Selasa, 11 Oktober 2016

Pemilihan Kepala Daerah dalam Kajian sejarah Islam

Surat Al Maidah ayat 51 selalu menjadi perdebatan di media sosial Indonesia, tatkala pemilihan umum digelar. Saya menemukan tulisan yang sangat menarik berkenaan dengan ayat tersebut. Tanpa bermaksud untuk mendukung salah satu calon peserta pilkada 2017 yang akan datang, tulisan ini saya copy untuk menjadi bacaan agar kita dapat memahami kajian ayat 51 al Maidah dalam kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam.
***
Copas dr grup sebelah .......
Postingan sdr HS alumnus SR/ITB melalui FB.

Mohon izin kepada Admin untuk posting kajian pakar Sejarah Islam, agar kita tidak diadu-domba dan dicekoki pemahaman yang dipelintir: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim."

Ayat di atas sedang populer sekarang. Ayat itu selalu populer menjelang pemilu. Dalam hal pilkada DKI yang salah satu calon kuatnya adalah Nasrani, ayat ini menjadi semakin kuat bergema. Tapi apakah ayat ini soal pemilu? Apakah ini ayat soal pemilihan gubernur? Menurut saya bukan. Sejarah Islam tidak pernah mengenal adanya pemilihan umum. Juga tak pernah ada pemilihan gubernur atau kepala daerah. Satu-satunya pemilihan yang pernah terjadi adalah pemilihan khalifah. Itu pun hanya 5 kali, dan hanya melibatkan sekelompok orang yang tinggal di Madinah. Gubernur khususnya adalah pejabat yang ditunjuk oleh khalifah. Tidak pernah dipilih.

Jadi ayat ini tentang apa? 

Apakah Wali atau awliya itu soal pemimpin wilayah atau daerah? 
Bukan. Bagaimana mungkin ada ayat yang mengatur tentang pemilihan pemimpin, padahal pemilihan itu tidak pernah terjadi?

Jadi, apa yang dimaksud? Apa makna wali atau awliya? 

Wali artinya pelindung, atau sekutu. Ketika Nabi ditekan di Mekah, beliau menyuruh kaum muslimin hijrah ke Habasyah (Ethopia). Rajanya seorang Nasrani, menerima orang-orang yang hijrah itu, melindungi mereka dari kejaran Quraisy Mekah. Inilah yang disebut wali, orang yang melindungi. Kejadian ini direkam dalam surat Al-Maidah juga, ayat 81.

Adapun ayat 51 yang melarang orang menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pelindung itu adalah soal persekutuan dalam perang. Tidak ada sama sekali kaitannya dengan pemilihan pemimpin. Ini sudah pernah saya bahas, dan dibahas banyak orang.
***
Pagi ini, saya menyaksikan berita pilu. Orang-orang Arab dari Syiria dan Irak masih terus mengungsi. 

Ke mana? 
Ke Eropa. 
Siapa orang-orang Eropa itu? 
Muslimkah mereka? 
Sebagian besar tidak. Kebanyakan dari mereka, orang-orang Eropa itu, adalah Nasrani, atau atheis (musyrik). Tapi kini mereka menjadi pelindung bagi orang-orang muslim, persis seperti ketika kaum muslim hijrah ke Habasyah. Jadi, cobalah orang-orang yang rajin melafalkan ayat Al-Maidah 51 itu berkhotbah kepada para pengungsi itu. Katakan kepada mereka bahwa meminta perlindungan kepada Nasrani, menjadikan mereka wali atau awliya itu haram hukumnya. Bisakah?

Ironisnya, dari siapa mereka lari? 

Dari kaum kafir? 
Bukan. Mereka lari karena ditindas oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri, kaum muslim. Kaum muslim yang berebut kekuasaan. Utamanya Sunni melawan Syiah. Tahukah Anda bahwa bibit konflik Sunni-Syiah itu sudah terbentuk sejak Rasul wafat? Ketika orang-orang mulai kasak-kusuk untuk mencari siapa yang akan jadi khalifah, padahal jenazah Rasul belum lagi diurus. Permusuhan itu abadi, mengalirkan darah jutaan kaum muslimin sepanjang sejarah ribuan tahun, kekal hingga kini.

Tidakkah kita sebagai kaum muslim malu ketika saudara-saudara kita dizalimi oleh saudara kita yang lain, mereka meminta perlindungan kepada kaum Nasrani dan kafir? Tapi pada saat yang sama mulut kita fasih mengucap ayat-ayat yang memusuhi orang-orang Nasrani, memelihara permusuhan kepada mereka.

Ingatlah, musuh abadi kita sebenarnya bukan Yahudi dan Nasrani, melainkan rasa permusuhan itu sendiri. Rasa permusuhan itulah yang telah mengalirkan banyak darah kaum muslimin, mengalir menjadi kubangan darah sesama saudara. Sesama saudara pun bisa saling berbunuhan kalau ada permusuhan di antara mereka. Kenapa mereka berbunuhan? Politik! Perebutan kekuasaan.

Itulah yang sedang dilakukan banyak orang dengan memlintir Al-Maidah ayat 51. Berebut kekuasaan politik dengan mengobarkan permusuhan. Mereka sedang mengabadikan kebodohan yang sudah berlangsung 15 abad. 


Anda mau menjadi bagian dari kebodohan itu? 
Saya tidak. Karena saya tidak mau menjadi pengungsi seperti orang Syria

Senin, 10 Oktober 2016

Agama: Di Tengah Komoditas Politik dan Bisnis.

Ada tulisan menarik yang saya baca dari salah satu WA Group. Sepertinya ini juga tulisan yang disebar dari wa group yang satu kepada wa group yang lain. Inilah wajah masyarakat dunia di abad materialistis dimana sebagian orang "dipaksa dan terpaksa" mencari nilai spiritual di tengah ketatnya persaingan hidup.

Silakan dicermati dan dipahami untuk bahan introspeksi diri
***

“Agama itu suci, tapi pengikutnya tidak”.

