Jumat, 18 Juli 2014

TENTANG FITNAH-FITNAH ITU

Satu lagi tulisan yang sangat INDAH dan MENYENTUH dari Fahd Djibran atau Fahd Pahdepie
***
“Kiai, maafkan saya! Maafkan saya!” Aku tersungkur-sungkur di kaki Kiai Husain. Aku memegangi dua tungkai kakinya yang kurus. Aku berusaha merendahkan kepalaku sedalam-dalamnya. Tetes-tetes air mata mulai menerjuni kedua tebing pipiku. “Maafkan saya, Kiai… Maafkan saya…” Aku terus-menerus mengulangi kalimat itu.

Dua tangan Kiai Husain memegang lengan kiri dan kananku, “Bangunlah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”
“Tapi, Kiai…” Aku terus berusaha merendahkan diriku di hadapan Kiai Husain yang sedang berdiri, “Bagaimana mungkin semudah itu? Bagaimana mungkin semudah itu?”

Kali ini Kiai Husain mencengkram kedua bahuku dan berusaha mengangkat tubuhku, “Berdirilah,” katanya, “Aku sudah memaafkanmu.”
Dengan lunglai, aku berdiri. Aku terus menundukkan wajahku. “Bagaimana mungkin semudah itu, Kiai?” Aku terus mengulangi ketidakpercayaanku.

Kiai Husain tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau akan belajar dari semua ini,” katanya, “Apapun yang telah kau katakan tentangku, tak akan mengubah apapun dari diriku.”

Aku terus menundukkan kepalaku. Aku didera malu luar biasa oleh sosok yang dalam beberapa minggu belakangan bahkan beberapa bulan terakhir ini kujelek-jelekkan secara membabi-buta. Bukan hanya membicarakan hal-hal buruk darinya: kiai palsu lah, kiai partisan lah, kiai liberal lah—bahkan aku juga menyebarkan fitnah-fitnah keji tentangnya: Bahwa pesantrennya dibiayai cukong-cukong hitam, bahwa ia menganut aliran sesat, bahwa ia tak Ingin Islam maju, dan apapun saja yang bisa menjatuhkan harga diri dan nama baiknya.

Aku menatap Kiai Husain yang kini sedang merapikan beberapa kitab di rak-rak di ruang bacanya. Bagaimana mungkin selama ini aku tega menghina, menjelekkan dan memfitnahnya hanya gara-gara ia memiliki pilihan dan pendapat yang berbeda denganku? Padahal aku tahu hari-harinya dihabiskan untuk mempelajari ilmu agama, waktu luangnya diisi dengan membaca al-Quran dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah, dan kebaikan hatinya telah meringankan serta melapangkan banyak kesulitan orang-orang di sekelilingnya. Apalah aku ini dibandingkan kemuliaan dirinya? Siapalah aku ini dibandingkan keluhura budi pekertinya?
***

“Kiai, ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.” Aku berusaha menjaga nada bicaraku, tak ingin sedikitpun sekali lagi menyinggung perasaannya.
Kiai Husain terkekeh. “Apa kau serius?” Katanya.
Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan. “Saya serius, Kiai. Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Kiai Husain terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Kiai Husain kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yang bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku. Beberapa jenak kemudian, Kiai Husain mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kau punya sebuah kemoceng di rumahmu?” Aku benar-benar heran Kiai Husain justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.
“Maaf, Kiai?” Aku berusaha memperjelas maksud Kiai Husain.
Kiai Husain tertawa, seperti Kiai Husain yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku, “Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Kiai Husain benar-benar serius dengan permintaannya. “Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Kiai. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”
Kiai Husain tersenyum.
“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya, “Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kau mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kau lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Kiai Husain adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…
“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Kiai Husain. Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.
***

Keesokan harinya, aku menemui Kiai Husain dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.
“Ini, Kiai, bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Kiai. Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Kiai yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Kiai. Maafkan saya…”

Kiai Husain mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya. “Seperti aku katakana kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kau hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Kiai Husain yang lembut, menyejukkan hatiku.
“Kini pulanglah…” kata Kiai Husain.

Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Kiai Husain melanjutkan kalimatnya, “Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kau menuju pondokku tadi…”

Aku terkejut mendengarkan permintaan Kiai Husain kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya: “Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yang tadi kaucabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kau kumpulkan.”
Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Kiai Husain.
“Kau akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Kiai Husain.
***

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan. Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana saja ke tempat yang kini tak mungkin aku ketahui.

Tapi aku harus menemukan mereka! Aku harus terus mencari ke setiap sudut jalanan, ke gang-gang sempit, ke mana saja!
Aku terus berjalan.
Setelah berjam-jam, aku berdiri di depan rumahku dengan pakaian yang dibasahi keringat. Nafasku berat. Tenggorokanku kering. Di tanganku, kugenggam lima helai bulu kemoceng yang berhasil kutemukan di sepanjang perjalanan.

Hari sudah menjelang petang. Dari ratusan yang kucabuti dan kujatuhkan dalam perjalanan pergi, hanya lima helai yang berhasil kutemukan dan kupungut lagi di perjalanan pulang. Ya, hanya lima helai. Lima helai.
***

Hari berikutnya aku menemui Kiai Husain dengan wajah yang murung. Aku menyerahkan lima helai bulu kemoceng itu pada Kiai Husain. “Ini, Kiai, hanya ini yang berhasil saya temukan.” Aku membuka genggaman tanganku dan menyodorkannya pada Kiai Husain.
Kiai Husain terkekeh. “Kini kau telah belajar sesuatu,”katanya.

Aku mengernyitkan dahiku. “Apa yang telah aku pelajari, Kiai?” Aku benar-benar tak mengerti.
“Tentang fitnah-fitnah itu,” jawab Kiai Husain.
Tiba-tiba aku tersentak. Dadaku berdebar. Kepalaku mulai berkeringat.
“Bulu-bulu yang kaucabuti dan kaujatuhkan sepanjang perjalanan adalah fitnah-fitnah yang kausebarkan. Meskipun kau benar-benar menyesali perbuatanmu dan berusaha memperbaikinya, fitnah-fitnah itu telah menjadi bulu-bulu yang beterbangan entah kemana. Bulu-bulu itu adalah kata-katamu. Mereka dibawa angin waktu ke mana saja, ke berbagai tempat yang tak mungkin bisa kau duga-duga, ke berbagai wilayah yang tak mungkin bisa kauhitung!”

Tiba-tiba aku menggigil mendengarkan kata-kata Kiai Husain. Seolah-olah ada tabrakan pesawat yang paling dahsyat di dalam kepalaku. Seolah-olah ada hujan mata pisau yang menghujam jantungku. Aku ingin menangis sekeras-kerasnya. Aku ingin mencabut lidahku sendiri.
“Bayangkan salah satu dari fitnah-fitnah itu suatu saat kembali pada dirimu sendiri… Barangkali kau akan berusaha meluruskannya, karena kau benar-benar merasa bersalah telah menyakiti orang lain dengan kata-katamu itu. Barangkali kau tak tak ingin mendengarnya lagi. Tetapi kau tak bisa menghentikan semua itu! Kata-katamu yang telah terlanjur tersebar dan terus disebarkan di luar kendalimu, tak bisa kau bungkus lagi dalam sebuah kotak besi untuk kau kubur dalam-dalam sehingga tak ada orang lain lagi yang mendengarnya. Angin waktu telah mengabadikannya.”

“Fitnah-fitnah itu telah menjadi dosa yang terus beranak-pinak tak ada ujungnya. Agama menyebutnya sebagai dosa jariyah. Dosa yang terus berjalan diluar kendali pelaku pertamanya. Maka tentang fitnah-fitnah itu, meskipun aku atau siapapun saja yang kau fitnah telah memaafkanmu sepenuh hati, fitnah-fitnah itu terus mengalir hingga kau tak bisa membayangkan ujung dari semuanya. Bahkan meskipun kau telah meninggal dunia, fitnah-fitnah itu terus hidup karena angin waktu telah membuatnya abadi. Maka kau tak bisa menghitung lagi berapa banyak fitnah-fitnah itu telah memberatkan timbangan keburukanmu kelak.”

