Rabu, 17 Juli 2013

Sekitar PENDIDIKAN anak REMAJA

Pagi tadi, saat sedang mengendarai mobil, tiba-tiba terdengar bunyi di perangkat Blackberry saya. Ada pesan masuk ....

"Mbak, do'a apa yaa supaya anak menjadi sholeh? Anakku yang gede kan aku pindahin sekolahnya dari Highscope ke Mentari. Sekarang anaknya ngomel gak mau dan pengen dipindahin lagi ke Highscope. Doa apa yaa supaya anakku jadi sholeh dan mau terus di Mentari? Mungkin punya pengalaman sama? Nuhun({})", begitu isi lengkap pesan yang masuk.
"Nanti, tiba di kantor aku ☎ ya, sekarang lagi setir!"

Duh ....., masih pagi begini kok sudah dapat pertanyaan berat. Walau sudah punya dua anak, dengan beda 15 tahun dimana satu sudah bekerja dan yang kecil duduk di bangku SMA kelas XI, tapi memberikan jawaban yang mudah diterima secara nalar dan emosi seorang ibu, pasti bukan soal mudah. Apalagi kalau ditambah dengan kiat mendoakan anak, atau menanyakan doa khusus. Waduh ... berat banget deh... saya bukan ustazah. Cuma ibu dari sepasang anak, seperti yang lain. Bedanya, kedua anak saya lahir dalam rentang waktu yang sangat jauh. Lagi pula ... apa yang saya didoakan buat anak adalah doa standar saja. Pasti doa-doa yang baik buat anak ... untuk kehidupan dunia dan akhirat.

Teman saya itu memang dari kalangan the haves. Ini istilah "kuno" yang banyak digunakan pada era tahun 1970an untuk menunjukkan golongan orang berada, yaitu golongan menengah atas dan golongan atas, ditinjau dari sudut kekayaan. Suaminya kalau tidak salah bekerja di perusahaan minyak. Dia sendiri executive di salah satu perusahaan pengembang alias developer yang proyek-proyeknya lebih banyak membangun apartemen selain memiliki usaha bakery. Jadi secara materi mereka hidup sangat berkecukupan.

Itu sebabnya pula, maka pilihannya dalam menyekolahkan anak adalah sekolah national plus yang menyandang embel-embel IB alias International Baccalaureate. Entah dengan pertimbangan bahwa si anak kelak akan meneruskan sekolah di luar negeri atau hanya karena snobisme. Apapun alasannya ... memang begitulah gaya hidup sebagian golongan berpunya di kota-kota besar Indonesia saat memilih sekolah anak-anaknya.

Tiba di kantor, usai menyelesaikan beberapa dokumen di atas meja, sebelum tenggelam dan larut dalam pekerjaan, saya sempatkan menelpon teman tersebut. Dia pasti sudah menunggu-nunggu.


"Jadi ........, apa doa-doanya...? Lieur euy urang....!", begitu sergapnya menyambut telpon.
Duh, saya juga bingung mau jawab apa....? Ya... itu tadi, saya bukan ustazah. Modal dalam doa untuk anak-anak juga standar aja kok ...., sangat tidak fasih apalagi hafal doa-doa dalam bahasa Arab. Toh Allah Maha Tahu akan doa yang dipanjatkan seorang ibu bagi anak-anaknya. Yang penting tulus dan ikhlas bagi kebaikan dan kebahagiaan anak lahir batin, dunia akhirat.

"Doaku standar aja kok .... gak ada yang aneh-aneh....! Tapi ..... yang lebih penting, menurutku adalah sinkronisasi antara doa yang kita minta pada Allah SWT dengan perilaku kita sebagai orangtua. Bagaimana mungkin kita meminta pada Allah SWT berbagai hal yang baik-baik, sementara kita sebagai orangtua tidak memberi contoh yang sama dengan apa yang kita panjatkan?", tanpa sadar saya kok jadi nyerocos panjang lebar.
"Maksudna teh kumaha...?, tanyanya lagi, dalam bahasa campuran Sunda, daerah asalnya.
Ibu cantik ini memang berasal dari Bandung dan konon pada masa mudanya sempat main film jadi figuran di beberapa filmnya warkop.

"Ya .... begitu...! Doa yang kita panjatkan itu, in sha Allah akan dikabulkan Allah SWT, tapi bagaimana bentuk dan kapan waktunya, tidak ada yang tahu. Selama itu, si anak tumbuh dan berkembang mengikuti dan mencontoh apa yang ada disekitarnya. Dari orangtuanya, dari lingkungannya baik di rumah maupun di sekolah. Mereka cenderung "mengambil" apa yang mudah dan menyenangkan hati tanpa pikir panjang. Kalau orangtua tidak konsisten antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan, mana mungkin anak mau patuh? Tapi .... sebetulnya ada apa sih?", tanyaku, ingin tahu juga apa yang sebenarnya terjadi sebelum larut dalam perbincangan.