Saya jadi teringat film PK, dibintangi oleh Amir Khan. Sebuah film yang sangat inspiratif; tentang bagaimana dalam beragama, kita kadang lebih patuh pada kyainya, pendetanya, biksunya, atau yang lainnya daripada agama itu sendiri. Film tersebut bahkan menjelaskan dengan satir, bahwa jangan-jangan proses keberagamaan kita dipenuhi “salah sambung” atau “wrong number”, karena apa yang kita lakukan, tidak langsung terhubung dengan Tuhan, masih melalui pengikut-pengikutNya yang lain. Tentu ini hanya perspektif yang berbeda, tapi bahwa ia menjadi fenomena dan dijumpai dalam banyak Agama, tentu saja iya.

Ini memasuki bulan-bulan Pilkada. Kita akan menyaksikan dalam proses mencari dukungan, Agama diajak lesehan ke warung dan gang-gang sempit untuk ikut berkampanye. Mereka berteriak kencang atas nama Agama, atas nama Tuhan. Dan karena Agama, siapa yang berani berbeda? Berbeda adalah nista. Maka, betapa dekatnya Agama dengan panggung politik, yang dengan sedikit intrik bisa meraup pengikut yang tidak sedikit. Fenomena ini kita temukan dimana-mana, di semua agama dan semua bangsa. Begitu pula dengan Agama dan bisnis. Dimas Kanjeng Taat Pribadi, meraup bahkan mungkin triliunan rupiah dari para pengikutnya untuk dijadikan mahar. Setelah terungkap, dan beritanya setiap hari bisa dinikmati dari berbagai media, kita baru tahu, bahwa jualan ajaran agama adalah yang menguntungkan.

Tidak hanya itu; mari kita renungkan sebuah satir yang sangat manis, yang saya peroleh dari laman FB Kongkow Bareng Gusdur:

Mari kita coba hitung berapa omzet ketika kita berbisnis agama. Contohnya ESQ, dengan 1,5 juta alumni, dan masing-masing alumni minimal membayar 1 juta bahkan yang tingkat eksekutif bisa membayar 10 juta maka omzet ESQ itu minimal 1,5 trilyun. Maka tidak heran ESQ bisa membangun gedung pencakar langit sendiri menara ESQ, padahal isi ESQ itu cuma menangis berjamaah dan isinyapun meniru model Hell House nya Kristen Fundamentalis Amerika dibumbui tipuan pseudosains.

Lalu ada gereja Bethany, Mawar Sharon, dan banyak beberapa gereja kharismatik lain, anggotanya kebanyakan orang kaya dan menengah yang menyerahkan sepersepuluh dari gaji atau keuntungannya untuk pendetanya. Kalau punya 10 saja anggota pengusaha cina yang kaya, itu sudah sama dengan punya usaha sendiri, padahal anggotanya bisa puluhan ribu orang dan seperti kita tahu, gereja Bethany Surabaya saja omzetnya 4 trilyun lebih dan bisa membangun gereja besar layaknya stadion. Belum termasuk gereja-gereja Bethany di kota-kota lain. Padahal isi gereja-gereja ini penuh kelucuan absurd misalnya bahasa roh orang meracau ga karuan yang dianggap datang dari roh kudus.

Lalu ada Yusuf Mansur yang menganjurkan orang untuk bersedekah kepadanya tanpa ada pertanggungjawaban keuangan sama sekali. Omzetnya pasti tidak kalah sama Dimas Kanjeng yang melampaui 1 trilyun. Kalau setingkat habib-habib yang suka istighosah itu omzet bisnisnya lebih kecil, jika sekali istighosah dihadiri setidaknya 2000 orang dan masing-masing nyumbang 20 ribu, maka dalam semalam bisa mengeruk 40 juta, jika bisa istighosah atau sholawatan sebulan 10 kali maka omzet habib ini mencapai 400 juta sebulan. Di agama Hindu pun banyak guru-guru beromzet trilyunan misalnya Sai Baba.

Satirnya: kalau mau kaya bisnislah agama. Ini bisnis aman karena customer tidak meminta uang kembali dan bahkan harus ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Produknya abstrak, intangible, dan mayoritas customer pasti puas. Dalam panggung politik pun begitu. Meski kita berkoar untuk tidak SARA, tapi negara demokrasi meniscayakan bolehnya berbagai pandangan.

Walhasil, Agama adalah motivasi paling sakral dalam hidup seseorang. Sekali dimainkan, hasilnya luar biasa menawan. Jangankan harta, nyawa pun akan dipertaruhkan.


Ditulis oleh:
Mustafa Afif
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan, Madura. Aktif di Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah Jakarta⁠⁠⁠⁠

Selasa, 04 Oktober 2016

SYLVIANA MURNI DALAM PUSARAN PILKADA DKI 2017

Whatsapp message yang dikirim (delivered) pada jam 04.39, baru saya baca sekitar jam 06.00. Hp dan tab memang saya set pada setelan don't disturb mode setiap jam 23.00 sampai dengan jam 06.00. Isi pesan di WA itu, rutin saja. Mengingatkan untuk melaksanakan shalat qabliyyah/shalat sunnah fajar sebelum shalat subuh, seperti pesan-pesan yang seringkali dikirimkannya pada saya selain pesan-pesan ajakan untuk shalat tahajjud. Jadi ..... saya tidak akan pernah memikirkan bahwa pengiriman pesan melalui WA tersebut dilakukan semata-mata sebagai pencitraan menjelang pilkada DKI 2017.

Saya memang jarang berhubungan dengannya. Selain pesan di WA tadi pagi, terakhir saya bicara melalui telpon beberapa jam sebelum deklarasi pencalonannya sebagai cawagub DKI 2017 bersama Agus Harimurty (calon gubernur) dari Partai Demokrat. Sejak sehari sebelumnya, saya memang sudah membaca berita tentang rencana penunjukkan Sylviana Murni sebagai pendamping Agus Harimurty. Secara etika sosial dan norma hubungan kemasyarakatan, wajar saja untuk memberi ucapan selamat, apalagi kalau dilihat dari "hubungan personal" antara saya dengan Sylviana Murni. Maka pagi hari tanggal 20 September 2016, saya mencoba menelponnya .... dan baru siang hari, menjelang waktu makan siang, dalam perjalanan menuju pasar Gedebage Bandung, saya berhasil bicara cukup lama setelah lebih dari satu tahun tidak bertemu.