Tangisku benar-benar pecah. Aku tersungkur di lantai. “Astagfirullah al-adzhim… Astagfirullahal-adzhim… Astagfirullah al-adzhim…” Aku hanya bisa terus mengulangi istighfar. Dadaku gemuruh. Air mata menderas dari kedua ujung mataku.
“Ajari saya apa saja untuk membunuh fitnah-fitnah itu, Kiai. Ajari saya! Ajari saya! Astagfirullahal-adzhim…” Aku terus menangis menyesali apa yang telah aku perbuat.

Kiai Husain tertunduk. Beliau tampak meneteskan air matanya.“ Aku telah memaafkanmu setulus hatiku, Nak,” katanya, “Kini, aku hanya bisa mendoakanmu agar Allah mengampunimu, mengampuni kita semua. Kita harus percaya bahwa Allah, dengan kasih sayangnya, adalah zat yang maha terus menerus menerima taubat manusia… InnaLlaha tawwabur-rahiim...”

Aku disambar halilintar jutaan megawatt yang mengguncangkan batinku! Aku ingin mengucapkan sejuta atau semiliar istighfar untuk semua yang sudah kulakukan! Aku ingin membacakan doa-doa apa saja untuk menghentikan fitnah-fitnah itu!
“Kini kau telah belajar sesuatu,” kata Kiai Husain, setengah berbisik. Pipinya masih basah oleh air mata, “Fitnah-fitnah itu bukan hanya tentang dirimu dan seseorang yang kausakiti. Ia lebih luas lagi. Demikianlah, anakku, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan...”
Astaghfirullah al-adzhim!

Melbourne, 17 Juli 2014
*Cerpen ini diinspirasi oleh sebuah ceramah ba’da tarawih di Masjid Westall, Westbank Avenue, Calyton South, Victoria, Australia.

Fahd Pahdepie atau dikenal juga dengan nama pena Fahd Djibran adalah mahasiswa Postgraduate di School of Politics and International Relations, Monash University, Australia. Saat ini tinggal di Melbourne. Dapat ditemui di twitter @fahdisme.

Kamis, 17 Juli 2014

Antara Zakat dan Pajak Pribadi

Setiap tahun ... menjelang dan selama bulan Ramadhan, ramai bertebaran spanduk di jalan, iklan di media cetak maupun layar kaca, mengajak umat Islam menunaikan kewajibannya mengeluarkan zakatnya terutama Zakat atas harta kekayaannya, apakah itu dari emas perhiasan yang dimilikinya, pertambahan nilai kekayaan (uangnya) dan bahkan dari hasil pertanian/ternaknya. Bahkan belakangan ini, ajakan menunaikan "kewajiban" berzakat diimbuhi ajakan untuk "pesan rumah di surga", yang menurut saya, sangat berlebihan dan cenderung membodohi masyarakat.

Mengapa ajakan zakat selalu ramai dikumandangakn di bulan Ramadhan? 
Konon karena ustadz dan khatib dalam khotbah selama bulan Ramadhan selalu ramai mengingatkan bahwa pahala atas segala "kebaikan" dan ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadhan akan "diganjar" pahala yang berlipat ganda. Padahal, kalau mengacu pada adanya zakat atas hasil pertanian/ternak, menurut saya zakat sebaiknya, kalau tidak boleh dikatakan "wajib", selayaknya dikeluarkan saat terjadinya transaksi. Misalnya kalau zakat hasil pertanian, tentu dikeluarkan/dihitung saat terjadinya panen. Kalau zakat hasil ternak kalau binatang ternaknya akan dijual. Jadi seketika ....

