadoel. Di ruang ini, saya dan anak-anak kampung kami biasa nonton tv. Waktu itu di kampung kami hanya ada beberapa gelintir rumah saja yang memiliki tv.

Lalu ada lorong menuju dapur, dimana kiri kanannya ada kamar tidur berderetan, lalu ruang makan dan dapur. Kalau rumah induk menggunakan lantai semen berwarna abu-abu kehijauan dengan border kuning, maka dapur yang letaknya lebih rendah dari rumah induk hanya berlantaikan tanah yang diperkeras.

Jaman dulu, dapur, kamar mandi dan sumur memang diletakkan di belakang rumah. Bagian rumah ini dianggap kotor jadi tidak lazim diletakkan di bagian depan seperti rumah-rumah jaman sekarang. 

Di dapur ada tempayan yang selalu diisi air sumur yang jernih dan dingin. Nenek saya biasa minum air tempayan yang segar itu, langsung tanpa dimasak dulu. Kami juga menyimpan air minum di dalam kendi. Segar alamiah.

Selama bulan puasa, selalu ada tetangga yang mendadak berjualan kolak atau asinan betawi. Asinannya khas, pakai daun tikim dan kuahnya bukan kuah kacang seperti asinan yang kita kenal sekarang. Jadi bentuknya dan rasanya,  lebih seperti asinan Bogor.

Depot es selalu ramai oleh orang yang membeli es-sirop. Biasanya anak-anak membawa rantang untuk membelinya. Biasanya penjual akan menuangkan sekitar 1/10 isi botol sirop (biasanya berwarna merah atau hijau), lalu diberi es batu. Nanti di rumah baru ditambah air. Jaman itu belum banyak orang yang memiliki kulkas. Hanya orang-orang kaya saja yang memilikinya. Siropnya juga belum memiliki macam-macam rasa seperti sirop sekarang.

Nah, kalau bulan puasa, anak-anak tetangga tidak bisa menonton tv di rumah. Ruang yang biasa kami gunakan untuk nonton tv sudah dibersihkan dari meja dan kursi. Berganti dengan lembaran tikar pandan yang lembut dan harum. Entah sejak kapan, rumah kami memang selalu digunakan sebagai tempat shalat tarawih bagi perempuan kampung kami. Imamnya nenek saya bergantian dengan mak Khadijah yang biasa kami panggil mak Dije atau mak Odah (Saodah) guru mengaji di kampung. Jadi selama bulan puasa, kami kuga libur mengaji.

Anak-anak seumuran saya (kelas 2 - 3 SD) biasanya hanya ikut-ikutan satu dua rakaat sambil cekikikan di shaf paling belakang.  Sesudahnya, biasanya kami keluar rumah, bermain di halaman. Biasanya main galasin, ular naga atau petak umpet hingga para ibu selesai tarawih. Mainan yang pasti sudah tidak dikenal anak2 di abad ke 21 ini.  Seru, rame....Itulah permainan yang sangat mengandalkan dan mengembangkan keterampilan motorik anak-anak. Sekaligus juga mengembangkan hubungan sosial. 

Malam-malam pada bulan puasa di kampung-kampung selalu ramai dengan anak-anak yang bermain, apalagi karena anak sekolah libur selama sebulan penuh. Entah bagaimana kesenangan anak lelaki di mushala. Oh ya, istilah mushola juga baru sekarang saja populer. Dulu kami biasa menyebutkan sebagai Langgar, atau kalau di Sumatera Barat disebut surau.

Yang paling menyenangkan adalah saat Nuzulul Qur'an, karena sebagian ibu-ibu yang melaksanakan Shalat Tarawih akan membawa kue-kue untuk disantap bersama usai shalat. Karena, mereka shalat di rumah kami, maka saya akan sering bolak-balik ruang makan untuk "mencuri" kue dan dibagikan kepada teman-teman yang sudah menunggu di depan rumah. 

Pada malam-malam di bulan Ramadhan itu juga banyak pedagang keliling. Yang paling ditunggu adalah pedagang es krim. Es puter sebetulnya, karena dibuat dari santan. Di jualnya dalam angkring dan yang sangat khas, gelas sajinya adalah gelas berkaki dari plastik bening. Rasanya enak lho. 

