Sabtu, 27 Desember 2014

SERBA SALAH

Penampilan presiden RI ke 7Joko Widodo alias Jokowi dan ibu negara alias first lady Iriana yang apa adanya sebagaimana layaknya masyarakat biasa, selalu mengundang pro dan kontra. Ada yang suka melihat kesederhanaan yang mereka tampilkan, tetapi tidak kurang pula yang menganggap penampilan mereka sebagai pencitraan belaka.
Masyarakat Indonesia memang terlalu biasa dengan pola pikir feodalisme. Citra bahwa seorang ksatria atau raja, pastilah gagah, tampan dan pandai sementara seorang sekar kedaton dan permaisuri  sangat cantik, lembut. Penampilan mereka pastilah sangat mewah dan tentu berbalut pakaian kelas atas lengkap dengan perhiasan emas permata yang berkilauan.
Pada era modern image tersebut diterjemahkan bahwa para penguasa negara dan pejabat lainnya yang berjenis kelamin lelaki harus gagah dan berwajah tampang sementara yang perempuan pastlah cantik kemayu dengan penampilan "berkelas" baik baju maupun tatanan rambut.  Ibaratnya .... pakaian kalau tidak atau belum mampu membeli karya adibusana kelas dunia, maka karya adibusana kelas nasional pastu diburu habus. Tas harus bermerek yang harganya aduhai. Belum lagi jam tangan, tas, sepatu dan lainnya. Di luar dari itu semua, sesuatu yang sangat khas adalah .... si perempuan akan menata rambutnya dengan disasak tinggi serta melebar seperti sarang burung. Entah bagaimana cara tidur mereka ...... atau bisa jadi, mereka memiliki penata rambut sendiri yang siap sedia melayani setiap pagi hari 
Era kepemimpinan Jokowi, menjungkirbalikkan segalanya .... Wajah dan penampilan Jokowi yang ndeso, caranya saat mengunjungi dan berdialog dengan masyarakat yang tanpa canggung, yang kemudian populer dengan istilah mblusukan, menunjukkan bahwa Jokowi memang pemimpin rakyat  yang siap sedia melayani. Itulah yang sebenarnya layak dilakukan seorang pemimpin untuk menyerap kondisi riel masyarakat. Namun di sisi lain ada pula yang menganggapnya sebagai pencitraan yg tidak perlu.
Padahal ... mari bandingkan mblusukan ala Jokowi dengan setting dialogis pemimpin dengan masyarakat yang diatur dan diselenggarakan di pendopo kabupaten    . Apa yang akan diperoleh oleh pemimpin dari 2 situasi yg berbeda bagai langit dan bumi tersebut ....? Mendatangi dan berdialog langsung di tempat masyarakat beraktifitas, atau mengumpulkan masa di sebuah pendopo yang .... ah... kok seperti jaman raja-raja dahulu? Sepertinya, akan tetap ada yang menganggap bahwa apa yang dilakukan Jokowi tidak lebih dari pencitraan  
Belum lagi penampilan Iriana sebagai ibu negara yang sangat jauh dari stereotype istri pejabat yang kinclong dan menor ... Pakai kerudung/jilbab seperti yang pernah dilakukannya saat periode kampanye.... salah.....!!! Kemudian saat dia membuka kerudung/jilbabnya... lebih salah lagi  , karena memang pada dasarnya Iriana bukanlah perempuan berhijab.Tapi .... bukankah banyak juga perempuan berjilbab dengan cara asal cantol .... Seolah berjilbab, namun jambul masih nongol...., atau lehernya masih terlihat. Masih tergiur memamerkan giwang berlian yang gemerlap di telinga. Belum lagi pakaiannya. Walau menggunakan gaun panjang, tapi tetap dengan model dan gaya sexy berwarna warni sehingga menarik perhatian orang.
Mungkin itu sebabnya, seorang teman pernah bercerita bahwa konon kabarnya, teman-teman lama Iriana berusaha keras membujuknya untuk mengubah penampilannya sebagai first lady. Agar penampilan Iriana menjadi agak lebih "berkelas". Nggak ndeso seperti saat ini. Padahal ... ndeso atau berkelas ... mewah ataupun sederhana sesungguhnya bergantung pada kenyamanan pribadi.
Gaya sederhana ini juga akhirnya terbawa pada penampilan para menteri perempuan. Mereka semua nyaris tampil berbeda dengan menteri perempuan pada kabinet-kabinet terdahulu. Mungkin hanya Nila Moeloek saja yang bergaya à la pejabat sebagaimana yang diinginkankan masyarakat. Maklum juga karena yang bersangkutan adalah istri mantan menteri jaman lalu.
Jadi ..... apakah kita memang masih memandang penampilan wah para pejabat masih menjadi suatu keharusan? Jangan lupa .... kemewahan yang mereka tampilkan sebetulnya dibebankan pada masyarakat. Bukankah kita sering membaca berita betapa besarnya anggaran pakaian/rumah tangga pejabat daerah. Apakah stereotype pejabat & keluarga harus tampil berkelas dan kinclong lebih penting daripada kinerjanya?.

Jumat, 28 November 2014

Pelayanan Medis di Indonesia

Sore itu, menjelang jam pulang kantor, kami berkumpul di ruang rapat untuk mengecek daftar undangan di ruang rapat. Salah satu anak boss akan menikah, sementara daftar undangan masih belum fixed. Saking banyaknya ... Maklum, bapak si pengantin lelaki memang salah satu tokoh nasional, jadi wajar kalau daftar undangannya "segunung".

Salah satu rekan keluar dari ruangan. Mungkin ke toilet atau untuk keperluan lain. "Anak" itu sepertinya memang punya masalah besar dengan pencernaannya, jadi dalam satu hari, frekuensinya keluar - masuk toilet cukup sering. Kebetulan, toilet khusus direksi perusahaan memang tepat berada di sebelah ruang kerja saya. 

Suasana kantor sudah agak sepi, beberapa staff, satu persatu mulai meninggalkan ruang kerjanya. Begitu juga suasana di ruang rapat. Walau ada beberapa orang yang masih bekerja meneliti daftar undangan, namun semua bekerja dalam hening. Cukup hening sehingga semua terkejut tatkala terdengar sayup-sayup teriakan riuh para sekretaris kantor di luar ruang rapat. Segera saja, semua yang berada di ruang rapat berhamburan ke ruang tengan kantor.

Di tengah ruang, dekat meja marmer yang kerap kami gunakan untuk diskusi, rekan yang tadi meninggalkan ruang rapat berdiri tegak. Tegak tanpa gerak. Mukanya pucat, pias ... dan bibir digigit menahan sakit. Dia sama sekali tidak bisa bergerak. Semua panik ... bingung ... gak tahu apa yang harus dilakukan. Yang paling "mengerikan" adalah membayangkan kalau sesuatu yang fatal terjadi, karena kurang dari 1 bulan, dia akan menikah.