"Ieu tah .... yang pernah aku cerita tea. Anakku akhirnya aku masukkan ke Mentari, di salah satu kawasan perumahan elite lah! Asupna ge, geus 60 jutaan .... terus bulanan-nana ge, opat jutaan. Belum lagi buat kegiatan ini itu. Sakolana teh siga supermarket ... Saban kegiatan aya hargana. Jadi nggak murah juga....!!!", celotehnya seperti biasa, dalam bahasa campuran.
"Lalu ...?"
"Tah .... kamari teh, manehan-nana ketemu jeung teman2 sakolana ti SD jeung SMP ... Terus, biasalah... ngobrol ngalor ngidul, kesana-kemari, sampe pada kesimpulan, bahwa sekolah SMPnya itu the best lah .... moal aya duana!"


Hm ....., memang nggak ada salahnya. Sekolah dimana anaknya menjalani pendidikan SMP nya memang salah satu sekolah elite di bilangan Jakarta Selatan dengan gedung mewah dan pastinya biaya pendidikan yang luar biasa mahalnya bagi orang kebanyakan. Dan ... pasti dengan embel-embel IB yang sangat digandrungi kalangan berduit.

"Memang apa pembeda antara Mentari dan Highscope itu?"
"Sebetulnya sih nggak terlalu banyak beda. Guru-guruna sama aja. Kebanyakan Filipino dan ni anak ku urang malah diikutkeun program IB. Soalna, barudak yang ikut program nasional ngan saeutik. Kebanyakan ikut IB. Memang sih, bayaran sekolahnya lebih murah dibanding sekolah yang lama, tapi sebetulnya kan, bukan itu alasan pindahannya."

Teman saya ini, jauh sebelum tahun ajaran 2013, yaitu sekitar bulan Nopember 2012 yang lalu sudah pernah menanyakan rekomendasi saya untuk sekolah anaknya yang akan menempuh ujian SMP. Sempat terbersit keinginannya untuk masuk boarding school dan menjajaki kemungkinan si anak untuk masuk ke sekolah dimana anak saya sekarang bersekolah. Alasan utamanya adalah karena dia ingin si anak mendapat pengajaran dan pendidikan agama yang baik. SMPnya saat itu adalah sekolah sekuler yang sangat liberal dan dia sangat khawatir melihat dan mengamati perkembangan pergaulan si anak dengan teman-temannya. Teman-teman sekolah anaknya sudah tentu datang dari golongan menengah atas lengkap dengan gaya hidup borjuis, materialistis dan hedonistis. Namun kemudian, sepertinya keinginan tersebut tidak pernah diteruskan entah karena pertimbangan apa.

"Sebetulnya, si anak memang ingin meneruskan SMA di sekolah yang sama, tapi .... urang khawatir euy. Coba bayangin ... bebekelan itu teman2na teh, bukan cuma urusan ratusan rebu ...! Itungannya geus jut-jutan atawa kartu kredit! Ngeri kan ....? Gimana gua bisa menerapkan gaya hidup sederhana? Pernah suatu kali, anak gue menta duit keur nongton band .... teuinglah band naon, poho urang .... Pokona, harga karcisna teh 750 rebu! Ku urang teu dibere .... eh .... ditraktir...! dipangmayarkeun...! Coba... gelo, teu...?", panjang lebar dia cerita ....

"Mangkana ....ku urang dibujukan, supaya mau pindah dari situ. Dibujuk, dibawa libur ke Jepang, supaya dia maulah pindah sekolah....! Padahal, tadina mah nggak ada rencana sama sekali jalan-jalan ka Jepang...".

"Sekolah kan baru 1 minggu, kok sudah ribut mau keluar? Terlalu jauh kali ya ? dan ortunya atau supir ngrasa cape antar jemput?"
"Gak juga ah .... kan ada school bus. Jadi, antar jemputnya sampe citos doang"
"Lalu ....?"
"Ya itu tadi, gara-gara ketemu temen2nya tea .... udah gitu suami juga ngedukung lagi"
"Memang waktu mindahin anak sekolah, nggak berunding dan sepaham sama suami?"
"Sudah .......!!! Dia mendukung kok..."
"Nah..., lalu kenapa suami berubah pikiran?
"Beberapa hari yang lalu, suami teh nganter ....  trus ngeluh. Yang jalan masuk ke sekolahnya kecillah ... yang  jeleklah. Memang bangunan sekolahnya juga nggak semegah sekolah lamanya... Lebih sederhana. Nah, pulang dari situ, ada aja masalah. Jadi, sejak itu, dia mendukung banget kemauan si anak buat balik ke sekolah lama".
"Pasti perdebatan tentang sekolah itu  dilakukan di depan si anak ya...?", terka saya.
"Bukan debat lagi ....! Perang dunia...! Si anak ngrasa didukung bapaknya, dia bilang ...mamah mindahin aku supaya bayarannya murah ya... ngrasa rugi nyekolahin anak di sekolah yang bagus! Bayangin ... apa nggak sebel...?"
***