Kalau menunggu waktu 1 tahun, nanti uang hasil penjualan hasil pertanian/ternaknya habis terpakai untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi ... masih ada yang ingat nggak ya, kalau hasil pertanian/ternak juga wajib diperhitungkan zakatnya? Saya sih cuma tiba-tiba saja teringat dengan pelajaran agama Islam bab Zakat saat di SMP dulu. Semoga mereka yang memiliki ternak dan sawah/kebun/ladang ingat bahwa mereka wajib mengeluarkan zakatnya atas hasil yang diperoleh.


Memang, kenapa ya harus menunggu 1 tahun dulu?. Bukankah kalau kita mensegerakan segala amal dan perbuatan baik, maka itu akan jadi lebih baik buat kita?. Hati-hati lho, seringkali kalau kita menunda hingga 1 tahun, kemudian terasa betapa besarnya zakat yang "sudah jatuh tempo" sementara kebutuhan menjelang lebaran meningkat anak, istri/suami ingin beli baju lebaran yang baru ... para assisten di rumah wajib diberi sangu pulang plus segala macam extranya --> THR, kue-kue, baju lebaran, ongkos perjalanan. Belum lagi extra makanan yang "seolah menjadi wajib" tersedia di atas meja makan saat Lebaran ...  Padahal, tamu juga merasa bosan melihat hidangan yang hampir seragam dari satu rumah ke rumah yang lain ... Ada lagi biaya perjalanan pulang kampung yang harus dipersiapkan termasuk juga oleh-oleh "sekedarnya" yang harus dibawa pulang, bagi mereka yang terbiasa merayakan Idul Fitri di kampung halaman tempat orangtua/sanak saudara berada.

Nah ... kalau sudah begitu, bukan tidak mungkin terjadi "peperangan" baik di dalam batin kita sendiri atau dengan anggota keluarga lainnya. Maka kemudian kita "merasa ada ganjalan" akan kewajiban mengeluarkan zakat? Semoga saja tidak, karena wajarnya, kita patut bersyukur kalau kita memiliki keluasan rejeki sehingga segala pernak-pernik yang mengiringi datangnya bulan Ramadhan itu bisa terpenuhi dengan baik dan bahkan masih mampu menyisihkan untuk membantu saudara dan tetangga yang hidup dalam kekurangan
***


Belakangan ini juga marak imbauan baik di email, Facebook, twitter yang mengajak untuk TIDAK LAGI mengirim zakat ke lembaga-lembaga pengelola ZIS professional namun dianggap sebagian orang, komersial. Kita diimbau untuk kembali menyalurkan ZIS ke mesjid-mesjid, panti asuhan dan kaum dhuafa dimana kita berada, atau menyalurkannya kepada keluarga dekat yang memang membutuhkannya.

Adakah yang salah dengan lembaga pengelola ZIS? Rasanya secara konsep, tidak ada yang salah. Potensi dana ZIS yang luar biasa besarnya bila dikelola dengan baik dan benar serta disalurkan melalui program pemberdayaan masyarakat yang terpantau dan terpadu, secara berangsur diharapkan bisa menghapus atau minimal mengurangi kemiskinan.

Namun "kecurigaan" atas tingkat "keamanahan" dari lembaga tersebut masih melekat. Kalau mau jujur, jarang ada yang percaya dengan lembaga amil zakat yang dibentuk pemerintah, apalagi pengumpulannya dilakukan dengan cara "setengah memaksa". Pengurus RT/RW dibebani kewajiban untuk menarik zakat dari warganya .... Mungkin mereka lupa bahwa walaupun zakat merupakan salah satu ibadah wajib, tetapi sebagaimana menjalankan shalat, puasa, berhaji ..., tidak ada seorangpun yang bisa menghukum kita, kalau kita lalai menjalankannya, kecuali iman kitalah yang membuat kita mau melakukannya.