Semua sibuk menelpon..., ke calon istri, itu sudah pasti. Lalu ke orangtuanya, ke rumah sakit yang berada tidak jauh dari kantor dan .... ke praktek Chiropractic di bilangan Senayan yang sering didatanginya. Semua di telpon saling silang. Yang pertama adalah bagaimana prosedur penanganan awal untuk mengurangi kesakitannya. Kasihan kan...., jangankan duduk, menggerakkan tangan sedikit saja sudah membuat dia berteriak keras karena kesakitan.

Melihat keadaan seperti itu, sudah pasti, dia tidak akan mungkin dibawa ke luar kantor, kami diusahakan, dirayu agar ada pelayanan medis yang bisa datang ke kantor. Ini sudah bukan masalah berapa harus membayar ... Ini masalah kesulitan yang amat sangat untuk bergerak. Ternyata ...... tidak mudah mendapat pelayanan di tempat. Semua yang dihubungi menolak datang .... Mungkin kami salah tempat yang dihubungi, tetapi... itulah yang terjadi. Tidak ada satupun yang bersedia datang. Alasannya macam-macam .. dari yang masuk akal sampai yang absurd sekalipun. Intinya .... tidak ada pelayanan di tempat, berapapun kita bersedia membayar .... Mereka hanya memberikan saran untuk mengoles bagian yang sakit (pinggang) dengan voltaren atau mengkompres dingin hingga hilang rasa sakit, lalu membawanya ke tempat praktek dokter/chiropractic. Itu maksimum pelayanan yang bisa diberikan....


Hadeuh ...... kebayang kan, kalau ada yang sakit berat yang akut seperti serangan jantung, stroke/pecah pembuluh darah dan sejenisnya ... Bisa meninggal sebelum mendapat layanan medis atau meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Maka .... hebohlah seisi kantor mencari voltaren dan es untuk mengkompres. Cukup lama melakukan kompres tersebut. Mungkin ada sekitar 1 jam, hingga rasa sakit agak "mereda" dan si penderita bisa melangkahkan kaki, walau tertatih-tatih dan dipapah.

Naik ke dalam mobil, menekuk badan serta menggeser badan agak memperoleh posisi duduk yang nyaman juga merupakan penderitaan berat. Entah bagaimana cara si pengantar membawa dan mengantar sampai akhirnya tiba di tempat praktek.

Begitulah pelayanan medis di kota metropolitan. Di tengah maraknya iklan-iklan pelayanan medis dan menjamurnya rumah sakit yang ditujukan kepada golongan menengah atas, pelayanan pada pertolongan pertama serangan akut, rasanya masih sangat menyedihkan. Bayangkan .... kalau pelayanan untuk masyarakat "berduit" saja begitu "menyebalkan", apalagi untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah yang hanya mampu mengandalkan pelayanan gratis yang dijanjikan pemerintah?
***

Pelayanan medis di Indonesia masih sangat jauh dibandingkan dengan pelayanan medis di negara maju. Mungkin ada ketertinggalan hampir 50 tahun terutama untuk pelayanan emergency di tempat pasien.

Pemerintah memang sudah berusaha berjalan dan menuju perbaikan pelayanan kesehatan. Namun hambatannyapun tidak sedikit. Sepertinya ada yang merasa "kenyamanan dan keamanan" pundi-pundinya hilang apabila program Indonesia sehat versi pemerintah berjalan dengan baik.

Protes ...? 
Kepada siapa dan siapa yang harus protes ...
Ketika kalangan berpunya lebih memilih jalan pintas
Membanjiri pelayanan medis di negara jiran
Mungkinkah masih ada kepedulian mereka ...
Padahal ...
Justru merekalah yang "bisa bersuara"
dan ...
Mengubah segalanya agar menjadi lebih indah
Bagi mereka yang membutuhkan

Wallahu alam


Rabu, 29 Oktober 2014

Hipokrisi masyarakat Indonesia


Sebagian besar masyarakat Indonesia hingga abad ke 21 ini ternyata masih sangat feodalis dan hipokrit. Senang memakai "topeng" tatkala tampil ke hadapan publik. Tapi ..... mungkin bukan hanya masyarakat Indonesia saja, masyarakat duniapun terhinggapi "penyakit" hipokrit. Itu sebabnya dikenal adanya manner dan etiket dalam pergaulan internasional.

Akan halnya di Indonesia, topeng-topeng ini berdampak pada beragam "kriteria" yang seakan "wajib" disematkan dan dilakukan oleh "pejabat publik" sosialita dan selebriti.
Lihat saja penampilan para pejabat maupun istri/keluarganya, para sosialita dan selebriti. Yang lelaki, harus terlihat gagah dan rapi. Berpakaian "mewah" kalau perlu pakai jas sambil memamerkan merek di bagian pergelangan tangan, memakai jam merek terkenal seharga ratusan juta bahkan hingga milyaran rupiah serta berkendaraan mewah. Punya hobi main golf atau mengendarai motor gede.
Sementara yang perempuan seperti merasa "wajib" mengecat warna rambut serta menyasak tinggi2 rambutnya hingga berbentuk seperti sarang burung dan karenanya harus memiliki "hair stylist" yang mengurusi rambutnya setiap hari. Padahal menyasak rambut, memakai foam untuk menjaga "sasakan" rambut malah akan merusak kesehatan rambut dan gatal. Sementara itu, wajah dipoles dengan make up tebal, atau melakukan minimal botox, kalau kebetulan tidak memiliki waktu atau keberanian melakukan operasi plastik agar kisut dan kerut wajah menghilang .... Pakaian harus rapih buatan perancang mode terkenal. Kalau bisa dari Paris atau Milan. Tas bermerek terkenal, baik dari dalam maupun luar negeri sama seperti bajunya .... dan memakai perhiasan berkilauan. Seringkali nggak jelas mau kerja, rekreasi atau pesta ... Ingat kan, saat pelantikan anggota legislatif yang baru lalu?
Dari sisi pendidikan, semua orang rasanya, minimal harus memiliki pendidikan S1 kalau bisa malah S2 atau S3/Doktor. Pokoknya ada deretan gelar akademis di depan maupun di belakang namanya, supaya terlihat intelek. Setelah itu harus memiliki gelar profesor. Apalagi kalau jabatan Menteri jadi incaran... Ini akan lebih dihargai. Lupa bahwa profesor itu bukan gelar akademis tapi profesi sebagai guru ... pengajar/pendidik. Maka ramailah para pejabat publik mengejar gelar-gelar akademis. Nggak peduli lagi apakah pendidikan lanjutan tersebut sesuai dengan minat/kebutuhan pekerjaan atau apakah universitas tempat memperoleh gelar tersebut memang terakreditasi atau universitas abal-abal.

