Jumat, 16 Desember 2016

CERITA LAMA TENTANG ORANG KECIL

Ini cerita lama tentang seorang pedagang pisang barangan yang berjualan di paruh timur jalan Pakubuwono VI Kebayoran Baru–Jakarta Selatan. Kejadiannya sudah cukup lama. Sudah hampir 20 tahun yang lalu, sehingga sangat dimaklumi bila wanita pedagang pisang barangan itu sudah tidak lagi bisa ditemui di tempat biasa dia berdagang dulu.

Ketika itu, saya masih tinggal di Bekasi dan potongan jalan Pakubuwono VI tersebut selalu dilalui manakala jam pulang kantor menuju rumah, yaitu untuk mencapai gerbang tol Senayan yang berada di seberang gedung MPR–DPR. Biasanya seminggu sekali, saya selalu membeli 2 sisir pisang barangan. Kadang lebih manakala teman–teman kantor meminta dibuatkan banana cakes.

Hingga suatu saat, seperti biasa saya berhenti di hadapan rak jualannya untuk meminta diambilkan 2 sisir pisang yang setelah dimasukkan ke dalam kantong kresek, disodorkannya kantong tersebut.
“Ini uangnya …..”, sambil mengambil kantong berisi 2 sisir pisang.
“Wah bu …. Ada uang pas saja? Saya tidak punya kembalian..”, sahutnya.

Kuraih dompet dalam tas, mencari uang pas pembayar 2 sisir pisang……
“Duh …. Nggak ada lagi … dompetku juga kosong. Cuma ada selembar itu saja …. Tukar saja deh ke tukang rokok itu” Jawabku.
Di sebelah lapaknya, memang ada gerobak penjual rokok. Dia lalu beringsut menuju tukang rokok…. Namun sayang…, entah kenapa, sore itu rupanya bukan hari keberuntungan. Tukang rokok tak memberikan tukaran uang.

“Bu …., bawa saja uang ini… mungkin ibu perlu uang ini, entah untuk bayar tol atau parkir, nanti…”
“Waduh ….. jangan dong …. Masa saya harus berhutang….? Kalau begitu, nggak jadi beli deh ….!”, sahutku, merasa berkeberatan kalau harus membawa 2 sisir pisang tanpa membayar…
“Nggak apa bu ….!!! Bawa saja pisang itu. Mungkin anak atau suami ibu mengharapkan dan menunggu pisang itu di rumah. Ibu bisa membayar besok atau kapan saja, kalau ibu lewat sini lagi….!”

Saya mengambil kembali selembar uang 100 ribuan yang disodorkannya tersebut, karena kebetulan memang hanya tinggal selembar itu saja yang ada lama dompet. Memang, sisa pengembalian pisang tersebut akan saya gunakan untuk membayar toll ke Bekasi.

Agak malu hati dengan keihklasan pedagang pisang tersebut. Betapa luas hatinya. Tanpa prasangka apapun pada pembeli … Padahal, siapa yang bisa menjamin kalau keesokan hari, saya akan kembali melewati jalan tersebut untuk membayar 2 sisir pisang barangan. Ada banyak jalan lain untuk menuju rumah …. Kalaupun saya melewati jalan tersebut lagi, bisa saja saya pura–pura lupa untuk tidak membayarnya. Ah … sungguh peristiwa yang sangat menyentuh hati dan menyadarkan saya bahwa justru orang–orang kecil seperti penjual pisang itulah yang sangat percaya bahwa rejeki dapat diperoleh dengan cara apa saja. Naif …..? Entahlah …. Kita yang merasa dari golongan “berpunya” dan berpendidikan justru sangat berhitung dan sangat tidak mau merugi sedikitpun …

Rabu, 14 Desember 2016

PATERNALISTIK, FEODALISTIK dan DEMOKRASI

Hari Selasa 13 Desember 2016, kemarin, saya ditugaskan untuk menyerahkan dokumen kepada orang dekat keluarga Cendana. Usai menjelaskan isi dokumen yang saya serahkan tersebut, kami ngobrol panjang lebar tentang beragam hal. Mulai dari behind the scene kejadian di bulan Mei 1998 serta betapa beratnya kondisi psikologis mereka sampai dengan kejadian-kejadian politik aktual baik di Indonesia maupun luar negeri.