Sylviana Murni, seingat saya baru muncul secara serius untuk digadang-gadang menjadi calon wakil gubernur, setelah ada wacana menjadikannya sebagai pasangan bagi Sandiaga Uno yang diusung oleh Partai Gerindra. Sebelumnya, tidak pernah ada wacana serius untuk mengangkat namanya dalam kancah pilkada 2017. Pernah sekali Ahok ditanya wartawan tentang kemungkinannya berpasangan dengan Sylviana Murni. Saat itu .... entah cuma basa-basi, atau serius, kalau tidak salah Ahok memang memuji kinerja SM dan Sarwo Handayani, keduanya adalah deputy gubernur yang disebutnya sebagai srikandi DKI Jakarta. Namun Ahok dan Teman Ahok lebih memilih Heru sebagai calon wakil gubernur DKI yang akan didukung melalui jalur independen. Sangat bisa dimengerti, karena tahun 2016 ini Sylviana sudah memasuki usia pensiun sebagai PNS Pemda DKI. 11 Oktober 2016, usianya akan genap 58 tahun. Jadi... wajar saja bila AHok ingin penyegaran di jajaran perangkat pemerintah daerah yang dipimpinnya.

Mengapa Gerindra tidak kunjung memilih Sylviana Murni sebagai cawagub mendampingi Sandi? (hehe .... nama panggilan ini akan mengingatkan nama anak sulung Sylviana Murni yang saat ini sudah berusia 34 tahun dan memberinya cucu 3 orang). Besar kemungkinan ada resistensi dari PKS yang berusaha untuk memasang Mardani Ali Sera-MAS sebagai cawagub berpasangan dengan Sandiaga Uno. Tarik menarik yang, menurut saya, kelak akan disesali setengah mati oleh Gerindra. Kepercayaan diri PKS yang terlalu tinggi atau mungkin kesombongan akan militansi grass root nya, membuat Gerindra lupa untuk mempelajari rekam jejak nama-nama yang berseliweran sebagai tokoh yang layak diajukan sebagai calon gubernur atau calon wakil gubernur yang akan diusungnya.

Sungguh mati ... sebagai orang yang melek media, baik media elektronik, media cetak maupun media sosial, saya tidak pernah mendengar sosok MAS dan prestasinya. Begitu juga dengan sosok Sandiaga Uno .... kecuali bahwa SU adalah pengusaha anak Mien R Uno yang pakar etiket dengan John Robert Power nya dan ... keributan tentang pernikahannya beberapa tahun yang lalu. Jadi .... kalau MAS dipasangkan dengan SU, wah .... itu akan seperti menggarami air laut. Mendulang suara...? Pasti .....  minimal akan diperoleh suara dari grass root PKS yang militan. Di luar itu .... entahlah .... Sandiaga terlalu elitis. Dunianya adalah kalangan jetset Jakarta. Bukan dunia rakyat kebanyakan. Lihat saja bagaimana mimik wajahnya saat dia "dipaksa" naik metro mini untuk sesi foto pencitraan diri. Terlihat sangat tidak nyaman .... dan memang sangat tidak nyaman naik kendaraan umum sejenis metromini/kopaja, walaupun sama-sama disopiri, dibandingkan dengan mobil mewah yang selalu membawanya kemanapun dia inginkan. Yang patut disayangkan juga adalah peran ketua Dewan Pembina partai Gerindra. Sebagai mantan pangkostrad, Prabowo Subianto, mungkin lalai pada kekuatan investigasi intelijen untuk menyelidiki calon-calon gubernur dan wakil gubernur yang akan diusungnya.

Berkebalikan dengan itu, Demokrat, seperti kebiasaannya, menelikung di persimpangan jalan, tentu mengamati nama-nama yang beredar di masyarakat. Nama Sylviana Murni mungkin belum lama muncul dalam daftar cawagub yang akan diusung mendampingi sang putra mahkota ..... Bisa jadi, begitu nama SM muncul ke permukaan untuk dipasangkan dengan SU, maka mata sby mulai melirik dan memperhatikannya untuk disandingkan dengan putra mahkota dinastinya. Sebagai pendiri dan penyandang dana partai demokrat, mantan presiden RI ini mungkin tidak akan pernah merelakan partai yang didirikannya "dikuasai" oleh orang di luar dinastinya. Setelah anak keduanya dinobatkan menjadi sekretaris jenderal, percaya deh .... nggak akan ada yang berani menolak kehendak sang patron menunjuk anak sulungnya untuk maju pada pilkada 2017. Tidak peduli pada kesiapan kader partai itu sendiri atau memang pengkaderan di parpol-parpol Indonesia, kecuali partai golkar, tidak pernah ada. Pengurus partai akan mengiyakan apa mau sang patron, kecuali mereka yang punya kepercayaan diri tinggi, pegang kartu truff atau memiliki dukungan kekuatan politik yang solid seperti Hayono Isman.


Sylviana Murni pasti bukan nama asing bagi sby. Dia menjabat sebagai walikota Jakarta Pusat yang juga membawahi wilayah istana dan sekitarnya, di masa pemerintahan sby. Jadi sangat besar kemungkinannya SM berhubungan baik dengan istana dalam kapasitas sebagai walikota. Observasi sby terhadap sosoknya tentu sangat mendalam. SBY tentu tahu hubungan kekeluargaan SM dengan pembantu/pejabat pada masa pemerintahannya termasuk juga latar belakang keluarga inti, pendidikan, mungkin juga ambisi-ambisinya dan yang tidak kalah penting basis dukungan publiknya untuk mengimbangi sang putra mahkota yang miskin dukungan publik kecuali paras mudanya. 
***

Lahir sebagai anak ke 3 dari keluarga asli betawi pada tanggal 11 Oktober 1958, SM besar di lingkungan masyarakat betawi di Jl. Pisangan Lama I no.42 Jakarta Timur. Dia tumbuh sebagai pemberontak di keluarganya. Sebagaimana keluarga betawi pada umumnya, orangtuanya menyekolahkan anak-anaknya ke madrasah agar mereka pintar mengaji. Nggak salah dong .... bukankah kalau kita, bukan hanya pintar mengaji (baca al Qur'an) tetapi hendaknya mengamalkan apa yang tertulis dan tersirat dalam isi al Qur'an, akan membawa kita pada perilaku yang baik. Bukan hanya sekedar taat menjalankan ibadah (ritual) tetapi juga dalam hubungan horisontal terhadap sesama manusia.

