Senin, 11 Maret 2013

PESTA PERNIKAHAN


pengantin ondel-ondel

Kemarin, Minggu 10 Maret 2013 setelah beberapa bulan “mengharamkan” hadir dalam acara apapun juga yang diselenggarakan oleh siapapun pada hari minggu sore, maka aku dengan suami dan anak hadir dalam undangan acara resepsi pernikahan yang diselenggarakan di Bhirawa Assembly Hall–Hotel Bidakara. 

Istilah “mengharamkan” mungkin agak berlebihan ya … Istilah itu diambil karena minggu sore adalah jadwal antar anakku kembali masuk asrama. Kebetulan anakku tidak harus kembali ke asrama sore itu. Kalau bukan karena alasan yang sangat urgent, maka sebisanya kami berdua yang mengantarkannya ke asrama. Agar dia tidak merasa menjadi “anak terbuang”.

Melihat lokasi tempat berlangsungnya acara resepsi pernikahan tersebut, sudah terbayangkan bagaimana suasana yang akan tercipta di sana. Pasti ramai seperti “pasar”. Segala macam orang tumplek blek di sana. Apalagi ditambah dengan panjangnya waktu acara, selama 3 jam, dari biasanya hanya 2 jam dan jabatan yang disandang ibu mempelai perempuan …. Pasti yang diundang … kalau mungkin, seluruh pejabat dan pengusaha yang ada di lingkungan provinsi DKI Jakarta.

Mengantisipasi kemungkinan “antrian panjang”, maka kami baru keluar rumah sekitar jam 19.30 dengan perkiraan akan tiba di lokasi acara 1 jam kemudian. Dengan demikian kami berharap antriannya sudah sedikit menipis. Konyolnya, entah apa yang terjadi, akhir minggu kemarin, hampir seluruh ruas jalan yang terpantau dari lewatmana.com relatif “kosong”. Begitu juga dengan perjalanan kami tersebut kemarin. Hanya tersendat menjelang masuk ke area Hotel Bidakara. Ini bisa dimaklumi dan sudah diprediksi sejak awal.

Karena tidak menggunakan jasa supir … (ini yang seringkali dikeluhkan suami, karena saya alergi dengan keberadaan supir di tengah kami), kami sudah mulai merasakan ketidaknyamanan saat mulai memasuki tempat parkir …. Harus berputar panjang. Nggak kebagian tempat dan kemudian diarahkan menuju basement 2. Mungkin melihat tongkrongan mobil yang kami gunakan “agak keren”, penjaga area parkir lalu berbaik hati mencarikan tempat parkir yang “nyaman”. Tidak terlalu jauh dari lift lobby yang langsung membawa kami menuju Bhirawa Hall ….. (aduh …. Ternyata dimata penjaga area parkir, merek/jenis mobil jauh lebih berharga dari manusia ya?).

Maka ….. naiklah kami menuju Bhirawa Hall dan tiba tidak jauh dari pre function area, tempat dimana buku tamu dan souvenir + Photo booth berada. Ada trend baru rupanya pada pesta–pesta pernikahan sekarang, yaitu dibuat photo booth dimana para tamu bisa membuat photo dengan latar belakang sesuai dengan thema acara pernikahan tersebut. Mengantisipasi kecenderungan masa kini untuk mengunggah foto seluruh aktifitas ke jaring sosial terutama facebook.

Oupfs…… ternyata, perjalanan panjang kami belum selesai. Kami kemudian terhadang oleh antrian tamu yang juga baru tiba. Tidak ada celah yang bisa dilalui untuk masuk ke dalam ruangan utama, untuk mencicipi hidangan terlebih dulu, sambil menunggu antrian yang panjang mengular tersebut menipis. Cuma ada satu pintu yang dijaga oleh, terkaan saya, para abang–none Jakarta. Maklum …. Ibu mempelai perempuan dan mempelai lelaki adalah jebolan abang–none Jakarta …. Beda generasi tentunya.

Pintu tersebut rupanya akses yang disediakan untuk para VIP masuk menerobos antrian sehingga bisa langsung bersalaman dengan sohibul bait alias tuan/nyonya rumah. Ini juga bentuk diskriminasi dalam acara pernikahan yang agak bertentangan dengan kalimat penutup setiap undangan “ adalah sebuah kehormatan bagi kami bila ibu/bapak berkenan hadir dalam resepsi pernikahan… dst”. Karena penghormatan tuan/nyonya rumah hanya diberikan kepada para pejabat atau orang–orang yang diberi label “Very Important Person”. Penghormatan yang tidak hanya sekedar akses tersendiri, tetapi juga dilengkapi dengan ruang makan khuses yang nyaman dengan kursi-kursi dan meja–meja makan yang tertata indah. Sementara undangan biasa, silakan berdesakan cari makan yang terkadang sudah kehabisan pula …. (oupfs …. Protes terus….!!! Hehehe ….)