Saya sejak lama bukan pendukung pemerintah golkar. Jadi, walau suami memiliki status sebagai PNS, sejak awal saya menolak mengisi formulir "permohonan menjadi anggota golkar" dengan segala konsekuensinya ... dan toh, saya tidak pernah tahu apa memang ada konsekuensi tersebut untuk kehidupan kami. Namun demikian, pasca 1998, saya "terpaksa" harus menganggap bahwa reformasi 1998 ini kebablasan. Kita memang menjadi lebih bisa menyuarakan apa saja, tanpa sensor pemerintah lagi dan dari sudut apa saja, "semau yang bicara/menulis". Hal ini kemudian menjadi terlihat sangat kebablasan apalagi di era penggunaan media sosial, terutama menjelang "pesta demokrasi", yaitu bahasa halusnya dari pemilihan umum, teruttama pada pemilihan presiden dan kemudian tambah runyam lagi saat pemilihan kepala daerah.

Kebablasan juga bisa dilihat dari tata kelola negara. APBN dan APBD ternyata jadi ajang "bancakan dana", titipan-titipan dari beragam pihak, baik dari eksekutif maupun legislatif. Akhirnya kita jadi berpikir .... mungkinkah pihak-pihak yang pada jaman pak Harto tidak kebagian "kue pembangunan", maka pada era reformasi yang seharusnya melakukan "bersih-bersih" dari perilaku KKN yang menjadi alasan "tumbangnya" pemerintahan Suharto, malah tergiur untuk bermain, mengulangi "sejarah kelam" dan larut dalam KKN versi baru yang lebih meluas.

Mungkinkah, kita memang menganut azas fatalistis ...., namun dalam persepsi negatif. Boleh saja menilai rezim lama buruk dan harus dibuang jauh-jauh, asalkan apa yang sudah dijatuhkan dan dibuang itu, jangan kemudian dipungut kembali dan dijalankan dengan cara yang lebih "sadis". Padahal, kalau kita mau jujur, tidak semua dari apa yang dilaksanakan pemerintahan lalu itu, jelek! Siapa bilang Repelita alias Rencana Pembangunan lima Tahun, itu jelek? Padahal, kita tahu bahwa apa yang dibuat oleh Suharto melalui Repelita yang bertahap adalah suatu "guidance" untuk menjalankan pemerintahan agar memiliki tujuan dan sasaran, sesuai dengan "arahan" GBHN. Perjalanan yang baik tentu harus ada perencanaan yang baik pula. Bukankah hanya untuk menyelenggarakan acara pernikahan saja, kita juga membutuhkan suatu "rundown" acara, agar semua berlangsung dengan baik sesuai maksud dan tujuan.

Ah ..... entah kenapa, dalam membaca dan melihat berita yang berseliweran baik dalam media sosial, layar kaca, majalah berita maupun koran, saya merasa ngeri terhadap masa depan negeri ini. Tulisan yang saya baca tentang sinyalemen Jenderal Gatot Nurmantyo tentang PROXY WAR membuat hati terasa ketar ketir melihat pertarungan sengit menjelang pilkada 2017, terutama pilkada DKI. Sesungguhnya, bila kila mau melakukan kilas balik, "pertarungan" ini dimulai ketika PDIP menunjuk Joko Widodo yang saat itu sedang memegang posisi sebagai Gubernur DKI Jakarta Raya, menjadi calon presiden RI, menggantikan posisi Megawati Sukarnoputri, yang sejak awal diprediksi banyak orang akan menjadi calon presiden RI. Penunjukkan yang sangat mengagetkan partai politik peserta pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, yang kemudian mengharuskan mereka mengatur strategi baru.