Sylviana Murni adalah pemberontak yang berhasil "memaksa" orangtuanya untuk menyekolahkannya ke sekolah umum. Bukan madrasah sebagaimana kedua kakaknya. Maka jadilah dia menempuh sekolah dari SD - SMP - SMA di sekolah umum, lalu kuliah di universitas Jayabaya. Kiprahnya tidak terhenti disitu ... dengan kepintarannya bicara yang tidak pernah mau kalah dengan yang lain, dia juga berhasil "memaksa" orangtuanya untuk memberi ijin mengikuti ajang pemilihan none Jakarte. SM berhasil terpilih menjadi none Jakarte pada tahun1981.

Mengikuti perjalanan karier dan kiprahnya di pemerintahan, saya membayangkan bahwa SM mewakili dan mewarisi ambisi sosok ayahnya yang tentara. Pasti ada ambisi dan keinginan kuat untuk "mewujudkan" impian sang ayah, dengan segala cara. Salahkah ......? Tentu tidak .... Sebagai keturunan orang betawi, tentu ada keinginan besar untuk "mengangkat" etnis betawi yang selama ini terpinggirkan untuk maju. Minimal "berkuasa" di kampung halamannya sendiri, di Jakarta yang ibukota negara Republik Indonesia. Betawi selalu berkonotasi "bodoh dan terpinggirkan" dan sangat wajar bila putra dan putri Betawi ingin mengubah citra tersebut. Bukankah dalam setiap ajang pemilihan kepala daerah, wacana kepala daerah adalah putra daerah selalu muncul? Kenapa di DKI Jakarta, kota utama di Indonesia yang menjadi ibukota negara, harapan tersebut harus diredam? Jadi memang tidak salah bila harapan menjadi gubernur DKI tidak dapat diraihnya, maka menjadi wakil gubernurpun tak apa..... Siapa tahu dalam perjalanannya, ada perubahan arah politik ....... seperti nasib yang membawa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ke kursi DKI1.

Memasangkan AHY dengan SM menurut saya adalah langkah cerdas yang diambil sby. PS boleh gigit jari dengan mengusung AB-SU dan juga boleh menyesali keterlambatannya mengambil keputusan memasangkan SU dengan SM karena digandoli PKS. Pasangan anak-ibu yang diusung Demokrat ini akan relatif lebih mudah memperoleh raihan suara masyarakat DKI Jakarta dibandingkan dengan pasangan AB-SU. Kenapa saya bilang begitu? Dibandingkan dengan AB-SU dan bahkan AHY sendiri, SM lebih memiliki basis pendukung riel. Kalau dia bekerja baik, murah hati dan "mengerti permainan" sehingga everybody happy dan bawahannya senang hati, minimal staff dan karyawan di dinas yang pernah dipimpinnya, antara lain Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pendidikan Dasar dan Menengah, Satuan Polisi Pamong Praja, kantor walikota Jakarta Pusat dan Jakarta Barat serta di kedeputian Pariwisata DKI akan mendukung dan memilihnya. Belum lagi di organisasi-organisasi kemasyarakatan yang pernah dan masih diikutinya. Minimal di Pramuka kwartir daerah DKI Jaya, lalu juga dukungan-dukungan di masyarakat betawi melalui badan musyawarah Betawi dan organisasi sejenis yang mengangkat kebetawiannya. Akses dan aktifitas kemasyarakatan tersebut pasti tidak dimiliki oleh cagub dan cawagub "salon" lainnya yang masih berkutat pada pencitraan semu. 


Dalam hal pencitraan dan interpersonal skill, SM juga sangat piawai, apalagi dibarengi dengan wajah cantiknya yang selalu tersenyum. Itu juga yang membuat saya bingung, kriteria apa yang membuat kotamadya Jakarta Pusat meraih 2 kali berturutan anugerah Adipura. Entah wilayah mana yang dinilai, karena daerah kumuh di Jakarta Pusat tidak pernah tersentuh perbaikan. Tanah Abang masih kumuh, dan baru berhasil dibenahi pada era Jokowi Ahok. Begitu pula dengan wilayah di perkampungan Kalibaru-Senen, Pejompongan/Pal Merah. Jadi ..... kalau sudah bicara mengenai "merebut" simpati pemilih, pasangan AHY-SM sudah bisa dipastikan akan menyaingi kepopuleran Ahok-Jarot. 

Pasangan AHY-SM, akan belajar banyak atau bahkan diinstruksikan sby mengenai kiat-kiatnya saat mempersiapkan kampanye dan pemenangan pilpres yang dimenanginya selama 2 periode. Mereka sangat mungkin memainkan peran "kaum berdarah biru" yang ganteng dan cantik. Masyarakat penggemar sinetron, dan pasti masih banyak di wilayah DKI Jakarta. Mereka pasti sangat suka dengan citra feodal seperti itu. Pejabat masih dicitrakan sebagaimana "kerabat kerajaan" jaman purba. Mereka adalah yang berpenampilan santun, cantik/ganteng dan memiliki pendidikan lebih tinggi dari rakyat kebanyakan. Entah bagaimana kinerja dan perilakunya, mungkin bisa tertutup oleh penampilan fisik. Begitulah kriteria pemimpin era feodal. Pasangan Ahok-Jarot hanya memiliki "kinerja yang sudah dibuktikan" yang saat ini mati-matian di down-grade oleh para pembencinya. Pasangan AHY-SM juga pasti punya banyak kelebihan dari pasangan AB-SU. Jadi .... kalau masyarakat ingin Ahok-Jarot, meneruskan masa jabatannya, maka pasangan ini harus menang dalam 1 kali putaran. Kalau tidak, perjuangan pada putaran ke 2 yang kemungkinan besar akan berhadapan dengan AHY-SM akan jauh lebih berat. Entah apakah PKS akan memainkan issue "haram memilih perempuan sebagai pemimpin" dengan asumsi kalau terjadi sesuatu dengan AHY, sebagaimana dugaan bahwa ybs akan maju pada pilpres 2019, maka SM akan naik menjadi gubernur, mengikuti Ahok pada 2015 yang lalu. Ah ... PKS mungkin akan mencari seribu dalih untuk membenarkan keputusan-keputusan politiknya atau mungkin akan ada deal tertentu antara gerindra-pks dengan kubu cikeas.