Selain pedagang es krim, ada pedagang rebusan, yang dijual adalah kacang, ubi, singkong jagung dan pisang rebus, masih di letakkan pada dandang berisi air panas. Jadi masih ngebul hangat. Yang namanya Fried Chicken, aduh jauh deh.... Makanan cepat saji ala Amerika itu baru masuk ke Indonesia pada tahun 1980 an. Kebanyakan masyarakat jaman itu, hanya makan ayam (opor atau semur ayam) setahun sekali, ya saat lebaran saja. 

Mie baso juga belum dikenal umum. Kalaupun ada yang menjual, masyarakat Betawi tradisional tidak akan pernah membelinya. Itu makanan khas etnis Cina.... Bakso atau ba' dikonotasikan dengan babi. Ya jadi, haramlah dia. Padahal konon kabarnya baso tidak mungkin dibuat dari daging babi yang sangat berlemak walau kuah kaldunya sangat mungkin dibuat dari kaldu babi sehingga gurih berminyak.

Begitulah suasana Ramadhan di tahun 1960an. Nuansa liburannya kental sekali. Penuh dengan keceriaan. Jangan bayangkan adanya perampokan atau pengemis  berkeliaran. Jaman itu .... tidaklah sebagaimana jaman sekarang. Jangan juga membayangkan adanya ritual bukan puasa bersama atau sahur on the road. Ekonomi Indonesia memang masih suram... Namun kesuraman itu tidak terlalu mencolok karena perbedaan status sosial masyarakat tidaklah mencolok sebagaimana yang kita lihat saat ini.

Nanti ya, saya cerita lagi tentang lebaran jadoel dan persiapannya

Jumat, 03 Agustus 2012

RITUAL BULAN RAMADHAN

sudah 2 minggu umat Islam menjalankan ibadah shaum. Menahan lapar dan haus di siang hari. Di malam hari, usai berbuka pada waktu maghrib, masih kegiatan ibadah dilanjutkan dengan shalat tarawih 11 atau 21 rakaat. Begitulah rutinitas yang harus dijalankan hingga akhir Ramadhan yang, untuk golongan Muhamadiyah, akan berakhir pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus yang akan datang. Pimpinan Pusat Muhamadiyah, jauh-jauh hari, memang telah mengumumkan bahwa mereka menetapkan Hari Raya Idul Fitri akan jatuh pada hari Minggu 19 Agustus 2012 yang akan datang. Sementara pemerintah Indonesia belum menetapkan kapan hari raya Idul Fitri. Seperti biasanya, pemerintah baru akan mengumumkan hasil sidang isbat mengenai penentuan jatuhnya hari raya Idul Fitri,  setelah adanya rukyatul hilal terlebih dahulu.

Ada yang khas selama bulan Ramadhan ini. Jam kantor umumnya akan berakhir 1 jam lebih cepat sehingga jalan raya akan mulai padat sekitar 15 menit kemudian. Hal lain yang khas adalah... waktu tempuh perjalanan pulang menjadi lebih panjang. Berbeda dengan bulan lainnya, dimana seringkali pekerja kantor meneruskan jam kerjanya minimal hingga usai menunaikan shalat maghrib, maka pada bulan Ramadhan, orang justru berlomba tiba di rumah sebelum maghrib. Buat saya sendiri, bulan Ramadhan akan menyebabkan waktu tempuh perjalanan pulang dari kantor ke rumah menjadi dua kali lipat.

Hal lain yang khas adalah, munculnya pedagang dadakan dengan modal meja dan kursi yang menjajakan penganan wajib untuk berbuka puasa, yaitu aneka kolak yang sudah dikemas dalam gelas-gelas plastik. Padahal sudah seringkali dibahas dalam bincang-bincang kesehatan, bahwa asupan manis pada saat berbuka yang berasal dari gula, justru sangat tidak baik bagi pencernaan. Yang dianjurkan adalah asupan makanan dengan "kandungan gula" tinggi yang berasal dari buah-buahan. Terutama dan sesuai dengan kebiasaan Rasulullah SAW adalah menyantap 3 butir kurma yang akan segera meningkatkan kadar gula darah. Kandungan gula yang berasal dari pemanis buatan (kolak dan sejenisnya) justru sukar dicerna.