Maka tatkala pejabat tidak memiliki pendidikan mumpuni, ramailah orang mencibir dan berkomentar negatif. Padahal manusia diciptakan Tuhan dengan beragam kemampuan. Bahasa kerennya multiple intelligent. Lihatlah .... betapa orang-orang sukses dalam bisnis di negara maju dan bahkan di Indonesia sendiri, banyak dari golongan "putus sekolah". Kenapa ....? Karena ternyata sekolah itu membelengu kreatifitas. Pendidikan mengajarkan terlalu banyak resiko. Segalanya dianalisa dari sudut pandang "negatif"nya dulu. Faktor resikonya. Sementara peluang yang menciptakan kreatifitas tanpa batas, seringkali dilupakan.
Belum lagi urusan asal-usul keluarga. Bobot - bibit - bebet. Seperti ada kasta dalam kehidupan sosial ... Anak pedagang "harus" jadi pedagang .... Nggak boleh jadi pejabat tinggi. Anak pejabat tinggi pasti dan pantasnya harus jadi pejabat tinggi lagi .... Padahal... ada banyak anak dari kalangan "atas" yang terjerumus pada perilaku buruk .... dan untuk mereka ada "maaf dan permakluman....". Tapi kalau orang-orang dari kalangan biasa berperilaku tidak sesuai dengan "topeng2 dan imaji" masyarakat, maka cacian dan cercaan ditebar .... Persis perilaku feodalistis.

Anak dokter biasanya akan "dipaksa" orangtuanya menjadi dokter pula, karena sang ortu  melihat hanya profesi dokterlah yang bisa menjamin kehidupan si anak kelak. Jadi alasan jadi dokter, bukan pengabdian. Kalau orangtuanya dulu kerja di bank, mati-matian pula dia akan menganjurkan si anak kerja di bank. Seakan tidak ada profesi lain yang menjanjikan hidup "mapan" selain kerja di bank.
Itu sebabnya ..... tatkala wajah ndeso memasuki istana, maka banyak orang yang belum rela ... karena sepertinya istana hanya diperuntukan "kalangan atas". Bukan untuk kalangan dan wajah ndeso ..... Manakala seorang perempuan berpendidikan "rendah", bertato, perokok dan nyeleneh diangkat menjadi pejabat tinggi negara, orang ramai mencaci. Sementara koruptor lalu lalang sambil tersenyum simpul melambaikan tangan tanpa malu. Sepertinya, kita ..... lebih menghargai kosmetika dan hipokrisi berseliweran di muka kita, di media cetak maupun layar kaca.

Sedih dan sangat ironi.
Padahal ....
Katanya, kita seringkali dianjurkan untuk "harus bermimpi setinggi langit..."
Meraih kehidupan yang lebih baik ...
Dan seharusnya semua wajib dan punya hak bermimpi yang sama...
Atau ....
Adakah perbedaan antara langit masyarakat kalangan atas dengan langitnya kalangan bawah...?

Senin, 27 Oktober 2014

siswa, sekolah dan orangtua

Hari Sabtu 25 Oktober 2014, bertepatan dengan libur tahun baru Hijriah, saya terpaksa membatalkan acara keluar kota untuk menghadiri resepsi pernikahan staff kantor. Pembagian raport tengah semester yang semula dijadwalkan pada hari Jum'at, diundur menjadi Sabtu. Apa boleh buat ..., mengambil raport sekolah jauh lebih penting, apalagi si anak sudah duduk di kelas XII.

Kami tiba di sekolah, jam 08.20. tempat parkir di area sekolah sudah relatif penuh. Beruntung masih ada tempat di depan kantin. Jadi .... nggak perlu jalan terlalu jauh. Ini kebiasaan dari kebanyakan orang Indonesia..., malas jalan hehe....... Daftar dan ambil nomor untuk pengambilan raport, lalu masuk aula untuk bincang-bincang dan tanya jawab dengan direktur sekolah dan kepala sekolah. Acara ini biasanya diawali dengan paparan direktur sekolah mengenai kegiatan sekolah, kondisi anak-anak, hubungan orangtua dengan sekolah dan banyak lagi.

Ibu Al .... sang Direktur Sekolah memang "cerewet" dalam banyak hal, terutama dalam menjaga "perilaku anak muridnya". Anak-anak remaja ini pasti jengkel banget dengan kecerewetan ibu Al .... Bahkan tidak bisa dipungkiri sebagian orangtua juga tidak terlalu suka dengan ketatnya aturan sekolah. Contohnya saja kebijakan sekolah untuk melarang siswa membawa smartphone ke sekolah. Jadi siswa sekolah ini hanya diperkenankan menggunakan telpon genggam standard yang fungsinya hanya untuk menelpon dan mengirim sms saja. Cameraphone...? No way... Apalagi smartphone.

Jadi ... sebagaimana apa yang dikatakan ibu Al, banyak siswa dan orangtua yang merasa "terjebak" memasukkan anaknya bersekolah di SMA di bilangan Sawangan ini. Rasanya ... begitu juga kami ....
***
Perkenalan kami dengan sekolah yang menamakan diri Global Islamic School ini dimulai beberapa bulan sebelum anak kami (yang sekarang sudah duduk di kelas XII ... Jadi tepat 6 tahun yang lalu) duduk di kelas 6 SD. Si anak, sebagaimana kakaknya dulu, memang tidak kami masukkan ke sekolah negeri. Alasannya cukup sederhana ... si anak keberatan masuk sekolah jam 06.30 sementara kami orangtua yang kebetulan keduanya bekerja, ingin agar hari Sabtu bisa dimanfaatkan untuk kegiatan bersama, setelah 5 hari kerja relatif tidak memiliki waktu yang nyaman untuk bercengkerama.

Ada banyak sekolah swasta - SMP yang saat itu kami jadikan alternatif pilihan, walau dengan beberapa catatan. Yang terutama tidak kami rekomendasikan adalah sekolah-sekolah yang baik orangtua maupun murid-muridnya memiliki kecenderungan hedonisme/borjuis. 

Pilihan utama kami adalah sekolah yang mau menghargai kemampuan anak, bukan sekedar dari nilai akademis tetapi penghargaan sekolah pada bidang non akademis. Memang ada banyak sekolah-sekolah yang menproklamirkan diri sebagai sekolah sebagaimana yang kami inginkan. Tapi ..... biaya sekolahnya itu lho .... extraordinary expensive dan pada akhirnya kami bisa terjebak pada perilaku borjuis. 

Sekolah bagus tetapi "murah" memang sukar ditemukan, apalagi semua sekolah "ideal" itu umumnya sekolah swasta dan pasti identik sekolah mahal. Mahal atau tidak, tentu relatif ... tapi kalau sekolahnya sudah menawarkan olahraga seperti berkuda...., rasanya ini juga terlalu berlebihan.


Maka .... setelah berdiskusi panjang lebar di meja makan, kami memutuskan untuk memilih sekolah (Global Islamic School) di bilangan Margasatwa ini. Sebetulnya, sekolah ini sudah masuk "radar" untuk kami pilih sebagai tempat pendidikan anak kedua kami sejak si anak masuk pendidikan SD. Namun lokasi sekolah (SD) di Cinere terlalu jauh, 12km dari rumah, menyebabkan kami mengurungkan niat tersebut. Baru pada jenjang SMP itulah kami masukkan anak ke sekolah yang sebelumnya, lokasi tersebut kami ketahui sebagai sekolah tingkat TK/SD dengan label lain.