Namun demikian, apa yang bisa diharapkan dari seorang SM yang birokrat sejati?
Tahu nggak, apa yang dipegang oleh seorang birokrat sejati? Tidak ada inovasi, menunggu arahan dan semua pekerjaan akan selalu "dikekang" oleh peraturan. Diskresi ....? Mana berani? Memangnya mau kembali ke jaman orba, yang segalanya didalihkan diskresi ... Begitu yang sekarang dihembuskan para haters untuk menghantam Ahok dengan banyaknya kebijakan yang dibuatnya demi menyiasati keuangan pemda DKI setelah apbdnya terganjal oleh dprd.
***
Saya jadi teringat, suatu senja beberapa tahun yang lalu, mendapat pesan melalui bbm dar SM untuk melihat rekaman wawancaranya yang ditayangkan pada saat itu, di salah satu TV lokal, bertajuk (kalau tidak salah) "Memindahkan ibukota negara dari Jakarta".  Saya lupa dalam jabatan apa, dia saat itu, namun pada saat menonton itu pula, saya mengkritisi beberapa jawabannya dan berargumen mengenai beratnya beban fungsi pelayanan masyarakat yang disandang Jakarta. Namun dia bersikukuh dengan jawaban pamungkasnya:
"Sebagai pejabat publik, saya memang harus berpegang pada kebijakan yang telah disepakati, walau terkadang bertentangan dengan hati nurani"

Benar atau tidak jawaban apakah "kewajiban" yang harus dipegang teguh oleh pejabat publik untuk berbicara sesuai aturan dan norma, walaupun untuk itu harus menyuarakan sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani? Tergantung dari kacamata setiap orang. Namun pada era pemerintahan Joko Widodo sebagai presiden RI, saya melihat dan merasakan bahwa sekarang, banyak pejabat yang mengedepankan hati nurani untuk menjalankan apa yang dianggap baik dan benar, walaupun bertentangan dengan "kebiasaan dan aturan main" yang berlaku normal. Kita lihat, betapa Susi Pudjiastuti menjungkir-balikkan kondisi "aman, damai dan tenteram" di wilayah kelautan, dengan cara membakar dan menenggelamkan ratusan kapal penangkap ikan.

Era pencitraan dibalik topeng-topeng peraturan untuk menutupi perilaku korup dan kongkalikong sudah harus berhenti dan selesai. Kita sudah memasuki era MEA dan persaingan global yang keras dan menggila. Keras karena etika seringkali diterabas dan menggila karena kita sudah tidak bisa tahu lagi, dimana kebenaran, manakala kebohongan massal lebih dipercaya daripada kebenaran yang disuarakan dalam sunyi.

#prihatinpilkada2017

Senin, 03 Oktober 2016

JOKOWI & AHOK HANCURKAN IMPIAN SINGAPURA

Week end lalu, saya menemukan tulisan di bawah ini dalam group whatsapp yang diikuti suami. Tentu tidak semua sepakat dengan tulisan tersebut. Namun saya merasa apa yang ditulisnya, perlu disebarkan untuk membangun kesadaran masyarakat tentang apa yang sesungguhnya terjadi belakangan ini di negara Indonesia tercinta ini. Entah darimana sumber tulisan tersebut atau apa maksud di balik tulisan tersebut (jadi saya tidak bisa menuliskan sumbernya), tapi ada baiknya kita lupakan dulu. Saya hanya ingin mengajak untuk meresapi tulisan di bawah ini dengan kepala dingin, agar kita kembali kepada jati diri bangsa Indonesia yang majemuk.

Era reformasi, rasanya kian membawa kita ke arah ekstrimitas, terutama ekstrimitas beraroma keagamaan. Kita seolah lupa atau memang sengaja melupakan bahwa salah satu dasar keberadaan negara ini adalah Sumpah Pemuda 1928 - Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa" serta Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun kita berbeda ... ras, agama, suku bangsa dan bahasa namun semua perbedaan itu, oleh para pendiri negara dan para pejuang kemerdekaan, menjadi lebur ke dalam NKRI.

Menjelang Pilkada 2017 yang akan datang dan melibatkan DKI Jakarta dalam ajang pesta demokrasi regional, aroma "perpecahan" berbau SARA kembali muncul. Rasanya istilah "pesta demokrasi" telah sama sekali hilang, berganti dengan aroma kebencian dan pertengkaran. Dimana fitnah dan caci maki bertebaran. Itulah perpecahan berbalut demokrasi. Miris .....
Dan ....itukah yang kita inginkan? 


JAKARTA – Naiknya Jokowi menjadi RI-1 adalah sesuatu yang ajaib (miracle). Tak banyak pihak yang yakin jika Jokowi berhasil menjadi Presiden. Menjelang Pilpres 2014 lalu, Singapura, negara-negara Eropa dan Amerika, sangat yakin bahwa Prabowolah yang menjadi penguasa Indonesia selanjutnya. Prediksi itu membuat Singapura lebih banyak diam, kurang agresif dan enggan ikut ‘bermain’ di Pilpres 2014 lalu.