Sekarang, memang ada lembaga-lembaga penerima dan penyalur zakat yang bisa dipercaya. Sebut saja salah satunya adalah Yayasan Dompet Dhuafa yang bertujuan agar zakat bisa tersalurkan untuk program-program pemberdayaan masyarakat. Mengapa tidak ... kalau itu bisa mengubah nasib kaum dhuafa dari kaum penerima zakat menjadi, kelak, kaum pemberi zakat. Jadi ... kalau menurut saya sih, .... zakat yang ingin dikeluarkan, dibagi dua saja... sebagian untuk kalangan dekat, yaitu mesjid dan kaum dhuafa di sekitar tempat tinggal serta sanak keluarga yang membutuhkan. Sebagian lagi dikirim ke lembaga amil zakat terpercaya. Semoga niat baik itu menjadi berkah bagi semuanya... pemberi maupun penerimanya.



Memang, TIDAK ADA SEORANGpun yang bisa mewajibkan orang lain melaksanakan kewajiban agamanya, kecuali dirinya sendiri yang mewajibkannya. Apalagi karena negara kita tidak berdasarkan agama Islam. Kalau membayar ZAKAT menjadi kewajiban umat Islam yang ditetapkan oleh pemerintah, kenapa SHALAT dan ber HAJI, tidak juga diwajibkan pelaksanaannya? Bukankah dalam rukun Islam, Shalat - Puasa - Zakat dan berhaji berkedudukan sama? Lagi pula perintah-perintah yang sifatnya keagamaan itu mutlak urusan si manusia dengan sang KHALIK? Bukan urusan antar manusia? Mereka yang mengimani keberadaanNya, tentu dengan ikhlas dan ridho akan menjalankan segala perintahNya.
***

Muncul juga wacana agar zakat bisa dijadikan faktor pengurang pajak pribadi dengan syarat
zakat harus disalurkan ke lembaga-lembaga yang ditunjuk pemerintah.

Entah apa dasarnya, karena kalau menurut saya sih, zakat dan pajak itu berbeda. Yang satu urusan pemerintah berkenaan dengan "layanan" yang kita, sebagai rakyat, terima dan rasanya dalam kehidupan sehari-hari dan karenanya ada sanksi kalau kita lalai membayar pajak. Tapi kalau zakat, siapa yang akan memberi sanksi? Mungkin ada sanksi kalau kita tidak membayar zakat di negara-negara yang menerapkan Islam sebagai dasar bernegara. Tapi kalau di Indonesia, pemerintah tidak punya hak memberikan sanksi kalau kita lalai membayar zakat. Kalau soal pahala atau dosa ....? Wah ... itu sih, nggak ada satu orangpun yang tahu.... Orang yang terlihat rajin beribadah atau mengeluarkan zakat dengan nominal yang besarnya luar biasa, belum tentu mendapat pahala yang besar juga. Lagipula ... apa sih pahala itu .... Abstrak deh .... Cuma Allah SWT yang tahu persis bagaimana pahala manusia itu diperhitungkan. Jadi, memang dalam urusan pahala, nggak jelas banget! Lagi pula, menjalankan ibadah aja kok, pake itung-itungan sih...?


Kalau kita memang beriman kepada Allah SWT, jalankan saja perintahNya... Nggak usah itung-itungan tentang pahala yang akan diterima. Ustadz boleh bilang kalau kita menunaikan ZIS di bulan Ramadhan... maka pahalanya berlipat-ganda. Itu sebabnya orang ramai mengeluarkan zakat mal yang niatnya untuk membantu kaum dhuafa, di bulan Ramadhan. Padahal.... kebutuhan kaum dhuafa kan bukan hanya untuk pengeluaran satu bulan itu saja. Masih ada 11 bulan lainnya .... Masa, yang 11 bulan itu mereka harus kelaparan?

Kalau soal pahala sih, bukan ustadz yang menentukan kalau ibadah di bulan Ramadhan memiliki pahala berlipat ganda. Mungkin benar ada hadis yang meriwayatkan hal tersebut ... tapi, bukankah pahala itu datang dari perhitungan Allah...? 

