Jumat, 08 Juli 2011

ironi dan kontradiksi TKI/TKW

Perjalanan ke tanah suci selalu bisa dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan rekan - rekan senegara yang bekerja di berbagai negara Gurun dan bukit batu tersebut.

Interaksi pertama sudah dimulai begitu naik pesawat. Keberadaan para TKI/TKW sangat mudah ditandai karena mereka

 yang berangkat untuk pertama kali, umumnya memakai seragam. Tetapi, kalaupun mereka tidak menggunakan seragam, keberadaan mereka sangat mudah ditandai. Merekayang baru pertama kali berangkat, pada wajahnya, terlihat ekspresi "takut dan gamang", sementara mereka yang sudah beberapa kali berangkat sebagai TKI/TKW seringkali terlihat overacting dalam sikap maupun pembicaraan.

Berada dalam pesawat yang sama dengan mereka juga membawa nuansa khusus. Beberapa saat setelah pesawat lepas landas dan suhu udara mulai turun, maka bebauan khas negara asia, yaitu mulai dari minyak kayuputih, balsem dan minyak angin mulai berhamburan memenuhi ruang pesawat. Bukan tidak mungkin, "harum parfum" khas asia itu tercium pula hingga kabin bisnis. Entah apa yang dipikirkan oleh penumpang cabin class yang berasal dari negara non asia.

Penggunaan toilet menjadi masalah lain lagi. Toilet pesawat yang kecil, penuh dengan kabin2 kecil yang terisi dengan kertas2 toilet, tempat sampah, pelembab kulit, sabun hingga flush pembersih closet semua kompak mengisi ruang seluas 1x1.5 meter itu. "Kering" itulah kondisi yang seharusnya mutlak terjadi dalam kabinet lavatory tersebut. Namun, tanpa maksud merendahkan status sosial para TKI/TKW, kehadiran mereka bisa ditandai saat kabinet lavatory tersebut menjadi kumuh bahkanseringkali lantainya menjadi basah dan sampah kertas toilet berhamburan di lantai.

Bisa dimaklumi karena semua tulisan di dalam kabinet mini itu dalam bahasa Inggris. Dalam pesawat berlabel "maskapai penerbangan negara gurun" mungkin ada tulisan arab. Tapi siapa diantara mereka yang mengerti? Apakah selama di tempat penampungan/pelatihan, para TKI dan TKW dibekali pengetahuan tentang bagaimana cara berlaku/bersikap di dalam pesawat? Sama juga dengan para jamaah haji dengan fasilitas ONH biasa yang pada umumnya berasal dari kota kecil/pedalaman dan bukan tidak mungkin baru pertama kali bersentuhan dengan peralatan modern?

Kendala kedua, toilet kering dengan kloset duduk hanya ada dan biasa digunakan oleh penduduk kota. Masyarakat Indonesia umumnya masih lebih nyaman menggunakan kloset jongkok, bahkan dengan wc cubluk yang berada di atas kolam ikan dan menggunakan air satu ember besar untuk membersihkan kloset dan badan. Bagaimana mungkin dalam waktu sekejap mereka mampu menyesuaikan diri "buang hajat dan membersihkan diri" dengan air seadanya (di lavatory toilet tersedia gelas kertas mungil) dan kertas pembersih. Pasti ada kebingungan yang luar biasa. Atau kalau tidak terpaksa sekali .... mereka akan menahan hajatnya hingga mendarat di bandara walaupun setiba di bandara, bukan berarti masalah komunikasi/budaya/kebiasaan lalu selesai.


Dalam perjalanan "city tour" di sekitar wilayah Makkah, saya sempat ngobrol dengan supir bus yang berasal dari desa Cililin - Cimahi Jawa Barat. Dia sudah melewati 1,5 tahun masa kerjanya di Arab Saudi (SA -  Saudi Arabia).
"Sungguh bu .... saya tidak akan pernah kembali lagi ke Arab"
"Kenapa? Kan enak ... gaji besar, bisa berhaji ...!"
"Kalau dari hajinya sih iya... tapi kalau gaji, rasanya nggak jauh-jauh banget ... nggak terbayar dengan kesepian jauh dari keluarga dan harus menyesuaikan makanan. Apalagi kalo yang perempuan ... aduh rusak deh bu"
"Tapi, orang2 di kampung kan banyak yang lebih milih peri ke Arab, dibanding kerja di Indonesia"
"Gak ada kerjaan bu, masalahnya...."
"Iya, saya pernah denger kalau TKW di SA banyak yang rusak, makanya ada gosip, harga perempuan Indonesia cuma 50SR. Kalo gitu mestinya, bilang dong sama orang2 di kampung... itu bapak-bapak, jangan ngirim perempuan2 (anak atau istri) ke SA dong... Kalau mau dapet duit ya si bapak itu yang kerja ke SA...., bukan anak/istrinya?"
"Mestinya pemerintah bu, yang nglarang... Pemerintah cuma ngeliat SR nya aja sih..."
"Mesti dari dua arah... masyarakatnya, juga pemerintah. Kalau dari pemerintah nggak jalan, ya rakyat mesti tahu kalo kerja di SA atau negara2 Tim-teng bahaya buat keselamatan/kehormatan perempuan"
"Iya bu... tapi nggak gampang, kan orang taunya cuma duit aja... apalagi kalo liat tetangga yg pulang bawa duit terus bangun rumah, beli sawah dll... mereka nggak tahu darimana duit didapat. Gak semua dapat majikan baik yg suka kasih hadiah. Sebagian... apalagi yang sampe kabur dari majikan, banyak yg melacur atau kumpul kebo... saya tahu persis bu... makanya ngeri deh... Itu sebabnya saya nggak pengen balik lagi ke SA"

Pembicaraan sambil menunggu peserta umroh yang naik ke Jabal Rahmah terhenti, karena mereka sudah kembali mengisi bus, dan siap melanjutkan perjalanan melintasi Muzdalifa - Mina dan akhirnya kembali ke penginapan.
***


Dalam kesempatan lain, usai menunaikan umroh, kami sempat ngobrol dengan TKI yang bekerja sebagai petugas kebersihan Masjidil Haram. Dia juga sudah bekerja hampir dua tahun dan segera kembali ke tanah air. Sama-sama tidak ingin kembali ke SA untuk memperpanjang kontrak kerja, walau gaji SR 800 (hampir 2 juta rupiah) tentu lebih besar dibandingkan dengan gaji seorang petugas kebersihan di Jakarta.
"Berapa jam kamu kerja disini?"
"Biasa bu ... ada 3 shift"
"Beruntung juga ya kerja di Haram ... ada banyak orang Indonesia yg kerja di Haram?"
"Nggak bu, cuma ada 3 orang. Kebanyakan dari Pakistan dan Bangladesh. Kerja di Haram gajinya nggak besar, dibanding dengan di luar Haram.Bisa SR1200 - SR 2000"
"Oh .... tapi dapat fasilitas makan/penginapan dong"
"Kalau makan sih, nggak dapat bu, kalau tidur, disediain mess, kamarnya pake AC, antar jemput dari mess ke Haram"
"Ah ... lumayan jugalah.....!"
***