Dalam strategi dan kebijakan politik luar negeri Singapura, Indonesia diprediksi hingga sepuluh tahun ke depan, tidak akan banyak berubah. Dalam analisis para pengambil kebijakan politik negeri Singa itu, Prabowo tidak akan mampu membuat terobosan baru untuk memajukan Indonesia. Hal itu karena orang-orang di sekitarnya dan lebih-lebih para elit pendukungnya, adalah orang-orang lama yang terbiasa dengan gaya hidup priyayi dan akrab dengan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Jika keadaan Indonesia seperti itu, maka Singapura tetap jaya dan posisinya sebagai number one, pengendali ekonomi ASEAN tak tergoyahkan dan tanpa takut disaingi oleh Indonesia.

Selama ini, Singapura sangat nyaman dan menikmati kemakmuran yang setara dengan negara Barat. Salah satu penyebabnya adalah karena kebodohan negara tetangganya, Indonesia. Kendatipun Singapura adalah negara yang miskin sumber daya alam, namun berkat kelihaiannya, Singapura berhasil keluar sebagai negara maju dengan pendapatan perkapita $ 40.000 dollar per tahun. Sekarang Singapura dikenal sebagai salah satu pelabuhan tersibuk di dunia, pusat bisnis, pusat teknologi dan tempat penukaran mata uang asing terbesar ke empat di dunia dan menjadi negara yang terkenal inovatif dan efisien dalam pengelolaan ekspor dan pariwisata. Penduduk yang menetap di Singapura, sebagian kaum eksekutif elit dari berbagai perusahaan multinasional kelas dunia. Bagi kaum kaya dan para pejabat Indonesia, Singapura adalah surga belanja, berobat dan jalan-jalan. Ada 2,5 juta wisatawan Indonesia dari total 15 juta wisatawan yang disedot oleh Singapura setiap tahun. Para pejabat dan orang-orang kaya Indonesia menjadikan Singapura sebagai tujuan wisata luar negeri yang utama. Mereka umumnya tinggal di hotel-hotel mewah atau tinggal di apartemen dan kondominium yang telah mereka beli.

Fakta menunjukkan bahwa sepertiga pemilik property di Singapura adalah orang Indonesia. Singapura dalam dua dekade terakhir telah berhasil menyulap berbagai perguruan tingginya menjadi yang terkemuka di dunia. Hal itu membuat 20 ribu pelajar Indonesia memilih menempuh studi di berbagai universitas Singapura. Selain itu, Singapura telah berhasil menyulap berbagai rumah sakitnya menjadi pusat pengobatan terkemuka di Asia. Hal yang kemudian membuat ratusan ribu masyarakat Indonesia berbondong-bondong ke Singapura setiap tahun untuk berobat. Menurut data dari Kementerian Kesehatan, 50% pasien asing di Singapura berasal dari Indonesia. Itu berarti bahwa duit Indonesia terus mengalir ke Singapura tiap tahun. Berkat kemajuan peralatan navigasinya, Singapura berhasil memperdayai Indonesia untuk menguasai zona terbang yang mencakup wilayah Indonesia.  Karena Singapura sangat melindungi para investornya, maka tak heran jika ada 4 ribu triliun Rupiah duit WNI diparkir di sana, termasuk aset para koruptor. 

Bagi Singapura yang tidak mempunyai sumber kekayaan alam, aset koruptor yang disimpan di negaranya merupakan investasi penting. Itulah sebabnya Singapura tidak pernah mau menandatangi perjanjian ekstradisi para koruptor dari negerinya ke Indonesia. Situasi politik yang kurang stabil di Indonesia, justru diinginkan dan akan dimanfaatkan betul oleh Singapura. Jika terjadi huru-hara yang mengerikan di Indonesia, pasti tujuan pertama WNI untuk menyelamatkan diri adalah Singapura. Selain karena letak geografisnya yang dekat dengan Indonesia, juga tingkat keamanan super tinggi yang dijamin oleh pemerintah Singapura. Fakta-fakta pesta pora Singapura ketika Indonesia dilanda krisis dapat dilihat dari sejarah kelabu Indonesia tahun 1998. 


Ketika Indonesia dilanda krisis 1997-1998, Singapura benar-benar untung besar di tengah penderitaan Indonesia ketika itu. Pada saat itu, Singapura berhasil menjarah aset-aset Indonesia yang kemudian mendatangkan keuntungan luar biasa bagi negeri itu. Aset-aset Indonesia yang berhasil diembat oleh Singapura antara lain, Telkomsel, Indosat, BII, Bank Danamon, dan lain-lain. Lewat Bank Internasional Indonesia (BII), Singapura untung Rp 8,15 triliun karena menjual sahamnya ke Maybank senilai Rp 13,5 triliun. Padahal ketika Temasek membeli BII pada tahun 2003, Temasek hanya mengeluarkan modal Rp 2,2 triliun. Hal yang sama dengan bank Danamon. Nilai jual bank Danamon sekarang sudah mencapai Rp 50 triliun. Padahal ketika Temasek membelinya pada tahun 2003 lalu, hanya senilai Rp 3,08 triliun.

Tentu saja Singapura sangat girang jika Indonesia bangkrut, karena akan menambah duit WNI yang tersimpan di perbankannya. Kesuksesan Singapura mempecundangi Indonesia pada krisis tahun 1998 itu, dicoba diulangi kembali pada tahun 2015, ketika Jokowi telah menjadi RI-1. Singapura kembali mencoba untuk menggoyang perekonomian Indonesia dengan berbagai cara. Salah satu ekonom ternama Nanyang Business School Singapore, Lee Boon Keng, melempar isu menakutkan dengan mengatakan bahwa bahwa nilai tukar rupiah bisa ambruk hingga Rp 25 ribu/dolar AS jika Federal Reserve mulai melakukan normalisasi kebijakan moneternya. Pernyataan Lee Boon Keng itu, kemudian menimbulkan kekhawatiran di masyarakat Indonesia. Di bulan Juli-Agustus 2015, masyarakat Indonesia ramai-ramai membeli dollar Amerika. Akibatnya, nilai tukar Rupiah berhadapan dengan dollar pada akhir September 2015 hampir menyentuh angka Rp. 15.000 Rupiah per dollar. Nah keadaan inilah yang diinginkan Singapura. Jika Indonesia bangkrut, lalu warga kaya Indonesia akan khawatir dan dipastikan terus memarkirkan dananya ke Singapura. 