Pendek kata .... 3 tahun di SMP berlalu dengan baik, tanpa halangan. Tentu kami merasa tidak aneh dan sama sekali tidak keberatan bila si anak ingin meneruskan SMA yang sama. Apalagi, saat acara perpisahan sekolah, kepala sekolah menyebutkan bahwa SMP tersebut mendapat peringkat akreditasi tertinggi se Jakarta Selatan dan menjadi salah satu dari 2 SMP di Jakarta Selatan yang meluluskan siswanya tanpa kecurangan sedikitpun. Prestasi ini tentu sangat membanggakan dan mengharukan. Bukan saja buat sekolah, tapi juga buat orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya disana. 

Seperti 3 tahun sebelumnya, usai ujian tengah semester pertama di kelas IX, kami mulai mendiskusikan ke sekolah mana si anak melanjutkan SMA nya. Tentu lengkap dengan beragam alternatif sekolah swasta yang kami anggap baik.  Seingat saya, ada 4 sekolah yang kami rekomendasikan. 2 SMA berada sekitar 500m - 1km dari kantor. Harapannya adalah agar si anak bisa berangkat dan pulang bersama ibunya. Terkontrol kegiatannya... begitulah mau si orangtua. 2 sekolah lagi justru berada sekitar 2 km dari rumah. Bisa dijangkau dengan kendaraan umum.

"Nggak mau ... aku nggak mau masuk sekolah itu...!", sahutnya saat kami menyodorkan nama 2 sekolah yang berada tidak terlalu jauh dari kantor saya.
'Kenapa...? Kan bisa berangkat sama2 setiap hari...", saya membujuk si anak agar masuk ke sekolah yang memiliki label sama dengan sekolah kakaknya dulu
"Kalau nggak mau sekolah itu ... Sekolah Islam itu aja deh... Kan ada teman SDmu dulu, di sana...!"
"Nggak ....!"
"Lho .....??? Ya sudah..... yang dekat rumah aja deh, kalau begitu... Pilih salah satu... Sekolah A atau sekolah B!"
"Nggak dua-duanya..."
"Kenapa ....?"
"Kan mama sudah bilang, sekolah A itu sekolah borju... gimana sih...?"
Hehe .... si emak lupa, kalau 3 tahun yang sebelumnya memang tidak merekomendasikan sekolah itu.

"Ya sudah .... yang B aja deh....!"
"Nggak .... nggak dan nggak ....!"
"Adooooh ..... kenapa sih...."
"Ma ...aku gak suka sama anak2nya..."
"Hm .... sok tahu! Gaul aja enggak, mau sok menilai siswa sekolah lain lagi..!"
"Aku kan diceritain teman2 ...., anak2nya tuh ma... suka foto2an sexy dan norak ... terus di upload... Emang mama mau anaknya masuk ke sekolah yang begitu...? Nggak deh....!"

"Jadi, kamu maunya kemana ...?"
"Ya ke sekolah yang sama....", sahutnya merujuk sama sekolah dengan label yang sama dengan SMPnya.
"Masya Allah .... jauh banget ......!!! Nggak sanggup, aku kalau harus antar jemput kesana tiap hari. Sudah uzur nih. Kamu juga nanti akan terlalu cape dan stress...! Cari yang dekat aja deh...!"
"Nggak ....!"
"Ampun deh .... kaya nggak ada sekolah lain aja..."
"Biarin ...."

Aduh duh .... pusing juga untuk memenuhi permintaan itu, walau dalam hati terselip rasa syukur yang sangat besar bahwa penolakan anak kami masuk sekolah yang kami usulkan adalah karena alasan moralitas. Dia tidak suka dengan perilaku siswa-siswa sekolah tersebut.

"Ok ... kalau hanya sekolah itu yang jadi pilihan, apa boleh buat, tapi dengan satu syarat!"
"Apa ..."
"Harus mau masuk asrama. Bukan karena kami membuang anak karena tidak memenuhi permintaan untuk sekolah di Jakarta, tapi ini demi keamanan dan kenyamanan semua. Pertama, jarak rumah ke sekolah cukup jauh. Minimal 2-3 jam terbuang setiap hari untuk perjalanan pergi dan pulang. Ini pasti melelahkan, apalagi kalau ada PR. Kamu pasti gak bisa belajar lagi begitu sampe rumah. Kemudian kalau bapak tidak bisa menjemput ke sekolah berarti ada kesulitan besar, bagaimana kamu pulang ke rumah. Kami sama sekali tidak mau kamu naik taxi/angkutan umum di sore/menjelang malam, apalagi sendiri. Nggak ada cerita deh! Jadi kalau tetap mau masuk sekolah itu, tidak ada pilihan lain kecuali masuk asrama!"
"OK .... siapa takut...?", tantangnya....


Begitulah kejadian 3 tahun yang lalu, sebelum dia mengikuti test masuk SMA, berhasil diterima, masuk asrama dan bersekolah hingga sekarang duduk di kelas XII. Tidak terasa 3 tahun begitu cepat berlalu.

Tentu tidak mudah menjalaninya baik bagi orang tua maupun si anak. Pada bulan-bulan pertama, kami mengalami kesulitan membujuknya kembali ke asrama. Dia merasa terbuang ketika kami memintanya bersiap kembali ke asrama .... Memang ada rasa sedih melihatnya begitu tertekan harus kembali ke asrama. Apalagi, anak kami yang 2 orang itu relatif hidup seperti 2 anak tunggal. Hidup "sendiri" pada masanya, mendapat perhatian penuh dari ke dua orangtuanya pada saat kecil hingga masa remaja. Sehingga kamipun relatif merasa kehilangan dengan absennya keberadaan anak di rumah. Tapi anak manja ini memang harus konsisten dengan pilihannya. Dia harus memegang teguh dan konsekuen dengan pilihan sekolahnya.

Kami mungkin sedikit beruntung, bahwa dibandingkan dengan kakak lelakinya, si gadis lebih terbuka. Jadi kami relatif bisa memantau kegiatan, masalah-masalah yang dihadapinya, baik masalah di sekolah maupun masalah pribadi. Tentu pada koridor yang ingin dia ceritakan kepada kami, orangtuanya.
***

"Ibu/bapak jangan terkejut kalau sekolah menerapkan kebijakan sidak ke kelas seperti yang baru2 ini kami lakukan di kelas X" sayup-sayup terdengar suara ibu Al menceritakan tentang kegiatan sidak ponsel siswa, hingga grup diskusi orangtua yang berisi "keberatan" atas sidak yang dilakukan guru-guru karena dianggap melanggar privasi siswa.

Tenang bu Al .... saya juga melakukan inspeksi isi sms/wa/bbm di smartphone anak saya, begitu dia meninggalkan smartphonenya saat kembali ke asrama. Dengan demikian kami bisa mengetahui apa saja isi pembicaraan si anak dengan teman2nya. Jadi sidak ponsel di sekolah, juga kami lakukan kok ...