Di pelataran Sai bagian basement yang sejuk saat shalat Ashar, saya duduk bersebelahan dengan TKI asal Banjarmasin.
"Ibu dari mana?"
"Oh... saya dari Jakarta"
"Kapan datang bu? sudah berapa lama di Makkah?"
"Sejak minggu pagi kemarin .... insya Allah sampe Jum'at besok, ke Jeddah"
"Sudah umroh berapa kali bu... sudah cium hajar aswad?"
"Maksudnya...?",
"Nggak bu ... tanya aja.... ibu mau cium hajar aswad?"
"Oh ..... lihat situasi aja...."
"Kamu mukimin ya...? TKI? sudah berapa lama disini?"
"Iya bu ... mukimin, tinggal gak jauh dari Dyar inn (dia bilangnya diar en), sudah 3 kali balik. Yang terakhir itu saya ditangkap, terus dipulangin. DUlu kalo dipulangin gitu kita tunggu 1 tahun dulu terus baru umroh lagi. Kalo sekarang mesti tunggu 5 tahun baru bisa umroh. Sudah gitu bayarnya mahal .... Waktu saya berangkat bayarnya sudah 20juta... sekarang kabarnya sudah 26 juta"
"Lho .... kamu itu TKI, atau apa sih? Kok pake bayar segitu mahal....?"
"Wah ... saya sih gak mau pake PT bu... gak enak, gak bebas"
"Lho....?"
"Iya bu... kalo pake PT, kan 2 tahun gak bisa keluar - kontraknya kan gitu... makanya yang dari PT, biar dapet majikan jahat, gak berani keluar."
"Trus kamu gimana ceritanya...?"
"Saya kan ada sponsornya bu .... ya itu bayar 20 juta (sekarang konon 26juta), ntar begitu sampe Makkah... kita dijemput sama sponsor yang ada di Makkah, dibawa ke penampungan. Dari situ kita dicariin kerjaan ... kalo 1 atau 2 bulan gak betah atau gak enak ya keluar, cari di tempat lain. Jadi nggak terikat."
"ada banyak yang seperti kamu?"
"Banyak bu .... ada yang dari Jawa, Banjar ... Lombok juga ada bu!"

Awalnya.... saya 
ngga terlalu mengerti apa yang dimaksud perempuan muda  yang duduk di sebelah saya itu. Lama kelamaan saya teringat dengan Laila, perempuan asal Malang yang saya temui tahun 1994 dan banyak menolong saya memasak di setiap jam makan selama menunaikan ibadah haji saat itu. Rupanya .... inilah TKI illegal berkedok umroh - overstay.

"Jadi, apa kerjaan kamu sekarang?"
"Kalau lagi musim um
roh dan haji seperti sekarang, pemeriksaan agak longgar bu. Kan kami gak punya iqomah .. . Kerja kami sekarang bantu2 orang yang mau cium hajar Aswad. Kalau di luar musim umroh.haji 
... ya mesti hati-hati ... ngumpet di penampungan atau kerja di rumah2"
"Kalau nggak dapat kerja atau upah bantu cium hajar aswad, trus gimana cara bayar penginapan dan makan sehari-hari....?"

Perempuan muda itu diam ... tak menjawab pertanyaan saya hingga akhirnya shalat dimulai dan saat usai shalat... tempat di samping saya sudah kosong.. dia menghilang tanpa pamit. Saya teringat perkataan supir asal Cililin itu ... 
"Banyak perempuan kita, yang kumpul kebo dengan orang2 Pakistan atau Bangladesh bu... Mereka yang l
ari dari majikan, kalo nggak melacur, ya kumpul kebo ... Rusak semua bu..."
Astaghfirullah .... semoga perempuan di samping saya tadi bukan yang termasuk golongan pelacur/kumpul kebo itu.
***

Masalah TKI ke negara tujuan manapun juga, terutama ke negara-negara Timur Tengah, ternyata memang pelik. Mungkin sedikit berbeda dengan TKI/TKW ke negara Tim-Teng selain SA yang bisa dimonitor melalui PJTKI, TKI terutama TKW dengan negara tujuan SA, memiliki entry gate lain, selain melalui PJTKI, yaitu melalui biro-biro peralanan umroh yang sekarang banyak bertebaran di seluruh pelosok tanah air.

Mereka ternyata banyak mengerahkan TKW melalui jalur ibadah umroh. Calon TKI/TKW membayar biaya perjalanan laiknya peserta umroh, di Madina atau Makkah, sudah ada penampung TKI/TKW gelap .... Mereka tentu tidak punya ijin dan pasti tidak pula melaporkan keberadaan para jamaah umrohnya, karena ibadah umroh memang hanya menjadi topeng pengerahan tenaga kerja saja.

Betapa enaknya cara kerja mereka (pengerah dan penampung TKI/TKW tsb). Mereka sama sekali tidak mengeluarkan biaya perjalanan para TKI/TKW tersebut .... bahkan bisa jadi menangguk keuntungan dari biaya yang sudah disetorkan tersebut karena tidak ada kewajiban menyelenggarakan "land arrangement para peserta umroh" tersebut.

Mungkin pemerintah dan migrant care harus mulai memperhatikancara kerja biro perjalanan umroh yang beroperasi di kantong-kantong pemasok TKI/TKW di seluruh wilayah Indonesia.
Wallahu'alam  

Selasa, 14 Juni 2011

Tragedi Pendidikan di Surabaya - 2 Beginilah cara DPRD menangani kasus kecurangan


Beginilah cermin moralitas Wakil Rakyat …. Tidak mampu melihat akar permasalahan dengan benar. Tidak mengerti dampak psikologis mana yang lebih “menghancurkan” bangsa dan Negara. Asal cuap dan sok berpihak kepada rakyat. Mereka cenderung menerapkan politik “mengambil hati” konstituen (rakyat) walaupun hal itu bertentangan dengan moralitas, norma dan etika.
Ujian besar bagi walikota Surabaya Tri Rismaharini … akankah ybs “takluk” pada politik pencitraan atau dia akan tetap teguh menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran.
Kalau hal ini dibiarkan terus menerus … maka tunggulah kehancuran bangsa ini…!!!

Kasus Contek Massal
Dewan Desak Pemkot Cabut Sanksi 3 Guru Gadel
Jum'at, 10 Juni 2011 11:04:19 WIB Reporter : Arif Fajar Ardianto
Surabaya (beritajatim.com) - Meredam dendam warga Gadel, terhadap Ny Siami orang tua AL terkait kasus contek massal di SDN gadel II Surabaya dewan mengupayakan memenuhi tuntutan warga, yakni mengembalikan tiga guru yang terkena sanksi dari Dinas Pendidikan.

Seperti diketahui, pasca pelaporan dan pemberian sanksi ketiga guru SDN Gadel II, warga Gadel menaruh dendam yang mendalam terhadap Ny Siami, karena dianggap telah membocorkan serta membahayakan psikologis murid–murid SDN Gadel II.


Dalam pertemuan yang digelar di Balai Rukun warga Kemarin, warga berinisiatif untuk mengusir Ny Siami dari lingkungan Gadel. Mereka menganggap Ny Siami sok, karena berniat memberitahukan kecerdasan anaknya yang mengakibatkan terancamnya seluruh siswa SDN Gadel II yang mengikuti ujian Nasional.

Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya Eddi Budi Prabowo mengatakan bahwa saat ini warga Gadel menaruh kebencian yang mendalam terhadap Ny Siami, yang berujung pada pengusiran.
"Sepertinya warga disana menaruh dendam yang sangat terhadap pelapor," ujar eddi saat ditemui di gedung DPRD Surabaya, Jumat (10/06/2011).

Lebih lanjut, Eddi mengatakan, bahwa pihaknya berupaya untuk meredam amarah warga dengan berusaha mengabulkan salah satu tuntutannya, yakni meminta ketiga guru yang terkena sanksi bebas dan kembali mengajar. meski sulit, karena harus melewati beberapa tahapan, namun Eddi mengaku pihaknya akan tetap berupaya.

"Kita tahu, pengembalian status ketiga guru tersebut sulit, tapi akan kita upayakan, untuk meredam emosi warga, agar tidak terjadi hal - hal yang tidak diinginkan," imbuhnya.
Sebagai langkah awal, Komisi D DPRD surabaya meminta kepada walikota untuk melakukan kajian ulang terhadap sanksi tiga guru SDN Gadel II. "Kami akan mencoba untuk meminta Walikota mengkaji lagi persoalan tersebut. Kasus ini harus segera diselesaikan," tegasnya.