Untung saja, terdengar pemberitahuan bahwa undangan diperkenankan masuk melalui pintu khusus tersebut untuk mencicipi hidang terlebih dahulu, sambil menunggu antrian panjang. Maka masuklah kami melalui pintu tersebut, walau agak dipelototi oleh abang–none penjaga pintu yang mungkin tidak mendengar pengumuman tersebut. Mereka nggak tahu atau tepatnya belum merasakan bahwa daya tahan emak-emak berusia di atas 1/2 abad untuk berdiri lama, sudah jauh berkurang. Di dalam, kami bertemu dengan salah satu adik ibu mempelai perempuan yang mempersilakan kami menyantap hidangan terlebih dahulu.

Eits….. tunggu dulu …,!!! Ruang utama begitu padat dan pada beberapa meja saji yang tersedia, .....antrinya mak ……!!! Gimana mau makan ......? Sementara waktu sudah menunjukkan jam 20.30. Sudah lewat banyak dari jadwal rata–rata makan malam kami, ba’da maghrib. Maka menyingkirlah kami mencari tempat sajian makanan yang agak luang, yang rupanya berada di sisi kiri ruang utama yang mirip isi mangkuk cendol tersebut. Mencoba menikmati hidangan yang …., dari sudut pandang cita rasa kuliner, kurang lezat untuk kelas hotel berbintang. Dalam hal hidangan, rasanya belum ada yang mengalahkan hidangan di hotel Mulia–Senayan deh…

Begitulah … aku yang biasanya mengambil foto sambil menikmati suasana yang terbangun dan mengamati serta mengagumi ragam hias ruang resepsi menjadi agak skeptis dengan suasana yang ramai dan padat. Nyaris tidak ada ruang gerak yang nyaman tanpa harus bersentuhan dengan orang lain. Pengap ......!!! Akhirnya… usai menyantap hidangan kami bergegas masih harus masuk dalam barisan antrian yang cukup panjang sampai akhirnya sampai jugalah mengucapkan selamat kepada pengantin dan keluarganya.

Jujur saja …. andai yang mengundang bukan termasuk keluarga, yang sudah merepotkan atau lebih tepat lagi sudah kurepotkan hingga harus “mengutus” anak buahnya mengantarkan undangan tepat di hari penyelenggaraan akad nikah sebelum acara resepsi tersbut, melihat antrian yang “aduhai” panjangnya itu, pasti aku sudah menggamit lengan suami untuk pergi meninggalkan atau tepatnya mengurungkan niat hadir dalam resepsi pernikahan.

Kejadian ini sudah sering terjadi saat kami diundang oleh beberapa kenalan yang kebetulan jadi pejabat. Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada pengundang,  kami kemudian mencari tempat makan yang nyaman di sekitar lokasi resepsi dengan kondisi “salah kostum”. Seringkali, kami merasa kelaparan, karena harus berangkat begitu usai shalat mangrib tanpa sempat mengisi perut.

Ada juga beberapa pejabat yang cukup tahu diri, hanya mengundang “kenalan dekat” saja dalam jumlah yang terukur sehingga undangan merasa cukup nyaman dan tidak  merasa menjadi cendol yang berdesakan.
***

Begitulah kebiasaan penyelenggaraan pesta pernikahan yang dilakukan oleh orang–orang berpunya dan para pejabat di Indonesia. Mengundang ribuan orang yang berarti minimum ada 2 kali jumlah undangan yang akan hadir, tanpa memperhatikan berapa kapasitas ruang acara agar yang hadir merasa nyaman dan tidak membuang waktu terlalu lama saat akan memberi ucapan selamat.

Tentu tidak semua yang menjadi pejabat atau orang kaya yang melakukan hal tersebut. Beberapa kali aku menghadiri resepsi pernikahan pengusaha/pejabat kondang yang suasananya cukup nyaman. Antrian saat memberikan selamat, masih dalam batas toleransi. Mungkin mereka membuat beberapa acara, sehingga undangannya tersebar … Tidak menumpuk pada saat resepsi. Bisa juga sebagian undangan dialihkan karena pihak mempelai lelaki membuat acara “unduh mantu”.
***

Baru saja aja yang nyeletuk …. Memberi komentar atas lokasi check in di Facebook "Bagaimana dengan resepsiku pernikahanku puluhan tahun yang lalu?"