Bingung juga mesti menanggapi apa. Hampir 2 tahun lalu, saya juga berdebat cukup panjang dengan anak saat dia duduk di kelas 3 SMP semester 1. Saat itu, kami mulai berbincang mengenai rencana sekolah lanjutannya. Kriteria si anak adalah sekolahnya harus masuk jam 07.30 karena dia nggak mau berangkat terlalu pagi, ngantuk, katanya. Tidak mau sekolah negeri, karena dia banyak dengar cerita tentang bullying di sekolah negeri.

Atas dasar kriteria utama itu, kami mengusulkan beberapa SMA swasta yang kami pikir punya reputasi baik dalam segi akademis maupun pendidikan budi pekerti, moral dan agama. Hal yang penting dipertimbangkan juga adalah keterjangkauan transportasi. Namun semua usulan kami ditolaknya untuk alasan yang .... alhamdulillah, tidak pernah kami pikirkan sejauh itu. Tapi alasannya juga merupakan salah satu hal penting untuk menjaga kehormatan diri, terutama bagi anak perempuan. Anak saya memilih sekolah yang sama dengan SMPnya namun untuk tingkat SMAnya berlokasi di Sawangan. Berbagai upaya untuk memintanya bersekolah di Jakarta selalu ditolak.

Setelah bernegosiasi panjang, akhirnya dicapai solusi tengah, si anak boleh bersekolah di SMA pilihannya namun harus masuk asrama. Bukan karena kami membuangnya, namun lebih pada alasan agar dia tidak terlalu lelah menempuh perjalanan setiap hari, karena jadwal sekolahnya baru selesai sekitar jam 17.00. Walau si bapak berkantor di Depok, namun saat si bapak berhalangan menjemput usai jam sekolah, maka kami akan sangat kesulitan menjemputnya ke Sawangan.
***

"Tya ...., jujur aku bingung mesti jawab apa....! Tapi menurutku, samakan dulu persepsi orangtua mengenai sekolah dan pendidikan anak. Berikan juga contoh bahwa kedua orangtua konsisten dengan pilihan cara mendidik dengan perilaku kita. Nggak mungkinlah kita mendidik anak harus begini-begitu sementara ortu tidak memberikan contoh seperti apa yang dia harapkan dari si anak.... Anak kan cenderung meniru dan cermin dari apa yang diperbuat orangtua. Mereka hanya akan mengambil hal-hal yang enak dan menyenangkan saja",celoteh sok menggurui hehe....


"Memang maneh tara pasea jeung salaki soal sakola barudak...?, tanyanya

"Seringlah ..... tapi, elo lupa ya kalo suamiku dosen? Percuma debat soal pendidikan sama dia... Yang ada juga, gue dapet kuliah pedagogi gratis panjang lebar di meja makan. Kedua anakku tumbuh dalam rentang waktu yang panjang. Pasti ada perbedaan besar dalam mendidik mereka. Alhamdulillah mereka baik-baik saja walau jujur... gue harus mengakui, gue mungkin bukan ibu yang baik buat mereka", sahutku...
***

Ya ....., saya memang bukan ibu yang baik bagi kedua anak saya. Justru merekalah menjadi anak-anak yang sangat baik bagi kedua orangtuanya. Punya karakter yang kuat dan sebagai ibu, sekarang terasa bahwa saya seringkali mengecewakan mereka. Bukan karena tidak sayang kepada mereka, tapi bisa jadi karena saya tidak mampu dan tidak tahu bagaimana cara untuk mengekspresikan kasih sayang dengan cara yang baik dan benar....


"Iya juga kali ya .... urang jeung salaki teh agak kurang sepaham dalam pendidikan anak, jadi pasea terus...."