Aksi busuk yang dilakukan Singapura tidak hanya sekali saja seperti yang dilakukan oleh Lee Boon Keng di atas. Pada 17 Juni 2015, Business Times, koran milik Strait Times yang dikelola pemerintah Singapura secara terang menurunkan sebuah artikel berjudul ‘Indonesia, Malaysia at risk of repeating 1997-98 meltdown”. Isinya kurang lebih menegaskan bahwa Indonesia bersama Malaysia akan mengalami krisis parah seperti pada tahun 1998. Jelas isu ini sengaja dilempar dengan motif ekonomi. Karena jika Indonesia terkena krisis, Singapura bisa kembali berpesta-pora menjarah aset-aset Indonesia yang luar biasa dan vital itu. Skenario Singapura untuk kembali membangkrutkan Indonesia di tahun 2015, ternyata gagal berkat kejelian, keuletan dan optimistis besar Jokowi. Singapura rupanya lupa bahwa Jokowi yang berhasil mengalahkan Prabowo, didukung luar biasa jutaan rakyat Indonesia dari dalam dan luar negeri. Saat Pilpres 2014 lalu, jutaan rakyat dilanda euforia gegap-gempita rela menggerakkan kaki-kaki mereka menuju kotak suara dan antre untuk memberikan suaranya kepada Jokowi. Daya pikat Jokowi sebagai ‘sang harapan baru’(new hope) sebagaimana ditulis oleh majalah Times itu, adalah harapan baru rakyat Indonesia yang sudah lama dihina negara lain termasuk negara kecil Singapura.

Kini mereka ingin perubahan, ingin merubah nasib lewat seorang pemimpin ndeso yang merakyat, bersih dan punya impian besar ke depan. Kemenangan Prabowo yang sudah di depan mata pun, diambil alih secara heroik oleh Jokowi lewat konser dua jari di Senayan dan blunder kata ‘sinting’ Fahri Hamzah. Sesaat setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden, maka saat itu juga maka perang heroik ala Jokowi mulai. Lewat ‘Jenderal’ wanita bermental baja, Susi Pudjiastuti, Jokowi langsung menghajar perusahaan-perusahaan ikan di Thailand, Singapura, Philipina, Singapura, China, Vietnam yang banyak bergantung pada hasil ikan Indonesia. Negara-negara itu sekarang menjerit. Hingga kini sudah lebih 700 kapal milik negara asing telah ditangkap dan ditenggelamkan oleh Menteri Susi.

Jokowi melancarkan perang ‘gila’ yang bersejarah untuk menyelamatkan kekayaan alam Indonesia yang bernilai hampir 200 triliun per tahun dari pencurian ikan. Wajar jika ada isu bahwa Menteri Susi mau disuap 5 triliun agar mau mundur dari kursi menteri kelautan. Integritas Menteri Susi pun telah meluluhlantahkan para mafia ikan di dalam negeri yang sebelumnya telah lama berpesta-pora atas hasil kekayaan laut Indonesia. Pun Jokowi berani membubarkan Petral yang tidak efisien yang berkantor di Singapura, membekukan PSSI dan melawan berbagai mafia pangan. Ketertinggalan jauh Indonesia dari Singapura semakin melejit semangat ‘gila’ Jokowi untuk memacu pembangunan infrastruktur. Jokowi kemudian secara masif membangun jalan kereta api, jalan tol, jalan negara, tol laut, pelabuhan udara dan laut. Dibangunnya infrastruktur yang menghubungkan seluruh pulau-pulau besar di Indonesia jelas akan membuat geliat perekonomian Indonesia kembali lancar. Biaya-biaya akan banyak terpangkas, waktu bisa lebih diperkirakan dan jauh lebih efsien yang dampaknya ekonomi akan berkembang.

Dalam impian Jokowi, jika waktu bongkar muat (dwelling time) sudah setara efisiennya dengan Singapura, maka goyahlah perekonomian negara itu. Ketika efisiensi bongkar muat tercapai dan setara dengan Singapura saja, maka bisa dipastikan julukan pelabuhan di Singapura sebagai pelabuhan tersibuk akan pelan-pelan pudar. Selain itu, ketika infrastruktur pada sektor pariwisata selesai, maka wisatawan luar akan banyak tersedot ke Indonesia yang kaya akan budaya sementara Singapura mulai pudar yang miskin budaya. Kemudian dalam hitungan tahun ke depan, Jokowi akan kembali mengambil alih penguasaan zona terbang yang sekarang dikuasai oleh Singapura. Jokowi jelas geleng-geleng kepala dan tidak habis berpikir, mengapa Indonesia setiap kali terbang di wilayah sendiri harus lapor ke otoritas penerbangan Singapura. Ini jelas benar-benar telah menginjak injak harga diri bangsa. Gebrakan hebat Jokowi dalam membangun infrastruktur, membasmi dan menghukum gantung para pengedar narkoba dan melawan para koruptor mulai menunjukkan hasil. Lewat berbagai kebijakan memangkas birokrasi yang mempermudah investasi, Indonesia kini menjadi idola baru didunia investasi dan bukan lagi singapura.

Sebagai tindak lanjut dari julukan idola itu, Jokowi sekarang terus menyiapkan Bandar udara Soekarno Hatta dengan melipatgandakan kapasitasnya, membuka berbagai pelabuhan udara lain berskala dunia. Pelabuhan laut khusus barang Sei Mangke bertaraf internasional di Sumatera Utara, adalah salah satu upaya menyaingi Singapura di selat Malaka. Ketika ekonomi Indonesia bangkit, maka akan diikuti oleh kekuatan militer yang hebat. Jika militer Indonesia kuat, maka bangsa lain seperti Singapura dan Malaysia tidak lagi memandang remeh Indonesia. Sekarang, dengan anggaran yang masih minim, Indonesia sudah bisa menjadi negara dengan kekuatan militer terkuat di ASEAN dan urutan terkuat nomor 12 di dunia. Bisa dibayangkan jika Undang-undang Tax Amnesty jadi disahkan, maka ada kemungkinan duit WNI sebesar 4.000 Triliun di Singapura dan 11,4 ribu Triliun di seluruh dunia akan kembali ke Indonesia. Itu jelas akan membuat pertumbuhan ekonomi dalam negeri melonjak tinggi di atas 12%, mengalahkan India dan Cina.