Eddi menjanjikan, bahwa Komisi D DPRD Surabaya yang membidangi masalah Pendidikan dan Kesra akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, tanpa mengorbankan salah satu pihak. "Kita akan beri perhatian khusus, karena ini menyangkut psikologis anak," pungkasnya.[rif/ted]

Tragedi Pendidikan Indonesia di Surabaya - 1


Tulisan ini di copy paste dari salah satu milis. Sayang tidak terdapat sumber jelasnya.
Kejujuran menjadi barang langka. Yang jujur–karena minoritas malah dianggap bersalah dan harus meminta maaf. Sementara orang yang bersalah didukung habis–habisan dan perbuatan bersalah dianggap wajar dan didukung ramai–ramai. Betul yang dikatakan Prof Daniel Rosyid, “Masyaraka sudah sakit”.
Mengerikan, kalau masyarakat sudah kehilangan moralitas dan kejujuran .... maka bangsa ini tinggal menunggu kehancurannya .... Kemana alim ulama yang katanya penjaga moral bangsa...?
------

Diusir Warga karena Lapor Contek Massal, Ny Siami, Si Jujur yang Malah Ajur  
Jumat, 10 Juni 2011 | 07:18 WIB -  Dibaca: 23,686
 TERHARU - Ny Siami dan Fatkhur Rohman, wali kelas Al, teharu saat saling minta maaf dalam mediasi di balai RW, Kamis (9/6). 
SURABAYA | SURYA - Ny Siami tak pernah membayangkan niat tulus mengajarkan  kejujuran kepada anaknya malah menuai petaka. Warga Jl Gadel Sari Barat, Kecamatan Tandes, Surabaya itu diusir ratusan warga setelah ia melaporkan guru SDN Gadel 2 yang memaksa anaknya, Al, memberikan contekan kepada teman-temannya saat Unas pada 10-12 Mei 2011 lalu. Bertindak jujur malah ajur!

Teriakan "Usir, usir...tak punya hati nurani" terus menggema di Balai RW 02 Kelurahan Gadel, Kecamatan Tandes, Surabaya, Kamis (9/6) siang. Ratusan orang menuntut Ny Siami meninggalkan kampung. Sementara wanita berkerudung biru di depan kerumunan warga itu hanya bisa menangis pilu. Suara permintaan maaf Siami yang diucapkan dengan bantuan pengeras suara nyaris tak terdengar di tengah gemuruh suara massa yang melontarkan hujatan dan caci maki.

Keluarga Siami dituding telah mencemarkan nama baik sekolah dan kampung. Setidaknya empat kali, warga menggelar aksi unjuk rasa, menghujat tindakan Siami. Puncaknya terjadi pada Kamis siang kemarin. Lebih dari 100 warga Kampung Gadel Sari dan wali murid SDN Gadel 2 meminta keluarga penjahit itu enyah dari kampungnya.

Padahal, agenda pertemuan tersebut sebenarnya mediasi antara warga dan wali murid dengan Siami. Namun, rembukan yang difasilitasi Muspika (Musyarah Pimpinan  Kecamatan Tandes) itu malah berbuah pengusiran. Mediasi itu sendiri digelar untuk menuruti tuntutan warga agar keluarga Siami minta maaf di hadapan warga dan wali murid.


Siami dituding sok pahlawan setelah melaporkan wali kelas anaknya, yang diduga  merancang kerjasama contek-mencontek dengan menggunakan anaknya sebagai sumber contekan.
Sebelumnya, Siami mengatakan, dirinya baru mengetahui kasus itu pada 16 Mei lalu atau empat hari setelah Unas selesai. Itu pun karena diberi tahu wali murid lainnya, yang mendapat informasi dari anak-anak mereka bahwa Al, anaknya, diplot memberikan contekan. Al sendiri sebelumnya tidak pernah menceritakan 'taktik  kotor' itu. Namun, akhirnya sambil menangis, Al, mengaku. Ia bercerita sejak tiga bulan sebelum Unas sudah dipaksa gurunya agar mau memberi contekan kepada seluruh siswa kelas 6. Setelah Al akhirnya mau, oknum guru itu diduga menggelar simulasi tentang bagaimana caranya memberikan contekan.

Siami kemudian menemui kepala sekolah. Dalam pertemuan itu, kepala sekolah hanya menyampaikan permohonan maaf. Ini tidak memuaskan Siami. Dia penasaran, apakah skenario contek–mencontek itu memang didesain pihak sekolah, atau hanya dilakukan secara pribadi oleh guru kelas VI.

Setelah itu, dia mengadu pada Komite Sekolah, namun tidak mendapat respons  memuaskan, sehingga akhirnya dia melaporkan masalah ini ke Dinas Pendidikan serta berbicara kepada media, sehingga kasus itu menjadi perhatian publik.


Dan perkembangan selanjutnya, warga dan wali murid malah menyalahkan Siami dan puncaknya adalah aksi pengusiran terhadap Siami pada Kamis kemarin. Situasi panas sebenarnya sudah terasa sehari menjelang pertemuan. Hari Rabu (8/6), warga sudah lebih dulu menggeruduk rumah Siami di Jl Gadel Sari Barat. Demo itu mendesak Ny Siami meminta maaf secara terbuka. Namun, Siami berjanji menyampaikannya, Kamis.

Pertemuan juga dihadiri Ketua Tim Independen, Prof Daniel M Rosyid, Ketua Unit  Pelaksana Teknis (UPT) Dindik Tandes, Dakah Wahyudi, Komite Sekolah, dan sejumlah anggota DPRD Kota Surabaya. Satu jam menjelang mediasi, sudah banyak massa terkonsentrasi di beberapa gang.
Pukul 09.00 WIB, tampak Ny Siami ditemani kakak dan suaminya, Widodo dan Saki Edi  Purnomo mendatangi Balai RW. Mereka berjalan kaki karena jarak rumah dengan balai pertemuan ini sekitar 100 meter. Massa yang sudah menyemut di sekitar balai RW langsung menghujat keluarga Siami.

Mereka langsung mengepung keluarga ini. Beberapa polisi yang sebelumnya memang bersiaga langsung bertindak. Mereka melindungi keluarga ini untuk menuju ruang Balai RW. Warga kian menyemut dan terus memadati balai pertemuan. Ratusan warga terus merangsek. Salah satu ibu nekat menerobos. Namun, karena yang diizinkan masuk adalah perwakilan warga, perempuan ini harus digelandang keluar oleh petugas.

Mediasi diawali dengan mendengarkan pernyataan Kepala UPT Tandes, Dakah Wahyudi. Ia menyatakan bahwa seluruh kelas VI SDN Gadel 2 tidak akan kena sanksi mengulang Unas. Ucapan Dakah sedikit membuat warga tenang. Namun, situasi kembali memanas. Apalagi Ny Siami tidak segera diberi kesempatan menyampaikan permintaan maaf secara langsung.
Kemudian warga diminta kembali mendengarkan paparan yang disampaikan Prof Daniel Rosyid. Ketua tim independen pencari fakta bentukan Wali Kota Surabaya Tri  Rismaharini ini berusaha menyejukkan warga dengan menyebut dirinya asli Solo.  Dikatakan bahwa Solo, Surabaya adalah juga Indonesia, sehingga setiap warga tidak berhak mengusir warga Indonesia.
Kemudian dia berusaha berdialog santai dengan warga. Ada salah satu warga  menyeletuk. "Kalau kita dikatakan menyontek massal. Lantas, kenapa saat menyontek pengawas membiarkannya," ucap salah satu ibu yang mendapat tepukan meriah warga lain.

Warga juga menyatakan bahwa menyontek sudah terjadi di mana-mana dan wajar  dilakukan siswa agar bisa lulus. Mendengar hal ini, Daniel kemudian memperingatkan bahwa perbuatan menyontek adalah budaya buruk. Di masyarakat manapun, perbuatan curang dan tidak jujur ini tidak bisa ditoleransi.