"Nah kalo gitu... coba ngomong sama suami... dengan kepala dingin... karena perempuan cenderung emosional kalo lagi ngomong sama suami. Jangan juga di depan anak ... nanti jadi bumerang. Kalau sudah sepaham, apa yang kita harapkan dari anak, harus diterapkan juga dalam perilaku orangtua supaya si anak juga bisa melihat bahwa orangtuanya konsisten omongan dan tindakan. Kalau sudah begitu, kan konsisten tuh antara doa ortu dengan contoh kehidupan yang dilihat anak .... In shaa Allah semua bakal beres"
"Iya deh .... gue coba ngomong sama suami ....!, semoga lancar...."
"Amiiinn ....."

upf .... obrolan telpon yang cukup lama akhirnya berakhir ....
***
Memilik anak di abad ke 21 ini sungguh-sungguh berat. Kemajuan teknologi menyebabkan sebaran informasi mengalir tak terbendung. Apa yang terjadi di belahan dunia manapun, dalam hitungan detik tersebar ke seluruh penjuru dunia. Apa yang diterbitkan, diedarkan dan dipasarkan di suatu tempatpun begitu pula.

Sebagai negeri berkembang, penduduk Indonesia berkiblat habis-habisan ke negara-negara yang dianggapnya lebih maju dalam segala hal. Segala macam ditiru... dari mulai pakaian hingga perilaku dan gaya hidup. Padahal kesemuanya belum tentu semua cocok bagi kita.

Gadget sudah menguasai dunia dan mengganti pola komunikasi interpersonal dan apakah karenanya penduduk Indonesia mengalami gegar budaya yang luar biasa? Wallahu alam

Sabtu, 06 Juli 2013

Wisata Kuliner di Malang dan sekitarnya

Selama hampir 2 tahun belakangan ini, kalau dihitung rata-rata, hampir 1 kali sebulan saya mengunjungi kota Malang, atau tepatnya wilayah kabupaten Malang (untuk membedakan dengan kotamadya Malang) dan kotamadya Batu untuk urusan pekerjaan.

Malang yang saya kenal ketika kecil, adalah apel walaupun kemudian kita baru mengetahui bahwa apel Malang yang kita kenal, tidak dihasilkan baik dari kota Malang maupun kabupaten Malang. Kebun apel hanya ditemui di wilayah Batu. Memang .... Batu dahulu kala masuk ke dalam wilayah kabupaten Malang.

Selain itu Malang masuk dalam pikiran saya, karena saat saya kecil, selalu ada tamu istimewa dari Malang. Ini terjadi pada kurun waktu awal tahun 1960 - 1965. (hadooh ... ketauan deh, kalau umurku sudah "uzur hehe...). Konon mereka masih keluarga kakek saya yang memiliki kebun kopi di wilayah Dampit. Jadi saat tamu istimewa ini datang berkunjung ke rumah kami, mereka selalu membawakan biji kopi mentah, yang kemudian setelah disangrai, lalu dibawa nenek untuk digiling di pasar Jatinegara.

Pada akhir abad ke 20, hehe .... untuk menyebutkan kurun waktu 5 tahun terakhir menjelang tahun 2000, setiap kali saya bertugas ke Malang, maka oleh-oleh perjalanan ini adalah kue-kuean atau bakpau telo ungu yang dibeli dari toko-toko dalam perjalanan dari Malang ke Surabaya. Saat itu memang belum ada penerbangan langsung ke Malang.


Nah ....... dulu, menjelang tiba di hotel, kami selalu mampir ke warung Jawa yang saya lupa namanya dan berada di Batu untuk makan siang karena walaupun sudah berangkat pagi dari Jakarta, perjalanan Surabaya - Malang memakan waktu antara 90 - 120 menit.

Warung yang menyajikan masakan khas Jawa ini adalah favorit big boss. Salah satu menu yang jadi incaran teman-teman adalah krengsengan. Entah bagaimana rasa masakan itu, hingga beberapa teman di Jakarta selalu memesan untuk dibawa ke Jakarta saat kami kembali pulang. Saya memang kurang tertarik dengan warna dan bentuknya, jadi tidak tahu apa yang membuat teman-teman tergila-gila dengan krengsengan itu. Belakangan ini, setelah ada penerbangan langsung dari Jakarta, tempat nongkrong makan siangnya beralih ke soto ayam pak Jari, masih di bilangan kotamadya Batu. Padahal ... seharusnya tidak ada hubungan antara tempat makan dengan lokasi pendaratan pesawat ya.

Perjalanan saya ke Malang biasanya berlangsung hanya 4 hari saja, sehingga masih ada 1 hari dalam minggu terkait untuk berkoordinasi dengan teman-teman di Jakarta, baik sebelum maupun sesudah perjalanan ke luar kota. Begitu juga selalu ada 1 atau 2 hari puasa selama perjalanan 4 hari tersebut.