Sepak terjang Jokowi di kancah nasional, terus diikuti oleh Ahok di ibu kota Jakarta. Ahok jelas tidak keberatan ketika ada sebuah buku berjudul: “Ahok Sang Pemimpin Bajingan” karya Maksimus Ramses Lalongkoe dan Syaefurrahman Al-Banjary menjuluki Ahok dengan julukan ‘bajingan’. Dalam buku itu, dibeberkan bagaimana Ahok sebagai pemimpin ‘bajingan’ dalam tanda petik menjadi pemimpin para bajingan-bajingan di Jakarta. Gaya Ahok dalam memimpin ibu kota Jakarta memang luar biasa. Ia sama sekali tidak mengenal takut untuk menggusur pemukiman kumuh di atas tanah negara, melawan para preman, PKL liar, melawan anggota DPRD yang korup dan menegakkan aturan. Ahok dengan kegilaannya dan ‘kebajingannya’, berusaha membangun Jakarta menyaingi Singapura.

Impian Ahok untuk mendirikan Rumah Sakit Kanker di Sumber Waras terus menggebu walaupun terus ditentang oleh lawan-lawan politiknya. Jelas dalam menata wilayah Jakarta, Ahok memang harus gila dan harus ‘bajingan’. Kelompok-kelompok yang selama ini nyaman berpesta-pora atas uang APBD Jakarta terus menembak dan menyerang Ahok. Padahal misi besar Ahok-Jokowi adalah menjadikan Jakarta sebagai salah satu kota standar dunia (the world class city). Impian untuk membangun Giant Sea Wall di Teluk Jakarta agar Jakarta tidak tenggelam menjadi misi paling besar Ahok. Jika impian itu menjadi kenyataan dalam hitungan tahun ke depan, maka Jakarta akan menyaingi Singapura dengan segudang fasilitas standar dunia. Kelak, jika semuanya sudah ada di Jakarta, maka rakyat Indonesia tidak perlu lagi berobat ke Singapura, tidak perlu studi ke sana karena kualitas yang sama ada di sini.

Impian gila Jokowi menjadikan Indonesia negara maju bukan hanya mimpi atau isapan jempol. Pada tahun 2030 mendatang, Indonesia sangat berpeluang menjadi negara tujuh besar kekuatan ekonomi dunia mengalahkan Jerman dan Inggris. Berdasarkan riset the economist 2012, Indonesia diramalkan akan menjadi salah satu negara maju dengan pendapatan perkapita 24 ribu dollar As perkapita pada tahun 2050. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 lalu sebesar 4,8 persen, menjadi salah satu indikator bahwa negara ini memang sedang tumbuh. Bila Indonesia berhasil membangun infrastruktur jalan darat dan laut, berhasil mengelola sumber daya alam dengan efisien, maka Indonesia di mata dunia adalah masa depan. Sebuah investasi yang menarik dan menguntungkan dan akan berperan sangat besar di kawasan. Nah inilah yang menakutkan Singapura. Jelas bukan sekarang, tetapi 5-20 tahun lagi.

Singapura jelas ketakutan jika kejayaannya hilang sebagai pengendali perekonomian di kawasan ASEAN. Jelas jika semua telah dimiliki oleh Indonesia, maka peta penguasaan ekonomi ASEAN bahkan sampai Asia Pasifik akan berada di tangan Indonesia. Maka tak heran jika Singapura mulai berpikir keras bagaimana menina-bobokan Indonesia. Para agen-agen intelijen Singapura terus sibuk berpikir dan sibuk mengeluarkan dana besar untuk membeli pejabat-pejabat yang bisa dibeli supaya melemahkan pemerintahan yang ada. Mereka juga mempunyai koneksi LSM-LSM lapar di Indonesia yang bisa berteriak keras yang terus menyerang pemerintahannya. Singapura berani untuk melemahkan Indonesia karena negara kecil ini dibekingi oleh sekutunya Amerika dan Inggris. Singapura-pun belajar dari Israel di Timur-Tengah yang telah mampu mendikte negara-negara tentangganya. Caranya, Indonesia terus diganggu dengan menghidupkan isu-isu sektarian, teroris dan radikalisme melalui dana-dana yang disalurkan di berbagai LSM dan ormas-ormas.

Singapura bekerja sama dengan Barat akan terus berupaya agar Indonesia terus ribut, berantem, lemah dan kehabisan energi. Dengan begitu Indonesia sulit fokus memajukan perekonomiannya. Indonesia seperti sejarahnya pada masa lalu, sibuk berkelahi, bertengkar dan lupa membangun bangsanya. Itulah sebabnya pemerintahan Jokowi terus melempar isu bangkitnya PKI. Itulah salah satu cara melawan isu-isu sektarian dan radikalisme yang mungkin ikut dilancarkan oleh bangsa lain. Padahal sebenarnya isu PKI itu hanya taktik pemerintah untuk menghajar ormas-ormas yang berbaju keagamaan. Selama ini pemerintah sulit membubarkan ormas-ormas atau berbagai organisasi itu karena mereka memakai agama sebagai tamengnya. Maka cara menghajarnya adalah melempar isu komunis kepada ormas-ormas itu sehingga pemerintah punya cara untuk menekuknya atas nama ideologi juga. 

Jika isu-isu sektarian itu berhasil dipadamkan pemerintahan Jokowi, maka pemerintah akan fokus membangun tanpa gangguan. Maka ketika saya melihat etos kerja Jokowi dan Ahok yang luar biasa dalam membangun bangsanya 1-2 tahun ini, saya akan berani menyebut keduanya ‘gila’ dan ‘bajingan’, dalam tanda petik. Jika kedua orang itu sudah ‘gila’ dan ‘bajingan’ dalam membangun bangsa ini, maka kepada yang lain, diharapkan bangun dari tidur.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...