Bu Al masih melanjutkan banyak cerita tentang beragam kenakalan dan perilaku kebablasan siswa yang .... sungguh mati bikin hati saya "mencelos" .... Ngeri membayangkan kalau hal itu terjadi.Saya teringat beberapa kali pembicaraan kami di rumah;
"Aku sebel ma ...., teman-teman juga ternyata sama aja tuh .... Ada juga yang suka macam2", keluhnya suatu hari...
Atau di hari lain .... si anak juga mengeluh...
"Sebel ah... guru-guru rese banget.... kepo deh ..."
"Eits... gak boleh menduga yang buruk .... gimana kamu tahu mereka kepo?"
"Ye ..., mereka tuh canggih-canggih urusan sadap menyadap isi sms... Bayangin aja, masa aku pernah disangka bawa hp ,,, padahal mama tahu kan, hpku kan pasti ditinggal di mobil, kalo aku balik ke asrama...."
"Ya bilang aja ke gurunya... kalau perlu minta konfirmasi ke mama. Jangan dibikin susah lah...! Kamu mesti inget deh ... perilaku remaja itu dimana aja, sama. Maunya bebas ... nggak mau dilarang dan selalu merasa benar. Merasa terlalu dikekang... Kamu beruntung, sekolah/ibu dan bapak guru punya komitmen kuat menjaga anak muridnya supaya tidak tergelincir. Jadi buka karena kepo... Sebetulnya guru-guru itu ketakutan anak muridnya tergelincir ...Di dunia, itu jadi tanggung jawab mereka kepada orangtua dan masyarakat. Nah... nanti di akhirat diminta pertanggungjawaban juga lagi ...! Kasihan kan? Jadi beruntung kamu sekolah disitu ... Kalau gurunya cuek, nah seperti sekolah B itulah jadinya" 
***
Malam minggu setelah penerimaan raport tengah semester itu, kami keluar rumah untuk makan malam. Sebetulnya si anak menerima undangan peringatan ulang tahun ke 17 dari salah satu teman sekolahnya yang diselenggarakan di sebuah hotel di bilangan Depok. Sempat juga kami tawarkan si anak untuk hadir...

"Emang mama mau antar ke sana? "
"Kalau kamu mau hadir, boleh aja kami drop, nanti dijemput lagi"
"Mama nggak konsisten ih ...!
Eits ..... kaget juga dengar komentarnya ...
"Maksudnya...?"
"Dulu mama bilang nggak boleh hadir acara ulang tahun di hotel...!"
"Sebetulnya, bukan nggak boleh hadir acaranya. Boleh aja sih, karena kamu kan mesti gaul juga, asal tahu batas dan tahu waktu. Hidup juga nggak bisa steril banget. Ini yang jadi dilema buat orangtua."
"Ya sudah .... aku kan sudah mutusin gak hadir..."
"Ya ...., asal tahu aja, yang dilarang bukan acara ulang tahunnya. Tapi perayaan berlebihan apalagi diselenggarakan di hotel. Rasanya kurang pantas deh buat siswa sekolah..."

Ihwal perayaan ulang tahun secara berlebihan di hotel, pernah juga disinggung oleh bu Al, pada pertemuan, mungkin tahun yang lalu. Namun ternyata, walau hanya satu atau dua orang saja, tetapi masih selalu ada saja yang merayakan ulang tahun ke 17 anaknya secara berlebihan.
*** Pendidikan anak termasuk memilih tempat pendidikan anak yang kita anggap baik, rasanya tidak serta merta melepaskan seluruh tanggung jawab pendidikan anak terutamadalam hal moralitas kepada sekolah. Apalagi untuk pendidikan anak remaja yang penuh gejolak. Harus ada kesatuan visi dan misi dan tujuan pendidikan itu antara sekolah dan orangtua. 

Seperti yang disampaikan ibu Al ... sekolah tidak bisa dijadikan "musuh" tetapi harus jadi mitra dalam mendidik anak. Orangtua harus percaya bahwa sekolah memberlakukan beragam peraturan untuk kebaikan si anak. Kalau visi, misi dan tujuan pendidikannya dan sekolah dianggap kurang sesuai dengan gaya hidup keluarga siswa, mungkin orangtua tersebut telah salah memilih sekolah buat anak-anaknya.

Wallahu alam 





Sabtu, 25 Oktober 2014

Pesan untuk Presiden dan wakilnya

20 Oktober 2014, acara pelantikan presiden RI ke 7 dan wakilnya membuka sejarah baru.
Belum pernah terjadi selama ini, bahwa masyarakat secara spontan dan sukarela menyelenggarakan acara penyambutan pelantikan presiden. Apakah hal ini karena sosok, penampilan dan perilaku Joko Widodo yang sangat merakyat, baik asal-usul, profesi sebelumnya sampai pada wajahnya yang sangat "ndeso"..... sehingga "memancing" simpati masyarakat untuk "habis-habisan" mendukungnya ... Tentu sebagian lagi masih mencibirnya ... ya sudahlah ... Faktanya sekarang, Jokowi sudah dilantik dan resmi jadi presiden RI.
Sambutan meriah yang disampaikan masyarakat usai pelantikan dan harapan yang tinggi kepada presiden dan wakilnya, sesungguhnya beban dan pesan dari masyarakat buat pemimpinnya... Jadi ... sang presiden dan wakilnya, jangan terburu-buru senang atas sambutan tersebut. Simaklah hal yang tersirat di balik pesta rakyat yang meriah itu...... Ini adalah bentuk "peringatan" pada presiden RI dan wakilnya yang baru dilantik:
"Jangan macam2 ya pak .....
Bapak sudah bersumpah untuk menjalankan pemerintahan dengan sebaik-baiknya
Di hadapan wakil - wakil kami ....
Walau wakil2 kami tersebut belum tentu mampu menyerap segala keinginan dan harapan kami..."
"Karenanya pak ......
Jangan Korupsi/memperkaya diri dan kelompok
Jangan ingkar janji, tepati semua....
Seperti yang bapak katakan ...
Bapak dipilih untuk memajukan Indonesia....
Maka .....
Mari kita kerja ... kerja dan kerja ...
Untuk Indonesia yang lebih baik ..."

Jumat, 24 Oktober 2014

KONTES MENTERI

Entah siapa yang memulai .....
Mungkin sejak pemerintahan babak pertama Susilo Bambang Yudoyono, penentuan menteri kabinet digelar seperti pelaksanaan fashion show parade. Satu demi satu calon menteri dipanggil ke kediamannya di Cikeas. Entah apa yang diperbincangkan di "dalam", yang pasti, usai bertemu dan di "interogasi" presiden terpilih, sang calon konon diminta menandatangani pakta integritas. Entah apa isi sebenarnya dari pakta integritas. Pada kenyataannya, pada masa pelaksanaan tugas, pakta integritas yang telah ditandatangani itu juga tidak "berbunyi" apa-apa.....

Kemudian .... sang calon dengan "agak canggung ... entah ge-er atau jaga image alias jaim, dikerubuti wartawan di tanya ini-itu dan menjawab basa-basi bilang cuma diajak omong ini itu tanpa arah .... Dan jawaban ini tentu saja basa basi yang benar-benar basi dan nggak bermutu. 