Nah .... mari kita mulai dengan sarapan pagi. Di Hotel Kartika Wijaya tempat saya biasa menginap dan terletak di jalan Panglima Sudirman nomor 127, saya selalu memesan scramble egg dengan buah-buahan segar untuk sarapan pagi. Dimulai dengan makan buah dan ditutup dengan scramble egg. Untuk makan siang, maka kami yang bekerja di proyek ramai-ramai makan pecel Madiun di warung Amin, juga masih di jalan Panglima Sudirman, tidak jauh dari hotel, Pecelnya lumayan enak. Kadang suka ditambahi dengan bunga turi ( ?) mendampingi daun kemangi dan toge pentul, kesemuanya mentah, dan rempeyek.

Sebetulnya, di samping pecel Madiun yang disajikan dengan nasi atau lontong, masih ada gulai dan rawon. Nah .... makanan berdaging ini biarlah dimakan oleh rekan lelaki yang pada umumnya gembul. Saya tidak pernah mencobanya. Beraaaaatttt .........., mending makan pecel tanpa lontong/nasi. Sudah sangat mengenyangkan. Untuk sahur Kamis dinihari, biasanya saya minta dibawakan ke kamar soto ayam tanpa nasi dan buah potong.


sambal apel
Malam hari ...., kami biasanya makan di Warung Bambu ... Disini, kami makan ayam/gurame bakar, udang saus pedas, cumi goreng, kangkung cah dan tidak lupa........... tempe dan tahu penyet. Minuman pesanan saya biasanya jeniper alias jeruk nipis peras yang hangat, wedang rempah atau wedang jahe. Pokoknya yang hangat-hangat. Kalau anak lelaki, pesanan minumannnya lebih heboh...!!! Dari mulai beragam juice sampai beragam kopi dan minuman hangat lainnya.

Makan di Warung Bambu suasananya sangat menyenangkan. Kita ditempatkan di meja-meja rendah ... jadi makan sambil lesehan di gubuk bambu yang terletak di atas kolam ikan yang ditanami pepohonan. Harga makanannya relatif memadai .... apalagi kalau kita bandingkan dengan ukuran harga makanan sejenis di Jakarta dan sekitarnya. Biaya yang dihabiskan rata-rata hanya 50 ribu per pax sudah termasuk minuman berupa juice, kopi atau minuman hangat lainnya.

Di lain waktu, kami makan cwie mie di bilangan jalan Kawi ... lupa namanya... Cwie mie di resto berbendtuk ruko ini disajikan dalam mangkuk dan alas mie nya berupa lembaran pangsit goreng mengikuti bentuk mangkuk. Kuahnya beragam ... ada kuah bening atau kuah kental rasa asam manis yang ringan dengan berbagai tingkat "pedas"nya.


Penggemar mie lainnya bisa mencicipi mie gang Jangkrik (kalau nggak salah) di bilangan jalan Sukarno Hatta. Disini porsi mie nya luar biasa besar.... Buat ukuran perut "normal", rasanya bisa dimakan untuk 2 orang dan harganya memang lebih mahal daripada cwie mie jalan Kawi.


Bakwan Malang
Suka dengan bakwan/bakso Malang ....? Ada dua yang direkomendasikan teman-teman saya .... Bakso Solo yang relatif bertebaran di mana-mana dan satu lagi bakso DAMAS, kalau nggak salah di jalan Sukarno Hatta juga. Harganya relatif murah dan rasanya, menurut saya lebih OK daripada bakso Malang Karapitan yang ditemui di Jakarta. Tapi kalau ke Malang cuma untuk makan bakso Damas, jelas nggak masuk akal dong ... Berat di ongkos...!

Saya juga pernah makan di warung mahasiswa, yang berlokasi di depan kampus universitas Muhamadiyah.... 1 paket nasi+ayam goreng+tempe/tahu penyet cuma 10ribu saja. Murah meriah tapi susah dapat tempat kosong dan buat mereka yang porsi makannya besar, paket a la mahasiswa sepertinya kurang mengenyangkan. Maklum .... itu tempat favorit anak kost. Mereka juga menjual ketan durian .... Ini seperti ketan putih yang disiram dengan kinca berduren. Rasanya lumayan enak juga. Yang penting murah kan....?

Makanan modern a la kota besar seperti pasta dan steak ada di pusat kota Malang. Kami pernah mencicipinya di Hergi cafe. Tapi .... sepertinya teman-teman saya kurang menikmatinya sehingga kami tidak lagi mengunjungi tempat itu untuk makan malam.

Nah .... itulah resto atau warung yang biasa saya kunjungi. Tentu masih ada tempat lain seperti hot plate, Batu Suki dan lainnya... tapi kurang unik baik rasa maupun tempatnya.