Maka... kalau kita meyakini hal itu.... tidak ada satu orangpun yang bisa memberi bocoran besaran pahala yang akan kita terima dari amal ibadah manusia. Karena hanya Allah SWT semata yang mengetahuinya ..... Wallahu'alam

Tapi... ini cuma omong kosong orang awam lho... jangan dimasukin ke hati ya, kalau nggak setuju...!

Rabu, 02 Juli 2014

Cerita JUSUF KALLA tentang BANK CENTURY

Ketemu tulisan lama tentang bank CENTURY. Karena saat ini Jusuf Kalla turun gunung dan masuk ke dalam bursa calon wakil presiden, ada baiknya juga kita baca-baca lagi tentang berbagai kasus masa lalu yang menghebohkan. Yang hingga saat ini belum terungkap dengan jelas dan diduga melibatkan banyak orang dalam pemerintahan SBY. Siapa tahu ada yang belum baca tulisan ini ...

Saya rasa, JK tidak mungkin berbohong saat menjelaskan hal tersebut.... 
Mungkin memang benar, ada "TANGAN dan KEKUATAN" lain yang lebih besar dan lebih kuat dari seorang JK yang membuat Sri Mulyani yang konon kabarnya punya integritas tinggi dan Boediono sang gubernur Bank Indonesia saat itu, baru melaporkan kasus ini kepada JK, dalam posisi wakil presiden saat itu, setelah  melaksanakan bail out ... di hari libur lagi
Siapa dibalik kasus bank Century itu....? 
Silakan berpikir...!

-------Original message--------
From: Satrio Arismunandar
Date: 30.11.2009 19:33:58

Cerita Jusuf Kalla tentang Bank Century
Catatan Dahlan, wartawan Tribun
Rabu, 25 November 2009 | 01:02 WITA
http://www.tribun-timur.com/read/artikel/59796


13 November 2008.
Pagi. Bank Century kolaps, bangkrut. Bank itu kalah kliring. Sore harinya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama rombongan, termasuk Menteri keuangan Sri Mulyani, terbang menuju Washington, Amerika Serikat, untuk menghadiri pertemuan G-20. Sri Mulyani melaporkan kondisi Bank Century kepada SBY, 14 November. Hari itu juga, Sri Mulyani kembali ke Tanah Air. 


Tiba 17 November. 
Keadaan gawat. Sejumlah tindakan genting harus diambil. Sejumlah rapat dengan Gubernur Bank Indonesia ketika itu, Boediono, harus segera digelar.

PUKUL 03.30 waktu Jakarta, Rabu, 26 November 2008.
Sri Mulyani Indrawati
Udara terasa dingin. Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, sepi. Pesawat Airbus A330-341 mendarat dengan mulus. Setelah melewati penerbangan meletihkan 30 jam dari Lima, Peru, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan rombongan turun dari pesawat. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyambut SBY dan rombongan di tangga pesawat. Kalla bukan hanya siap menyambut, melainkan juga siap melaporkan perkembangan di Tanah Air selama presiden ke luar negeri. Selama SBY melakukan misi 16 hari di luar negeri (ke Amerika Serikat, Meksiko, Brasil dan Peru), Kalla memimpin negara dan pemerintahan. Karena itu, ia segera melaporkan perkembangan di Tanah Air begitu pemberi mandat tiba.

Banyak yang dilaporkan. Salah satunya soal Bank Century. Ia melaporkan bagaimana Sri Mulyani dan Boediono menangani Bank Century. Kalla juga melaporkan, "Saya sudah memerintahkan Kapolri untuk menangkap Robert Tantular (pemilik Bank Century). Ini perampokan."
"Baik,baik ...," begitu reaksi presiden seperti dikutip Kalla ketika menceritakan kisah tersebut di Studio Trans Kalla, Tanjung Bunga, Makassar, Selasa (24/11).