Nah.... berbicara lebih lanjut tentang ritual berbuka puasa, selain "wajib" ada kolak .... konon juga selalu dihidangkan air sirop, yang kadang dilengkapi dengan blewah, cincau, selasih atau bahan-bahan lainnya. Dengan adanya makanan/minuman tambahan itulah, maka wajar saja bila pengeluaran rumah tangga selama bulan Ramadhan menjadi membengkak.

Disamping membengkaknya pengeluaran rumah tangga, yang tidak kalah hebohnya adalah ritual buka puasa bersama .... Andai saja buka puasa bersama itu dalam artian masyarakat yang berkelebihan menyantuni kaum dhuafa agar mereka bisa mencicipi makanan yang lebih nikmat, walau hanya 1 kali setahun. Maka hal ini tentu lebih dianjurkan bagi siapapun yang memiliki kelebihan harta.

Ternyata, ritual buka puasa bersama menjangkiti hampir semua orang, semua kantor. Sepertinya, Ramadhan tidak lengkap bila tidak ada acara buka puasa bersama. Maka ... hampir setiap kantor akan meluangkan waktu untuk menyelenggarakan acara buka puasa bersama ... Belum lagi kelompok-kelompok alumni sekolah, SD, SMP, SMA hingga universitas. Ditambah lagi dengan organisasi sosial yang diikuti, perkumpulan arisan ...., segala macam. Sepertinya, kita menjadi merasa berkewajiban menyelenggarakan acara buka puasa bersama,

Alhasil .... tinggallah anak2 di rumah, berbuka hanya ditemani pembantu rumah. Masih beruntung bila anak-anak bisa ditemani kakek+neneknya. Minimal masih ada anggota keluarga dekat yang menemani.

Ramadhan yang seharusnya menjadi waktu dan kesempatan untuk beribadah serta mempererat hubungan orangtua-anak yang di hari biasa dipenuhi kesibukan masing-masing, menjadi sirna. Kesempatan buka puasa dan tarawih bersama keluargapun tak sempat lagi dijalani. Padahal itulah kesempatan intens yang seharusnya bisa dilaksanakan setiap keluarga setelah selama 11 bulan lainnya orangtua maupun anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Makan bersama di kantor, tentu sering dilakukan, bahkan di bulan Ramadhan sekalipun. Terutama bila rapat penting terpaksa dilanjutkan hingga malam hari. Makan dan pertemuan kelompok arisan, reuni dan acara makan lainnyapun kerap dilakukan di 11 bulan lainnya. Jadi andaipun  kegiatan tersebut absen selama bulan Ramadhan, tentu tidaklah mengapa.

Tetapi... begitulah! Kita kemudian menjadi berlebihan dalam menjalani ritual bulan Ramadhan. Bukan berlebihan dalam menjalankan ibadah. Tetapi ternyata, berlebihan dalam hal kegiatan duniawinya ...

Tarawih sering terlupa karena kita sudah lelah tatkala tiba di rumah, usai berbuka di restoran atau Mall dimana tidak dimungkinkan terlaksananya shalat Tarawih. Acara buka puasa bersama di kantorpun, belum tentu dilanjutkan dengan shalat tarawih .... Pada akhir minggu, acarapun bertambah dengan ritual tawaf dari department Store yang satu ke dep store yang lain ... dari Mall satu ke Mall yang lain .... Mencari baju baru, perlengkapan rumah tangga yang baru guna memeriahkan hari Raya Idul Fitri. Padahal ...... percayalah...., tanpa harus membeli baju baru atau perlengkapan rumah yang baru sekalipun, apa yang mereka miliki di dalam lemari di rumahpun pasti masih cukup pantas dan sangat layak untuk digunakan, tanpa seorangpun tahu bahwa yang dipakainya bukanlah baju baru.

Maka ............, jangan heran kalau kelak Ibadah Shaum kemudian menjadi lebih condong kepada seremonial tahunan daripada ajang mendekatkan diri kepada sang Khalik .... Sebagaimana masyarakat di Eropa yang sudah kehilangan makna perayaan Natal, bukan tidak mungkin bila suatu saat Hari Raya Idul Fitri akan kehilangan makna ibadahnya dan berganti hanya sebagai ritual seremonial tahunan untuk pulang kampung dan berpesta pora.

Naudzubillahi min dzalik .... Semoga Allah SWT tidak bosan-bosannya mengingatkan umat manusia yang lalai ini.....



BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...