Sementara di media massa, baik televisi yang sekarang jumlahnya seabreg-abreg, maupun media cetak para pengamat politik dan elemen masyarakat lainnya berkomentar panjang lebar, tentang calon menteri maupun tata cara presiden menentukan menterinya ... Sok kritis, sok analitis ... tapi mungkin lebih banyak dan lebih tepat disebut sok tahu ... Sok tahu masalah, sok tahu kondisi internal dan banyak sok-sok lainnya. Begitu juga yang terjadi di kalangan netizens. 

Persis seperti laiknya penonton sepak bola .... Banyak komentar, teriak-teriak, mencaci maki pemain maupun pelatihnya.... Padahal, belum tentu si penonton bisa main sepak bola dengan benar. Jangankan bermain sepak bola..., lari 1 kali putaran lapangan bola saja belum tentu sanggup. Apalagi lari sambil mengamati larinya tendangan bola, memposisikan diri di arah operan teman atau merebut bola dari lawan serta menyelamatkan gawang dari serbuan tendangan bola lawan. 

Para kritikus dadakan itu, termasuk juga para netizen mungkin lupa bahwa ada makna yang tersirat atas sambutan dukungan masyarakat yang luar biasa usai pelantikan presiden. Yaitu ... masyarakat berharap banyak pada presiden dan mereka akan mengamati siapa yang dipilih sebagai menteri dan bagaimana kinerja pemerintahan mendatang. Tidak ada makan siang yang gratis ..... maka tidak ada pula sambutan tanpa harapan yang besar.

Kerja pemerintah mendatang pasti sangat berat. Belum lagi hambatan teknis dan non teknis yang menyertai "luka" pertarungan pemilihan presiden yang baru lalu. Walau sang kompetitor sudah meraih simpati publik kembali dengan penampilan dan kehadirannya saat pelantikan presiden terpilih. Namun aroma persaingan masih belum luntur baik di kalangan masyarakat maupun di arena "lembaga legislatif". Di bilang menjegal kelancaran pemerintahan, pasti mereka tidak sudi... Tapi gestur tubuh, mimik muka maupun susunan pilihan kata sudah menunjukkan segalanya. 

Apalagi sang presiden juga "mengacak-acak" nomenklatur-penamaan kementeriannya. Walau maksudnya baik, untuk menyesuaikan dengan program kerja, akan selalu ada ketidaksukaan yang bisa jadi ada dasarnya namun bisa juga sekedar bermain-main untuk mengetest "kemampuan" presiden menangani "konflik kepentingan ini. Tapi begitulah yang namanya penonton .... termasuk kita sebagai penonton/masyarakat yang menunggu susunan kabinet Presidensial 2014-2014.

Sepertinya, penentuan dan penetapan menteri kabinet pada era pak Harto dulu, jauh lebih baik ... "Kontes" menteri dijalankan dalam senyap, tidak banyak melibatkan orang lain. Atau mungkin juga karena yang dilibatkan oleh pak Harto dalam penentuan menteri sangat menjaga "mulut" mereka. Tinggallah mereka yang merasa "gede rasa alias ge-er" dan yang sangat berambisi menjadi menteri kasak-kusuk mencari celah agar nama dan kemampuannya masuk "radar cendana". 

Mereka berharap cemas dan bisa jadi tidak bisa tidur berhari-hari. Menunggu telpon dari cendana ... Padahal ... bisa jadi dering telpon yang kemudian datang malah telpon debt collector atau dari orang-orang iseng mempermainkan mereka karena tahu persis betapa ngebetnya si dia menjadi menteri ...
Walau begitu ... 
Itulah simbol HAK PREROGATIF presiden sepenuhnya ...
Memang jaman berbeda ...
Presidennya juga berbeda ....
Harus diakui, Suharto memang powerful ...
Dan dia juga diktator yang bersembunyi dalam kelembutan etnis Jawa 
yang sangat menguasai medan pertarungan...
Di balik senyumannya yang lembut mengayomi

dari Sang jendral

Jumat, 17 Oktober 2014

NEW HOPE for all

Ada rasa haru, "surprise" dan bangga membaca berita bahwa rencana pelantikan presiden RI periode 2014 - 2019 kali ini melibatkan banyak elemen masyarakat dari mulai ibukota negara Jakarta hingga ke berbagai provinsi Indonesia. 

Tidak atau belum pernah terjadi, sepanjang pengetahuan saya, bahkan pada era pemerintahan Suharto sekalipun, pelantikan presiden diikuti dengan kirab budaya dan pesta rakyat. 

Mungkin juga belum pernah terjadi bahwa pelantikan presiden RI diminati dan diperhatikan oleh masyarakat dunia. Berbagai media internasional menaruh minat besar untuk meliput. 

Pemimpin negara bukan saja negara tetangga tetapi juga negara maju menyatakan akan hadir atau menunjuk wakilnya untuk menghadiri acara pelantikan ini .....

Di dalam negeri, ada yang menyambut acara ini dengan rasa senang dan bangga ... Namun di antaranya dan tidak dapat dipungkiri, ada tidak sedikit elemen masyarakat yang memandang dan menilai negatif fenomena ini. Luka akibat proses pemilihan presiden ternyata begitu dalam dan memang tidak mudah disembuhkan. 

Apapun alasannya ..., tentu akan lebih baik kalau kita berpikir positif ...
Bahwa perhatian yang besar baik dari dalam negeri maupun luar negeri sekaligus merupakan "beban berat" bagi pemerintahan baru. Karena hal ini menandakan bahwa pemerintahan baru Republik Indonesia diperhatikan dan diharapkan oleh banyak orang ... Baik di dalam maupun luar negeri ...

Semua mata memandang dan akan menilai, mengkritisi segala sepak terjang pemerintah. Menguliti dan mungkin juga menjegal. Semua mata masyarakat akan meminta dan bahkan menuntut agar pemerintah terutama presiden dan wakilnya amanah dan memegang teguh kepercayaan yang sudah diraih ... 

Memastikan agar langkah mereka semata-mata ditujukan untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa dan negara ... Dan untuk keharmonisan kehidupan masyarakat dunia ...

NEW HOPE for ALL .....


Inshaa Allah .....

Rabu, 15 Oktober 2014

MENILAI DENGAN JUJUR

Era social media pada abad ke 21 dan ditunjang dengan era keterbukaan dan demokrasi di Indonesia menyuburkan keberadaan netizen. Masyarakat memiliki media untuk mengekspresikan segala yang ada di pikiran dan hatinya dalam bentuk tulisan yang bernada positif maupun negatif serta dalam bentuk foto. Tulisan tersebut juga mencakup kritikan pedas/pujian, saran, makian kasar terutama kepada pemerintah yang tidak disukai dan bahkan tulisan berupa fitnah keji. Hal terakhir ini banyak terjadi pada masa kampanye pilpres 2014 yang baru lalu. Yang bekas-bekasnya masih terasa hingga saat ini.