"Menyontek adalah awal
dari korupsi. Jika perbuatan curang ini sudah dianggap biasa, maka ini akan membuka perilaku yang lebih menghancurkan masyarakat. Tentu tidak ada yang mau demikian," sindir Daniel.
Kemudian mediasi dilanjutkan dengan menghadirkan Kepala SDN Gadel 2, Sukatman. Akibat kasus contekan massal di sekolahnya, Sukatman dan dua guru kelas VI dicopot. Sukatman menyampaikan permintaan maaf kepada wali murid.
Namun wali murid menyambut dengan teriakan bahwa Sukatman tidak salah. Yang dianggap salah adalah keluarga Siami karena membesar-besarkan masalah. Warga pun kembali berteriak "usir... usir". Namun warga mulai tenang karena Sukatman tampak menghampiri Ny Siami dan suaminya. Mantan Kasek ini langsung meraih tangan ibunda Al dan saling meminta maaf. Namun, setelah itu warga kembali riuh rendah.
Setelah Siami diberi kesempatan berbicara, keributan langsung pecah. Suara massa di luar balai RW terus membahana, menghujat keluarga Siami. Padahal saat itu, Siami sedang menyiapkan mental dengan berdiri di hadapan warga.
Meski sudah berusaha tegar, namun ibu dua anak ini mulai lemah. Dia tampak berdiri merunduk sementara kedua matanya sudah mengeluarkan air mata. "Saya minta maaf kepada semua warga" ucap Siami yang tak sanggup lagi meneruskan kalimatnya.  Namun, sang suami terus membimbing,  membuat perempuan ini kembali melanjutkan pernyataan maaf. Namun, suasana kian ricuh karena massa terus berteriak "usir". 
Baik petugas polisi dan tokoh masyarakat berusaha menenangkan situasi. Baru  kemudian kembali terdengar suara Siami. Dengan tangan gemetar dan ketegaran yang dipaksakan, Siami kembali berucap,  "Saya tidak menyangka permasalahan akan seperti ini. Saya hanya ingin kejujuran ada pada anak saya. Saya sebelumnya sudah berusaha menyelesaikan persoalan dengan baik-baik."
Pernyataan tulus Siami tidak juga membuat massa tenang, sampai akhirnya polisi memutuskan untuk mengevakuasi Siami dan keluarganya. Siami diarahkan ke mobil polisi dengan pengamanan pagar betis. Namun massa tetap berusaha merangsek,ingin meraih tubuh Siami. Sejumlah warga bahkan sempat menarik-narik kerudung Siami hingga hampir terlepas. Siami akhirnya berhasil diamankan ke Mapolsek Tandes.
Baik Ny Siami dan suaminya enggan memberi komentar usai kericuhan. Namun, kakak kandung Siami, Saki, mengakui bahwa adiknya saat ini dalam tekanan yang luar biasa. "Dia tak tahan lagi dengan tekanan warga. Sampai tidak mau makan hari-hari ini. Nanti kami akan merasa tenang jika di Gresik," kata Saki. 
Benjeng, Gresik adalah daerah asal Siami. Saat ini Al, anak Siami yang dipaksa memberi contekan, juga diungsikan ke Benjeng setelah rumahnya beberapa kali didemo warga.
Sementara itu, Ny Leni, perwakilan warga menyatakan bahwa pihaknya masih akan  terus menuntut agar tiga guru yang dicopot tetap mengajar di SDN Gadel 2 dan  menuntut Siami bertanggung jawab.
 
Budaya sakit
Prof Daniel M Rosyid yang juga Penasihat Dewan Pendidikan Jatim, menyesalkan  tindakan warga Gadel yang berencana mengusir keluarga Siami, ibunda Al. "Tuntutan warga untuk mengusir keluarga Al tidak masuk akal. Itu tidak bisa dituruti," katanya.
Daniel menilai tuntutan warga tersebut sudah tidak rasional. Perbuatan benar yang dilakukan ibu Al, Siami, dinilai warga justru malah salah. Tindakan menyontek rupanya sudah mengakar dan menjadi kebiasaan bahkan budaya di masyarakat. "Warga ternyata sakit," katanya.

Lagi pula Kepala Sekolah Sukatman dan dua guru kelas VI, Fatkhur Rohman dan  Prayitno, sudah legowo dan menerima keputusan sanksi yang diberikan. "Saya kira ini kalau dibiarkan masyarakat akan sakit terus. Orang jujur malah ajur, ini harus kita cegah," papar Daniel.
Sebelumnya, hasil tim independen pimpinan Daniel Rosyid menyampaikan temuannya bahwa Al, anak Siami, memang diintimidasi guru sehingga mau memberikan contekan. Namun, tim tidak menemukan cukup bukti sehingga Unas di SDN Gadel 2 perlu diulang. Alasannya tim independen tidak menemukan hasil jawaban Unas yang sistemik sama, dan nilai Unas pun hasilnya tidak sama. Al ternyata membuat contekan yang diplesetkan. Al tidak seluruhnya memberikan jawaban yang benar. Dan kawannya pun tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban Al. Sehingga hasil ujian tidak sama.

Selain itu tim juga mempertimbangkan Unas ulang akan memberatkan siswa dan wali murid. Sanksi yang direkomendasikan yakni sanksi administratif dari Pemkot Surabaya kepada guru yang melakukan intimidasi kepada Al.
Berdasarkan temuan tim independen ditambah pemeriksaan Inspektorat Pemkot  Surabaya itulah, Wali Kota Tri Rismaharini akhirnya mencopot Kepala Sekolah SDN Gadel 2 Sukatman dan dua guru kelas VI Fatkhur Rohman dan Prayitno.

Selasa, 07 Juni 2011

BIJAK Mengundang....!

Beberapa minggu yang lalu, seorang teman di kantor yang lama, yang sekitar 17 tahun lalu pernah sekantor.menelpon .... meminta alamat kantor saya sekarang. Dia bermaksud mengundang beberapa teman kantor saya yang sekarang beserta boss yang juga bossnya di kantor terdahulu untuk menghadiri pernikahan anaknya yang ke dua.

Setelah saya berikan alamat persisnya, beberapa hari kemudian saya menerima undangan tersebut. Alhamdulillah, dia masih ingat untuk mengundang teman-teman lamanya. Bisa jadi hal ini dilandasi untuk menfasilitasi teman-teman lamanya untuk melaksanakan reuni gratis heheheh .... Semangat menyambung tali silaturahim yang patut dihargai.

Saat membaca nama - nama pengundang, yaitu nama orang tua mempelai, saya agak tertegun... Bukan karena jumlahnya yang ternyata 3 pasang, yaitu 2 pasang berasal dari keluarga perempuan dan satu pasang dari keluarga lelaki, tetapi karena saya merasa nama salah satu istri pengundang agak familiar. Nama yang berasal dari "masa remaja" nun jauh di seberang... Apalagi dipadukan dengan nama suaminya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak dan alamat rumahnya. 

Tidak salah lagi .... karena belasan tahun yang lalu, sekitar beberapa bulan setelah kelahiran anak saya yang ke dua, saya pernah bertemu di sebuah RS di bilangan Bekasi. Saat itu dia yang juga berprofesi dokter, sedang menunggu sang suami.

Segera saja kutelpon mantan teman kantorku itu untuk meminta nomor telpon genggam calon besan perempuannya yang menjadi ibu tiri calon menantunya itu.

Singkat kata, berbekal nomor telpon genggam pemberian temanku, beberapa hari kemudian, hari minggu pagi, sambil menunggu asisten rumah membeli ketupat sayur di pelataran parkir dekat pasar pondok labu, kukirim sms kepada temanku tersebut, memberitahukan bahwa aku mendapat undangan untuk hadir dalam pernikahan anak tirinya tersebut dan bermaksud menghadirinya.