Kalla terlihat lebih gemuk. Berat badannya naik dua kilo sejak lepas dari kesibukan sebagai wakil presiden, 20 Oktober 2009 lalu. Dengan air muka yang cerah, Kalla berkata: "Sekarang tanggal 24 (November). Besok tanggal 25, persis setahun ketika Ani (Sri Mulyani) dan Boediono melaporkan Bank Century di kantor saya."
***

ISTANA Wakil Presiden RI, Jakarta, pukul 16.00 WIB, Selasa, 25 November 2008.
Jusuf Kalla
Kalla ingat persis tanggal ini, lengkap dengan harinya. Ketika itu, ditemani stafnya masing-masing, Sri Mulyani dan Boediono melapor kepadanya mengenai Bank Century. Mereka harus melapor ke wapres karena presiden sedang di luar negeri. Pemilu presiden masih setahun lagi dan hubungan SBY-Kalla masih mesra.

"Apa? Bantuan? Kenapa harus dibantu. Ini perampokan," kata Kalla dengan suara keras ketika Sri Mulyani dan Boediono melaporkan "upaya penyelamatan Bank Century. Belum ada yang menduga bahwa kelak Boediono akan berpasangan dengan SBY, dan menang. Kalla adalah bos ketika itu. Menurut Kalla, kedua pejabat itu melaporkan bahwa Bank Century menghadapi masalah besar.

Masalah muncul karena krisis ekonomi global. Karena itu, Bank Century harus dibantu pemerintah dengan cara mengucurkan dana bail out (talangan). Bila tidak dibantu, demikian kedua pejabat itu meyakinkan Kalla, masalah Bank Century akan berimbas ke bank-bank lainnya. Pada akhirnya, perekonomian nasional akan oleng.

"Saya tidak setuju dengan pandangan itu. Krisis itu menghantam banyak orang. Masak ada badai cuma satu rumah yang kena. Tidak. Bila hanya Bank Century yang kena, itu bukan krisis. Yang bermasalah adalah Bank Century dan itu bukan karena krisis melainkan karena uang bank itu dirampok pemiliknya sendiri. Ini perampokan!" Kalla berteriak dengan keras.
"Lapor ke polisi," perintah Kalla kepada Sri Mulyani dan Boediono.
"Sangat jelas, ini perampokan. Jangan berikan dana talangan."
Sri Mulyani dan Boediono tidak berani. Bahkan mereka sempat bertanya, pasal apa yang akan dikenakan.

"Itu urusan polisi. Pokoknya ini perampokan," teriak Kalla lagi
Boediono
Karena melihat Sri Mulyani dan Boediono tidak menunjukkan gelagat akan memproses kasus ini secara hukum, Kalla lalu mengambil handphone-nya, menelepon Kapolri Bambang Hendarso Danuri.

"Tangkap Robert Tantular..., " teriaknya kepada Kapolri. Setelah menjelaskan secara singkat latar belakangan masalah, Kalla memerintahkan,
"Tangkap secepatnya".
"Saya tidak tahu pasal apa yang harus dikenakan. Ini perampokan, tangkap. Soal pasal urusan polisi," cerita Kalla sambil tertawa.

Dua jam kemudian, Kapolri menelepon. Robert Tantular telah ditangkap oleh tim yang dipimpin Kabareskrim Susno Duaji. Mengingat kecepatan polisi bertindak, dengan nada berkelakar, Kalla mengatakan, polisi itu baik asal diperintah untuk tujuan kebaikan.

Di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 3 September 2009, Robert Tantular diadili. Ketika membacakan duplik, pengacaranya, Bambang Hartono, memprotes Kalla. Ia menilai Kalla telah mengintervensi hukum karena memerintahkan Kapolri untuk menangkap kliennya.
"Tindakan tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia," protes sang pengacara. Menurut Bambang, penangkapan Robert Tantular tidak memiliki dasar hukum. Ia mengutip Boediono:
"Pak Boediono selaku Gubernur BI mengatakan bahwa tidak bisa dilakukan penangkapan karena tidak ada dasar hukumnya."