Sekarang kita beralih ke oleh-oleh khas Malang.
Apel ......? itu sudah pasti .... tapi kalau sudah bosen apel atau buah tidak menjadi makanan pokok yang wajib terhidang di atas meja kita, maka pilihannya adalah kripik-kripikan a la Malang. Untuk ngemil sambil nonton tv.


Warung Bambu - Batu
Yang pertama adalah kripik tempe ... Ada yang bentuknya bulat (dengan diameter sekitar 6 cm). Ini yang umum ditemukan di toko2 ... Nggak boleh nyebut nama toko ya, karena saya bukan staff pemasarannya. Tapi .... saya biasa beli kripik tempe yang bentuknya persegi panjang sekitar 3 x 6 cm dan ini ditemukan di Batu. Anak dan suami juga lebih suka kripik tempe yang bentuknya kotak. Lebih renyah dan tidak keras dibandingkan dengan yang bulat.

Selain kripik tempe, ada kripik jamur dan kripik buah-buahan seperti apel, semangka, melon, nangka, mangga, duren, ubi manis (kuning), ubi ungu, ubi "anggrek" karena warnanya campuran ungu dan putih. Tentu ada kripik-kripik lainnya.... Yang saya sebut itu adalah yang sering saya beli untuk oleh-oleh teman dan keluarga. Selain kripik, makanan khas untuk oleh-oleh dari Malang adalah pia Mangkok dan moci. Ini rasanya juga enak. Jauh lebih enak dari bakpia Pathuk dari Jogja.


Itulah sebagian kuliner Malang yang pernah saya nikmati. Semua yang saya sebut adalah jenis yang berulang kali saya makan ... artinya disukai juga oleh teman-teman yang mengantar ... Atau ... jangan-jangan, sebetulnya mereka kurang suka, tapi sungkan bilang terus terang... Hehe ... Jadi lebih tepat adalah kuliner pilihan saya ....

Ada yang mau menambahkan...?

Selasa, 02 Juli 2013

SITU CILEUNCA – Pangalengan


Situ Cileunca, kawasan tujuan wisata di wailayah Pangalengan ini sebetulnya tidak sengaja ingin dikunjungi. Tujuan utamanya adalah ingin jalan-jalan di areal kebun teh Pangalengan. Areal kebun teh yang seperti pada umumnya sudah dioperasikan sejak jaman penjajahan Belanda dulu. 

Itulah yang saya tahu tentang Pangalengan yang letaknya di wilayah Selatan kota Bandung, selain produk olahan yang berasal dari susu. Beberapa tahun yang lalu, sang suami pernah diajak rekan kantornya mengunjungi kampung keluarganya di wilayah ini dan kembali ke Jakarta berbekal beragam produk olahan susu. Yang saya ingat adalah pudding susu dalam cup yang rasanya enak sekali.

Pada liburan anak sekolah kali ini, mencuri waktu kerja ketika suami juga kebetulan sedang ada acara di luar kota untuk beberapa hari, kami berdua ... saya dan anak berangkat ke Bandung. Acara utamanya ke Rumah Mode, karena si gadis ... mungkin karena terpengaruh ocehan teman-temannya, ingin kesana. Karena acara ini pasti hanya "seru" untuk dilakukan hanya oleh perempuan ...., maka sengaja saya ambil cuti dua hari. Suami rencananya menyusul langsung dari bandara Cengkareng ke Bandung naik bis. Sudah diwanti-wanti harus pakai Primajasa supaya mudah penjemputannya.

Sabtu pagi ... eh nggak pagi juga sih. Akhirnya jam 11.00 kami baru berangkat dari Perumahan Gading Regency di bilangan Sukarno-Hatta menuju Pangalengan. Agak siang, karena selain menunggu bubur ayam mang Oyo yang terlambat datang, kami juga harus menunggu adik saya yang akan mengendarai mobil dan sebagai penunjuk jalan.

Bandung di waktu liburan sekolah anak dan week end pasti penuh dan "dibanjiri" dengan mobil berplat nomor B. Maka ..... adik saya memutar otak, mencari jalur mana yang layak dilalui untuk menghindari kemacetan parah. Maka ... walau hanya menempuh 1 gate saja, diputuskan kami masuk gerbang tol Buah Batu menuju gerbang tol Moch Toha. Usai mengambil kartu pass, terlihat arus kendaraan menuju gerbang tol Buah Batu dari arah Padalarang - Purwakarta mengular panjang bahkan hingga 1 km di jalur tol Padaleunyi. Gila ..... kalau di Buah Batu saja sudah sepanjang itu, bisa dibayangkan bagaimana di gerbang tol Pasteur. Untungnya ... gerbang tol Moch Toha sepi dari peminat, sehingga hanya ada 3 mobil saja di depan kami.