Di luar dugaan, alih-alih menjawab sms ku, teman lamaku itu malah langsung menelpon ... hihihi... inilah kemudahan dan dampak kemajuan teknologi komunikasi - sedang berbelanja di pasarpun bisa tetap berkomunikasi. Cerita panjang lebar, bernostalgia mengenai teman-teman lama kami saat di bangku SMA dulu.

Sebetulnya... teman lama ini adalah kawan sekelas adik perempuanku, tapi karena kami tinggal bersebelahan rumah dan kebetulan dia tinggal dengan kakak iparnya yang saat itu menjabat sebagai wakil kepala cabang suatu bank, maka kami cukup saling mengenal seluruh isi keluarga masing-masing.

Dua hari kemudian, saat berada di kantor, secara tiba-tiba aku menerima sms berisi penjelasan mengenai keluarga dan status anak-anaknya. Kaget juga aku membacanya .... Entah apa yang ada di dalam benak temanku, hingga dia merasa harus menjelaskan bagaimana dia melaksanakan pernikahannya dulu serta status anak-anaknya. Sumpah mati ... sama sekali tak pernah terlontar pertanyaan tentang hal itu. Itu urusan pribadi mereka.

Aku memang pernah mendengar cerita tentang pernikahannya tersebut dari adikku yang memiliki profesi yang sama dengan suaminya. Tapi... untuk apa mengusili urusan rumah tangga orang lain? Itu sebab ... aku hanya menjawab singkat..."ya, sudah pernah dengar ..... ! 
Hari Minggu, saat dilangsungkan resepsi pernikahan tersebut, aku hadir sendiri. Anakku sedang bermalas-malasan, kalau diperintahkan mandi lebih pagi. Mengikuti kebiasaan bapaknya, hari Minggu adalah hari santai dimana semua orang merasa "bebas" untuk mandi sesuka hati. Kebiasaan jelek yang tak patut ditiru.

Suamiku, sudah sejak pagi keluar rumah. Hari Minggu adalah jadwalnya latihan senam pernafasan Sinar Putih. Pulang dari tempat latihan, usai sarapan pagi yang sudah sangat terlamabta, sekitar jam 10.30, biasanya acara memeluk guling tidak bisa diganggu gugat. 

Jadi.... kalau aku punya undangan dan dia sedang berbaik hati untuk ikut hadir, biasanya dia akan mengorbankan waktu latihannya. Namun kali itu, dia "berkeras" latihan karena minggu sebelumnya, kami pergi ke Bandung menjenguk ibuku yang baru usai melakukan operasi penggantian sendi pangkal paha kanannya.

Aku berangkat sendiri dari rumah sekitar jam 10.45, langsung mengambil jalan bebas hambatan menuju lokasi. Kebetulan bertemu beberapa teman lama dari kantor yang sama dengan orangtua mempelai lelaki. Kami ngobrol kesana-kemari. Memang begitulah motivasi kami hadir di acara pernikahan tersebut. REUNI.....

Rupanya, mereka juga agak "curious" dengan adanya 3 keluarga pengundang. Itu sebab kami memilih tempat berdiri agak dekat dengan pelaminan, dengan harapan agar kami bisa "melihat" dari dekat  serta mendapat kesempatan awal memberi selamat kepada keluarga yang berbahagia tersebut.

Tiba saat pengantin dan keluarga berjalan menuju pelaminan, mataku menangkap sosok seorang perempuan yang sedang duduk di kursi roda dan seorang lelaki ganteng. Si perempuan, setelah kuperhatikan, ternyata menggunakan warna kebaya yang sama dengan orang tua pengantin yang sedang berjalan mengiringi pengantin menuju pelaminan, sedangkan sang pria juga memakai pakaian Jawa berblangkon. Tidak salah lagi ... ini tentu ibu pengantin perempuan disertai suami barunya.

Menjelang rombongan pengantin tiba di pelaminan, ibu kandung pengantin perempuan bangkit dari kursi rodanya. Berjalan perlahan tertatih-tatih sambil dipapah suaminya... dia berjalan dan duduk berdampingan dengan mantan suami dan istri "baru"nya. Memang agak terlihat tidak biasa ... apalagi saat itu sama sekali tidak terlihat adanya saling sapa di antara ke dua pasangan suami istri itu. Unik .....

Salah satu temanku sempat nyeletuk usil .... " lihat deh ... suaminya (bapak dari pengantin perempuan) mendapat istri yang lebih cantik, langsing dan lebih muda - begitu juga dengan ibunya. Usai diceraikan suami, dia yang terlihat sakit, mendapat suami yang juga lebih muda dan ganteng"

Kulihat seksama mereka yang ada di pelaminan.... Betul ... Sang suami Jawa yang wajahnya lebih pantas disebut wajah Minang - duduk berdampingan dengan istrinya (ini teman lamaku) yang jauh lebih segar dan cantik dibandingkan dengan mantan istrinya yang terlihat jauh lebih tua dan "sakit". Demikian juga mantan istri. Dia duduk tenang didampingi oleh suami yang terlihat gagah dan ganteng khas lelaki Jawa dengan kumisnya dan ..... terlihat jauh lebih muda dari wajah istrinya.

Entah apa yang berkecamuk di benak para undangan... Yang pasti, ke dua orangtua itu, walaupun sudah bercerai ... mereka punya hak dan kewajiban untuk "menyelesaikan" tugas, mengantar anak-anaknya ke gerbang pernikahan. Jadi memang.... mengapa harus malu dengan kondisi ini?

Kamis, 19 Mei 2011

PENIPUAN GAYA BARU

Hari ini, pertama-tama tentu saya harus mengucapkan alhamdulillah, karena Allah SWT masih memberikan kesehatan yang baik dan akal sehat.

Selain itu saya harus meminta maaf pada kawan saya Fanny Yudiati yang asli bahwasanya saya harus memperingatkan siapa saja di dunia maya yang mengenal Fanny Yudiati "asli", walaupun saya sendiri tidak akan membuka identitasnya lebih lanjut, karena namanya telah digunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menipu.

Ceritanya begini :
Sekitar jam 11.00, saat saya sedang bekerja menggunakan notebook, tiba-tiba seorang FANNY YUDIATI yang memang saya kenal sejak puluhan tahun yang lalu menyapa melalui ICQ yang rupanya lupa untuk di set invisible.

Saya memang baru 1 hari me reinstall ICQ di notebook saya dan karena banyaknya feature baru yang me link ICQ dengan situs-situs social networking seperti FB - YM dan sebangsanya sehingga agak gagap karena harus belajar lagi setelah lebih dari 10 tahun tidak menggunakannya.

"Fanny" seperti biasa menyapa dan sebagai teman yang kenal secara pribadi dengannya sayapun menyambut sapaannya. Begini kira-kira pembicaraan yang terjadi :

Fanny Judiati 16/05/2011 11:05  >siang....
lina alwi 16/05/2011 11:05 > hei pa kabar
Fanny Judiati 16/05/2011 11:06 > baik bu..
Fanny Judiati 16/05/2011 11:06 > oia bu mau nanya nih..
lina alwi 16/05/2011 11:07 > kenapa Fan?
Fanny Judiati 16/05/2011 11:07 > ada tmn/keluarga yg jual pulsa?
lina alwi 16/05/2011 11:07 emang kenapa gitu?
Fanny Judiati 16/05/2011 11:09 mau isi nih bu... ada gak ya?
lina alwi 16/05/2011 11:10 >Fan, kalo kamu pake internet banking, langsung dari situ kan bisa, gak perlu cape2 beli pulsa segala. aku gak pake prabayar, jd gak pernah isi pulsa. kalau anakku perlu, aku beli pake internet banking aja

Disini
, saya mulai jengah. Rasanya walai sejak saya meninggalkan bangku kuliah tahun 1980, relatif tidak berhubungan lagi dengan Fanny, tapi dari pertemanan kembali melalui Facebook, saya dapat "meraba" pada status sosial mana Fanny Yudiati kini berada. Jadi sangat tidak mungkin untuk urusan remeh temeh begini Fanny masih menggunakan telpon prabayar. 