Mendengar protes pengacara itu, Kalla memberikan reaksi keras. Bahkan terus terang ia mengaku sangat marah. Kata Kalla,
"Saya marah karena saya disebut mengintervensi. Tidak. Saya tidak intervensi. Yang benar, saya memerintahkan polisi agar Robert Tantular ditangkap. Ini perampokan," katanya sambil tertawa. Robert telah merugikan Bank Century, yang tentu saja ditanggung nasabahnya, sebesar Rp.2,8 triliun. Bank yang "dirampok" pemiliknya sendiri itu justru mendapatkan bantuan pemerintah, melalui tangan Sri Mulyani dan Boediono, sebesar Rp 6,7 triliun. 

Pengadilan memvonis Robert penjara empat tahun dan denda Rp 50 miliar/subsider lima bulan penjara. 24 November 2009. Kalla kini bernapas lega karena apa yang diyakininya sebagai perampokan di Bank Century pelan-pelan terkuak. Hari Selasa kemarin, ia bangun pagi seperti biasa, membersihkan taman di depan rumahnya di Jl Haji Bau, Makassar. Enam anggota Paspampres (tiga dari Bugis), yang akan mengawalnya sepanjang hayat, juga ikut santai.
***
Satu demi satu ranting pohon dibersihkan. Sebuah pohon kira-kira setinggi dua meter yang bibitnya didatangkan dari Pretoria, Afrika Selatan, ikut dipangkas. Nyonya Mufidah, istrinya, protes.
"Aduh, Bapak ini tidak ngerti seni," komentar wanita Minang ini tentang pohon-pohon yang dipangkas. Kalla membela diri.
"Kalau daunnya banyak, pohon ini tidak bisa lekas besar karena makannya dibagi ke banyak daun. Kalau daunnya sedikit, makanannya dibagi ke sedikit daun. Pasti lebih cepat tumbuh."

Kalla berada di Makassar sepekan terakhir setelah pulang dari liburan di Eropa usai melepas jabatan. Di Makassar ia menghabiskan waktu dengan berdiskusi dengan kolega-koleganya, bermain dengan cucu, dan menikmati makanan kesukaannya, ikan. Di belakang rumahnya, ia menikmati pohon yang buahnya delapan jenis. Kemarin ia makan siang di sebuah restoran sea food, lalu ke Studio Trans Kalla. Warga yang melihatnya spontan berteriak dan minta foto bersama. Paspampres lebih longgar dari biasanya. Kalla ingin menikmati hidup sebagai rakyat biasa dan menghindari komentar tentang politik. Tapi kasus Bank Century, yang menguras kas negara Rp.6,7 triliun, terus menggodanya untuk berbicara.

"Saya tidak ingin rakyat terus menerus dikorbankan, " katanya berapi-api tapi dengan banyak sekali komentar off the record (tidak untuk dipublikasikan) .
***
KALLA ingat persis peristiwa tanggal 25 November 2008 itu. Hari itu Selasa sore. Sri Mulyani dan Boediono sama sekali tidak melaporkan berapa dana yang telah dikucurkan ke Bank Century. Belakangan ia tahu, sesuatu yang aneh telah terjadi. Sri Mulyani dan Boediono telah membahas rencana pengucuran dana talangan ke Bank Century melalui rapat pada 20 dan 21 November. Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) mengucurkan dana Rp 2,7 triliun (dari total keseluruhan Rp 6,7 triliun) ke Bank Century pada 22 November.

Tanggal itu merupakan tanggal merah karena hari Minggu. Sepertinya ada yang begitu mendesak sehingga LPS mengucurkan dana pada hari libur, hari Minggu. Tidak sembarang orang bisa memaksa transaksi sebegitu besar, apalagi pada hari libur. Sri Mulyani dan Boediono melapor ke Kalla pada 25 November setelah dana mengucur, bukan sebelumnya.

Hasil audit investigatif BPK juga menemukan beberapa keanehan. Misalnya, BI yang dikomandoi Boediono melanggar aturan yang dibuat sendiri demi Bank Century. Kalla belum mau bercerita mengenai keanehan-keanehan itu. Yang kelihatannya masih samar-samar adalah ini: ada kekuatan besar di balik Boediono dan Sri Mulyani.(dahlan)

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...