Sejak saat itulah berbagai perang opini dan proxy war di bumi Indonesia, dimulai. Latar belakang para calon dikupas habis ..... Ah, biasalah ..... Boleh-boleh saja mengupas latar belakang mereka, supaya rakyat tidak salah pilih. Dan karena keduanya masih memilik darah Jawa, maka bobot, bibit, bebet dikupas tuntas ...., dan disini mungkin mulai terjadi ketidakseimbangan .... yang sayangnya ditindaklanjuti dengan cara gelap mata. Fitnah bertebaran .....

Pada tititik itu, tiba-tiba saya teringat, konon pada jaman pemerintahan Suharto dulu ... Dalam suatu kesempatan, beliau pernah berdialog dengan anak-anak Indonesia ..., sebagaimana sering beliau lakukan dalam berbagai kunjungan ke daerah. Latar belakang pak Harto sebagai anak petani dusun Kemusuk - Jogjakarta, mungkin ingin dijadikan sebagai penyemangat agar anak-anak Indonesia, dimanapun berada, terutama anak-anak yang orangtua mereka masuk dalam golongan masyarakat berpenghasilan rendah atau petani miskin untuk tidak malu memilik cita-cita setinggi langit.

"Anak-anak .... apa cita2 kalian kelak bila sudah besar nanti ....?"
Ramai mereka berebut mengacungkan tangan, menjawab pertanyaan kepala negara... Bapak bagi anak-anak Indonesia ...

" Ingin jadi presiden seperti bapak ....!"
Jawab salah satu anak petani desa itu ....

Kini, pak Harto sudah tiada ... Semangat reformasi telah menjatuhkannya dengan cara yang kurang menyenangkan dan menggantikan era pemerintahannya. Beliau memang seringkali dicap secara diam-diam sebagai diktator militerisme ... Orang yang cukup ditakuti di kawasan Asia Tenggara.

Kini, era reformasi telah berjalan 18 tahun lamanya. Sedang ranum, bila dia seorang gadis ... dan sebagai gadis yang ranum, tentu banyak jejaka yang mulai meliriknya.... dan keremajaan seringkali menunjukkan sifat labil karena masih dalam tahap mencari jati diri... Begitu pula karena sifatnya tersebut, maka para jejaka mulaj melirik, Menggoda memasang jerat ....
Reformasi dan demokrasi negeri ini memang masih terlihat labil. Masih mencari bentuk, di tengah pergaulan global. Entah model demokrasi mana yang mau ditiru. Model Amerika Serikat atau model demokrasi yang dianut oleh negara-negara Eropa. Yang terlihat di permukaan, demokrasi yang dianut oleh masyarakat Indonesia sepertinya masih dalam tataran euforia kebebasan yang tanpa batas. Asal teriak, tanpa etika dan pada akhirnya malah menciptakan tirani baru berlabel agama, golongan atau kelompok.

Sungguh ... saat ini, saya mulai berpikir ... andai waktunya kelak terjadi, yaitu manakala anak ataupun cucu ramai merangkai dan menyusun angan dan cita-cita... Maka akan  saya katakan pada mereka ...
"Nak ..... bercita-citalah secara realistis ...
Karena itulah yang wajar untuk ketenangan dirimu
Karena cita2 setinggi langit, bukan milik kita ...
Itu hanya milik orang2 berdarah ningrat,
Demokrasi Indonesia tidak pernah mematikan feodalisme ...
Anak petani tidak akan pernah bisa meraih asa
Walau kesempatan dan kemampuanmu setinggi langit..
Gempuran akan terus menghantammu
Walau kau sudah mendapat amanah orang banyak ...
Karena kau bukan dari golongan elite ...
Kau bukan apa2 dan ..
Bukan siapa-siapa...
Asalmu ....
Nenek moyangmu ...
Dan profesi awalmu .....
Tidak akan pernah dianggap memadai
Untuk posisi yang tinggi ....
Feodalisme masih belum luntur
Mengikuti reformasi dan demokrasi ...
Malah semakin menguat ...
Dalam balutan segala ...
Yang dapat mereka balut ..."

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...