Harapan untuk menempuh perjalanan dengan nyaman, rupanya hanya fatamorgana. Jalan raya Banjaran macet total .... Penyebabnya, selain karena banyaknya trailers yang keluar masuk dari berbagai pabrik di sepanjang jalan Banjaran, juga akibat dari "peredaran" trailers yang overweight, maka sudah dipastikan jalan raya Banjaran tersebut hancur lebur. Ditambah lagi musim kemarau "basah" pasti menambah parah kerusakan. Maka .... upaya atau lebih tepatnya "niat baik" pemerintah menambal/memperbaiki jalan dengan melapisi jalan lama dengan beton setebal kira2 20cm menjadikan arus lalu lintas bukan saja tersendat, tapi nyaris macet total. Bayangkan saja, untuk bergerak sejauh 10 meter saja, kami harus menunggu sekitar 15 menit, lalu berhenti untuk menunggu 15 menit lagi. Begitu berulangkali.

Bayangan menikmati liburan yang menyenangkan betul-betul sudah hilang dari kepala. Mau memutar arah mobil untuk kembali ke Bandungpun hampir mustahil karena dari arah yang berlawanan, motor dan angkot berseliweran susul menyusul. Entah berapa jauh jarak yang kami tempuh selama 3 jam tersebut. Yang pasti ... akhirnya kami tiba di SItu Cileunca pada jam 15.00. Berarti + 4 jam untuk menempuh jarak sekitar 40km.

Situ Cileunca yang indah sudah terlihat dari jarak jauh ... bahkan cukup jauh. Indah terlihat ... hal itu juga yang menarik kami untuk langsung mengunjungi. Apalagi dengan adanya panel-panel petunjuk dan iklan adanya flying fox, paint ball, dan rafting Panglayang. Sepertinya menarik sekali ... apalagi disekitarnya terlihat banyak guest house. Maka ... rencana untuk berlibur di lokasi ini, menikmati semalam dua dengan keluarga besar mulai menari-nari di kepala.


Usai membayar uang masuk 50 ribu rupiah untuk mobil dan 9 penumpang dewasa dan anak-anak, kami mendapat tempat parkir dengan teramat mudah. Tidak banyak yang mengunjungi lokasi ini bila dibandingkan dengan Kawah Tangkuban Parahu, Ciater ataupun Kawah Putih.

Karena perut para kurcaci baru terisi Nu green tea dan lays potato chips, maka kami bergegas mencari gubuk tempat makan siang. Adik ipar saya, mendahului kami dengan ditemani seorang perempuan muda membawa tikar. Hm ..... pasti harus sewa tikar untuk dihampar di bawah tenda yang agak kumuh. Entah apa yang diperbincangkan ... dan salah saya juga yang biasanya agak cerewet dengan hal-hal seperti ini, kali ini mengikuti saja naik ke gubuk reyot itu... Alasan utamanya karena sudah tidak tahan menahan kebutuhan dasar ke toilet setelah minum begitu banyak air.

Persoalan pertama muncul ..... sebagaimana galibnya di hampir seluruh kawasan wisata di Indonesia, maka, toilet menjadi masalah utama dalam hal kebersihan. Jangan berpikir kenyamanan... ini sepertinya hal yang sangat mustahil ditemukan di Indonesia. Tidak berbau saja, maka kita sudah bisa dikatakan "beruntung". Sebagaimana umumnya "bagian belakang" rumah, apalagi sebagai tempat pembuangan sisa makanan/minuman manusia, maka toilet kita memang menjadi cermin tingkat kebersihan kawasan wisata. Jadi .... kalau kawasan wisatanya saja sudah sangat tidak terawat ..., maka bisa dibayangkan bagaimana tingkat kebersihan toiletnya. Masih beruntung, air yang melimpah meluruhkan bebauan khas, tapi ... kita tetap harus menahan napas dan membutakan mata melihat kondisi ruangnya.


Beruntung pula, pesanan makan siang sudah dilakukan sebelum melepas hajat. Kalau belum .... pasti hilanglah sudah selera untuk makan siang. Sudah pula terlambat waktunya.

Makan siang kami saat itu adalah tahu+tempe goreng ditambah dengan 4 ekor ikan mas goreng (total 1kg), 2 ekor ayam bakar, 1 ekor ayam goreng. krupuk aci dan lalapan+sambal. Tidak lupa tentu nasi untuk 9 orang. Tunggu punya tunggu .... kok makanan tak kunjung tiba ... langak-longok kesana kemari, tidak ada manfaatnya karena ada beberapa warung yang menyajikan menu yang sama dan kami betul2 tidak tahu dari warung mana perempuan muda tadi datang.