Fanny rupanya masih belum "menangkap" signal keenganan saya untuk melayani kebutuhan pulsanya ;

Fanny Judiati
16/05/2011 11:12 ohh..begitu ya bu... belum sempat daftar bu...
Fanny Judiati 16/05/2011 11:12 oia bisa tolong bantu isiin dulu bu? nanti diganti
Fanny Judiati 16/05/2011 11:12 kalau gak merepotkan ...
Membaca cecarannya untuk mengisi pulsa, maka saya mencari dalih supaya dia "agak tahu diri" untuk segera menyudahi pembicaraan soal isi pulsa "yang dibutuhkannya".
lina alwi 16/05/2011 11:13 sorry aku lagi nyambil rapat
Rupanya, jawaban saya bahwa saya sedang ikut rapat, tidak menyurutkan niatnya untuk minta saya mengisi pulsanya.
Fanny Judiati 16/05/2011 11:13 tolong ya bu.. soalnya penting... bisa bu?
Membaca jawaban di atas, tuntaslah keraguan saya bahwa ada usaha penipuan. Walaupun kami saling mengenal sudah sejak puluhan tahun, saya percaya seorang FANNY YUDIATI, tidak akan merendahkan dirinya untuk meminta kenalannya mengisi pulsa, yang entah berapa nilai yang akan dimintanya kalau saya tetap meladeninya.
Maka sayapun menjawab dengan TUNTAS......
lina alwi 16/05/2011 11:14 sorry.... aku nggak percaya seorang FANNY YUDIATI yang asli "maksa" saya utk beli pulsa

Usai saya menekan simbol enter pada notebook mendadak chat terhenti.

Sebetulnya, saya tidak sepenuhnya sadar bahwa chat telah berhenti, karena sambil menjawab chat dari FANNY, saya masih tetap mengerjakan sheet pada Excel. Baru beberapa saat kemudian saya melihat pada chat room dan ternyata sudah "lenyap" dari layar. Di situ saya baru tersadarkan bahwa, saya baru selesai chatting dengan Fanny Yudiati palsu.

Segera saya tulis peringatan pada wall FB dan segera mendapat jawaban dari beberapa teman yang rupanya juga sempat dihubungi oleh Fanny palsu. Saya juga menghubungi beberapa teman seangkatan Fanny, untuk memberitahukan hal tersebut kepada Fanny Yudiati yang ASLI.

Saya juga mencoba buka account FB nya Fanny utk mengecek dan menulis di wall nya, tapi rupanya account FB nya Fanny sudah  di blocked oleh pembajaknya, sehingga tidak bisa di akses lagi.
Untuk teman-teman yang mengenal Fanny Yudiati .... mohon agar tidak melayani chatting atau permintaan bantuan apapun juga dari Fanny karena itu adalah percobaan penipuan.



Rabu, 18 Mei 2011

Saat lelah menghampiri

Hidup ini memang tidak mudah untuk dilakoni.
Kalau memang mudah, tentu tidak akan ada orang yang putus asa lalu bunuh diri.
Mengapa "bunuh diri" yang dijadikan rujukan?

Karena... ternyata bunuh diri melanda siapa saja. Bukan hanya dari kalangan miskin yang merasa putus asa dalam menghadapi kenyataan pahit hidupnya. Tapi bunuh diri juga melanda kalangan berpunya ... yang hidup dalam kemewahan. 

Bunuh diri bisa terjadi karena hal-hal yang "berat" seperti misalnya terjerat hutang yang luar biasa besarnya dan tidak mungkin terselesaikan. Tapi bisa juga terjadi karena hal-hal "sepele", misalnya karena baru saja bertengkar dengan pacar atau suami...

Halah.... kok ngelantur ke "bunuh diri" ya....?
Nggak .... nggak, bukan karena aku mau bunuh diri ...
Maksudnya mau nulis-nulis aja karena sudah lama nggak update MP-ku

Jadi, daripada keterusan nggak bener... lebih baik kusudahi dulu deh....
Mungkin isi kepalaku lagi nggak bener...
Maaf ya....

Senin, 21 Maret 2011

Catatan seorang dokter Indonesia saat di Belanda

Artikel copy - paste --> sangat menarik dan perlu terutama bagi orang tua yang punya anak balita maupun untuk orag dewasa.

Catatan seorang dokter Indonesia saat di Belanda

By Nova Perbawa
Dimana Salahnya? (dari buku Smart Patient)
Malik tergolek lemas. Matanya sayu. Bibirnya pecah-pecah. Wajahnya kian tirus. Di mataku ia berubah seperti anak dua tahun kurang gizi. Biasanya aku selalu mendengar celoteh dan tawanya di pagi hari. Kini tersenyum pun ia tak mau. Sesekali ia muntah. Dan setiap melihatnya muntah, hatiku tergores-gores rasanya. Lambungnya diperas habis-habisan seumpama ampas kelapa yang tak lagi bisa mengeluarkan santan. Pedih sekali melihatnya terkaing-kaing seperti itu.

Waktu itu, belum sebulan aku tinggal di Belanda, dan putraku Malik terkena demam tinggi. Setelah tiga hari tak juga ada perbaikan aku membawanya ke huisart (dokter keluarga) kami, dokter Knol namanya.
"Just wait and see. Don’t forget to drink a lot. Mostly this is a viral infection." kata dokter tua itu.
"Ha? Just wait and see? Apa dia nggak liat anakku dying begitu?" batinku meradang. Ya…ya…aku tahu sih masih sulit untuk menentukan diagnosa pada kasus demam tiga hari tanpa ada gejala lain. Tapi masak sih nggak diapa-apain. Dikasih obat juga enggak! Huh! Dokter Belanda memang keterlaluan! Aku betul-betul menahan kesal.
"Obat penurun panas Dok?" tanyaku lagi.
"Actually that is not necessary if the fever below 40 C."
Waks! Nggak perlu dikasih obat panas? Kalau anakku kenapa-kenapa memangnya dia mau nanggung? Kesalku kian membuncah.

Tapi aku tak ingin ngeyel soal obat penurun panas. Sebetulnya di rumah aku sudah memberi Malik obat penurun panas, tapi aku ingin dokter itu memberi obat jenis lain. Sudah lama kudengar bahwa dokter disini pelit obat. Karena itu aku membawa setumpuk obat-obatan dari Indonesia, termasuk obat penurun panas.

Dua hari kemudian, demam Malik tak kunjung turun dan frekuensi muntahnya juga bertambah. Aku segera kembali ke dokter. Tapi si dokter tetap menyuruhku wait and see. Pemeriksaan laboratorium baru akan dilakukan bila panas anakku menetap hingga hari ke tujuh.
"Anakku ini suka muntah-muntah juga Dok," kataku.

Lalu si dokter menekan-nekan perut anakku. "Apakah dia sudah minum suatu obat?"
Aku mengangguk. "Ibuprofen syrup Dok," jawabku.
Eh tak tahunya mendengar jawabanku, si dokter malah ngomel-ngomel,"Kenapa kamu kasih syrup Ibuprofen? Pantas saja dia muntah-muntah. Ibuprofen itu sebaiknya tidak diberikan untuk anak-anak, karena efeknya bisa mengiritasi lambung. Untuk anak-anak lebih baik beri paracetamol saja."

Huuh! Walaupun dokter itu mengomel sambil tersenyum ramah, tapi aku betul-betul jengkel dibuatnya. Jelek-jelek begini gue lulusan fakultas kedokteran tau! Nah kalau buat anak nggak baik kenapa di Indonesia obat itu bertebaran! Batinku meradang.