Tulisan berisi fitnah memang sudah mulai mereda ... untuk tidak atau belum bisa dikatakan berhenti. Yang belakangan ini menonjol adalah penolakan terhadap rencana pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai gubernur DKI Jakarta yang dilakukan oleh segelintir masyarakat dengan membawa label agama. Penolakan dengan alasan bahwa Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta yang sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta beragama non muslim.

Tentu menjadi sangat menyedihkan bahwa hal ini terjadi di ibukota negara yang diandaikan bahwa penduduknya lebih berpendidikan, terbuka alias open minded, heterogen dan lainnya yang seharusnya mencirikan strata sosial-ekonomi-politik dan budaya lebih tinggi dibandingkan dengan bagian wilayah manapun di Indonesia. tapi.... itulah yang terjadi.

Di luar isu agama, Ahok - panggilan Plt Gubernur DKI Jakarta ini, bersama Presiden RI terpilih Joko Widodo dilanda beragam isu negatif berkenaan (tentu saja) masalah pengelolaan pemerintahan mereka di DKI Jakarta yang ujung-ujungnya berkaitan dengan pengelolaan dana. Mereka dituduh korupsi .... Begitu bahasa jelasnya.

Saya tidak ingin menyoroti masalah tuduhan itu karena memang tidak memiliki bukti baik untuk membenarkan ataupun membantah tuduhan itu, tapi hanya ingin menuliskan pengalaman dan pengamatan atas perubahan yang terjadi di Jakarta selama masa pemerintahan pasangan Jokowi - Ahok yang baru mau memasuki tahun ke 3 ini.

Saya lahir di Jakarta namun besar di daerah. Masa kuliah saya lewati di Jakarta, namun setelah menikah saya keluar lagi dari Jakarta dan baru kembali masuk ke Jakarta pada tahun 2000. Jadi sudah masuk tahun ke 15 saya kembali bermukim di wilayah DKI Jakarta.

Jakarta tentu banyak mengalami perubahan fisik. Gedung bertingkat modern tumbuh memenuhi seluruh wilayah DKI Jakarta bahkan berimbas ke kota-kota/wilayah yang berbatasan langsung dengan Jakarta seperti Bekasi-Tangerang dan Depok. Di balik semua perkembangan dan pertumbuhan tersebut, ada satu kehilangan yang mencirikan pembangunannya. Pada era pemerintahan ALI SADIKIN, perkembangan dan pembangunan kota ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Bang Ali membangun gelanggang remaja dan kolam renang di 5 wilayah Jakarta, Taman Ismail Marzuki, pemindahan kebun binatang dari kawasan Cikini ke Ragunan, pembangunan TMII, Taman Impian Jaya Ancol, Pusat Perfilman Usmar Ismail, Gelanggang Mahasiswa dan banyak lagi.  Itu hanya sebagian hasil kerja bang Ali Sadikin.

Pada masa itu beragam pembangunan fasilitas kota ditujukan bagi masyarakat umum non komersial. Kalaupun ada tiket masuk, maka harga tiketnya adalah minimal. Berbeda dengan era selanjutnya, pekembangan dan pembangunan fasilitas kota lebih banyak dilakukan oleh kalangan swasta dan tentunya dengan tujuan komersial. Bahkan ..... beberapa fasilitas umum milik Pemda DKI saat ini malah dikuasai dan dikelola swasta.

Selama masa 15 tahun tinggal di kawasan Jakarta Selatan, baru pada masa pemerintahan Jokowi-Ahok saya melihat, merasakan dan menikmati mulusnya jalan raya dari rumah ke kantor serta beberapa jalan raya lainnya. Mengapa ...? Karena jalan rusak yang semula dan biasanya hanya diperbaiki secara sporadis dan setempat, sejak ditangani oleh Jokowi-Ahok diperbaiki dan dilapis ulang sepenuhnya. Bukan lapis ulang hotmix sekedarnya tetapi betul-betul lapisan ulang standard setebal 5cm. Darimana mereka memilik dana? Padahal kita sama tahu bahwa APBD DKI Jakarta sempat "dijegal" oleh DPRD.

Pemda DKI di bawah kepemimpinan Jokowi memang menuai banyak kritik misalnya karena penyerapan APBD rendah, tidak lagi memperoleh Adipura, penilaian "buruk" BPK atas audit keuangan, kegagalan proyek pemesanan bus transJakarta yang memupus keberhasilan program prorakyat lainnya yang dilaksanakan mereka.

Adalah suatu hal yang aneh, bagaimana pemda membiayai beragam programnya sementara penggunaan APBD, katanya terserap rendah. Ahok juga menyikapi dengan santai "kegagalan" Jakarta Pusat meraih Adipura untuk ke 3 kalinya karena dia menganggap bahwa seluruh wilayah DKI Jakarta memang belum layak menerima Adipura. Ini adalah jawaban yang sangat jujur ... karena memang, wilayah DKI yang layak dianugerahi Adipura hanyalah wilayah jalan protokol dan kawasan perumahan elite.

Jokowi dan kini Ahok yang belum juga dikukuhkan sebagai gubernur DKI Jakarta memang tidak luput dari kekurangan..... tapi saya percaya bahwa dia punya niat tulus membangun DKI Jakarta. Keberhasilannya kelak dalam membangun DKI Jakarta sangat mungki menjadi "tiket: buat Ahok merambah posisi lebih tinggi, sebagai presiden RI.... Kenapa tidak, kalau memang dia bisa dan mampu membuktikan keberhasilannya ....?

Kamis, 04 September 2014

Merindukan Kehadiran KPAI

Anak lelaki itu berjalan terseok-seok dengan susah payah, di sela-sela kendaraan yang sedang antri di per4an jalan Pati Unus dengan jalan Kyai Maja. Kulitnya hitam mengkilat dan badannya bulat - liat. Sekel ... begitu konon istilahnya dalam bahasa Jawa. Di bahunya tergantung kantung kresek bening yang masih terisi penuh. Sementara di tangannya, tergenggam beberapa kantung kertas tissu yang dijualnya. 

Dia tak mampu berjalan cepat ...., tidak seperti temen-temannya lainnya yang langsung berlarian menjajakan tissu. Rp.10.000,- untuk 3 bungkus tissu. Kalau kita diam saja, dia akan menurunkan harga jualnya menjadi Rp.10.000,- untuk 4 bungkus.

Saya melihatnya untuk pertama kali sedang menjajakan dagangan yang sama, tissue muka di warung yang buka di sepanjang jalan Raden Patah, di antara gedung kantor Kementerian Pekerjaan Umum dengan masjid Al Azhar, di suatu malam minggu usai menunaikan shalat Maghrib. Kala itu, kami sedang kebingungan mengisi acara dan encari tempat makan, sambil menunggu anak gadis kami yang menghadiri acara ulang tahun teman sekolahnya di Residence 8 - jalan Senopati.


Langkahnya yang terseok-seok itulah yang menarik perhatian saya. Rupanya dia menderita cacat bawaan. Salah satu telapak kakinya tumbuh tidak sejajar dengan telapak kakinya satunya lagi. Sehingga, kalau dia berdiri maka salah satu telapak kakinya tumbuh tegak lurus terhadap kaki yang satunya lagi. Itulah yang menyebabkannya kesulitan berjalan.