Akhirnya... kami hanya bisa bergurau sambil meringis menahan lapar...
"Jangan-jangan, ayamnya baru dipotong dan ikannya baru selesai dipancing..."
Tiba-tiba, adik saya yang baru saja keliling-keliling bilang...
"Eh .... beneran lho ... ayamnya baru dicabut bulunya di warung situ! ikan juga baru disiangi. Dia bilang ... semua disini fresh. Baru disiapin kalau ada yang pesan..."
Alamak ..... segar sih segar..... lha ini sudah jam 16.00 ................. Makan siang apa pula nih...?
Padahal ... malamnya sekitar jam 20.00, adik saya yang lain sudah pesan tempat untuk makan malam di Rumah Nenek di bilangan Cibeunying - Bandung.

Akhirnya .... yang ditunggupun datang dan balatentara yang kelaparan langsung menyerbu hidangan "segar" a la situ Cileunca. Masakannya lumayan memenuhi selera walau sepertinya si ayam sudah agak tua sehingga dagingnya agak alot, terutama terasa pada ayam bakarnya.
Sambalnya lumayan pedas, tapi ... karedoknya masih kalah jauh enaknya dibandingkan dengan karedok olahan asisten dapurku yang orang Cihampelas - Cimahi itu.


Sekitar jam 17.00, kami putuskan untuk kembali ke Bandung, maka kudatangi warung untuk menyelesaikan pembayaran.
"Janten sabaraha bu...?"
"Genep ratus dua puluh rebu, neng ...!"
Ha .......? Sumpah mati ...... kaget banget dengar harganya ... Perkiraanku, dengan makanan seperti itu, kami hanya akan menghabiskan maksimal 450 ribu saja.
"Geuning awis pisan nya'...?"
"Sumuhun neng ... atuda si eneng henteu kadieu langsung... Eneng teh nganggo calo, janten pangaosna ge benten... manehna nu ngetang ....!"
Halah ............!!!!
Ya sudah deh ..... gak bisa ngomong apa-apa lagi. saya keluarkan uang secukupnya dan ...... hap ..... perempuan muda calo itu langsung menyambar uang yang tadinya sudah kuangsurkan untuk ibu pemilik warung ...! Si calo rupanya betul-betul jadi penguasa lapangan ....!

Sambil beres-beres barang yang ada di gubuk, si calo nagih lagi uang sewa tikar....
"tiga puluh ribu...." katanya, untuk sewa 2 tikar mendong butut selama 2 jam saja.
"Lho ..... bukannya sudah termasuk di harga makanan tadi..., kan kamu sudah dapat komisi disitu!" sahutku rada ketur.
"Nggak bu ... tikar ini lain lagi orangnya..."
Hadoh ....... 2 kali dikerjain ....!


Lenyap sudah angan-angan ingin berlibur sekali lagi menikmati udara Pangalengan dan Situ Cileunca yang sejuk itu. Sungguh ..............!!! Keindahan danau alias situ Cileunca tersebut sangat tidak sebanding dengan kondisi lapangan. Pengelolanya, biasanya pemerintah daerah, hanya tertarik untuk menarik retribusi karcis masuk saja tanpa melakukan perawatan lahan dan fasilitas umumnya sama sekali. Apalagi ditambah dengan calo-calo yag berseliweran berpura-pura menawarkan ini itu untuk kemudian "menjarah" pengunjung yang lengah.

Ini memang menjadi publisitas buruk bagi perkembangan kawasan wisata, terutama yang dikelola pemerintah daerah. Tapi memang begitulah kenyataan yang terjadi di hampir seluruh kawasan wisata yang dikelola pemerintah daerah dan hingga sekarang tidak pernah berubah.

Rasanya, perlu dipertanyakan juga apa yang dilakukan oleh Menteri Pariwisata dan industri kreatif dalam upayanya meningkatkan fasilitas dan kualitas kawasan wisata. Bagaimana kita bisa meningkatkan arus wisata dari luar negeri kalau kualitas kenyamanannya dan fasilitasnya sama sekali tidak diperhatikan? Pemerintah Daerah/pengelola kawasan wisata perlu diberikan pelatihan dan monitoring yang terus menerus agar mereka mampu meningkatkan kualitas dan kinerjanya. Jadi, memang masih banyak yang harus dilakukan untuk mampu menarik wisata dan "meredam" wisatawan yang gemar ke luar negeri untuk mau menikmati wisata di dalam negeri.

Wallahu alam

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...