Untungnya aku masih bisa menahan diri. Tapi setibanya dirumah, suamiku langsung menjadi korban kekesalanku."Lha wong di Indonesia, dosenku aja ngasih obat penurun panas nggak pake diukur suhunya je. Mau 37 keq, 38 apa 39 derajat keq, tiap ke dokter dan bilang anakku sakit panas, penurun panas ya pasti dikasih. Sirup ibuprofen juga dikasih koq ke anak yang panas, bukan cuma parasetamol. Masa dia bilang ibuprofen nggak baik buat anak!" Seperti rentetan peluru, kicauanku bertubi-tubi keluar dari mulutku.
"Mana Malik nggak dikasih apa-apa pulak, cuma suruh minum parasetamol doang, itu pun kalau suhunya diatas 40 derajat C! Duuh memang keterlaluan Yah dokter Belanda itu!"

Suamiku menimpali, "Lho, kalau Mama punya alasan, kenapa tadi nggak bilang ke dokternya?"
Aku menarik napas panjang. "Hmm…tadi aku sudah kadung bete sama si dokter, rasanya ingin buru-buru pulang saja. Tapi…alasannya apa ya?"

Mendadak aku kebingungan. Aku akui, sewaktu praktek menjadi dokter dulu, aku lebih banyak mencontek apa yang dilakukan senior. Tiga bulan menjadi co-asisten di bagian anak memang membuatku kelimpungan dan belajar banyak hal, tapi hanya secuil-secuil ilmu yang kudapat.

Persis seperti orang yang katanya travelling keliling Eropa dalam dua minggu. Menclok sebentar di Paris, lalu dua hari pergi ke Roma. Dua hari di Amsterdam, kemudian tiga hari mengunjungi Vienna. Puas beberapa hari berdiam di Berlin dan Swiss, kemudian waktu habis. Tibalah saatnya pulang lagi ke Indonesia. Tampaknya orang itu sudah keliling Eropa, padahal ia hanya mengunjungi ibukota utama saja. Masih banyak sekali negara dan kota-kota di Eropa yang belum disambanginya. Dan itu lah yang terjadi pada kami, pemuda-pemudi fresh graduate from the oven Fakultas Kedokteran. Malah kadang-kadang apa yang sudah kami pelajari dulu, kasusnya tak pernah kami jumpai dalam praktek sehari-hari. Berharap bisa memberikan resep cespleng seperti dokter-dokter senior, akhirnya kami pun sering mengintip resep ajian senior!

Setelah Malik sembuh, beberapa minggu kemudian, Lala, putri pertamaku ikut-ikutan sakit. Suara Srat..srut..srat srut dari hidungnya bersahut-sahutan. Sesekali wajahnya memerah gelap dan bola matanya seperti mau copot saat batuknya menggila. Kadang hingga bermenit-menit batuknya tak berhenti. Sesak rasanya dadaku setiap kali mendengarnya batuk. Suara uhuk-uhuk itu baru reda jika ia memuntahkan semua isi perut dan kerongkongannya. Duuh Gustiiii…kenapa tidak Kau pindahkan saja rasa sakitnya padaku Nyerii rasanya hatiku melihat rautnya yang seperti itu. Kuberikan obat batuk yang kubawa dari Indonesia pada putriku. Tapi batuknya tak kunjung hilang dan ingusnya masih meler saja. Lima hari kemudian, Lala pun segera kubawa ke huisart. Dan lagi-lagi dokter itu mengecewakan aku.
"Just drink a lot," katanya ringan.

Aduuuh Dook! Tapi anakku tuh matanya sampai kayak mata sapi melotot kalau batuk, batinku kesal.
"Apa nggak perlu dikasih antibiotik Dok?" tanyaku tak puas.
"This is mostly a viral infection, no need for an antibiotik," jawabnya lagi.
Ggrh…gregetan deh rasanya. Lalu ngapain dong aku ke dokter, kalo tiap ke dokter pulang nggak pernah dikasih obat. Paling enggak kasih vitamin keq! omelku dalam hati.
"Lalu Dok, buat batuknya gimana Dok? Batuknya tuh betul-betul terus-terusan," kataku ngeyel.
Dengan santai si dokter pun menjawab,"Ya udah beli aja obat batuk Thyme syrop. Di toko obat juga banyak koq."

Hmm…lumayan lah… kali ini aku pulang dari dokter bisa membawa obat, walau itu pun harus dengan perjuangan ngeyel setengah mati dan walau ternyata isi obat Thyme itu hanya berisi ekstrak daun thyme dan madu.

"Kenapa sih negara ini, katanya negara maju, tapi koq dokternya kayak begini." Aku masih saja sering mengomel soal huisart kami kepada suamiku. Saat itu aku memang belum memiliki waktu untuk berintim-intim dengan internet. Jadi yang ada di kepalaku, cara berobat yang betul adalah seperti di Indonesia. Di Indonesia, anak-anakku punya langganan beberapa dokter spesialis anak. Dokter-dokter ini pernah menjadi dosenku ketika aku kuliah. Maklum, walaupun aku lulusan fakultas kedokteran, tapi aku malah tidak pede mengobati anakanakku sendiri. Dan walaupun anak-anakku hanya menderita penyakit sehari-hari yang umum terjadi pada anak seperti demam, batuk pilek, mencret, aku tetap membawa mereka ke dokter anak. Meski baru sehari, dua atau tiga hari mereka sakit, buru-buru mereka kubawa ke dokter. Tak pernah aku pulang tanpa obat. Dan tentu saja obat dewa itu, sang antibiotik, selalu ada dalam kantong plastik obatku.

Tak lama berselang putriku memang sembuh. Tapi sebulan kemudian ia sakit lagi. Batuk pilek putriku kali ini termasuk ringan, tapi hampir dua bulan sekali ia sakit. Dua bulan sekali memang lebih mendingan karena di Indonesia dulu, hampir tiap dua minggu ia sakit. Karena khawatir ada yang tak beres, lagi-lagi aku membawanya ke huisart.
"Dok anak ini koq sakit batuk pilek melulu ya, kenapa ya Dok."

Setelah mendengarkan dada putriku dengan stetoskop, melihat tonsilnya, dan lubang hidungnya,huisart-ku menjawab, "Nothing to worry. Just a viral infection."
Aduuuh Doook… apa nggak ada kata-kata lain selain viral infection seh! Lagilagi aku sebal.
"Tapi Dok, dia sering banget sakit, hampir tiap sebulan atau dua bulan Dok," aku ngeyel seperti biasa.

Dokter tua yang sebetulnya baik dan ramah itu tersenyum. "Do you know how many times normally children get sick every year?"
Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. "enam kali," jawabku asal.
"Twelve time in a year, researcher said," katanya sambil tersenyum lebar. "Sebetulnya kamu tak perlu ke dokter kalau penyakit anakmu tak terlalu berat," sambungnya.

Glek! Aku cuma bisa menelan ludah. Dijawab dengan data-data ilmiah seperti itu, kali ini aku pulang ke rumah dengan perasaan malu. Hmm…apa aku yang salah? Dimana salahnya? Ah sudahlah…barangkali si dokter benar, barangkali memang aku yang selama ini kurang belajar.

Setelah aku bisa beradaptasi dengan kehidupan di negara Belanda, aku mulai berinteraksi
dengan internet. Suatu saat aku menemukan artikel milik Prof. Iwan Darmansjah, seorang ahli obat-obatan dari Fakultas Kedokteran UI. Bunyinya begini: "Batuk - pilek beserta demam yang terjadi sekali-kali dalam 6 - 12 bulan sebenarnya masih dinilai wajar. Tetapi observasi menunjukkan bahwa kunjungan ke dokter bisa terjadi setiap 2 - 3 minggu selama bertahun-tahun." Wah persis seperti yang dikatakan huisartku, batinku. Dan betul anak-anakku memang sering sekali sakit sewaktu di Indonesia dulu.