Seingatku … undangan yang disebar saat itu,  tidak terlalu banyak. Kala itu, gedung pertemuan yang biasa digunakan untuk acara resepsi pernikahan juga tidak banyak. Yang paling sering digunakan orang karena relatif luas adalah Gedung DKI–Blok G, Wisma Iskandarsyah di kawasan Kebayoran Baru dan Gedung Kartika Eka Paksi – Jl. Gatot Subroto. Dua gedung terakhir ini, sekarang sudah hilang. Kartika Eka Paksi, setelah dihancurkan dan digabung dengan Balai Kartini yang bersebelahan sekarang (kalau tidak salah) tetap menyandang nama Balai Kartini, tapi lebih sering digunakan untuk exhibition hall.

Wisma Iskandarsyah di kawasan Blok M, telah bersalin rupa menjadi deretan ruko. Gedung DKI–Blok G sepertinya sudah jarang digunakan karena sekarang sudah banyak gedung–gedung pertemuan mewah yang memang dibangun untuk tujuan itu. Hotel–hotel pun sudah dilengkapi dengan ball room yang siap menampung ribuan undangan. Tinggal tuan rumah saja yang harus pandai berhitung jumlah undangan yang pantas agar tamu masih merasa nyaman saat hadir. Tidak antri terlalu panjang.

Sejujurnya … aku kurang terlalu suka dengan resepsi pernikahan yang kuanggap berlebihan. Dulupun, mati–matian aku menolak resepsi pernikahanku. Apalagi pernikahan itu memang terlalu mendadak dan kedua orang tuaku tidak tinggal di Indonesia. Tapi ke dua orangtuaku memberikan alasan telak yang tidak bisa dibantah. Saat itu, pernikahan yang tidak dirayakan, sebagian besar dan umumnya karena pengantin perempuan sudah hamil sebelum terjadinya pernikahan. Sehingga pernikahanpun diselenggarakan hanya sebagai peresmian di atas kertas dan umumnya para orang tua malu menyelenggarakan resepsi yang dihadiri umum. Tentu orangtuaku tidak ingin ada omongan negatif seperti itu.

Alasan itulah yang diajukan orangtuaku dan membuatku tidak berkutik menolak. Beda dengan jaman sekarang …. Orangtua dan pengantin sudah tidak terlalu risi dengan kondisi ini. Jaman memang sudah berubah.

Itu pula sebabnya, pada anak–anakku, sudah seringkali kusampaikan bahwa syarat nikah untuk mereka hanya satu iman dan kemudian akad nikah dalam suasana kekerabatan yang intim. Jadi mereka jangan berharap adanya resepsi pernikahan besar–besaran yang akan diselenggarakan oleh kami, orangtuanya. Tidak elok …. Terasa kurang bermanfaat …
***

Minggu depan dan 2 minggu sesudahnya, adikku akan menyelenggarakan pernikahan anak sulungnya. Acara pertama adalah akad nikah dan resepsi pernikahan yang diselenggarakan pihak perempuan. Acara ke dua adalah unduh mantu yang akan diselenggarakan adikku.

Mati–matian, kupengaruhi dia agar tidak perlu menyelenggarakan unduh mantu. Bukan karena malas membantu dan menerimanya tinggal di rumah sehingga mempelai lelaki "turun" dari rumah peninggalan orangtua kami. Tetapi lebih karena pertimbangan praktis. Dana yang tersedia, lebih baik dialokasikan untuk membuat rumah bagi anaknya di atas tanah yang sudah dibelinya beberapa tahun yang lalu ….
“ Tapi …. aku kan ingin bikin pesta pernikahan anak….! Lagi pula dananya sudah tersedia kok, jadi nggak mengganggu biaya rumah tangga”. Begitu kilahnya.

Ya sudahlah …. Mau bilang apa …? Asal jangan berhutang saja … 
Soal berhutang saat menyelenggarakan pernikahan anak juga sudah bukan rahasia umum. Ini terjadi bukan saja di desa atau kota kecil. Suamiku pernah bercerita bahwa salah satu kenalannya berhutang ratusan juta demi menyelenggarakan resepsi pernikahan anaknya di salah satu gedung pertemuan megah di Jakarta. Haiyaaaa……….

Lupakah bahwa bermegah–megah itu bertentangan dengan ajaran Islam? Lebih konyol lagi kalau bermegah–megah sambil berhutang… Masya Allah ……!!!

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...