Malam itu, dia memang tidak menghampiri kami ... atau mungkin lebih tepat, saya tidak memperhatikan kehadirannya. Hanya saja begitu dia menjauh dan saya juga selesai menikmati makanan, maka baru saya memperhatikannya dari kejauhan dan menyadari kondisi tubuhnya. Prihatin dengan kondisinya, sambi berjalan menuju mobil, saya menyelipkan sedikit uang di genggaman tangannya, begitu saja agar tidak terlihat terlalu mencolok.

Beberapa hari kemudian saya mulai melihat kehadirannya di per4an Pati Unus dan Kyai Maja itu, setiap jam pulang kantor menjelang maghrib.
"Bu .... beli tissunya ya .... sepuluh ribu tiga bu ....!"
"Wah .... saya masih punya tissu. Lihat deh, kotak tissue nya masih penuh kan...? Saya kasih duit aja deh ....!"
"Jangan bu ...., mending ibu beli aja... Biar dagangan saya cepat habis.... 10 ribu empat deh ....", sahutnya lagi dengan wajah memelas.


Prihatin dengan kondisinya, saya ingat di samping tempat duduk ada uang lembaran 2.000 yang biasa digunakan untuk parkir. Saya ambil 10 lembar untuk membayarnya.
"Uangnya lebih bu ...."
"Iya ... nggak apa..., ambil aja...."
"Nanti saya dimarahi bu .....!"
"Siapa yang marah ....?"
oups ..... belum sempat pertanyaan saya terjawab, lampu lalu lintas sudah berubah hijau.

Sejak itu, seminggu 2x, anak lelaki itu selalu menghampiri mobil saya, setiap kali saya terhenti di per4an tersebut dan saya selalu tidak sampai hati untuk menolaknya. Maka jadilah bungkusan tissu tersebut menumpuk di dalam mobil.

"Kamu tinggal dimana ...?" tanya saya pada suatu sore.
"Di Tanjung Duren bu ..."
"Masih sekolah ...?"
"Masih bu ..."
"Oh ......"

Terbayang betapa jauhnya jarak dari Tanjung Duren ke wilayah Blok M untuk lokasi dagang anak sekolah dasar. Kemana orangtuanya ....? Sebegitu miskinkah mereka hingga anaknyapun harus turut mencari nafkah. Terbersit juga pikiran, andai anak itu yatim piatu, mungkin urusan bisa lebih mudah. Tinggal mengajaknya tinggal di rumah dan memberikannya kesempatan untuk bisa sekolah dengan tenang dan memperoleh lingkungan hidup yang lebih baik.
"Ibu dan bapakmu masih ada...?"
"Masih bu ...., masih lengkap ...!"

Wah ...., susah juga kalau begini. Walau tidak ingin berburuk sangka, tetapi bukan tidak mungkin, justru orangtuanyalah yang memanfaatkan kecacatan si anak untuk mengetuk rasa iba orang sehingga jualannya bisa lebih cepat laku.
***

Pedagang asongan anak-anak banyak berseliweran di per4an jalan. Umumnya menjual kertas tissu atau bunga mawar, kalau malam minggu. Usianya rata-rata masih di bawah 12 tahun. Bahkan ada juga pedagang asongan anak yang bahkan tinggi badannya pun masih belum mencapai tinggi lampu kaca spion mobil sedan. Entah berapa usia anak sekecil itu.
Sedih rasanya melihat anak-anak sekecil itu berkeliaran dan berlarian di antara mobil-mobil yang sedang antri di per4an jalan menunggu lampu hijau.

Saya lalu teringat pada KPAI alias Komite Perlindungan Anak Indonesia yang beberapa tahun lalu begitu getol menjadi mediator perebutan anak antara anak mantan penguasa negeri ini dengan mantan istrinya yang "kabur" ke Singapore. Tidak juga bisa kita lupakan betapa mereka begitu gegap gempita melindungi Arumi Bachsin saat dia berselisih dengan ibu kandungnya serta berbagai kasus yang menimpa beberapa selebriti negeri.

Mungkin KPAI juga banyak melindungi anak-anak jermal atau pedagang asongan anak-anak, namun karena nilai beritanya tidak menaring, maka media massa tidak meliputnya. Tetapi .... tentu menjadi pertanyaan besar ... mengapa pedagang asongan anak makin bertambah jumlahnya .... Mengapa anak-anak kecil masih bisa berkeliaran dan berlarian hingga larut malam di per4an jalan raya? Dan yang sangat menyedihkan ..... kondisi ini terjadi di ibukota negara .... tempat domisili KPAI yang Komite Perlindungan Anak Indonesia ...
Masih adakah mereka .....?
Tolonglah anak Indonesia dari golongan masyarakat berpenghasilan rendah itu .... Mereka jauh lebih memerlukan kehadiran anda dibandingkan para selebriti yang pasti mampu membayar pengacara untuk membantu mengatasi masalahnya.

Memang tidak mudah menyelesaikan masalah ini.
Sudah menjadi lingkaran setan yang mungkin sulit terurai
Tapi tentu bukan mustahil bila dilakukan dengan penuh kesabaran
Keikhlasan ....
Niat baik dan rasa cinta
Wallahu alam ...

Jumat, 18 Juli 2014

TENTANG FITNAH-FITNAH ITU

Satu lagi tulisan yang sangat INDAH dan MENYENTUH dari Fahd Djibran atau Fahd Pahdepie
***
“Kiai, maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai Husain. Aku memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan kepalaku sedalam-dalamnya. Tetes-tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipiku. “Maafkan saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus mengulangi kalimat itu.

Dua tangan Kiai Husain memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”
“Tapi, Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?”

Kali ini Kiai Husain mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”
Dengan lunglai, aku berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah itu, Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.

Kiai Husain tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah apapun dari diriku.”

Aku terus menundukkan kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah, kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah keji tentangnya: Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.

Aku menatap Kiai Husain yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya. Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan memfitnahnya hanya gara-gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda denganku? Padahal aku tahu hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini dibandingkan keluhura budi pekertinya?
***

“Kiai, ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung perasaannya.
Kiai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kiai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kiai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain.
Kiai Husain tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kiai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”
Kiai Husain tersenyum.
“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Kiai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
***

Keesokan harinya, aku menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Kiai. Maafkan saya…”

Kiai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah…” kata Kiai Husain.

Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”

Aku terkejut mendengarkan permintaan Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kiai Husain.
“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kiai Husain.
***

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.

Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus berjalan.
Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.
***

Hari berikutnya aku menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kiai Husain.
Kiai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirullah al-adzhim… Astagfirullahal-adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Kiai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim...”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan...”
Astaghfirullah al-adzhim!

Melbourne, 17 Juli 2014
*Cerpen ini diinspirasi oleh sebuah ceramah ba’da tarawih di Masjid Westall, Westbank Avenue, Calyton South, Victoria, Australia.

Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International Relations, Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne. Dapat ditemui di twitter @fahdisme.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...