"Bila ini yang terjadi, maka ada dua kemungkinan kesalahkaprahan dalam penanganannya," Lanjut artikel itu. "Pertama, pengobatan yang diberikan selalu mengandung antibiotik. Padahal 95% serangan batuk pilek dengan atau tanpa demam disebabkan oleh virus, dan antibiotik tidak dapat membunuh virus. Di lain pihak, antibiotik malah membunuh kuman baik dalam tubuh, yang berfungsi menjaga keseimbangan dan menghindarkan kuman jahat menyerang tubuh. Ia juga mengurangi imunitas si anak, sehingga daya tahannya menurun. Akibatnya anak jatuh sakit setiap 2 - 3 minggu dan perlu berobat lagi.

Lingkaran setan ini: sakit –> antibiotik-> imunitas menurun -> sakit lagi, akan membuat si anak diganggu panas-batuk-pilek sepanjang tahun, selama bertahun-tahun."
Hwaaaa! Rupanya inilah yang selama ini terjadi pada anakku. Duuh…duuh..kemana saja aku selama ini sehingga tak menyadari kesalahan yang kubuat sendiri pada anak-anakku.

Eh..sebetulnya..bukan salahku dong. Aku kan sudah membawa mereka ke dokter spesialis anak. Sekali lagi, mereka itu dosenku lho! Masa sih aku tak percaya kepada mereka. Dan rupanya, setelah di Belanda 'dipaksa' tak lagi pernah mendapat antibiotik untuk penyakit khas anak-anak sehari-hari, sekarang kondisi anak-anakku jauh lebih baik. Disini, mereka jadi jarang sakit, hanya diawal-awal kedatangan saja mereka sakit.

Kemudian, aku membaca lagi artikel-artikel lain milik prof Iwan Darmansjah. Dan di suatu titik, aku tercenung mengingat kata-kata 'pengobatan rasional'. Lho…bukankah dulu aku juga pernah mendapatkan kuliah tentang apa itu pengobatan rasional. Hey! Lalu kemana perginya ingatan itu? Jadi, apa yang selama ini kulakukan, tidak meneliti baik-baik obat yang kuberikan pada anak-anakku, sedikit-sedikit memberi obat penurun panas, sedikit-sedikit memberi antibiotik, baru sehari atau dua hari anak mengalami sakit ringan seperti, batuk, pilek, demam, mencret, aku sudah panik dan segera membawa anak ke dokter, serta sedikit-sedikit memberi vitamin. Rupanya adalah tindakan yang sama sekali tidak rasional! Hmm... kalau begitu, sistem kesehatan di Belanda adalah sebuah contoh sistem yang menerapkan betul apa itu pengobatan rasional.

Belakangan aku pun baru mengetahui bahwa ibuprofen memang lebih efektif menurunkan demam pada anak, sehingga di banyak negara termasuk Amerika Serikat, ibuprofen dipakai secara luas untuk anakanak. Tetapi karena resiko efek sampingnya lebih besar, Belgia dan Belanda menetapkan kebijakan lain. Walaupun obat ibuprofen juga tersedia di apotek dan boleh digunakan untuk usia anak diatas 6 bulan, namun di kedua negara ini, parasetamol tetap dinyatakan sebagai obat pilihan pertama pada anak yang mengalami demam. "Duh, untung ya Yah aku nggak bilang ke huisart kita kalo aku ini di Indonesia adalah seorang dokter. Kalo iya malu-maluin banget nggak sih, ketauan begonya hehe," kataku pada suamiku.

Jadi, bagaimana dengan para orangtua di Indonesia? Aku tak ingin berbicara terlalu jauh soal mereka-mereka yang tinggal di desa atau orang-orang yang terpinggirkan, ceritanya bisa lain. Karena kekurangan dan ketidakmampuan, untuk kasus penyakit anak sehari-hari, orang-orang desa itu malah relatif 'terlindungi' dari paparan obat-obatan yang tak perlu. Sementara kita yang tinggal di kota besar, yang cukup berduit, sudah melek sekolah, internet dan pengetahuan, malah kebanyakan selalu dokter-minded dan gampang dijadikan sasaran oleh perusahaan obat dan media. Batuk pilek sedikit ke dokter, demam sedikit ke dokter, mencret sedikit ke dokter. Kalau pergi ke dokter lalu tak diberi obat, biasanya kita malah ngomel-ngomel, 'memaksa' agar si dokter memberikan obat. Iklan-iklan obat pun bertebaran di media, bahkan tak jarang dokter-dokter 'menjual' obat tertentu melalui media. Padahal mestinya dokter dilarang mengiklankan suatu produk obat.

Dan bagaimana pula dengan teman-teman sejawatku dan dosen-dosenku yang kerap memberikan antibiotik dan obat-obatan yang tidak perlu pada pasien batuk, pilek, demam, mencret? Malah aku sendiri dulu pun melakukannya karena nyontek senior. Apakah manfaatnya lebih besar dibandingkan resikonya? Tentu saja tidak. Biaya pengobatan membengkak, anak malah gampang sakit dan terpapar obat yang tak perlu. Belum lagi bahaya besar jelas mengancam seluruh umat manusia: superbug, resitensi antibiotik! Tapi mengapa semua itu terjadi?

Duuh Tuhan, aku tahu sesungguhnya Engkau tak menyukai sesuatu yang sia-sia dan tak ada manfaatnya. Namun selama ini aku telah alpa. Sebagai orangtua, bahkan aku sendiri yang mengaku lulusan fakultas kedokteran ini, telah terlena dan tak menyadari semuanya. Aku tak akan eling kalau aku tidak menyaksikan sendiri dan tidak tinggal di negeri kompeni ini. Apalagi dengan masyarakat awam, para orangtua baru yang memiliki anak-anak kecil itu. Jadi bagaimana mengurai keruwetan ini seharusnya? Uh! Memikirkannya aku seperti terperosok ke lubang raksasa hitam. Aku tak tahu, sungguh!

Tapi yang pasti kini aku sadar…telah terjadi kesalahan paradigma pada kebanyakan kita di Indonesia dalam menghadapi anak sakit. Disini aku sering pulang dari dokter tanpa membawa obat. Aku ke dokter biasanya 'hanya' untuk konsultasi, memastikan diagnosa penyakit anakku dan penanganan terbaiknya, serta meyakinkan diriku bahwa anakku baik-baik saja. Tapi di Indonesia, bukankah paradigma yang masih kerap dipegang adalah ke dokter = dapat obat? Sehingga tak jarang dokter malah tidak bisa bertindak rasional karena tuntutan pasien. Aku juga sadar sistem kesehatan di Indonesia memang masih ruwet. Kebijakan obat nasional belum berpihak pada rakyat. Perusahaan obat bebas beraksi‘ tanpa ada peraturan dan hukum yang tegas dari pemerintah. Dokter pun bebas meresepkan obat apa saja tanpa ngeri mendapat sangsi. Intinya, sistem kesehatan yang ada di Indonesia saat ini membuat dokter menjadi sulit untuk bersikap rasional.

Lalu dimana ujung pangkal salahnya? Ah rasanya percuma mencari-cari ujung pangkal salahnya. Menunjuk siapa yang salah pun tak ada gunanya. Tapi kondisi tersebut jelas tak bisa dibiarkan. Siapa yang harus memulai perubahan? Pemerintah, dokter, petugas kesehatan, perusahaan obat, tentu semua harus berubah. Namun, dalam kondisi seperti ini, mengharapkan perubahan kebijakan pemerintah dalam waktu dekat sungguh seperti pungguk merindukan bulan. Yang pasti, sebagai pasien kita pun tak bisa tinggal diam. Siapa bilang pasien tak punya kekuatan untuk merubah sistem kesehatan? Setidaknya, bila pasien 'bergerak', masalah kesehatan di Indonesia, utamanya kejadian pemakaian obat yang tidak rasional dan kesalahan medis tentu bisa diturunkan.

BUKAN KARANGAN BUNGA🌺🌺

 Dapat kiriman tulisan yang bagus, untuk refleksi diri DICARI Teman yg bisa  Mensholatkan kita...   Ketika KITA WAFAT... BUKAN KARANGAN BUNG...